Kartasura dengan cepat menghimpun kekuatan. Bola matanya berubah menjadi merah seiring dengan tangan menghitam di mana kuku dan gigi taringnya mendadak memanjang. Dalam sekejap, pria itu sudah berada di depan Limbur Kancana, bersiap menyerang.
Limbur Kancana segera bertukar tempat dengan tiruannya yang sudah berada di belakang Danuseka. Ia segera menendang punggung pria itu hingga terpelanting ke depan, kemudian kembali muncul di depan Danuseka sembari menghantam pukulan ke arah dada sampai pria itu terdorong ke belakang dan menabrak pohon.
Kartasura mundur dengan melakukan salto ke belakang, terkejut ketika Danuseka mengerang kesakitan di salah satu dahan pohon. Ketika menoleh ke arah depan, ia sudah mendapati pendekar berbaju putih itu bersiap menyerang.
Limbur Kancana dan Kartasura terlibat dengan jual beli serangan sementara waktu. Keduanya saling menyerang, mengelak dan bertahan dari serangan lawan masing-masing. Kedua perdekar itu bertarung dalam gerakan c
Sementara itu, di alam lain, Lingga tiba-tiba tersadar ketika dua tiruannya mendadak menghilang. Pemuda itu merengut kesal sembari berdiri dari duduknya. “Paman jahat sekali. Kenapa paman justru memukul tiruanku? Padahal aku ingin membantunya dan paman Ganawirya.”Lingga kembali terpejam, mengamati kawasan air terjun dari penglihatan salah satu tiruannya yang tersisa. Pemuda itu melihat asap mengepul dari jarak cukup jauh, disusul bayangan hitam di belakang kepulan asap tersebut. Tak lama setelahnya, ia mendapati siluman hitam legam tengah berjalan menuju air terjun dengan seseorang yang tengah berdiri di bahunya. Puluhan pasukan pnedekar saling melompati dahan pohon di belakang siluman raksasa itu.Lingga terhenyak ketika melihat siapa sosok yang sedang berdiri di bahu siluman yang mirip dengan siluman yang dirinya hadapi lima tahun yang lalu. Sekujur tubuhnya mendadak bergetar bersamaan dengan darah berdesir kuat. Rahangnya mengetat seiring dengan urat-ur
Wira berjalan ke luar gua, melihat beberapa pasukannya yang terluka, di mana sebagian tergeletak tak berdaya di pinggiran sungai karena serangan musuh. “Obati yang terluka dengan segera dan tinggalkan mereka yang mati. Kita akan meneruskan pengejaran para murid.”“Baik,” jawab pasukan serempak.Wira menoleh pada Jurig Lolong yang tengah mengendus bau. “Jurig Lolong, ubah ukuran tubuhmu dan ikuti aku ke dalam gua.”Jurig Lolong menggeram dan dalam satu kedipan mata ukuran tubuhnya menyusut hampir seukuran pria dewasa. Siluman itu memasuki gua lebih dahulu, memukul tubuh seraya memekik kencang hingga beberapa batu kecil berjatuhan dari atap gua.Wira dan pasukannya segera memasuki gua, berjalan di belakang Jurig Lolong. Kedatangan mereka nyatanya disambut dengan hujan panah dan tombak api dari arah depan. Wira berhasil menghindari semua serangan dan beberapa kali menepis panah dan tombak, sedang beberapa pasukannya dibuat
Indra dan Arya segera memasang kuda-kuda, memperhatikan Wira lekat-lekat meski amarah sudah mencapai puncak. Keduanya berusaha menguasai diri.Wira terkekeh, berjalan mondar-mandir di depan Indra dan Arya. Ia memberi tanda pada Jurig Lolong dan pasukannya untuk menyerang. Akan tetapi, dua tiruan Limbur Kancana berhasil menghadang pergerakan mereka melalui hujan panah api dan serbuan tombak.Jurig Lolong menghadapi satu tiruan Limbur Kancana. Siluman itu mengayun-ayunkan palu godam seiring dengan pergerakan lawan yang berpindah-pindah dengan cepat. Getaran kuat terasa saat senjatanya menumbuk tanah dan bebatuan. Sementara itu, tiruan Limbur Kancana yang lain menghadapi pasukan Wira yang berjumlah tak lebih dari dua puluh orang.Wira mendongak ke langit-langit gua sekilas, tersenyum meremehkan saat melihat Indra dan Arya yang masih dalam posisi siaga. “Aku bahagia karena kalian masih hidup setelah penyerangan lima tahun yang lalu. Kalian berdua harus berteri
Indra tak menggubris, melayangkan ayunan kapak dan tendangan bergantian lebih cepat. Pemuda itu tercengang ketika tangannya tiba-tiba saja bergetar hingga kapaknya terjatuh. Ia terbatuk darah, menyebabkan pertahannya mengendur. Alhasil, ia mendapat pukulan telak dari Wira hingga terpelanting ke belakang. Arya berhasil menahan Indra, membawa sahabatnya bersembunyi di balik sebuah batu. Ia ikut terbatuk darah. “Ini pasti karena racun kalong setan. Seperti yang dikatakan guru, tanpa bantuan Lingga kita tidak bisa mencium baunya.” Arya segera membuka kendi berisi penawar racun kalong setan, membiarkan asap putih menyelimutinya dan Indra selama beberapa saat. Namun, ia dan Indra masih terbatuk darah. Penglihatannya juga mulai mengabur dan dadanya mulai sesak dan terasa terbakar di saat bersamaan. “Apa penawar racun itu tidak berfungsi?” tanya Arya. “Aku rasa ... penawar itu memiliki waktu untuk bekerja,” jawab Indra, “selama menunggu, kita harus tetap memberikan perlawanan.” “Aku menge
Bangasera terbahak saat melihat empat pendekar muda di depannya terkejut karena kehadirannya, terlebih ketika mendapati Wira yang tak sadarkan diri dengan keadaan terikat rantai besi. “Harus kuakui kalau kalian berempat cukup kuat dan cerdas.”Indra, Meswara, Jaka dan Arya seketika memasang kuda-kuda siaga.“Kalian berempat memiliki kepercayaan tinggi terhadap satu sama lain. Kepercayaan itu tumbuh karena kalian sudah melewati banyak hal menyakitkan bersama-sama,” ujar Bangasera, “bagaimana jika kalian menjadi bawahanku? Aku akan memberikan apa pun pada kalian selama kalian mau menerima semua perintahku.”“Kami sama sekali tidak tertarik,” sahut Meswara.Bangasera berdecak. “Bocah sombong!”“Apa yang kau mau dari kami?” tanya Indra sembari memberi tanda gerakan jari pada Meswara dan Jaka yang berada di belakangnya.“Aku dan pasukanku sedang mencari pemuda yang bern
Indra dan Arya kembali memasang kuda-kuda siaga. Bahu keduanya naik-turun karena tenaga yang sudah terkuras habis. Mereka berharap jika Meswara dan Jaka bisa menyelamatkan para murid ke tempat yang aman dengan cepat.“Kakang guru pasti sedang kesulitan saat ini sehingga tidak sempat bertukar tempat dengan tiruannya,” ujar Arya di sela berusaha mengendalikan napas yang mulai terputus-putus.“Kau benar. Kita harus bisa menahan pria bersisik ini selama mungkin agar Meswara dan Jaka bisa memiliki waktu untuk menyelamatkan para murid ke tempat yang aman,” sahut Indra.“Kedua teman kalian sedang menghadapi pasukanku saat ini. Mereka tidak akan bisa lolos dengan mudah. Kalaupun mereka berhasil lolos, aku pastian mereka akan terluka sangat parah,” ujar Bangasera, “pasukanku jauh lebih kuat dibanding pasukan Kartasura.”Indra dan Arya saling melirik satu sama lain, dan dengan gerakan cepat menendang tombak-tombak yan
Wira memekik kencang saat dirinya sudah dikepung dari berbagai arah. Kilatan amarahnya terlihat jelas dari tatapannya yang terus mengawasi pasukan Bangasera. Pemuda itu menggeram, melayangkan serangan dengan gerakan memutar pada puluhan pendekar di sekelilingnya hingga mereka mundur sejauh satu tombak. Namun, pasukan itu kembali mendekat dan justru menyerangnya secara bersamaan.“Aku harus segera mengejar Bangasera sebelum dia berhasil menemukan Lingga lebih dulu.” Wira berlutut, mengubah wujud menjadi kelelawar raksasa. Ia terbang tinggi, mengepakkan sayap kuat-kuat. Angin yang tercipta membuat pasukan Bangasera mundur beberapa hasta dan berhasil menggagalkan serangan mereka.Wira mengirimkan kawanan kelelawar dari tubuhnya pada pasukan musuh. Selagi mereka menangkis dan menahan serangannya, ia mendarat di sebuah pohon dan kembali ke wujud manusia. “Aku tidak boleh berlama-lama berurusan dengan pasukan Banterlambat.”Wira dengan cepat be
Meswara sama sekali tidak menjawab. Ia berusaha membuka kendi pemusnah siluman meski tangannya terus dipatuk dan digigiti puluhan ular, sedang kakinya mencoba mendekatkan pedang ke arahnya.“Apa pemuda bernama Lingga itu sudah berhasil menguasai kujang emas?” tanya Bangasera sembari mendekatkan wajahnya pada Meswara hingga kening mereka menyatu. “Apa dia sudah menjadi pendekar yang hebat? Jurus-jurus apa saja yang berhasil dikuasainya?”Meswara berhasil membuka tutup kendi pemusnah siluman. Pedangnya sudah berada di bawah kakinya. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menyerang dan melarikan diri.“Bukalah mulutmu sebelum aku kehilangan kesabaran atau kau akan segera menyusul dua temanmu yang lain.” Bangasera mengambil kendi berisi racun kalong setan.Meswara tiba-tiba saja tertawa, tersenyum meremehkan. “Dibanding menggunakan racun kalong setan padaku, kenapa kau tidak menggunakan racun itu untuk membunuh