Sekar Sari dan Wira masih saling kejar-mengejar di belantara hutan. Dari kejauhan, keduanya seperti dua bayangan yang berkelebat di rindangnya pepohonan. Kawanan burung tampak menjauh ketika kedua pendekar itu melintasi dahan pohon tempat mereka bertengger.
“Kau tidak bisa lari dariku, Nyai,” ucap Wira sembari mempercepat langkah kaki. Situasinya tidak terlalu menguntungkan untuknya saat ini. Jika malam sudah tiba, ia bisa mengeluarkan kekuatannya dengan sempurna.
Sekar Sari berusaha tenang, melayangkan selandang ke dahan pohon lebih cepat. Ia menjatuhkan bibit tanaman yang sudah dirinya berikan tenaga dalam. Bibit-bibit itu akan langsung tumbuh menjadi tumbuhan merambat yang akan langsung menghalangi jalan Wira.
“Gadis itu sangat cepat dan lincah. Dia pasti salah satu murid berbakat dari padepokan ini.” Wira tertawa, semakin tertarik dengan Sekar Sari. Ketika akan melompati dahan pohon, tiba-tiba saja kakinya dihadang oleh sulur tanaman
Kartasura yang akan mengejar Sekar Sari tiba-tiba dikerumuni sulur tanaman. Pria itu memotong tumbuhan itu dengan kuku panjangnya, tetapi sulur baru terus tumbuh dan kian menjeratnya lebih erat.Kartasura berdecak, menggeram penuh amarah. “Terkutuk! Gadis itu nyatanya sempat mempersiapkan serangan balasan saat nyawanya terancam. Tapi dia mendapat serangan telak dariku. Kecil kemungkinan dia berhasil selamat. Kalaupun selamat, gadis itu pasti tidak akan bisa bergerak dalam waktu lama.”Kartasura mengumpulkan kekuatan di kedua tangannya, kembali mencabik-cabik sulur tanaman. Ketika tubuhnya terbebas, tanaman itu kembali menjeratnya. Pria itu membuka tutup kendi, membiarkan asap racun kalong setan mengitarinya. Lambat laun tumbuhan itu layu sampai akhirnya mengering. “Tumbuhan itu membuatku membuang racun kalong setan yang berharga.” Kartasura menoleh ke arah Sekar Sari terlempar. Saat akan mengejarnya, ia tiba-tiba
Lingga mendarat tepat di mulut gua, segera menoleh pada cahaya putih yang mendadak hilang. Pemuda itu tiba-tiba mual karena mencium bau busuk dari arah gua. Ia melompat sejauh dua tombak, mengelus-elus perut. “Pasti ada racun kalong setan di dalam gua.”Lingga menoleh ke sekeliling arah. Langit malam mengungkungi dari atas, sedang sekelilingnya hampir dipenuhi pepohonan tinggi. “Aku harap Paman dan yang lain bisa selamat. Untung saja aku masih sempat menempatkan tiga tiruanku di hutan untuk berjaga-jaga.”Lingga memasuki kawasan pepohonan yang menjulang tinggi, mencari tempat yang cocok untuk dijadikan tempat menunggu. Pemuda itu menaiki sebuah pohon, duduk di puncaknya. Pandangannya mengawasi sekeliling yang dipenuhi kegelapan. Ia mendadak teringat dengan pria bermahkota emas. Di tempat inilah dirinya pertama kali bertemu dengan sosok pemilik kujang emas itu.Lingga dengan cepat duduk bersila, menyatukan dua kepalan tangan di dada, memej
Para murid kembali meneruskan perjalanan lebih jauh menyusuri gua. Mereka menuruni jalan berbatu, lorong panjang hingga akhirnya berhenti di sebuah tanah lapang dengan sungai kecil berair jernih. Sinar matahari tampak menerobos atap yang dipenuhi akar tanaman. Sesekali angin mengembus dari atas.“Kalian bisa beristirahat dan memulihkan tenaga di sini,” ujar Indra. Para murid langsung menyebar ke sekeliling, duduk di batu, berselonjor kaki, meneguk air sungai untuk menghilangkan dahaga.Indra mendekat pada ketiga temannya, meminta mereka untuk sedikit menjauh dari para murid. “Kita harus segera membuat rencana.”Indra mengeluarkan kain merah dari balik baju. “Kita bisa menggunakan kain ini jika keadaan bertambah gawat.”“Apa rencanamu, Indra?” tanya Meswara.“Kita akan memasukkan para murid ke dalam kain ini, lalu membawa mereka sejauh mungkin dari Lebak Angin,” terang Indra.
Pasukan Kartasura tiba-tiba menghentikan perjalanan karena dihadapkan pada sebuah dinding tak kasat mata. Tanpa disadari, racun kalong setan yang melingkupi mereka perlahan menghilang karena penawar yang dikirimkan Limbur Kancana pada kubah pelindung.Salah satu pendekar langsung melaporkan hal ini pada Wira yang tengah bersama Danuseka di belakang pasukan.“Apa yang kau maksud dengan tidak bisa memasuki hutan lebih dalam?” Wira tiba-tiba saja memelotot, menarik kerah baju pendekar yang baru saja melapor padanya.Pendekar muda itu menunduk ketakutan. “Ka-kami mendapati kubah pelindung yang menghalangi pergerakan kami. Saat ini, kami sedang berusaha menembus penghalang itu.”Wira berdecak, melempar pendekar tadi sembarang. Ia bergegas membelah kerumunan pendekar di mana beberapa di antara mereka tengah berusaha melenyapkan kubah pelindung.“Wira tenanglah,” ujar Danuseka sembari menyentuh bahu Wira.&
Kartasura tiba-tiba melompat. Dalam satu kedipan mata, pria itu berganti wujud menjadi kelelawar. Ia terbang merendah, bertengger di dahan pohon untuk mengawasi pergerakan Argaseni dan pasukannya dari dekat.Kartasura kembali terbang hingga akhirnya berhenti di sebuah tebing, kemudian kembali berganti wujud menjadi manusia. Pria itu tersenyum bengis, berbalik menghadap tumpukan batu yang berada di atasnya. Ia menghimpun kekuatan di kedua tangan, menghantam bebatuan itu dengan tiga kali pukulan. Suara yang dihasilkan serangan itu cukup menggelegar hingga membuat Argaseni yang tengah bersemedi di atas tandu membuka mata.Batu-batu besar itu berguling cepat menuju pasukan Argaseni, ikut membawa beberapa pohon yang tumbang dan juga debu tebal yang menghalangi pandangan mereka.Argaseni yang menyadari bahaya seketika melompat dari tandu, menendang beberapa batu dan memukul benda keras itu dengan tongkat hingga berubah menjadi potongan kecil. Akan tetapi, beberapa ana
Kartasura mengamati Jurig Lolong dan pasukannya yang sedang berusaha menerobos kubah pelindung. “Ini aneh sekali. Kenapa kubah pelindung itu saling sulit dihancurkan oleh Jurig Lolong dan pasukanku? Padahal kubah pelindung itu sama kuatnya dengan kubah pelindung yang sudah dihancurkan ketika aku dan pasukanku tiba di tempat ini.”Kartasura menoleh pada seekor kelelawar kecil yang terbang mendekat ke arahnya. Ia terdiam sesaat, kemudian menatap lurus ke depan dengan senyum tipis. “Aku sependapat dengan rencana yang dibuat Wira. Para murid bodoh itu memang bisa digunakan sebagai umpan agar anak bernama Lingga itu keluar dari tempat persembunyian. Selain itu, Ganawirya dan pendekar berbaju putih itu pasti tidak akan tinggal diam ketika para murid dan Lingga berada dalam bahaya.”Kartasura mengentak tubuh sekali, melesat cepat ke depan dengan satu pukulan kuat. Pepohonan dan tanah seketika berguncang ketika serangan tersebut beradu dengan kubah peli
Limbur Kancana tiba-tiba saja berdiri ketika menyadari jika kubah pelindungnya berhasil dihancurkan. Pria itu juga bisa melihat pasukan Kartasura yang bergerak maju ke pedalaman hutan. “Kartasura ternyata membawa siluman yang dibawanya lima tahun lalu. Saat kejadian itu, aku tidak bisa banyak membantu karena aku sedang berada di tempat lain. Untungnya aku datang tepat waktu saat Lingga terlempar.”Limbur Kancana melompat turun, mendarat dengan sempurna seperti daun gugur ke tanah. Tiruan Lingga yang bersamanya ikut melompat ke bawah. “Tapi aku sama sekali tidak melihat keberadaan Wira. Ke mana perginya si pengkhianat itu?”Ganawirya datang mendekat bersama tiruan Lingga. “Aku sudah menyelesaikan ramuan penawarnya, Raka.”“Bagus, dengan begitu kita bisa menghadapi mereka tanpa harus takut terkena racun bau itu,” sahut Limbur Kancana.Ganawirya memberikan sebuah kendi kecil pada Limbur Kancana. “Kendi it
Kartasura dengan cepat menghimpun kekuatan. Bola matanya berubah menjadi merah seiring dengan tangan menghitam di mana kuku dan gigi taringnya mendadak memanjang. Dalam sekejap, pria itu sudah berada di depan Limbur Kancana, bersiap menyerang.Limbur Kancana segera bertukar tempat dengan tiruannya yang sudah berada di belakang Danuseka. Ia segera menendang punggung pria itu hingga terpelanting ke depan, kemudian kembali muncul di depan Danuseka sembari menghantam pukulan ke arah dada sampai pria itu terdorong ke belakang dan menabrak pohon.Kartasura mundur dengan melakukan salto ke belakang, terkejut ketika Danuseka mengerang kesakitan di salah satu dahan pohon. Ketika menoleh ke arah depan, ia sudah mendapati pendekar berbaju putih itu bersiap menyerang.Limbur Kancana dan Kartasura terlibat dengan jual beli serangan sementara waktu. Keduanya saling menyerang, mengelak dan bertahan dari serangan lawan masing-masing. Kedua perdekar itu bertarung dalam gerakan c
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me