Kartasura yang akan mengejar Sekar Sari tiba-tiba dikerumuni sulur tanaman. Pria itu memotong tumbuhan itu dengan kuku panjangnya, tetapi sulur baru terus tumbuh dan kian menjeratnya lebih erat.
Kartasura berdecak, menggeram penuh amarah. “Terkutuk! Gadis itu nyatanya sempat mempersiapkan serangan balasan saat nyawanya terancam. Tapi dia mendapat serangan telak dariku. Kecil kemungkinan dia berhasil selamat. Kalaupun selamat, gadis itu pasti tidak akan bisa bergerak dalam waktu lama.”
Kartasura mengumpulkan kekuatan di kedua tangannya, kembali mencabik-cabik sulur tanaman. Ketika tubuhnya terbebas, tanaman itu kembali menjeratnya. Pria itu membuka tutup kendi, membiarkan asap racun kalong setan mengitarinya. Lambat laun tumbuhan itu layu sampai akhirnya mengering. “Tumbuhan itu membuatku membuang racun kalong setan yang berharga.”
Kartasura menoleh ke arah Sekar Sari terlempar. Saat akan mengejarnya, ia tiba-tiba
Lingga mendarat tepat di mulut gua, segera menoleh pada cahaya putih yang mendadak hilang. Pemuda itu tiba-tiba mual karena mencium bau busuk dari arah gua. Ia melompat sejauh dua tombak, mengelus-elus perut. “Pasti ada racun kalong setan di dalam gua.”Lingga menoleh ke sekeliling arah. Langit malam mengungkungi dari atas, sedang sekelilingnya hampir dipenuhi pepohonan tinggi. “Aku harap Paman dan yang lain bisa selamat. Untung saja aku masih sempat menempatkan tiga tiruanku di hutan untuk berjaga-jaga.”Lingga memasuki kawasan pepohonan yang menjulang tinggi, mencari tempat yang cocok untuk dijadikan tempat menunggu. Pemuda itu menaiki sebuah pohon, duduk di puncaknya. Pandangannya mengawasi sekeliling yang dipenuhi kegelapan. Ia mendadak teringat dengan pria bermahkota emas. Di tempat inilah dirinya pertama kali bertemu dengan sosok pemilik kujang emas itu.Lingga dengan cepat duduk bersila, menyatukan dua kepalan tangan di dada, memej
Para murid kembali meneruskan perjalanan lebih jauh menyusuri gua. Mereka menuruni jalan berbatu, lorong panjang hingga akhirnya berhenti di sebuah tanah lapang dengan sungai kecil berair jernih. Sinar matahari tampak menerobos atap yang dipenuhi akar tanaman. Sesekali angin mengembus dari atas.“Kalian bisa beristirahat dan memulihkan tenaga di sini,” ujar Indra. Para murid langsung menyebar ke sekeliling, duduk di batu, berselonjor kaki, meneguk air sungai untuk menghilangkan dahaga.Indra mendekat pada ketiga temannya, meminta mereka untuk sedikit menjauh dari para murid. “Kita harus segera membuat rencana.”Indra mengeluarkan kain merah dari balik baju. “Kita bisa menggunakan kain ini jika keadaan bertambah gawat.”“Apa rencanamu, Indra?” tanya Meswara.“Kita akan memasukkan para murid ke dalam kain ini, lalu membawa mereka sejauh mungkin dari Lebak Angin,” terang Indra.
Pasukan Kartasura tiba-tiba menghentikan perjalanan karena dihadapkan pada sebuah dinding tak kasat mata. Tanpa disadari, racun kalong setan yang melingkupi mereka perlahan menghilang karena penawar yang dikirimkan Limbur Kancana pada kubah pelindung.Salah satu pendekar langsung melaporkan hal ini pada Wira yang tengah bersama Danuseka di belakang pasukan.“Apa yang kau maksud dengan tidak bisa memasuki hutan lebih dalam?” Wira tiba-tiba saja memelotot, menarik kerah baju pendekar yang baru saja melapor padanya.Pendekar muda itu menunduk ketakutan. “Ka-kami mendapati kubah pelindung yang menghalangi pergerakan kami. Saat ini, kami sedang berusaha menembus penghalang itu.”Wira berdecak, melempar pendekar tadi sembarang. Ia bergegas membelah kerumunan pendekar di mana beberapa di antara mereka tengah berusaha melenyapkan kubah pelindung.“Wira tenanglah,” ujar Danuseka sembari menyentuh bahu Wira.&
Kartasura tiba-tiba melompat. Dalam satu kedipan mata, pria itu berganti wujud menjadi kelelawar. Ia terbang merendah, bertengger di dahan pohon untuk mengawasi pergerakan Argaseni dan pasukannya dari dekat.Kartasura kembali terbang hingga akhirnya berhenti di sebuah tebing, kemudian kembali berganti wujud menjadi manusia. Pria itu tersenyum bengis, berbalik menghadap tumpukan batu yang berada di atasnya. Ia menghimpun kekuatan di kedua tangan, menghantam bebatuan itu dengan tiga kali pukulan. Suara yang dihasilkan serangan itu cukup menggelegar hingga membuat Argaseni yang tengah bersemedi di atas tandu membuka mata.Batu-batu besar itu berguling cepat menuju pasukan Argaseni, ikut membawa beberapa pohon yang tumbang dan juga debu tebal yang menghalangi pandangan mereka.Argaseni yang menyadari bahaya seketika melompat dari tandu, menendang beberapa batu dan memukul benda keras itu dengan tongkat hingga berubah menjadi potongan kecil. Akan tetapi, beberapa ana
Kartasura mengamati Jurig Lolong dan pasukannya yang sedang berusaha menerobos kubah pelindung. “Ini aneh sekali. Kenapa kubah pelindung itu saling sulit dihancurkan oleh Jurig Lolong dan pasukanku? Padahal kubah pelindung itu sama kuatnya dengan kubah pelindung yang sudah dihancurkan ketika aku dan pasukanku tiba di tempat ini.”Kartasura menoleh pada seekor kelelawar kecil yang terbang mendekat ke arahnya. Ia terdiam sesaat, kemudian menatap lurus ke depan dengan senyum tipis. “Aku sependapat dengan rencana yang dibuat Wira. Para murid bodoh itu memang bisa digunakan sebagai umpan agar anak bernama Lingga itu keluar dari tempat persembunyian. Selain itu, Ganawirya dan pendekar berbaju putih itu pasti tidak akan tinggal diam ketika para murid dan Lingga berada dalam bahaya.”Kartasura mengentak tubuh sekali, melesat cepat ke depan dengan satu pukulan kuat. Pepohonan dan tanah seketika berguncang ketika serangan tersebut beradu dengan kubah peli
Limbur Kancana tiba-tiba saja berdiri ketika menyadari jika kubah pelindungnya berhasil dihancurkan. Pria itu juga bisa melihat pasukan Kartasura yang bergerak maju ke pedalaman hutan. “Kartasura ternyata membawa siluman yang dibawanya lima tahun lalu. Saat kejadian itu, aku tidak bisa banyak membantu karena aku sedang berada di tempat lain. Untungnya aku datang tepat waktu saat Lingga terlempar.”Limbur Kancana melompat turun, mendarat dengan sempurna seperti daun gugur ke tanah. Tiruan Lingga yang bersamanya ikut melompat ke bawah. “Tapi aku sama sekali tidak melihat keberadaan Wira. Ke mana perginya si pengkhianat itu?”Ganawirya datang mendekat bersama tiruan Lingga. “Aku sudah menyelesaikan ramuan penawarnya, Raka.”“Bagus, dengan begitu kita bisa menghadapi mereka tanpa harus takut terkena racun bau itu,” sahut Limbur Kancana.Ganawirya memberikan sebuah kendi kecil pada Limbur Kancana. “Kendi it
Kartasura dengan cepat menghimpun kekuatan. Bola matanya berubah menjadi merah seiring dengan tangan menghitam di mana kuku dan gigi taringnya mendadak memanjang. Dalam sekejap, pria itu sudah berada di depan Limbur Kancana, bersiap menyerang.Limbur Kancana segera bertukar tempat dengan tiruannya yang sudah berada di belakang Danuseka. Ia segera menendang punggung pria itu hingga terpelanting ke depan, kemudian kembali muncul di depan Danuseka sembari menghantam pukulan ke arah dada sampai pria itu terdorong ke belakang dan menabrak pohon.Kartasura mundur dengan melakukan salto ke belakang, terkejut ketika Danuseka mengerang kesakitan di salah satu dahan pohon. Ketika menoleh ke arah depan, ia sudah mendapati pendekar berbaju putih itu bersiap menyerang.Limbur Kancana dan Kartasura terlibat dengan jual beli serangan sementara waktu. Keduanya saling menyerang, mengelak dan bertahan dari serangan lawan masing-masing. Kedua perdekar itu bertarung dalam gerakan c
Sementara itu, di alam lain, Lingga tiba-tiba tersadar ketika dua tiruannya mendadak menghilang. Pemuda itu merengut kesal sembari berdiri dari duduknya. “Paman jahat sekali. Kenapa paman justru memukul tiruanku? Padahal aku ingin membantunya dan paman Ganawirya.”Lingga kembali terpejam, mengamati kawasan air terjun dari penglihatan salah satu tiruannya yang tersisa. Pemuda itu melihat asap mengepul dari jarak cukup jauh, disusul bayangan hitam di belakang kepulan asap tersebut. Tak lama setelahnya, ia mendapati siluman hitam legam tengah berjalan menuju air terjun dengan seseorang yang tengah berdiri di bahunya. Puluhan pasukan pnedekar saling melompati dahan pohon di belakang siluman raksasa itu.Lingga terhenyak ketika melihat siapa sosok yang sedang berdiri di bahu siluman yang mirip dengan siluman yang dirinya hadapi lima tahun yang lalu. Sekujur tubuhnya mendadak bergetar bersamaan dengan darah berdesir kuat. Rahangnya mengetat seiring dengan urat-ur