Meswara dan Jaka melayangkan tendangan kuat ke arah musuh. Wira yang belum sepenuhnya siap tak bisa menahan serangan dengan baik hingga menyebabkan tubuhnya terpelanting ke belakang dan menabrak dahan pohon.
Meswara dan Jaka kemudian mengambil tombak yang menancap di pohon, kemudian melemparkannya pada musuh. Wira berhasil menendang kedua tombak itu, memilih mundur, lalu turun dan bersembunyi di pekatnya pohon. Ia menghilangkan hawa keberadaan, mengawasi gerak-gerik dua teman lamanya melalui penglihatan kelelawar yang sudah dirinya sebar.
“Kami tahu kau masih berada tak jauh dari tempat ini,” ujar Meswara dengan pandangan mengitari sekeliling, “keluarlah dan katakan apa tujuanmu. Jika kau tidak keluar dan memilih melawan, kami akan menganggapmu sebagai musuh dan bertindak tegas padamu!”
Jaka mengamati beberapa kelelawar yang seolah terbang ke suatu arah. Ia kembali mengambil tombak yang berada tak jauh darinya, kemudian melemparkannya ke
Wira berubah wujud menjadi manusia ketika tiba di sebuah tebing yang cukup jauh dari hutan Lebak Angin. Ia dengan cepat duduk bersila untuk memulihkan kekuatan. Meski marah karena berhasil dipecundangi lawan, tetapi hal itu sepadan karena dirinya berhasil mendapat sebuah kabar.Sekumpulan kelelawar tiba-tiba bermunculan dari tubuh Wira, lalu pergi ke arah Kartasura berada. Selama beberapa waktu, pemuda itu tetap berada di pinggiran tebing dengan posisi yang sama. Angin sesekali hadir, menggoyangkan pepohonan ke kiri dan kanan. Malam terus merangkak cepat. Keheningan meruang selama Wira memulihkan diri. pemuda itu perlahan membuka mata, berdiri dari duduknya, menatap hamparan hutan luas di depannya.“Aku tidak menyangka jika Indra dan Jaka juga masih hidup setelah kejadian lima tahun lalu. Harusnya aku membunuh mereka berempat saat itu,” ujar Wira.Wira mendongak ke langit ketika melihat sekumpulan kelelawar berukuran kecil dan satu kele
Malam kian mendekap Lebak Angin. Padepokan Merak Putih menjadi sepi setelah para murid kembali ke ruangan untuk beristirahat. Untuk sesaat hanya terdengar suara serangga malam dan embusan angin yang menggerakkan ranting ke jendela ruangan. Api obor tampak menari ke kiri dan kanan.Lingga baru saja berbaring di ranjang ketika pintu ruangannya diketuk dari luar. Ia mendapati Indra sudah berada di depan pintu.“Ikutlah denganku ke tempat guru Ganawirya sekarang.” Tanpa menunggu jawaban Lingga, Indra segera berlari menuju ruangan Ganawirya.Lingga menggaruk rambut sesaat, teringat kembali aksi Indra yang tampak terburu-buru beberapa waktu lalu. Seketika saja pembicaraannya dengan Geni, Jaya dan Barma kembali memenuhi isi kepala. “Apa mungkin sudah terjadi sesuatu yang gawat?”Lingga tiba di tempat Ganawirya tak lama setelahnya. Ia mendapati Limbur Kancana, Ganawirya, Indra, Meswara, Jaka dan Arya sudah berada di dalam ruangan. Wajah me
Lingga tengah berlatih di sebuah batu di dekat air terjun. Keputusan Limbur Kancana yang memintanya untuk segera pergi dari padepokan membuatnya tidak nyaman. Beberapa kali ia salah melakukan gerakan dan terpaksa harus mengulang dari awal.Lingga dipenuhi amarah, kekesalan dan kekecewaan. Ia marah pada Wira yang sudah berkhianat, ia kesal karena harus meninggalkan padepokan ini dan ia kecewa sebab latihannya belum membuahkan hasil. Hingga saat ini, dirinya belum bisa membangkitkan kujang emas.Lingga mengembus napas panjang, menatap sekelilingnya yang tampak sepi. Setelah percakapan tadi selesai, ia bergegas menuju tempat ini untuk berlatih. Akan tetapi, ia sama sekali tidak bisa berlatih dengan baik.Lingga memutuskan untuk duduk bersila, bersemedi dengan kepalan tangan kiri dan kanan yang menyatu di depan dada. Ia tiba-tiba mengingat ucapan Ki Petot di saat dirinya mengintip di balik pepohonan lima tahun yang lalu. “Ketenangan adalah salah
Tendangan Lingga dan Limbur Kancana menumbuk di titik yang sama, menghasilkan gelombang angin kencang yang langsung menyebar ke sekeliling. Pepohonan tampak berguncang ke kiri dan kanan.Lingga mundur sejauh dua tombak, mendarat di sebuah batu dengan sempurna. Ia kembali ke posisi siaga, sedang di sisi lain Limbur Kancana mendarat di batu tempatnya tadi berdiri. “Paman memang hebat.”“Kau sedang tidak melawan tiruanku, Lingga,” ujar Limbur Kancana, “aku harap kau memberikan perlawanan yang tidak main-main.”Lingga menghimpun kekuatan di kedua tangan. Tak lama setelahnya, cahaya putih keperakan menyelimuti kedua tangannya. Ia seketika menerjang maju, melayangkan cakaran kuat pada Limbur Kancana. Akan tetapi, serangannya dapat dengan mudah terbaca.Lingga lebih banyak menyerang, sedang Limbur Kancana hanya menghindar sembari sesekali menepis serangan. Lingga mengerahkan semua kemampuan yang dimiliki, sedang Limbur Kancana
Matahari perlahan bangkit dari ufuk timur. Kawanan burung tampak berkurumun di dahan pohon, saling bercengkerama dan berbalas nyanyian. Embun bening terperangkap di dedaunan, menuruni satu per satu daun hingga akhirnya jatuh membasahi bumi.Sinar mentari menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, mencumbu kesadaran Lingga sedikit demi sedikit. Pemuda itu perlahan membuka mata, merenggangkan tubuh. Badannya terasa sangat pegal karena pertarungan semalam. Ia menggunakan jurus merak menaklukkan bumi yang belum sepenuhnya dikuasai. Akan tetapi, ia bersyukur karena bisa memenang pertarungan. Lingga kian percaya jika selama tidak menyerah dan berputus asa, maka jalan akan selalu terbuka.Lingga meneguk minuman hingga habis, mengucek mata perlahan. Ketika menoleh ke ranjang samping, ia sama sekali tidak menemukan keberadaan Limbur Kancana. Ia bergerak ke arah pintu saat suara ketukan terdengar. Ia mendapati Geni, Jaya, Barma dan teman-temannya yang lain suda
Sekar Sari tengah duduk di dahan pohon yang letaknya berada di pinggiran hutan, jauh dari padepokan. Gadis itu bolos berlatih dan lebih memilih menghabiskan waktu berada di tempat ini sejak pagi. Ia sengaja mencabuti daun-daun sembari menggoyang-goyangkan kaki, menikmati angin sepoi-sepoi.“Kenapa ingatanku tentang Lingga harus ikut dihapus segala? Padahal aku bukan orang yang suka berbicara macam-macam,” rutuk Sekar Sari, “kakang guru terlalu berlebihan.”Sekar Sari berdecak, merasa bosan dengan kegiatannya yang hanya duduk sembari merenung. Tak banyak hal yang dirinya lakukan sejak tadi. Kepergian Lingga yang tiba-tiba membuatnya tak nyaman.Sekar Sari melompat ke puncak pohon, menatap hamparan hutan di depannya dengan wajah tertekuk sebal. Sejauh mata memandang, hanya ada hijaunya pepohonan. “Aku pasti akan mendapat hukuman dari guru karena bolos berlatih.”Sekar Sari melompati satu per satu puncak pohon, mendekat ke
Sekar Sari dan Wira masih saling kejar-mengejar di belantara hutan. Dari kejauhan, keduanya seperti dua bayangan yang berkelebat di rindangnya pepohonan. Kawanan burung tampak menjauh ketika kedua pendekar itu melintasi dahan pohon tempat mereka bertengger.“Kau tidak bisa lari dariku, Nyai,” ucap Wira sembari mempercepat langkah kaki. Situasinya tidak terlalu menguntungkan untuknya saat ini. Jika malam sudah tiba, ia bisa mengeluarkan kekuatannya dengan sempurna.Sekar Sari berusaha tenang, melayangkan selandang ke dahan pohon lebih cepat. Ia menjatuhkan bibit tanaman yang sudah dirinya berikan tenaga dalam. Bibit-bibit itu akan langsung tumbuh menjadi tumbuhan merambat yang akan langsung menghalangi jalan Wira.“Gadis itu sangat cepat dan lincah. Dia pasti salah satu murid berbakat dari padepokan ini.” Wira tertawa, semakin tertarik dengan Sekar Sari. Ketika akan melompati dahan pohon, tiba-tiba saja kakinya dihadang oleh sulur tanaman
Kartasura yang akan mengejar Sekar Sari tiba-tiba dikerumuni sulur tanaman. Pria itu memotong tumbuhan itu dengan kuku panjangnya, tetapi sulur baru terus tumbuh dan kian menjeratnya lebih erat.Kartasura berdecak, menggeram penuh amarah. “Terkutuk! Gadis itu nyatanya sempat mempersiapkan serangan balasan saat nyawanya terancam. Tapi dia mendapat serangan telak dariku. Kecil kemungkinan dia berhasil selamat. Kalaupun selamat, gadis itu pasti tidak akan bisa bergerak dalam waktu lama.”Kartasura mengumpulkan kekuatan di kedua tangannya, kembali mencabik-cabik sulur tanaman. Ketika tubuhnya terbebas, tanaman itu kembali menjeratnya. Pria itu membuka tutup kendi, membiarkan asap racun kalong setan mengitarinya. Lambat laun tumbuhan itu layu sampai akhirnya mengering. “Tumbuhan itu membuatku membuang racun kalong setan yang berharga.” Kartasura menoleh ke arah Sekar Sari terlempar. Saat akan mengejarnya, ia tiba-tiba