Seminggu berlalu begitu cepat. Lingga masih disibukkan dengan latihannya di padepokan saat pagi dan latihan di air terjun ketika malam di bawah pengawasan Limbur Kancana. Di sisi lain, kebersamaannya dengan teman-temannya di padepokan kian bertambah dekat. Lingga benar-benar menikmati hidupnya yang damai dan menyenangkan. Namun, seperti kata pepatah, hidup tidak akan selamanya berjalan mudah. Kedamaian dan kekacauan akan saling berganti peran.
Pagi buta, Lingga sudah bersiap membersihkan diri di sungai. Namun, ia kebingungan sebab Limbur Kancana tak ada di ranjang samping. Biasanya pria itu masih terlelap dan mengorok cukup kencang.
“Ke mana Paman?” tanya Lingga seraya bergerak ke luar gubuk. Padepokan masih tampak sepi pagi ini. Udara dingin sesekali mencubit kulit. “Hampir beberapa hari ini aku juga jarang melihat paman Ganawirya melatih para murid.”
Lingga melompat ke atap bangunan. Tanpa diduga, ia melihat Limbur Kancana dan Ganawirya berada di sebuah pun
Limbur Kancana tiba-tiba saja menjewer telinga Lingga, melompat ke arah tanah lapang kembali. “Kau terlalu banyak mengkhayal, Lingga. Ini karena kau terus mengintip para gadis saat mereka mandi sampai matamu menjadi kotor.”“Lepaskan, Paman.” Lingga berjinjit sembari meringis. “Aku tidak pernah lagi mengintip para gadis mandi. Lagi pula kenapa Paman justru terlihat kesal hanya karena aku bertanya?”Limbur Kancana melepas jeweran. “Karena kau mengikuti aku dan Ganawirya tanpa izin. Apa kau tidak tahu kalau kami berdua sedang mengerjakan sesuatu yang sangat penting?”“Bagaimana aku bisa tahu kalau Paman saja tidak pernah memberi tahuku.” Lingga cemberut, mengelus-elus telingannya yang terasa panas.Ganawirya ikut melompat turun. “Raka, aku akan memulainya.”Limbur Kancana mengangguk. “Mundurlah, Lingga.”Lingga menurut meski masih dengan wajah jengkel. Pemuda i
Limbur Kancana mengayunkan kedua tangan ke depan sekali, dan dalam waktu singkat asap tebal mendadak menghilang. Ia melompat ke dekat dinding dan menemukan sebuah batu kecil di antara potongan lukisan yang sudah hancur. “Sesuai dugaanku, aku hanya bisa mencium bau busuk ketika Lingga mengirimkan tenaga dalamnya saja.”Limbur Kancana berjongkok, bermaksud mengambil batu tersebut. Namun, tangannya mendadak terasa terbakar sesaat sebelum menyentuhnya.“Ada apa, Raka?” Ganawirya mendekat, mengamati batu bulat dengan mata menyipit. Ia menyelimuti benda itu dengan cahaya putih dari tangannya, lalu melompat kembali ke arah Lingga bersama Limbur Kancana.“Bau sekalim, bahkan lebih bau dari kentut aki.” Lingga meloncat mundur dengan kedua tangan menutup mulut.Limbur Kancana memberi anggukan kecil pada Ganawirya.Ganawirya mulai terpejam bersamaan dengan kedua tangannya yang mengelurkan sinar putih untuk menyelimuti
Limbur Kancana segera berbalik, memandang pria bersisik ular itu dengan tatapan dingin dari atas hingga bawah. Ia sama sekali tidak menduga akan bertemu dengan salah satu anggota Cakar Setan di sini. Kemungkin besar Bangasera menyelidikinya dari pertarungan di tengah hutan waktu itu. Namun, ini kesempatan bagus baginya untuk mengetahui penawar racun kalong setan dari anggota Cakar Setan secara langsung.“Ini benar sesuatu yang sangat menggembirakan bagiku,” ujar Bangasera sembari tertawa keras. “Aku sudah bertanya-tanya sejak pertarungan kita di tengah hutan tempo hari. Aku tahu kalau itu hanya tiruanmu saja. Setelah menyelidiki cukup lama, akhirnya aku bisa mengetahui siapa penguntit yang menguping pembicaraan aku dan anggota Cakar Setan.”Limbur Kancana hanya diam dengan posisi kedua tangan di belakang punggung.“Terakhir kuingat kita pernah bertemu dan bertarung sekitar puluhan tahun lalu. Hanya saja sepertinya kau sama sekali ti
“Kau memang tidak akan langsung mati dengan racun ini, tapi kupastikan kau tidak mungkin bisa lolos dari racun ini. Kau harus tahu jika racun ini berkali-kali lebih kuat dibanding racun yang digunakan Kartasura untuk membunuh sahabatmu, Aji Panday, lima tahun lalu.”Bangasera tertawa dan tak lama setelahnya mendorong batu bulat tersebut ke arah hidung tiruan Limbur Kancana. Asap hitam samar-samar muncul, kemudian mengelilingi tubuh Limbur Kancana hingga akhirnya lenyap.“Jika kau berubah pikiran dan mau bekerja sama denganku, aku akan memberikanmu penawar racun kalong setan,” ujar Bangasera dengan senyum penuh kemenangan.Akan tetapi, senyum Bangasera nyatanya tak bertahan lama. Ia dibuat terkejut ketika tiba-tiba Limbur Kancana menghilang. “Sial!”Bangasera dengan cepat mengedarkan pandangan ke sekeliling bersamaan dengan tubuhnya yang memutar. Ketika menoleh ke bawah, secara tiba-tiba ia dikejutkan dengan serangan dar
Limbur Kancana seketika menggetok kepala Lingga. “Apa menurutmu keadaanku sedang baik-baik saja, Lingga?”“Aku hanya bertanya, Paman.” Lingga mendadak cemberut, dengan sengaja melepas pegangan pada Limbur Kancana. Akan tetapi, saat melihat pendekar berambut panjang itu akan jatuh ke samping, ia dengan cepat menahannya kembali.“Antarkan aku ke tempat Ganawirya sekarang juga,” perintah Limbur Kancana.“Tapi aku akan pergi berlatih, Paman.”Limbur Kancana tiba-tiba menendang bokong Lingga. “Jangan membantah!”“Paman jahat sekali! Harusnya jika meminta tolong, Paman harus berbuat baik padaku.” Meski mengomel, Lingga pada akhirnya memapah Limbur Kancana, melompati satu per satu puncak pohon menuju ruangan Ganawirya yang ada di sudut padepokan.Sesampainya di sana, Lingga segera mengetuk pintu. Ia melihat wajah penat Limbur Kancana. Tak biasanya pamannya itu dalam kondisi san
Saat ini Wira tengah berada di dahan pohon, mengamati keramaian pasar di sebuah perkampungan. Sesuai dengan perkataan tiga pendekar yang ia kalahkan tempo hari, ia berhasil tiba di kawasan Lebak Angin lebih cepat dibanding jalur yang biasa orang lewati. Di tengah perjalanan melewati hutan, Wira sempat bertarung dengan beberapa siluman dan perampok. Meski tidak terlalu kuat, kehadiran mereka membuat langkahnya terhambat. Alhasil, ia baru bisa tiba di perkampungan ini setelah seminggu melewati perjalanan. Wira menungggu di tempat yang sama hingga matahari berada di puncak langit. Akan tetapi, tak ada keanehan yang ia lihat dari warga perkampungan atau tanda-tanda jika Lingga di tempat ini. Wira memutuskan memasuki perkampungan untuk mencari kabar mengenai Padepokan Merak Putih. Langit sudah menguning ketika Wira meninggalkan perkampungan. Ia mengirim beberapa kelelawar di sekitar pemukiman. Berdasarkan keterangan dari beberapa warga yang dirinya temui, Padepoka
Meswara dan Jaka melayangkan tendangan kuat ke arah musuh. Wira yang belum sepenuhnya siap tak bisa menahan serangan dengan baik hingga menyebabkan tubuhnya terpelanting ke belakang dan menabrak dahan pohon.Meswara dan Jaka kemudian mengambil tombak yang menancap di pohon, kemudian melemparkannya pada musuh. Wira berhasil menendang kedua tombak itu, memilih mundur, lalu turun dan bersembunyi di pekatnya pohon. Ia menghilangkan hawa keberadaan, mengawasi gerak-gerik dua teman lamanya melalui penglihatan kelelawar yang sudah dirinya sebar.“Kami tahu kau masih berada tak jauh dari tempat ini,” ujar Meswara dengan pandangan mengitari sekeliling, “keluarlah dan katakan apa tujuanmu. Jika kau tidak keluar dan memilih melawan, kami akan menganggapmu sebagai musuh dan bertindak tegas padamu!”Jaka mengamati beberapa kelelawar yang seolah terbang ke suatu arah. Ia kembali mengambil tombak yang berada tak jauh darinya, kemudian melemparkannya ke
Wira berubah wujud menjadi manusia ketika tiba di sebuah tebing yang cukup jauh dari hutan Lebak Angin. Ia dengan cepat duduk bersila untuk memulihkan kekuatan. Meski marah karena berhasil dipecundangi lawan, tetapi hal itu sepadan karena dirinya berhasil mendapat sebuah kabar.Sekumpulan kelelawar tiba-tiba bermunculan dari tubuh Wira, lalu pergi ke arah Kartasura berada. Selama beberapa waktu, pemuda itu tetap berada di pinggiran tebing dengan posisi yang sama. Angin sesekali hadir, menggoyangkan pepohonan ke kiri dan kanan. Malam terus merangkak cepat. Keheningan meruang selama Wira memulihkan diri. pemuda itu perlahan membuka mata, berdiri dari duduknya, menatap hamparan hutan luas di depannya.“Aku tidak menyangka jika Indra dan Jaka juga masih hidup setelah kejadian lima tahun lalu. Harusnya aku membunuh mereka berempat saat itu,” ujar Wira.Wira mendongak ke langit ketika melihat sekumpulan kelelawar berukuran kecil dan satu kele