“Ada apa, Paman?” tanya Lingga sembari mendekat setelah mengalahkan tiruan Limbur Kancana.
Limbur Kancana turun dari dahan pohon, memunggungi Lingga. “Tidak ada apa-apa.”
“Aku sempat melihat Paman menghilang tadi.” Lingga kembali mendekat dan berhenti ketika mendapat pukulan di kepala.
“Kau teruskan saja latihanmu, Lingga.” Limbur Kancana menatap Lingga. “Aku harus menemui Ganawirya sekarang.”
“Paman,” panggil Lingga, “sesaat setelah aku pergi dari tebing, aku merasakan kekuatan yang sangat besar tapi menghangatkan dari arah sama. Apa yang terjadi setelah kepergianku?”
Limbur Kancana seketika menegakkan punggung, berjalan menjauh dari Lingga. Ia tidak menduga jika pemuda itu bisa menyadari kehadiran sosok itu. “Kekuatana yang kau maksud berasal dari gabungan kekuatanku dan Ganawirya. Kami berdua membentangi padepokan dan area hutan dengan kekuatan kami berdua.
Wira tiba di markas ketika matahari belum sepenuhnya muncul di ufuk timur. Pemuda itu kembali ke wujud manusia, lalu mengerang kesakitan seraya memegang dada. Ia dengan susah payah berdiri, memasuki markas dengan cara berpegangan pada dinding.“Sepertinya raka belum kembali,” ujar Wira ketika melihat kursi singgasana masih kosong. Ia hanya melihat beberapa prajurit yang berjaga di depan gerbang. “Aku ... harus memberi tahu raka soal pendekar berbaju putih itu.”Wira memasuki sebuah ruangan, duduk bersila di atas dipan panjang, kemudian berusaha memulihkan diri. Sinar matahari lambat laun mulai menerobos celah kamar, mengubah langit gelap menjadi terang. Cicit burung terdengar bersahutan di luar. Api obor di halaman mendadak mati dalam waktu bersamaan.Kartasura tiba saat matahari sudah berada di pertengahan langit. Wajahnya tampak diselimuti amarah ketika mengingat pasukan pendekar golongan hitam yang merupakan bawahan dari empat anggota
Malam kembali menggurita. Bulan tampak menggantung gagah, memancarkan cahaya putih keperakan. Di tengah udara dingin dan angin yang sesekali mengembus kencang, sebuah cahaya kemerahan melintasi perkampungan warga, melewati pekatnya hutan Ledok Beurit dengan cepat, lalu berhenti tepat di sebuah bangunan yang setengahnya sudah roboh.Cahaya kemerahan tersebut mendarat di tanah, lalu berubah menjadi tiruan Limbur Kancana. Tak lama setelahnya, Limbur Kancana yang tengah mengawasi Lingga latihan di air terjun dengan cepat bertukar tempat.Limbur Kancana mengamati keadaan sekeliling padepokan yang penuh sampah daun dan pohon tumbang. Pria itu menoleh ke arah hutan selama beberapa waktu. Ia melihat beberapa pendekar golongan hitam tersebar di beberapa titik di sekitar hutan.“Ini cukup aneh,” ujar Limbur Kancana ketika menoleh pada bangunan padepokan yang sudah ditumbuhi tanaman liar.Limbur Kancana terpejam, menempatkan kedua tangan di depan dada. K
Wira baru saja bangkit setelah seharian ini memulihkan diri. Meski begitu, ia masih merasakan perih di dadanya. Luka yang diberikan musuh yang dilawannya kemarin malam nyatanya tidak main-main. Akan tetapi, dibanding hal itu, hatinya jauh terasa lebih sakit ketika diremehkan oleh kakak sendiri.Wira berdecak, beranjak menuju jendela yang langsung menghadap halaman markas. Ketenangan ini benar-benar membuatnya kesal. Bayangan pertarungan dengan pendekar berambut panjang itu kembali melintas di kepala. Kepalan tangannya menguat hingga dinding kayu retak dan berlubang.“Harusnya aku menggunakan racun kalong setan untuk melumpuhkannya,” ujar Wira, “aku sepertinya terlalu meremehkan pendekar itu. Jika aku bertemu lagi dengannya, aku akan langsung menghabisinya tampa ampun.”Sebuah kendi berwarna merah tiba-tiba saja muncul di tangan kanan Wira. Limbur Kancana seketika memelotot ketika melihatnya.“Jika dulu aku bisa melemahkan kek
Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri di ufuk timur, tetapi Limbur Kancana dan Ganawirya sudah berdiri di puncak pohon, mengamati hamparan hutan luas di sekelilingnya. Cahaya sang surya perlahan mengusir langit gelap, mengundang kehangatan dan cicit burung. “Tiruanku bertarung dengan Kartasura semalam. Dia sudah bertambah kuat,” ujar Limbur Kancana, “tapi sepertinya dia masih belum menyadari siapa aku sebenarnya.” Limbur Kancana melanjutkan, “Aku sama sekali tidak melihat pasukannya di sekeliling hutan. Kemungkinan besar Kartasura sudah mengirim pasukannya menuju wilayah selatan. Cepat atau lambat, mereka akan tiba di tempat ini. Selama waktu tersebut, penawar racun kalong setan harus segera kita dapatkan. Sejujurnya, aku memiliki firasat buruk.” “Aku mengerti, Raka. Aku akan mengirim beberapa utusanku untuk berjaga-jaga di jalur menuju tempat ini,” ujar Ganawirya. “Sekarang saatnya, Ganawirya.” Limbur Kancana mendongak sesaat, menikmati sapuan a
“Apa yang kau lakukan, Wulung?” tanya Argaseni tanpa mengendurkan kuda-kuda dan penjagaan, “cepatlah menyingkir. Aku harus memberi pria kerbau itu pelajaran.” “Akulah yang akan memberimu pelajaran, Argaseni,” sahut Brajawesi. Argaseni dan Brajawesi sama-sama mengentak tubuh sekali, melompat tinggi di atas Wulung. Keduanya saling jual beli serangan dengan pukulan dan tendangan. Beragam jurus dan ajian dikerahkan hingga keduanya kembali mendarat di tanah dengan tatapan tak lepas dari lawan masing-masing. “Biarkan saja mereka, Wulung.” Bangasera melompat turun, mendekat ke arah Wulung. “Kedua orang itu memang sama-sama bodoh dan tidak ingin kalah.” Argaseni dan Brajawesi kembali saling menyerang di udara. Keduanya sama-sama tidak sedikit pun mengendurkan kekuatan. Dua anggota Cakar Setan itu berubah menjadi dua bayangan hitam yang saling beradu, menjauh sesaat, kemudian kembali saling menghantam di langit. “Sepertinya Kartasura dan Wira sudah per
Matahari tengah berada di puncak langit saat ini. Debu tanah tampak berterbangan tersapu angin. Dari kejauhan, seorang pria bercaping putih tengah berjalan melewati hutan seorang diri, menaiki sebuah bukit, kemudian turun melalui undakan tangga batu yang tersusun secara alami. Tujuannya saat ini adalah perkampungan yang berada di pinggiran sungai.Pria berbaju hitam yang tak lain adalah Wira melompati beberapa batu untuk sampai ke seberang sungai. Ia disambut dengan beberapa warga yang tengah memancing ikan. Berjalan lebih dalam, pemuda itu mendapati sebuah pasar yang masih disesaki orang-orang.Wira memasuki sebuah warung makan, duduk di sudut ruangan sembari memakan sajian. Ia mencuri dengar pembicaraan beberapa pengunjung yang tengah membicarakan pergerakan pasukan pendekar golong hitam yang sudah memasuki wilayah selatan.“Sepertinya kita harus segera mengungsi ke tempat yang aman dengan cepat,” ujar seorang pria yang duduk di depan Wira.
Seminggu berlalu begitu cepat. Lingga masih disibukkan dengan latihannya di padepokan saat pagi dan latihan di air terjun ketika malam di bawah pengawasan Limbur Kancana. Di sisi lain, kebersamaannya dengan teman-temannya di padepokan kian bertambah dekat. Lingga benar-benar menikmati hidupnya yang damai dan menyenangkan. Namun, seperti kata pepatah, hidup tidak akan selamanya berjalan mudah. Kedamaian dan kekacauan akan saling berganti peran. Pagi buta, Lingga sudah bersiap membersihkan diri di sungai. Namun, ia kebingungan sebab Limbur Kancana tak ada di ranjang samping. Biasanya pria itu masih terlelap dan mengorok cukup kencang. “Ke mana Paman?” tanya Lingga seraya bergerak ke luar gubuk. Padepokan masih tampak sepi pagi ini. Udara dingin sesekali mencubit kulit. “Hampir beberapa hari ini aku juga jarang melihat paman Ganawirya melatih para murid.” Lingga melompat ke atap bangunan. Tanpa diduga, ia melihat Limbur Kancana dan Ganawirya berada di sebuah pun
Limbur Kancana tiba-tiba saja menjewer telinga Lingga, melompat ke arah tanah lapang kembali. “Kau terlalu banyak mengkhayal, Lingga. Ini karena kau terus mengintip para gadis saat mereka mandi sampai matamu menjadi kotor.”“Lepaskan, Paman.” Lingga berjinjit sembari meringis. “Aku tidak pernah lagi mengintip para gadis mandi. Lagi pula kenapa Paman justru terlihat kesal hanya karena aku bertanya?”Limbur Kancana melepas jeweran. “Karena kau mengikuti aku dan Ganawirya tanpa izin. Apa kau tidak tahu kalau kami berdua sedang mengerjakan sesuatu yang sangat penting?”“Bagaimana aku bisa tahu kalau Paman saja tidak pernah memberi tahuku.” Lingga cemberut, mengelus-elus telingannya yang terasa panas.Ganawirya ikut melompat turun. “Raka, aku akan memulainya.”Limbur Kancana mengangguk. “Mundurlah, Lingga.”Lingga menurut meski masih dengan wajah jengkel. Pemuda i