Sekar Sari dan para gadis langsung bergegas menuju padepokan. Ketika tiba di sana, mereka melihat jika para murid laki-laki sudah berbaris di halaman.
Sekar Sari terkejut ketika melihat Lingga berada di antara para murid laki-laki yang akan dihukum. “Apa yang sebenarnya Lingga lakukan? Apa mungkin dia ikut mengintip bersama para murid mata keranjang itu? Ternyata dia sama saja dengan laki-laki lain.”
“Kalian segeralah membersihkan diri,” perintah Ganawirya tanpa menoleh sedikit pun pada para gadis.
“Baik, Guru,” jawab para gadis serentak.
Para gadis dengan cepat kembali ke sungai, sedang Sekar Sari masih berada di sisi halaman dengan wajah cemberut ketika melihat Lingga.
“Sekar Sari, apa yang masih kau lakukan di sini?” tanya Ganawirya sembari berbalik.
“Ma-maafkan aku, Guru.” Sekar Sari membungkuk sesaat, kemudian segera menyusul teman-temannya yang lain.
Sekembalinya para g
Para murid perempuan tampak lahap menikmati hidangan di ruang makan. Mereka dengan sengaja memamerkan makanan pada para murid laki-laki yang tengah mengintip di luar ruangan.Dibanding ikut mengintip, Lingga lebih memilih berada di dahan pohon, memegang perutnya yang keroncongan. Setelah pulang dari hutan, Ganawirya mengambil semua makanan yang dibawa, kemudian menyerahkan pada para pelayan untuk segera dimasak.Lingga mengernyit ketika perih di bokongnya kembali terasa. Pukulan Ganawirya tidak main-main. Sampai sekarang, ia masih kesulitan jika ingin duduk atau berjongkok.Lingga menoleh pada teman-temannya yang masih mengerumuni ruang makan. Ia berdiri ketika Ganawirya mendadak muncul dan langsung meminta para murid laki-laki menjauh. Lingga mendengar suara tawa membahana dari dalam ruang makan bersamaan dengan teman-temannya yang lari terbirit-birit ketika Ganawirya mengacungkan tongkat kayu.Lingga kemudian turun dari dahan pohon, mengedarkan pandanga
Limbur Kancana tengah berada di puncak pohon dengan kedua tangan berada di belakang punggung. Tatapannya tertuju pada bulan purnama yang memancarkan cahaya keemasan. Ia menoleh sesaat ketika mendapati Ganawirya muncul di puncak pohon di belakangnya.“Apa ini sudah waktunya, Raka?” tanya Ganawirya.Limbur Kancana berbalik. “Aku sudah mengetahui bagaimana si pengkhianat Wira itu meracuni Aji Panday. Dia ternyata menggunakan sebuah lukisan yang sudah dialiri racun Kalong Setan. Lukisan itu diberikan Wira sebagai hadiah ketika dirinya tiba di Padepokan Maung Bodas.”“Ampun, Raka.” Ganawirya membungkuk. “Dari mana Raka mengetahui hal tersebut?”“Aku mengetahuinya dari Lingga. Lingga mengatakan jika lukisan itu memiliki bau seperti bangkai yang dibakar. Sepertinya di antara kita hanya Lingga yang bisa mencium bau racun tersebut,” ungkap Limbur Kancana, “aku cukup yakin jika lukisan itu masih terg
Lingga menggunakan jurus merak menukik bumi untuk mengalahkan tiruan Limbur Kancana. Hantaman dua serangan dalam waktu bersamaan itu seketika menimbulkan gelombang kejut yang cukup kuat ke sekeliling.Lingga melompat mundur sejauh dua tombak, lalu melemparkan kujang ke arah tiruan Limbur Kancana dan berhasil mengenai jantungnya. Sosok tiruan itu tiba-tiba menghilang dan meninggalkan seruling di atas sebuah batu.Lingga mendekat, mengambil seruling itu. Tatapannya tertuju pada dahan pohon yang biasa digunakan Limbur Kancana untuk berbaring. Hingga saat ini, ia sama sekali tidak mengetahui keberadaan pria itu di mana pun.“Ke mana sebenarnya paman pergi?” ujar Lingga sembari melompat ke arah pinggiran sungai. “Aku sempat merasakan hawa keberadaannya sesaat tadi, tetapi setelahnya kembali menghilang. Paman hanya mengirimkan tiruannya saja untuk membantuku berlatih.”Lingga kembali berlatih di air terjun. Pemuda itu menghabiskan waktu
Saat senja sudah tumpah di langit sore, nyatanya Lingga masih berlatih di halaman padepokan seorang diri. Aksinya menjadi tontonan para gadis yang bersembunyi di semak-semak dan dahan pohon.Sekar Sari adalah salah satu dari mereka. Gadis itu berada di dahan pohon dengan tatapan yang tak beralih dari Lingga sejak tadi. Ia tiba-tiba saja teringat dengan kejadian di air terjun di mana dirinya dibopong oleh pemuda itu. Wajahnya kontan memerah.“Ah, tidak!” Sekar Sari tiba-tiba saja menjerit. Aksinya langsung menjadi pusat perhatian teman-temannya yang lain. Pegangannya pada dahan pohon menjadi tak seimbang hingga dirinya mendadak jatuh memimpa beberapa gadis di bawahnya.Lingga yang mendengar suara keributan tiba-tiba saja menoleh. Ia menyeka keringat, kemudian mendekat ke sumber suara. Lingga tiba-tiba berhenti ketika para gadis di depannya langsung menjadikannya pusat perhatian.“Kakang Lingga,” ucap para gadis kompak.Lingga
Lingga menunduk dengan tangan terkepal. Bayangan kebersamaannya dengan teman-temannya silih berganti memenuhi isi kepala. Pemuda itu sangat senang berada di tempat ini, tetapi di sisi lain ia juga memahami maksud Limbur Kancana dan Ganawirya.“Dibanding bersedih, kau lebih baik menikmati hari-harimu selama berada di tempat ini, Lingga. Dengan begitu, kau tidak akan menyesali apa pun. Perkara ingatan teman-temanmu yang menghilang, itu adalah cara terbaik untuk melindungi mereka. Jika mereka lupa padamu, kau hanya perlu kembali membuat kenangan bersama mereka,” ujar Limbur Kancana.Lingga mendongak, mengangguk kecil. “Aku mengerti, Paman.”“Sebaiknya mulai dari sekarang kau berlatih untuk membangkitkan kujang emas secara sadar,” ucap Limbur Kancana, “dengan pusaka itu banyak hal yang bisa kau bisa lakukan. Salah satunya adalah menghilangkan racun Kalong Setan.”“Racun Kalong Setan?” Lingga memastik
Wira tengah berdiri di sebuah dahan pohon, menatap perkampungan yang sudah sepi dari kegiatan penduduk. Dari telapak tangan kirinya tiba-tiba bermunculan kelelawar berukuran kecil yang langsung terbang menyebar ke rumah-rumah penduduk.Pasukan pendekar golongan hitam di bawah komandonya sudah bergerak ke Padepokan Merak Putih sesuai dengan arahan Kartasura sejak pagi. Mereka mengambil jalan memutar yang cukup jauh untuk menghindari serangan dari pendekar golongan putih. Kartasura sendiri sedang mengawasi pergerakan pasukan empat anggota Cakar Setan yang tengah menuju wilayah selatan tatar Pasundan.Kelelawar kecil yang dikirimkan Wira kembali ke telapak tangannya. Pemuda itu diam sesaat, kemudian melompat turun. “Sepertinya penduduk di perkampungan ini sama sekali tidak mengetahui keberadaan Lingga.”Wira berdecak, melompat ke sebuah puncak pohon, lalu duduk bersila. Pemuda itu terpejam untuk menajamkan seluruh indranya. Selama beberapa menit lamanya
“Ada apa, Paman?” tanya Lingga sembari mendekat setelah mengalahkan tiruan Limbur Kancana.Limbur Kancana turun dari dahan pohon, memunggungi Lingga. “Tidak ada apa-apa.”“Aku sempat melihat Paman menghilang tadi.” Lingga kembali mendekat dan berhenti ketika mendapat pukulan di kepala.“Kau teruskan saja latihanmu, Lingga.” Limbur Kancana menatap Lingga. “Aku harus menemui Ganawirya sekarang.”“Paman,” panggil Lingga, “sesaat setelah aku pergi dari tebing, aku merasakan kekuatan yang sangat besar tapi menghangatkan dari arah sama. Apa yang terjadi setelah kepergianku?”Limbur Kancana seketika menegakkan punggung, berjalan menjauh dari Lingga. Ia tidak menduga jika pemuda itu bisa menyadari kehadiran sosok itu. “Kekuatana yang kau maksud berasal dari gabungan kekuatanku dan Ganawirya. Kami berdua membentangi padepokan dan area hutan dengan kekuatan kami berdua.
Wira tiba di markas ketika matahari belum sepenuhnya muncul di ufuk timur. Pemuda itu kembali ke wujud manusia, lalu mengerang kesakitan seraya memegang dada. Ia dengan susah payah berdiri, memasuki markas dengan cara berpegangan pada dinding.“Sepertinya raka belum kembali,” ujar Wira ketika melihat kursi singgasana masih kosong. Ia hanya melihat beberapa prajurit yang berjaga di depan gerbang. “Aku ... harus memberi tahu raka soal pendekar berbaju putih itu.”Wira memasuki sebuah ruangan, duduk bersila di atas dipan panjang, kemudian berusaha memulihkan diri. Sinar matahari lambat laun mulai menerobos celah kamar, mengubah langit gelap menjadi terang. Cicit burung terdengar bersahutan di luar. Api obor di halaman mendadak mati dalam waktu bersamaan.Kartasura tiba saat matahari sudah berada di pertengahan langit. Wajahnya tampak diselimuti amarah ketika mengingat pasukan pendekar golongan hitam yang merupakan bawahan dari empat anggota
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me