Lingga benar-benar kelelahan hingga tertidur pulas sepulang dari latihan. Dengkuran cukup keras terdengar memenuhi kamar. Di sisi lain, Limbur Kancana nyatanya pergi ke sebuah tempat tanpa sepengetahuan Lingga.Malam akhirnya terusir pagi. Kokok ayam terdengar besahutan. Embusan angin merangkak ke lubang jendela, menerbangkan api obor yang menyala di dinding kayu. Lingga menggeliat sesaat, menggaruk rambut, kemudian kembali tertidur. Tanpa diketahuinya, kamar sudah dipenuhi oleh murid laki-laki padepokan.“Lingga.” Geni menggoyang-goyangkan lengan Lingga.“Aku masih mengantuk, paman.” Lingga menepis tangan Geni, mengubah posisi tidur menjadi menyamping.“Lingga.” Jaya dan Barma menggoyang-goyangkan kaki Lingga.“Hentikan, paman.” Lingga menendang pelan tangan Jaya dan Barma. “Jangan mengangguku.”Geni, Jaya, Barma dan beberapa murid padepokan saling melempar tatapan, kemudian kembal
Sekar Sari dan para gadis langsung bergegas menuju padepokan. Ketika tiba di sana, mereka melihat jika para murid laki-laki sudah berbaris di halaman.Sekar Sari terkejut ketika melihat Lingga berada di antara para murid laki-laki yang akan dihukum. “Apa yang sebenarnya Lingga lakukan? Apa mungkin dia ikut mengintip bersama para murid mata keranjang itu? Ternyata dia sama saja dengan laki-laki lain.”“Kalian segeralah membersihkan diri,” perintah Ganawirya tanpa menoleh sedikit pun pada para gadis.“Baik, Guru,” jawab para gadis serentak.Para gadis dengan cepat kembali ke sungai, sedang Sekar Sari masih berada di sisi halaman dengan wajah cemberut ketika melihat Lingga.“Sekar Sari, apa yang masih kau lakukan di sini?” tanya Ganawirya sembari berbalik.“Ma-maafkan aku, Guru.” Sekar Sari membungkuk sesaat, kemudian segera menyusul teman-temannya yang lain.Sekembalinya para g
Para murid perempuan tampak lahap menikmati hidangan di ruang makan. Mereka dengan sengaja memamerkan makanan pada para murid laki-laki yang tengah mengintip di luar ruangan.Dibanding ikut mengintip, Lingga lebih memilih berada di dahan pohon, memegang perutnya yang keroncongan. Setelah pulang dari hutan, Ganawirya mengambil semua makanan yang dibawa, kemudian menyerahkan pada para pelayan untuk segera dimasak.Lingga mengernyit ketika perih di bokongnya kembali terasa. Pukulan Ganawirya tidak main-main. Sampai sekarang, ia masih kesulitan jika ingin duduk atau berjongkok.Lingga menoleh pada teman-temannya yang masih mengerumuni ruang makan. Ia berdiri ketika Ganawirya mendadak muncul dan langsung meminta para murid laki-laki menjauh. Lingga mendengar suara tawa membahana dari dalam ruang makan bersamaan dengan teman-temannya yang lari terbirit-birit ketika Ganawirya mengacungkan tongkat kayu.Lingga kemudian turun dari dahan pohon, mengedarkan pandanga
Limbur Kancana tengah berada di puncak pohon dengan kedua tangan berada di belakang punggung. Tatapannya tertuju pada bulan purnama yang memancarkan cahaya keemasan. Ia menoleh sesaat ketika mendapati Ganawirya muncul di puncak pohon di belakangnya.“Apa ini sudah waktunya, Raka?” tanya Ganawirya.Limbur Kancana berbalik. “Aku sudah mengetahui bagaimana si pengkhianat Wira itu meracuni Aji Panday. Dia ternyata menggunakan sebuah lukisan yang sudah dialiri racun Kalong Setan. Lukisan itu diberikan Wira sebagai hadiah ketika dirinya tiba di Padepokan Maung Bodas.”“Ampun, Raka.” Ganawirya membungkuk. “Dari mana Raka mengetahui hal tersebut?”“Aku mengetahuinya dari Lingga. Lingga mengatakan jika lukisan itu memiliki bau seperti bangkai yang dibakar. Sepertinya di antara kita hanya Lingga yang bisa mencium bau racun tersebut,” ungkap Limbur Kancana, “aku cukup yakin jika lukisan itu masih terg
Lingga menggunakan jurus merak menukik bumi untuk mengalahkan tiruan Limbur Kancana. Hantaman dua serangan dalam waktu bersamaan itu seketika menimbulkan gelombang kejut yang cukup kuat ke sekeliling.Lingga melompat mundur sejauh dua tombak, lalu melemparkan kujang ke arah tiruan Limbur Kancana dan berhasil mengenai jantungnya. Sosok tiruan itu tiba-tiba menghilang dan meninggalkan seruling di atas sebuah batu.Lingga mendekat, mengambil seruling itu. Tatapannya tertuju pada dahan pohon yang biasa digunakan Limbur Kancana untuk berbaring. Hingga saat ini, ia sama sekali tidak mengetahui keberadaan pria itu di mana pun.“Ke mana sebenarnya paman pergi?” ujar Lingga sembari melompat ke arah pinggiran sungai. “Aku sempat merasakan hawa keberadaannya sesaat tadi, tetapi setelahnya kembali menghilang. Paman hanya mengirimkan tiruannya saja untuk membantuku berlatih.”Lingga kembali berlatih di air terjun. Pemuda itu menghabiskan waktu
Saat senja sudah tumpah di langit sore, nyatanya Lingga masih berlatih di halaman padepokan seorang diri. Aksinya menjadi tontonan para gadis yang bersembunyi di semak-semak dan dahan pohon.Sekar Sari adalah salah satu dari mereka. Gadis itu berada di dahan pohon dengan tatapan yang tak beralih dari Lingga sejak tadi. Ia tiba-tiba saja teringat dengan kejadian di air terjun di mana dirinya dibopong oleh pemuda itu. Wajahnya kontan memerah.“Ah, tidak!” Sekar Sari tiba-tiba saja menjerit. Aksinya langsung menjadi pusat perhatian teman-temannya yang lain. Pegangannya pada dahan pohon menjadi tak seimbang hingga dirinya mendadak jatuh memimpa beberapa gadis di bawahnya.Lingga yang mendengar suara keributan tiba-tiba saja menoleh. Ia menyeka keringat, kemudian mendekat ke sumber suara. Lingga tiba-tiba berhenti ketika para gadis di depannya langsung menjadikannya pusat perhatian.“Kakang Lingga,” ucap para gadis kompak.Lingga
Lingga menunduk dengan tangan terkepal. Bayangan kebersamaannya dengan teman-temannya silih berganti memenuhi isi kepala. Pemuda itu sangat senang berada di tempat ini, tetapi di sisi lain ia juga memahami maksud Limbur Kancana dan Ganawirya.“Dibanding bersedih, kau lebih baik menikmati hari-harimu selama berada di tempat ini, Lingga. Dengan begitu, kau tidak akan menyesali apa pun. Perkara ingatan teman-temanmu yang menghilang, itu adalah cara terbaik untuk melindungi mereka. Jika mereka lupa padamu, kau hanya perlu kembali membuat kenangan bersama mereka,” ujar Limbur Kancana.Lingga mendongak, mengangguk kecil. “Aku mengerti, Paman.”“Sebaiknya mulai dari sekarang kau berlatih untuk membangkitkan kujang emas secara sadar,” ucap Limbur Kancana, “dengan pusaka itu banyak hal yang bisa kau bisa lakukan. Salah satunya adalah menghilangkan racun Kalong Setan.”“Racun Kalong Setan?” Lingga memastik
Wira tengah berdiri di sebuah dahan pohon, menatap perkampungan yang sudah sepi dari kegiatan penduduk. Dari telapak tangan kirinya tiba-tiba bermunculan kelelawar berukuran kecil yang langsung terbang menyebar ke rumah-rumah penduduk.Pasukan pendekar golongan hitam di bawah komandonya sudah bergerak ke Padepokan Merak Putih sesuai dengan arahan Kartasura sejak pagi. Mereka mengambil jalan memutar yang cukup jauh untuk menghindari serangan dari pendekar golongan putih. Kartasura sendiri sedang mengawasi pergerakan pasukan empat anggota Cakar Setan yang tengah menuju wilayah selatan tatar Pasundan.Kelelawar kecil yang dikirimkan Wira kembali ke telapak tangannya. Pemuda itu diam sesaat, kemudian melompat turun. “Sepertinya penduduk di perkampungan ini sama sekali tidak mengetahui keberadaan Lingga.”Wira berdecak, melompat ke sebuah puncak pohon, lalu duduk bersila. Pemuda itu terpejam untuk menajamkan seluruh indranya. Selama beberapa menit lamanya