“Katakan, apa yang terjadi?” tanya Limbur Kancana.“Pendekar Hitam?” Wirayuda terkejut ketika tiruan yang berada di dekatnya tiba-tiba berbicara. Para pendekar seketika bergerak mundur.“Aku dan pasukanku merasakan bambu kuning yang bergetar beberapa waktu lalu. Kami segera menyebar ke sekeliling hutan, tapi kami tidak menemukan keberadaan mereka. Selain itu, kami mencium bau aneh di sekitar hutan.” Wirayuda menyerahkan sebuah batu ke tangan Limbur Kancana. “Aku mendapatkan pesan di batu itu dan tak lama setelahnya tanaman merambat mendadak tumbuh tinggi.”Limbur Kancana terperangah ketika melihat sebuah pesan di batu tersebut. Ia mengeluarkan batu dalam bentuk yang tidak jauh berbeda. “Aku tahu siapa yang mengirimkan pesan ini.”“Kau mengetahuinya?” Wirayuda tercekat, begitupun dengan para pendekar.“Seorang siluman menculik tabib wanita yang membuat bambu ajaib. Menurut pesan yang kutemukan, tabib wanita itu akan dibawa ke tempat Nyi Genit,” ungkap Limbur Kancana, “bau aneh yang kal
Para murid sontak terperangah ketika mendengar perkataan Ganawirya meski tak lama setelahnya mereka berusaha menenangkan diri.“Pertempuran antara pasukan pendekar golongan putih dan dua siluman ular akan terjadi dalam waktu dekat. Aku akan ikut andil dengan membantu para tabib untuk membuat penawar racun kalong setan bagi para pendekar,” ujar Ganawirya.“Apa kami semua juga akan dilibatkan dalam pertempuran, Guru?” tanya Indra.“Tidak, kalian sama sekali tidak akan dilibatkan dalam pertempuran. Ada kemungkinan anggota Cakar Setan akan kembali terlibat. Aku tidak bisa membiarkan kalian semua berada dalam bahaya.” Ganawirya mengembus napas panjang, mengamati satu per satu murid. “Kita akan pergi ke Jaya Tonggoh, tepatnya ke sebuah gua. Di sana kalian akan tinggal dan bertugas untuk menyelesaikan ramuan pengubah siluman ular menjadi manusia kembali. Kalian juga akan membuat beragam ramuan yang berguna dalam pertarungan.”“Indra, Meswara, Jaka, Arya, kalian berempat akan menjaga para mur
Ganawirya melirik ke arah salah satu tiruan Limbur Kancana yang melambaikan tangan padanya. Ia segera mendekat dengan cara melompat. Ada sebuah retakan dinding gua yang menyambung dari atas hingga bawah di depannya. Saat ia menyentuh dinding tersebut, tiba-tiba saja retakan terbuka dan menunjukkan sebuah jalan.Ganawirya melewati tangga dan lorong hingga akhirnya tiba di sebuah taman dengan pohon besar, kolam berair jernih serta tanaman-tanaman obat yang tumbuh dengan subur. Sebelum ditelan keterkejutan, Ganawirya lebih dahulu mengamati tanama obat di sekelilingnya.“Tanaman obat di tempat ini terbilang sangat langka dan sulit ditemukan di mana pun.” Ganawirya bergerak ke kolam, meneguk airnya sedikit. “Air kolam ini tak jauh berbeda dengan air dari Telaga Asri.”Ganawirya memasukkan air ke dalam kendi. Pendekar itu segera mengumpulkan tanaman-tanaman obat, mencabut satu per satu tumbuhan kecil dari masing-masing tanaman obat. Semua daun yang diambil, termasuk tumbuhan kecil tadi lant
“Kakang Indra?” ujar Geni, Jaya dan bersamaan. Ketiganya seketika saling menoleh, menunduk dalam, saling menyikut lengan satu sama lain. Ketakutan terlihat jelas di wajah mereka. “Katakan padaku, apa maksud kalian mengenai permbicaraan kalian tadi?” pinta Indra dengan tatapan yang beralih dari Geni, Jaya dan Barma bergantian.“Ada apa, Indra?” Meswara datang mendekat bersama Jaya dan Arya.Geni, Jaya dan Barma semakin ketakutan. Jika terus didesak, mau tidak mau mereka harus berterus terang jika mereka mengingat Lingga.“Kalian bertiga membicarakan soal ‘Lingga’. Apa yang kalian ketahui soal Lingga?” Indra kembali bertanya. Suaranya terkesan memaksa dan penuh tekanan.Meswara, Jaka dan Arya kontak terkejut ketika mendengarnya.Beberapa murid yang sedang meramu obat seketika menoleh ketika melihat Geni, Jaya dan Barma dikerumuni. Mereka mendekat dan mulai berkerumun, saling berbisik, bertanya mengenai apa yang terjadi.“Kembali pada tugas kalian masing-masing,” kata Jaka sembari men
Galih Jaya yang mendapat kabar mengenai pertempuran yang akan terjadi malam ini seketika mengumpulkan seluruh pendekar dan tabib di depan gua.“Para petinggi golongan putih sepakat untuk menangkap Wintara dan Nilasari malam ini,” ujar Galih Jaya membuka perkumpulan.Hampir semua pendekar dan tabib yang mendengarnya terkejut.“Wintara dan Nilasari diketahui pergi ke tempat Nyi Genit dengan dibantu oleh seorang siluman. Sebelum kedua siluman itu bertemu dengan Nyi Genit, para petinggi golongan putih memutuskan untuk bergerak menangkap mereka.”Suasana seketika menjadi riuh. Para pendekar dan para tabib mulai berbicara dengan rekan yang berada di samping mereka. Di malam yang kian menuju puncak, mereka harus dihadapkan pada sebuah peristiwa besar.“Segera kirimkan pesan pada para pendekar yang menjaga para warga bahwa pertempuran akan terjadi malam ini. Mereka harus melindungi warga menempatkan warga di tempat yang aman. Jika mereka sudah melakukannya, kirimkan sebagian dari mereka ke te
Ganawirya seketika terdiam, mengamati ketiga pendekar muda di depannya bergantian. Dari sorot mata mereka, ketiganya seperti ingin mengujinya. Ia mendengar bahwa Sekar Sari berpura-pura sebagai Sekar Dewi dalam pengembaraannya.Ganawirya menoleh ke samping ketika tiruan Limbur Kancana mendekat dan menyentuh bahunya. Ia terdiam ketika mendengar ucapan Limbur Kancana dalam pikirannya.Sementara itu, Galih Jaya, Dharma dan Malawati saling menoleh sesaat, mengamati setiap gerak-gerik dari tindakan sosok pendekar berbaju serba hitam di dekat mereka. Ketiganya ingin memastikan bahwa sosok yang mengaku sebagai murid dari Ganawirya itu memang berkata jujur.“Aku tidak mengenal gadis bernama Sekar Dewi,” ujar Ganawirya, “aku hanya mengenal satu nama gadis yang memiliki nama depan Sekar, yakni Sekar Sari. Dia adalah gadis yang memakai selendang merah di pinggangnya. Dia juga merupakan adik tingkatku di padepokan.”Galih Jaya, Dharma dan Malawati kembali salah menoleh, memberi anggukan singkat.
“Apa yang kalian maksud dengan bambu ajaib?” tanya Ganawirya. Ia akan menyerahkan Sekar Sari pada tiruan-tiruan Limbur Kancana dan memusatkan seluruh perhatian pada tugas ini.Galih Jaya menunjukkan bambu hijau dan bambu kuning ke hadapan Ganawirya. “Dua bambu ini adalah dua bambu yang sudah diciptakan oleh Sekar Sari. Bambu hijau memiliki kemampuan untuk merasakan kehadiran racun kalong setan. Bambu hijau ini akan dipenuhi oleh titik-titik hitam dan noda-noda hitam ketika terdapat racun kalong setan di sekitar kita. Bambu ini akan kembali ke keadaan semula jika racun kalong setan menghilang. Sementara itu, bambu kuning memiliki kemampuan untuk merasakan kehadiran Wintara dan Nilasari. Bambu ini akan memberi tanda dengan bergerak dengan sendirinya. Semakin dekat jarak kedua siluman itu, semakin cepat juga gerakan dari bambu ini.”Ganawirya sontak tercekat ketika mendengar penjelasan tersebut. Sebagai seorang guru, tentu ia merasa bangga dengan pencapaian yang sudah diraih Sekar Sari.
Semua orang yang ada di dalam ruang sontak terkejut meski tak lama setelahnya mereka tersenyum bahagia.“Kakang Ajisaka, Kakang Amarsa, Gendis, kalian sudah kembali.” Malawati sampai menangis. Gadis itu dengan cepat keluar dari ruangan, berlari menuju tempat para korban Wintara dan Nilasari berada, melewati para pendekar yang berjaga di sekitar lorong.“Apa yang terjadi, Nyai? Kenapa kau berlari?” tanya salah satu pendekar.“Aku hanya ingin memeriksa keadaan para korban yang sudah sadarkan diri.” Malawati terus berlari tanpa menoleh ke belakang.Kembali ke ruangan para tabib.“Kembali bertugas,” ujar Galih Jaya pada para tabib. Ia kemudian menoleh pada Dharma yang terus memperhatikan sosok Pendekar Hitam yang mengaku sebagai Kancana. “Dharma, kita akan memeriksa keadaan para korban.”“Baik, Galih Jaya.”Galih Jaya, Dharma dan beberapa pendekar bergegas keluar ruangan, berlari menuju tempat para korban berada.“Apa kau menyadari sesuatu yang aneh dari pendekar bernama Kancana itu, Dhar