Angin mendadak mengamuk di sekeliling lokasi pertarungan. Kawanan burung bergegas pergi dari sarang, memekik ketakutan, meliuk-meliuk di langit Lebak Angin. Pepohonan tampak bergoyang ke kiri dan kanan, menggugurkan dedauan, dan tak sedikit yang merobohkan ranting.
Sekar Sari semakin menjauh dari lokasi pertempuran. Tubuhnya sempat melayang sesaat, tetapi untungnya gadis itu bisa kembali menapak di tanah setelah melilitkan selendang ke dahan pohon. Satu tangannya berusaha melindungi pandangan dari debu, kerikil dan batang pohon yang berterbangan.
“Aku tidak mungkin bisa mendekat lebih dari ini,” ujar Sekar Sari.
Di lokasi berbeda, empat bayangan hitam tampak berkelebat memasuki padepokan, lalu bergerak ke arah lokasi pertarungan. Empat pemuda itu terpaksa berhenti di dahan-dahan pohon yang agak jauh dari lokasi pertempuran.
Serangan Ganawirya akhirnya bertubrukan dengan serangan yang diluncurkan Limbur Kancana. Kedua tangan mereka saling mengunci satu
“Maafkan ketidaksopanan kami,” ucap Sekar Sari dan empat pendekar itu bersamaan. Mereka membungkuk sembari menempatkan kedua tangan di depan dahi. Sekar Sari terpejam beberapa saat, kembali mengingat bagaimana pertemuannya dengan Limbur Kancana. Pria itu dengan mudah dapat menghindari semua serangannya, bahkan tidak mendapat luka apa pun. Namun, yang menjadi ketakutannya sekarang adalah sikapnya yang kasar dan tidak sopan pada pria itu. Apa mungkin ia akan mendapat hukuman berat? “Ma-maafkan aku, Kakang Guru. Sejak bertemu denganmu aku sudah bertindak kurang ajar,” ujar Sekar Sari sembari kian menunduk dalam. “Aku siap menerima hukuman.” Limbur Kancana menoleh pada Sekar Sari. Pembawaannya yang serius kembali ke sediakala. Ia melompat-lompat kecil, lalu memutari gadis itu dan empat pendekar di sampingnya. “Kau akan aku hukum, Nyai.” Sekar Sari meneguk ludah, tak berani mendongak. “A-aku ... siap menerimanya.” “Kalau begitu, kau harus menyiapka
“Syukurlah, kau selamat Lingga,” ujar Indra dengan wajah yang sudah basah oleh air mata, “kami berempat sudah mencarimu selama lima tahun lamanya.” Keempat pria itu mulai menjauh. Lingga sendiri hanya bisa diam karena terkejut. “Dengan begini kami bisa lega karena tugas kami untuk mencarimu sudah selesai,” timpal Meswara, “dan tugas kami selanjutnya adalah menjagamu sesuai dengan permintaan Ki Petot.” “Di mana aki?” tanya Lingga sembari menyentuh satu per satu bahu empat murid di depannya. “Di mana aki? Bagaimana keadaannya saat ini?” Indra, Jaka, Meswara dan Arya langsung menunduk, tak berani mengatakan apa pun untuk saat ini. Mereka masih terkejut karena Lingga nyatanya justru yang mendatangi tempat ini. “Apa yang kalian maksud dengan kalian yang mencariku selama lima tahun? Dan ke mana saja aku selama ini? Kenapa saat terbangun tubuhku bukan lagi tubuh anak-anak? Kenapa aku tidak bisa mengingat apa-apa?” tanya Lingga beruntun. “Pama
“Pe-pewaris ... kujang emas?” tanya Lingga memastikan. Untuk kesekian kalinya, ia menatap satu per satu orang di dekatnya. “Ke-kenapa harus aku? Paman ... pasti bohong. Bagaimana mungkin aku ... bisa menjadi pewaris pusaka kujang emas sementara aki saja tidak pernah mengizinkanku berlatih silat?” Ruangan dalam waktu singkat didekap keheningan. Lingga menunduk, mengepal tangan kuat-kuat. Kepalanya seperti akan meledak menjadi potongan kecil ketika mendengar hal tersebut. Banyak hal yang belum ia mengerti sampai saat ini, dan sekarang dirinya harus dihadapkan pada ucapan bahwa dirinya adalah seorang pewaris sebuah senjata hebat yang menjadi incaran banyak orang. Apakah itu mungkin? “Di mana aki?” Lingga menatap satu per satu orang di dalam ruangan bergantian. “A-aku ... harus bertanya pada aki mengenai kebenarannya. Bukannya kujang emas itu adalah pemberian aki? Aku ... aku tidak mungkin—” “Lingga, apa yang kau dengar barusan adalah sebuah kebenaran. Menjadi pe
Lingga seketika tercekat ketika mendengar kenyataan tersebut. Seluruh tubuhnya bergetar kuat seiring darah yang bergejolak hebat. Tembok ketegaran yang berusaha ia bangun mendadak sirna. Ada setetes air mata yang dengan cepat ia seka sebelum berhasil menyentuh pipi.Lingga seperti berada di tempat asing tak berpenghuni, lalu tenggelam dalam lubang tak berkesudahan. Ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya, meninggalkan ruang hampa yang tak mungkin kembali terisi dan tergantikan oleh apa pun.Bibir Lingga terbuka beberapa kali, tetapi tak ada suara maupun kata-kata yang menjelma. Tangan kanan pemuda itu menyentuh kepala, mengelusnya perlahan. Rasanya baru kemarin ia protes karena seringkali mendapat getokan di kepala. Namun, saat ini ia begitu merindukan hal tersebut. Semua bayangan sosok Ki Petot benar-benar menyesaki perasaan dan pikirannya.Lingga bangkit dari kursi, mundur beberapa langkah dengan tatapan kosong. Ia tanpa sadar meremas surat di tangannya. &ldquo
Di sisi tebing, Sekar Sari tengah memeluk kedua lutut dengan wajah sembap. Gadis itu sesekali melempar kerikil ke arah sungai di bawahnya. Giginya bergemelatuk ketika mengingat nasib nahas yang terjadi pada dirinya dan keluarganya.“Semua ini gara-gara, Lingga,” hardik Sekar Sari seraya bangkit dengan tangan mengepal. Pandangannya menatap tajam ke arah pantulan bulan di riak air. “Setampan apa pun dia, aku akan tetap membencinya.”“Sekar Sari,” panggil Indra yang muncul dari rimbunnya pepohonan. Ia datang bersama Jaka, Meswara dan Arya.“Ada apa, Kakang?” tanya Sekar Sari sembari menoleh. Pandangannya kembali tertuju pada riak air. “Aku tidak segan mengusirmu jika kau hanya akan membela Lingga.”“Kau baik-baik saja?”Indra dan ketiga temannya mendekat.Sekar Sari tiba-tiba saja berdiri, mengepal tangan kuat-kuat. Ada selaput bening di bola matanya ketika tertimpa cahaya.
Keesokan paginya, saat matahari masih tampak malu-malu tampil di ufuk timur, padepokan mendadak sepi karena para gadis sedang mengintip seorang pemuda bertelanjang dada yang tengah berlatih di sungai. Mereka ramai-ramai bersembunyi di balik pohon dan semak-semak. Sementara itu, para murid laki-laki tengah disibukkan dengan membelah batang pohon yang tumbang menjadi kayu bakar, lalu mengumpulkannya di dapur padepokan.Kerumunan itu tiba-tiba bubar ketika Ganawirya muncul di depan mereka.Dalam waktu singkat, para gadis itu dibuat kalang kabut. Beberapa di antara mereka bahkan terjatuh dan saling menabrak satu sama lain.“Sekar Sari turunlah,” perintah Ganawirya.Sekar Sari yang bersembunyi di balik rindang pohon seketika menjatuhkan diri.“Apa yang sedang kau lakukan di sana?” tanya Ganawirya yang membelakangi gadis itu. “Kembali ke padepokan sebelum aku menghukummu.”“Ba-baik, Guru.” Seka
Lingga dan Limbur Kancana makan seperti kesetanan ketika berada di ruangan makan. Keduanya lahap menghabiskan sajian di meja. Para pelayanan silih berganti membawa makanan kepada mereka.Di luar ruang makan, para murid perempuan mengintip aksi Lingga. Mereka tersenyum malu melihat bagaimana pemuda itu menghabiskan makanan dengan lahap. Kabar tersiar dengan cepat hingga halaman depan yang tadinya masih sepi kini dipenuhi oleh para gadis yang berkerumun.“Itu ayam milikku, Paman,” ujar Lingga saat Limbur Kancana mengambil ayam dari tangannya.Limbur Kancana dengan mudah menggetok kepala Lingga. Dengan mulut menguyah, ia berkata, “Aku ... harus ... mengisi tenagaku setelah menjagamu selama ini, ditambah semalam aku sudah bertarung dengan Ganawirya.”Lingga mengelus kepalanya dengan tangan kiri. Pemuda itu berusaha mengambil sisa ayam di tangan Limbur Kancana dengan gerakan senyap, tetapi ia justru kembali mendapat getokan.&ldq
“Kenapa Paman meninggalkanku begitu saja?” tanya Lingga dengan suara berbisik. “Apa kau menangis karena dikerumuni para gadis?” Limbur Kancana menepuk-nepuk perutnya yang menggembung. “Aku sepertinya harus mengajarimu bagaimana caranya menjadi pria sejati.” Limbur Kancana kemudian berbaring di tanah sembari membersihkan gigi dengan ranting kecil. “Indra, aku ingin mendengar kabar yang kau dan rekan-rekanmu dapatkan semalam,” ucap Ganawirya yang seolah tak terganggu dengan sikap Limbur Kancana. “Kami mendengar jika pasukan Kalong Setan sedang berada dalam perjalanan untuk memasuki beberapa wilayah tengah tatar Pasundan, Guru. Para warga sudah mengungsi sejak beberapa hari lalu ke lokasi yang lebih aman. Kami mendapatkan kabar tersebut dari para pendekar golongan putih yang ada di perbatasan.” “Aku mengerti,” ucap Ganawirya. Limbur Kancana tiba-tiba bangkit. Tubuhnya serasa ditarik dari samping. Pria itu kemudian berbalik, menatap