Di sisi tebing, Sekar Sari tengah memeluk kedua lutut dengan wajah sembap. Gadis itu sesekali melempar kerikil ke arah sungai di bawahnya. Giginya bergemelatuk ketika mengingat nasib nahas yang terjadi pada dirinya dan keluarganya.
“Semua ini gara-gara, Lingga,” hardik Sekar Sari seraya bangkit dengan tangan mengepal. Pandangannya menatap tajam ke arah pantulan bulan di riak air. “Setampan apa pun dia, aku akan tetap membencinya.”
“Sekar Sari,” panggil Indra yang muncul dari rimbunnya pepohonan. Ia datang bersama Jaka, Meswara dan Arya.
“Ada apa, Kakang?” tanya Sekar Sari sembari menoleh. Pandangannya kembali tertuju pada riak air. “Aku tidak segan mengusirmu jika kau hanya akan membela Lingga.”
“Kau baik-baik saja?”
Indra dan ketiga temannya mendekat.
Sekar Sari tiba-tiba saja berdiri, mengepal tangan kuat-kuat. Ada selaput bening di bola matanya ketika tertimpa cahaya.
Keesokan paginya, saat matahari masih tampak malu-malu tampil di ufuk timur, padepokan mendadak sepi karena para gadis sedang mengintip seorang pemuda bertelanjang dada yang tengah berlatih di sungai. Mereka ramai-ramai bersembunyi di balik pohon dan semak-semak. Sementara itu, para murid laki-laki tengah disibukkan dengan membelah batang pohon yang tumbang menjadi kayu bakar, lalu mengumpulkannya di dapur padepokan.Kerumunan itu tiba-tiba bubar ketika Ganawirya muncul di depan mereka.Dalam waktu singkat, para gadis itu dibuat kalang kabut. Beberapa di antara mereka bahkan terjatuh dan saling menabrak satu sama lain.“Sekar Sari turunlah,” perintah Ganawirya.Sekar Sari yang bersembunyi di balik rindang pohon seketika menjatuhkan diri.“Apa yang sedang kau lakukan di sana?” tanya Ganawirya yang membelakangi gadis itu. “Kembali ke padepokan sebelum aku menghukummu.”“Ba-baik, Guru.” Seka
Lingga dan Limbur Kancana makan seperti kesetanan ketika berada di ruangan makan. Keduanya lahap menghabiskan sajian di meja. Para pelayanan silih berganti membawa makanan kepada mereka.Di luar ruang makan, para murid perempuan mengintip aksi Lingga. Mereka tersenyum malu melihat bagaimana pemuda itu menghabiskan makanan dengan lahap. Kabar tersiar dengan cepat hingga halaman depan yang tadinya masih sepi kini dipenuhi oleh para gadis yang berkerumun.“Itu ayam milikku, Paman,” ujar Lingga saat Limbur Kancana mengambil ayam dari tangannya.Limbur Kancana dengan mudah menggetok kepala Lingga. Dengan mulut menguyah, ia berkata, “Aku ... harus ... mengisi tenagaku setelah menjagamu selama ini, ditambah semalam aku sudah bertarung dengan Ganawirya.”Lingga mengelus kepalanya dengan tangan kiri. Pemuda itu berusaha mengambil sisa ayam di tangan Limbur Kancana dengan gerakan senyap, tetapi ia justru kembali mendapat getokan.&ldq
“Kenapa Paman meninggalkanku begitu saja?” tanya Lingga dengan suara berbisik. “Apa kau menangis karena dikerumuni para gadis?” Limbur Kancana menepuk-nepuk perutnya yang menggembung. “Aku sepertinya harus mengajarimu bagaimana caranya menjadi pria sejati.” Limbur Kancana kemudian berbaring di tanah sembari membersihkan gigi dengan ranting kecil. “Indra, aku ingin mendengar kabar yang kau dan rekan-rekanmu dapatkan semalam,” ucap Ganawirya yang seolah tak terganggu dengan sikap Limbur Kancana. “Kami mendengar jika pasukan Kalong Setan sedang berada dalam perjalanan untuk memasuki beberapa wilayah tengah tatar Pasundan, Guru. Para warga sudah mengungsi sejak beberapa hari lalu ke lokasi yang lebih aman. Kami mendapatkan kabar tersebut dari para pendekar golongan putih yang ada di perbatasan.” “Aku mengerti,” ucap Ganawirya. Limbur Kancana tiba-tiba bangkit. Tubuhnya serasa ditarik dari samping. Pria itu kemudian berbalik, menatap
Matahari merangkak lebih tinggi ke puncak langit. Di halaman padepokan, para murid laki-laki masih berlatih di tengah gempuran panas sang surya, dan Lingga adalah salah satu dari murid-murid tersebut. Setelah pertemuan di pinggiran tebing tadi usai, ia bergegas untuk berlatih. Para murid perempuan dan para pelayan lagi-lagi memperhatikan Lingga dari balik semak-semak dan pepohonan. Mereka seperti melihat taman subur setelah sekian lama bergulat dengan padang pasir yang gersang. “Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Sekar Sari pada para murid perempuan dan pelayan. Gadis itu muncul dari dahan pohon. “Apa kalian tidak takut akan dihukum, guru? Bukankah kita sedang dalam waktu latihan?” “Aku tahu kau juga sering mengintip pemuda tampan itu, Sekar Sari,” ucap salah satu murid, “jika matamu masih saja tidak bisa berpaling dari pemuda itu, jangan banyak bicara dan ikutlah bersembunyi bersama kami.” “Bukankah kau sendiri yang membawa pemuda itu dan
Lingga dan yang lain mengangguk serempak.Limbur Kancana mendadak menguap. Pria itu mengeluarkan sebuah seruling dari balik rambut, kemudian memainkannya.“Apa itu seruling sakti, Kakang Guru?” tanya Sekar Sari.“Tentu saja bukan. Ini seruling biasa yang aku dapatkan berpuluh-puluh tahun lalu,” jawab Limbur Kancana yang kemudian meniup seruling tersebut. Suara embusan angin, deburan air terjun saling bersahutan dengan alunan musik yang tercipta dari alat musik itu.“Berpuluh-puluh tahun lalu?” Sekar Sari memastikan. “Tapi Kakang Guru terlihat seperti pria yang baru saja menginjak usia 30 tahunan. Jujur saja, aku terkejut ketika Kakang Guru adalah guru dari guru kami.”Limbur Kancana tertawa. “Itu karena aku hebat.”Tak ada lagi yang bertanya atau berbicara setelahnya, termasuk Lingga yang masih bingung dengan perkataan tersebut. Ia sepertinya masih belum mengenal siapa Limbur Kancan
“Ma-maafkan aku, Nyai.” Lingga tiba-tiba saja menjatuhkan Sekar Sari.Sekar Sari seketika tercebur ke sungai. Dinginnya air dengan cepat menyadarkannya bahwa ia baru saja dijatuhkan secara sengaja. “Apa yang kau lakukan?” teriaknya kencang, “kau pasti sengaja melakukannya?”Sekar Sari memukul-mukul air, berdiri dengan wajah cemberut. Tubuhnya basah kuyup dan dalam waktu singkat ia mulai menggigil kedinginan, ditambah angin kencang mendadak berembus. “Kau sangat menyebalkan!”Lingga melompat ke sisi sungai, mengusap wajah dengan air untuk mengusir kantuk. Ia berusaha berkonsentrasi pada pertarungan yang masih berlangsung di tengah sungai.Tiruan Limbur Kancana tiba-tiba muncul di tengah-tengah Indra, Meswara, Jaka dan Arya. Dengan gerakan cepat, tiruan pendekar berambut panjang itu memukul Jaka dan Arya, kemudian menendang Indra dan Meswara. Keempat pemuda itu langsung terlempar ke empat penjuru mata angin se
Limbur Kancana dengan gerakan cepat menggetok satu per satu kepala enam pendekar muda itu. Suara pukulan itu terdengar nyaring dan saling bersahutan.Lingga kontan terjatuh ke tanah karena Indra, Meswara, Jaka dan Arya mendadak mengelus kepala mereka masing-masing.“Apa yang Kakang Guru maksud?” tanya Sekar Sari dengan wajah cemberut. Satu tangannya masih mengelus kepala. “Bukannya kami semua berhasil mengalahkan tiruan Kakang Guru?” sambung Indra dengan raut wajah kebingungan.Limbur Kancana memelotot tajam, kembali menggetok kepala enam pendekar itu tanpa iba sedikit pun. “Apa kalian lupa kalau tugas kalian adalah untuk mengambil seruling dari tiruanku?”Lingga dan yang lain sontak terkejut, melempar pandangan satu sama lain. Mereka benar-benar lupa dengan tugas tersebut.“Meski kalian berhasil mengalahkan tiruanku, bukan berarti kalian akan mendapat pujian dariku,” lanjut Limbur
Lingga menunduk, mengamati kedua telapak tangannya lekat-lekat. Dalam sekejap bayangan ketika dirinya mengenggam kujang emas menyesaki isi kepala. Pemuda itu tidak mengira jika senjata itu adalah awal mula kehidupannya berubah. Saat itu, ia hanya berpikir jika kujang itu hanyalah senjata biasa yang diberikan Ki Petot padanya.“Paman, apa menurutmu aku bisa melakukan tugasku dengan baik?” tanya Lingga.Limbur Kancana menoleh, mengamati Lingga cukup lama hingga akhirnya menjawab, “Tentu saja.”“Bagaimana Paman bisa seyakin itu padaku?” Lingga menoleh sesaat, lalu menatap kepalan tangannya. “Jujur saja, aku ... sendiri sering dihantui ketakutan kalau aku akan gagal. Setelah mendengar cerita dari paman Ganawirya dan Sekar Sari, aku takut kalau kehadiranku justru akan membuat semua orang semakin menderita. Aku juga takut jika aku tidak bisa membawa harapan dan keinginan mereka.”“Ketakutanmu memang beralasa