Limbur Kancana dengan gerakan cepat menggetok satu per satu kepala enam pendekar muda itu. Suara pukulan itu terdengar nyaring dan saling bersahutan.
Lingga kontan terjatuh ke tanah karena Indra, Meswara, Jaka dan Arya mendadak mengelus kepala mereka masing-masing.
“Apa yang Kakang Guru maksud?” tanya Sekar Sari dengan wajah cemberut. Satu tangannya masih mengelus kepala.
“Bukannya kami semua berhasil mengalahkan tiruan Kakang Guru?” sambung Indra dengan raut wajah kebingungan.
Limbur Kancana memelotot tajam, kembali menggetok kepala enam pendekar itu tanpa iba sedikit pun. “Apa kalian lupa kalau tugas kalian adalah untuk mengambil seruling dari tiruanku?”
Lingga dan yang lain sontak terkejut, melempar pandangan satu sama lain. Mereka benar-benar lupa dengan tugas tersebut.
“Meski kalian berhasil mengalahkan tiruanku, bukan berarti kalian akan mendapat pujian dariku,” lanjut Limbur
Lingga menunduk, mengamati kedua telapak tangannya lekat-lekat. Dalam sekejap bayangan ketika dirinya mengenggam kujang emas menyesaki isi kepala. Pemuda itu tidak mengira jika senjata itu adalah awal mula kehidupannya berubah. Saat itu, ia hanya berpikir jika kujang itu hanyalah senjata biasa yang diberikan Ki Petot padanya.“Paman, apa menurutmu aku bisa melakukan tugasku dengan baik?” tanya Lingga.Limbur Kancana menoleh, mengamati Lingga cukup lama hingga akhirnya menjawab, “Tentu saja.”“Bagaimana Paman bisa seyakin itu padaku?” Lingga menoleh sesaat, lalu menatap kepalan tangannya. “Jujur saja, aku ... sendiri sering dihantui ketakutan kalau aku akan gagal. Setelah mendengar cerita dari paman Ganawirya dan Sekar Sari, aku takut kalau kehadiranku justru akan membuat semua orang semakin menderita. Aku juga takut jika aku tidak bisa membawa harapan dan keinginan mereka.”“Ketakutanmu memang beralasa
Saat hampir semua orang masih terlelap dalam tidurnya, Lingga justru tengah berlari sembunyi-sembunyi menuju air terjun. Pemuda itu langsung melompat ke arah batu besar di bawah air terjun untuk memulai latihan.“Paman benar,” ujar Lingga di sela-sela pukulan dan tendangannya menghantam aliran air terjun. “Aku adalah perwujudan harapan dan doa dari orang-orang. Jika paman saja percaya padaku, maka aku seharusnya lebih percaya pada diriku sendiri. Aku akan berlatih lebih keras dibanding siapa pun.”Malam sunyi di bawah cahaya bulan purnama dilalui Lingga dengan berlatih. Udara dingin sama sekali tidak mengganggunya meski saat itu tubuh bagian atasnya dibiarkan terbuka. Pukulan dan tendangan saling bersahutan memecah aliran air terjun. Keringat tampak bercampur dengan air yang sudah membasahi raga.Di salah satu pohon yang tak jauh dari air terjun, Sekar Sari tengah mengintip Lingga berlatih. Gadis itu cemberut, tetapi di sisi lain tak bisa
Selesai berlatih, Lingga kembali ke padepokan untuk beistirahat. Langit masih tampak diselimuti kegelapan dengan taburan bintang. Ketika sedang nyaman tertidur, hidungnya tiba-tiba terasa sangat gatal.Lingga mengerjapkan bola mata, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. Ia melihat Limbur Kancana sedang menjailinya dengan rumput panjang yang sengaja dimasukkan ke lubang hidungnya.“Apa yang sedang Paman lakukan?” tanya Lingga sembari menepis rumput panjang dari wajahnya.“Cepatlah bangun, Lingga,” ujar Limbur Kancana, “aku akan membawamu ke tempat yang bagus.”“Apa kita akan latihan di sana, Paman?” tanya Lingga yang dengan cepat berdiri.Limbur Kancana berbisik di telinga Lingga, “Aku akan mengajari sesuatu yang hebat padamu.”“Benarkah, Paman?” Lingga tiba-tiba tersenyum. Wajahnya penuh dengan binar kebahagiaan. “Apa itu sebuah jurus yang hebat?”&l
“Sebaiknya kita mencari tempat yang sepi,” usul Indra.“Baik, kakang,” sahut Lingga.Lingga dan yang lain kini berada di tempat yang cukup jarang dilalui lalu lalang murid padepokan. Limbur Kancana memilih berbaring di dahan pohon.“Sebelum Ki Petot meninggal, dia sempat memberikan kami selembar kain,” ujar Indra sembari menyodorkan kain yang dimaksud pada Lingga.Lingga menerima kain merah tersebut, mengamatinya dengan saksama.“Alirkan tenaga dalammu pada kain itu, Lingga,” ucap Meswara.Lingga mengalirkan tenaga dalamnya sesuai yang diperintahkan. Secara tiba-tiba tangan kanannya menerobos kain tersebut. “Apa yang terjadi, Kakang?”“Kain itu adalah kain yang digunakan untuk menyimpan senjata-senjata yang sudah dibuat oleh Ki Petot,” terang Indra, “senjata yang kami gunakan saat malam tadi adalah senjata yang kami peroleh dari kain tersebut. Sesuai dengan
Lingga langsung memasang kuda-kuda. Untung saja, bagian tubuh yang sempat tegak tadi kembali ke keadaan semula. Tatapannya dengan cepat menyisir keadaan sekeliling.“Jadi kau pemuda yang seringkali dibicarakan para gadis itu?” tanya seorang pemuda yang datang bersama dua pemuda lain dari arah semak-semak. Ketiganya sama-sama tengah membawa keranjang bambu berisi kayu bakar di punggung.Lingga kembali bersikap biasa ketika melihat ketiga pemuda itu memakai pakaian murid padepokan. “Apa mau kalian?”“Apa kau juga sedang dihukum seperti kami?” tanya pemuda yang berdiri di tengah.“Iya,” jawab Lingga sembari memperhatikan ketiganya bergantian.“Namaku Geni.” Pemuda yang berdiri di tengah memperkenalkan diri, kemudian menoleh pada dua rekannya yang lain.“Aku Jaya,” ujar Pemuda yang berada di sebelah kiri Geni.“Namaku Barma,” ucap pemuda gemuk yang berada
Malam kembali menaungi langit Lebak Angin. Para murid padepokan tengah sibuk menikmati makan malam. Pekarangan tampak sepi di mana sekelilingnya terlihat bercahaya karena dihiasi api obor yang bergerak-gerak ketika tertiup angin.Di salah satu dahan pohon, Limbur Kancana tengah berbaring sembari membersihkan sela gigi dengan batang rumput kecil. Kaki kanannya menyilang di atas kaki kiri. Ia bersenandung sembari mengamati taburan bintang di langit.“Raka,” ujar Ganawirya yang mendadak muncul di depan Limbur Kancana. Pria paruh baya itu membungkuk hormat sesaat. “Ada hal yang ingin aku bicarakan dengan Raka mengenai Lingga.”“Apa ini soal Lingga yang berteman dengan tiga muridmu, Ganawirya?” tanya Limbur Kancana yang kemudian melompat turun. Pandangannya tertuju pada ruang makan padepokan. Tampak Lingga bersama tiga kawan barunya tengah menikmati makanan bersama.“Benar, Raka,” ujar Ganawirya yang ikut mengali
Lingga kembali berlatih saat malam sudah berada di puncak. Pemuda itu kini tengah bertarung dengan tiruan Limbur Kancana di sebuah batu yang berada di dekat air terjun.“Kau masih gegabah seperti biasanya Lingga,” ujar Limbur Kancana yang tengah berbaring di dahan pohon. Pria itu menguap beberapa kali dengan mata yang sudah mengantuk berat.Lingga terdorong ke belakang ketika mendapat serangan di perut. Pemuda itu memiliki tugas untuk mengambil seruling dari tiruan Limbur Kancana. Hanya saja sudah lebih dari setengah jam berlalu, ia belum juga berhasil mendapatkannya.Lingga mengamati gerakan tiruan Limbur Kancana dengan saksama. Meski sudah mengerahkan semua kemampuannya, pada kenyataannya ia masih mengalami kesulitan untuk sekadar mendaratkan serangan.“Kemampuanku ternyata masih belum ada apa-apanya dibanding tiruan paman,” ujar Lingga di sela mengawasi gerakan lawan. Kedua tangannya terkepal erat dengan sorot mata menajam. &ldq
Limbur Kancana langsung berjongkok di batu tempat tiruannya menghilang. Pria itu mengamati tubuh Lingga yang mengambang di sungai. Ia mengambil sebuah ranting kecil, kemudian mengorek-gorek telinga dan lubang hidung pemuda itu. “Apa kau sudah mati, Lingga? Aku tidak tahu kalau kau akan pergi secepat ini. Semoga kau tenang di alam sana.” “Hentikan, Paman.” Lingga menepis ranting, lalu melompat ke dekat Limbur Kancana. “Aku hanya kelelahan.” “Aku pikir kau mati.” Limbur Kancana terkekeh. “Padahal kau masih muda dan belum sempat merasakan kenikmatin yang tiada duanya.” “Kenikmatan apa itu, Paman?” Limbur Kancana berbisik di telinga Lingga, “Kenikmatan yang hanya bisa kau capai dengan seorang wanita. Kau akan dibuat terbang ke langit tinggi, merasakan kenyamanan yang luar biasa sampai kau lupa rasanya bersedih.” “Hen-hentikan, Paman.” Lingga mendadak merasakan panas di wajahnya. Ia kemudian melompat ke seberang sungai. “Aku tahu Paman hanya ingin mengerjaiku lagi. Bukan saatnya bagiku