“Kenapa Paman meninggalkanku begitu saja?” tanya Lingga dengan suara berbisik.
“Apa kau menangis karena dikerumuni para gadis?” Limbur Kancana menepuk-nepuk perutnya yang menggembung. “Aku sepertinya harus mengajarimu bagaimana caranya menjadi pria sejati.”
Limbur Kancana kemudian berbaring di tanah sembari membersihkan gigi dengan ranting kecil.
“Indra, aku ingin mendengar kabar yang kau dan rekan-rekanmu dapatkan semalam,” ucap Ganawirya yang seolah tak terganggu dengan sikap Limbur Kancana.
“Kami mendengar jika pasukan Kalong Setan sedang berada dalam perjalanan untuk memasuki beberapa wilayah tengah tatar Pasundan, Guru. Para warga sudah mengungsi sejak beberapa hari lalu ke lokasi yang lebih aman. Kami mendapatkan kabar tersebut dari para pendekar golongan putih yang ada di perbatasan.”
“Aku mengerti,” ucap Ganawirya.
Limbur Kancana tiba-tiba bangkit. Tubuhnya serasa ditarik dari samping. Pria itu kemudian berbalik, menatap
Matahari merangkak lebih tinggi ke puncak langit. Di halaman padepokan, para murid laki-laki masih berlatih di tengah gempuran panas sang surya, dan Lingga adalah salah satu dari murid-murid tersebut. Setelah pertemuan di pinggiran tebing tadi usai, ia bergegas untuk berlatih. Para murid perempuan dan para pelayan lagi-lagi memperhatikan Lingga dari balik semak-semak dan pepohonan. Mereka seperti melihat taman subur setelah sekian lama bergulat dengan padang pasir yang gersang. “Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Sekar Sari pada para murid perempuan dan pelayan. Gadis itu muncul dari dahan pohon. “Apa kalian tidak takut akan dihukum, guru? Bukankah kita sedang dalam waktu latihan?” “Aku tahu kau juga sering mengintip pemuda tampan itu, Sekar Sari,” ucap salah satu murid, “jika matamu masih saja tidak bisa berpaling dari pemuda itu, jangan banyak bicara dan ikutlah bersembunyi bersama kami.” “Bukankah kau sendiri yang membawa pemuda itu dan
Lingga dan yang lain mengangguk serempak.Limbur Kancana mendadak menguap. Pria itu mengeluarkan sebuah seruling dari balik rambut, kemudian memainkannya.“Apa itu seruling sakti, Kakang Guru?” tanya Sekar Sari.“Tentu saja bukan. Ini seruling biasa yang aku dapatkan berpuluh-puluh tahun lalu,” jawab Limbur Kancana yang kemudian meniup seruling tersebut. Suara embusan angin, deburan air terjun saling bersahutan dengan alunan musik yang tercipta dari alat musik itu.“Berpuluh-puluh tahun lalu?” Sekar Sari memastikan. “Tapi Kakang Guru terlihat seperti pria yang baru saja menginjak usia 30 tahunan. Jujur saja, aku terkejut ketika Kakang Guru adalah guru dari guru kami.”Limbur Kancana tertawa. “Itu karena aku hebat.”Tak ada lagi yang bertanya atau berbicara setelahnya, termasuk Lingga yang masih bingung dengan perkataan tersebut. Ia sepertinya masih belum mengenal siapa Limbur Kancan
“Ma-maafkan aku, Nyai.” Lingga tiba-tiba saja menjatuhkan Sekar Sari.Sekar Sari seketika tercebur ke sungai. Dinginnya air dengan cepat menyadarkannya bahwa ia baru saja dijatuhkan secara sengaja. “Apa yang kau lakukan?” teriaknya kencang, “kau pasti sengaja melakukannya?”Sekar Sari memukul-mukul air, berdiri dengan wajah cemberut. Tubuhnya basah kuyup dan dalam waktu singkat ia mulai menggigil kedinginan, ditambah angin kencang mendadak berembus. “Kau sangat menyebalkan!”Lingga melompat ke sisi sungai, mengusap wajah dengan air untuk mengusir kantuk. Ia berusaha berkonsentrasi pada pertarungan yang masih berlangsung di tengah sungai.Tiruan Limbur Kancana tiba-tiba muncul di tengah-tengah Indra, Meswara, Jaka dan Arya. Dengan gerakan cepat, tiruan pendekar berambut panjang itu memukul Jaka dan Arya, kemudian menendang Indra dan Meswara. Keempat pemuda itu langsung terlempar ke empat penjuru mata angin se
Limbur Kancana dengan gerakan cepat menggetok satu per satu kepala enam pendekar muda itu. Suara pukulan itu terdengar nyaring dan saling bersahutan.Lingga kontan terjatuh ke tanah karena Indra, Meswara, Jaka dan Arya mendadak mengelus kepala mereka masing-masing.“Apa yang Kakang Guru maksud?” tanya Sekar Sari dengan wajah cemberut. Satu tangannya masih mengelus kepala. “Bukannya kami semua berhasil mengalahkan tiruan Kakang Guru?” sambung Indra dengan raut wajah kebingungan.Limbur Kancana memelotot tajam, kembali menggetok kepala enam pendekar itu tanpa iba sedikit pun. “Apa kalian lupa kalau tugas kalian adalah untuk mengambil seruling dari tiruanku?”Lingga dan yang lain sontak terkejut, melempar pandangan satu sama lain. Mereka benar-benar lupa dengan tugas tersebut.“Meski kalian berhasil mengalahkan tiruanku, bukan berarti kalian akan mendapat pujian dariku,” lanjut Limbur
Lingga menunduk, mengamati kedua telapak tangannya lekat-lekat. Dalam sekejap bayangan ketika dirinya mengenggam kujang emas menyesaki isi kepala. Pemuda itu tidak mengira jika senjata itu adalah awal mula kehidupannya berubah. Saat itu, ia hanya berpikir jika kujang itu hanyalah senjata biasa yang diberikan Ki Petot padanya.“Paman, apa menurutmu aku bisa melakukan tugasku dengan baik?” tanya Lingga.Limbur Kancana menoleh, mengamati Lingga cukup lama hingga akhirnya menjawab, “Tentu saja.”“Bagaimana Paman bisa seyakin itu padaku?” Lingga menoleh sesaat, lalu menatap kepalan tangannya. “Jujur saja, aku ... sendiri sering dihantui ketakutan kalau aku akan gagal. Setelah mendengar cerita dari paman Ganawirya dan Sekar Sari, aku takut kalau kehadiranku justru akan membuat semua orang semakin menderita. Aku juga takut jika aku tidak bisa membawa harapan dan keinginan mereka.”“Ketakutanmu memang beralasa
Saat hampir semua orang masih terlelap dalam tidurnya, Lingga justru tengah berlari sembunyi-sembunyi menuju air terjun. Pemuda itu langsung melompat ke arah batu besar di bawah air terjun untuk memulai latihan.“Paman benar,” ujar Lingga di sela-sela pukulan dan tendangannya menghantam aliran air terjun. “Aku adalah perwujudan harapan dan doa dari orang-orang. Jika paman saja percaya padaku, maka aku seharusnya lebih percaya pada diriku sendiri. Aku akan berlatih lebih keras dibanding siapa pun.”Malam sunyi di bawah cahaya bulan purnama dilalui Lingga dengan berlatih. Udara dingin sama sekali tidak mengganggunya meski saat itu tubuh bagian atasnya dibiarkan terbuka. Pukulan dan tendangan saling bersahutan memecah aliran air terjun. Keringat tampak bercampur dengan air yang sudah membasahi raga.Di salah satu pohon yang tak jauh dari air terjun, Sekar Sari tengah mengintip Lingga berlatih. Gadis itu cemberut, tetapi di sisi lain tak bisa
Selesai berlatih, Lingga kembali ke padepokan untuk beistirahat. Langit masih tampak diselimuti kegelapan dengan taburan bintang. Ketika sedang nyaman tertidur, hidungnya tiba-tiba terasa sangat gatal.Lingga mengerjapkan bola mata, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. Ia melihat Limbur Kancana sedang menjailinya dengan rumput panjang yang sengaja dimasukkan ke lubang hidungnya.“Apa yang sedang Paman lakukan?” tanya Lingga sembari menepis rumput panjang dari wajahnya.“Cepatlah bangun, Lingga,” ujar Limbur Kancana, “aku akan membawamu ke tempat yang bagus.”“Apa kita akan latihan di sana, Paman?” tanya Lingga yang dengan cepat berdiri.Limbur Kancana berbisik di telinga Lingga, “Aku akan mengajari sesuatu yang hebat padamu.”“Benarkah, Paman?” Lingga tiba-tiba tersenyum. Wajahnya penuh dengan binar kebahagiaan. “Apa itu sebuah jurus yang hebat?”&l
“Sebaiknya kita mencari tempat yang sepi,” usul Indra.“Baik, kakang,” sahut Lingga.Lingga dan yang lain kini berada di tempat yang cukup jarang dilalui lalu lalang murid padepokan. Limbur Kancana memilih berbaring di dahan pohon.“Sebelum Ki Petot meninggal, dia sempat memberikan kami selembar kain,” ujar Indra sembari menyodorkan kain yang dimaksud pada Lingga.Lingga menerima kain merah tersebut, mengamatinya dengan saksama.“Alirkan tenaga dalammu pada kain itu, Lingga,” ucap Meswara.Lingga mengalirkan tenaga dalamnya sesuai yang diperintahkan. Secara tiba-tiba tangan kanannya menerobos kain tersebut. “Apa yang terjadi, Kakang?”“Kain itu adalah kain yang digunakan untuk menyimpan senjata-senjata yang sudah dibuat oleh Ki Petot,” terang Indra, “senjata yang kami gunakan saat malam tadi adalah senjata yang kami peroleh dari kain tersebut. Sesuai dengan