Lingga dan Limbur Kancana makan seperti kesetanan ketika berada di ruangan makan. Keduanya lahap menghabiskan sajian di meja. Para pelayanan silih berganti membawa makanan kepada mereka.
Di luar ruang makan, para murid perempuan mengintip aksi Lingga. Mereka tersenyum malu melihat bagaimana pemuda itu menghabiskan makanan dengan lahap. Kabar tersiar dengan cepat hingga halaman depan yang tadinya masih sepi kini dipenuhi oleh para gadis yang berkerumun.
“Itu ayam milikku, Paman,” ujar Lingga saat Limbur Kancana mengambil ayam dari tangannya.
Limbur Kancana dengan mudah menggetok kepala Lingga. Dengan mulut menguyah, ia berkata, “Aku ... harus ... mengisi tenagaku setelah menjagamu selama ini, ditambah semalam aku sudah bertarung dengan Ganawirya.”
Lingga mengelus kepalanya dengan tangan kiri. Pemuda itu berusaha mengambil sisa ayam di tangan Limbur Kancana dengan gerakan senyap, tetapi ia justru kembali mendapat getokan.
&ldq
“Kenapa Paman meninggalkanku begitu saja?” tanya Lingga dengan suara berbisik. “Apa kau menangis karena dikerumuni para gadis?” Limbur Kancana menepuk-nepuk perutnya yang menggembung. “Aku sepertinya harus mengajarimu bagaimana caranya menjadi pria sejati.” Limbur Kancana kemudian berbaring di tanah sembari membersihkan gigi dengan ranting kecil. “Indra, aku ingin mendengar kabar yang kau dan rekan-rekanmu dapatkan semalam,” ucap Ganawirya yang seolah tak terganggu dengan sikap Limbur Kancana. “Kami mendengar jika pasukan Kalong Setan sedang berada dalam perjalanan untuk memasuki beberapa wilayah tengah tatar Pasundan, Guru. Para warga sudah mengungsi sejak beberapa hari lalu ke lokasi yang lebih aman. Kami mendapatkan kabar tersebut dari para pendekar golongan putih yang ada di perbatasan.” “Aku mengerti,” ucap Ganawirya. Limbur Kancana tiba-tiba bangkit. Tubuhnya serasa ditarik dari samping. Pria itu kemudian berbalik, menatap
Matahari merangkak lebih tinggi ke puncak langit. Di halaman padepokan, para murid laki-laki masih berlatih di tengah gempuran panas sang surya, dan Lingga adalah salah satu dari murid-murid tersebut. Setelah pertemuan di pinggiran tebing tadi usai, ia bergegas untuk berlatih. Para murid perempuan dan para pelayan lagi-lagi memperhatikan Lingga dari balik semak-semak dan pepohonan. Mereka seperti melihat taman subur setelah sekian lama bergulat dengan padang pasir yang gersang. “Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Sekar Sari pada para murid perempuan dan pelayan. Gadis itu muncul dari dahan pohon. “Apa kalian tidak takut akan dihukum, guru? Bukankah kita sedang dalam waktu latihan?” “Aku tahu kau juga sering mengintip pemuda tampan itu, Sekar Sari,” ucap salah satu murid, “jika matamu masih saja tidak bisa berpaling dari pemuda itu, jangan banyak bicara dan ikutlah bersembunyi bersama kami.” “Bukankah kau sendiri yang membawa pemuda itu dan
Lingga dan yang lain mengangguk serempak.Limbur Kancana mendadak menguap. Pria itu mengeluarkan sebuah seruling dari balik rambut, kemudian memainkannya.“Apa itu seruling sakti, Kakang Guru?” tanya Sekar Sari.“Tentu saja bukan. Ini seruling biasa yang aku dapatkan berpuluh-puluh tahun lalu,” jawab Limbur Kancana yang kemudian meniup seruling tersebut. Suara embusan angin, deburan air terjun saling bersahutan dengan alunan musik yang tercipta dari alat musik itu.“Berpuluh-puluh tahun lalu?” Sekar Sari memastikan. “Tapi Kakang Guru terlihat seperti pria yang baru saja menginjak usia 30 tahunan. Jujur saja, aku terkejut ketika Kakang Guru adalah guru dari guru kami.”Limbur Kancana tertawa. “Itu karena aku hebat.”Tak ada lagi yang bertanya atau berbicara setelahnya, termasuk Lingga yang masih bingung dengan perkataan tersebut. Ia sepertinya masih belum mengenal siapa Limbur Kancan
“Ma-maafkan aku, Nyai.” Lingga tiba-tiba saja menjatuhkan Sekar Sari.Sekar Sari seketika tercebur ke sungai. Dinginnya air dengan cepat menyadarkannya bahwa ia baru saja dijatuhkan secara sengaja. “Apa yang kau lakukan?” teriaknya kencang, “kau pasti sengaja melakukannya?”Sekar Sari memukul-mukul air, berdiri dengan wajah cemberut. Tubuhnya basah kuyup dan dalam waktu singkat ia mulai menggigil kedinginan, ditambah angin kencang mendadak berembus. “Kau sangat menyebalkan!”Lingga melompat ke sisi sungai, mengusap wajah dengan air untuk mengusir kantuk. Ia berusaha berkonsentrasi pada pertarungan yang masih berlangsung di tengah sungai.Tiruan Limbur Kancana tiba-tiba muncul di tengah-tengah Indra, Meswara, Jaka dan Arya. Dengan gerakan cepat, tiruan pendekar berambut panjang itu memukul Jaka dan Arya, kemudian menendang Indra dan Meswara. Keempat pemuda itu langsung terlempar ke empat penjuru mata angin se
Limbur Kancana dengan gerakan cepat menggetok satu per satu kepala enam pendekar muda itu. Suara pukulan itu terdengar nyaring dan saling bersahutan.Lingga kontan terjatuh ke tanah karena Indra, Meswara, Jaka dan Arya mendadak mengelus kepala mereka masing-masing.“Apa yang Kakang Guru maksud?” tanya Sekar Sari dengan wajah cemberut. Satu tangannya masih mengelus kepala. “Bukannya kami semua berhasil mengalahkan tiruan Kakang Guru?” sambung Indra dengan raut wajah kebingungan.Limbur Kancana memelotot tajam, kembali menggetok kepala enam pendekar itu tanpa iba sedikit pun. “Apa kalian lupa kalau tugas kalian adalah untuk mengambil seruling dari tiruanku?”Lingga dan yang lain sontak terkejut, melempar pandangan satu sama lain. Mereka benar-benar lupa dengan tugas tersebut.“Meski kalian berhasil mengalahkan tiruanku, bukan berarti kalian akan mendapat pujian dariku,” lanjut Limbur
Lingga menunduk, mengamati kedua telapak tangannya lekat-lekat. Dalam sekejap bayangan ketika dirinya mengenggam kujang emas menyesaki isi kepala. Pemuda itu tidak mengira jika senjata itu adalah awal mula kehidupannya berubah. Saat itu, ia hanya berpikir jika kujang itu hanyalah senjata biasa yang diberikan Ki Petot padanya.“Paman, apa menurutmu aku bisa melakukan tugasku dengan baik?” tanya Lingga.Limbur Kancana menoleh, mengamati Lingga cukup lama hingga akhirnya menjawab, “Tentu saja.”“Bagaimana Paman bisa seyakin itu padaku?” Lingga menoleh sesaat, lalu menatap kepalan tangannya. “Jujur saja, aku ... sendiri sering dihantui ketakutan kalau aku akan gagal. Setelah mendengar cerita dari paman Ganawirya dan Sekar Sari, aku takut kalau kehadiranku justru akan membuat semua orang semakin menderita. Aku juga takut jika aku tidak bisa membawa harapan dan keinginan mereka.”“Ketakutanmu memang beralasa
Saat hampir semua orang masih terlelap dalam tidurnya, Lingga justru tengah berlari sembunyi-sembunyi menuju air terjun. Pemuda itu langsung melompat ke arah batu besar di bawah air terjun untuk memulai latihan.“Paman benar,” ujar Lingga di sela-sela pukulan dan tendangannya menghantam aliran air terjun. “Aku adalah perwujudan harapan dan doa dari orang-orang. Jika paman saja percaya padaku, maka aku seharusnya lebih percaya pada diriku sendiri. Aku akan berlatih lebih keras dibanding siapa pun.”Malam sunyi di bawah cahaya bulan purnama dilalui Lingga dengan berlatih. Udara dingin sama sekali tidak mengganggunya meski saat itu tubuh bagian atasnya dibiarkan terbuka. Pukulan dan tendangan saling bersahutan memecah aliran air terjun. Keringat tampak bercampur dengan air yang sudah membasahi raga.Di salah satu pohon yang tak jauh dari air terjun, Sekar Sari tengah mengintip Lingga berlatih. Gadis itu cemberut, tetapi di sisi lain tak bisa
Selesai berlatih, Lingga kembali ke padepokan untuk beistirahat. Langit masih tampak diselimuti kegelapan dengan taburan bintang. Ketika sedang nyaman tertidur, hidungnya tiba-tiba terasa sangat gatal.Lingga mengerjapkan bola mata, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. Ia melihat Limbur Kancana sedang menjailinya dengan rumput panjang yang sengaja dimasukkan ke lubang hidungnya.“Apa yang sedang Paman lakukan?” tanya Lingga sembari menepis rumput panjang dari wajahnya.“Cepatlah bangun, Lingga,” ujar Limbur Kancana, “aku akan membawamu ke tempat yang bagus.”“Apa kita akan latihan di sana, Paman?” tanya Lingga yang dengan cepat berdiri.Limbur Kancana berbisik di telinga Lingga, “Aku akan mengajari sesuatu yang hebat padamu.”“Benarkah, Paman?” Lingga tiba-tiba tersenyum. Wajahnya penuh dengan binar kebahagiaan. “Apa itu sebuah jurus yang hebat?”&l
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me