Padepokan Maung Bodas
Langit sudah bersolek lembayung ketika seorang anak laki-laki baru tiba di depan sebuah padepokan. Tampak halaman bangunan itu dipenuhi murid-murid persilatan yang tengah berlatih secara berpasang-pasangan. Ketika mentari sudah sepenuhnya terlelap di ufuk barat, obor yang mengelilingi area sekitar menyala secara bersamaan.
Anak laki-laki bernama Lingga itu memilih jalan samping untuk sampai ke belakang bangunan. Pandangannya bermuara pada kumpulan murid yang masih berlatih, merekam dan mencatat dalam otak semua gerakan yang ditampilkan.
“Kuda-kudanya masih salah, pukulannya kurang bertenaga, gerakannya masih kaku,” gumam Lingga seperti guru yang tengah mengamati perkembangan muridnya. Beban berat yang anak itu pikul mendadak ringan, padahal ia tengah membawa tiga ikat kayu bakar di punggung, juga dua kantong besar berisi buah dan sayuran liar yang ia dapat di sekitar hutan.
Lingga terus bergumam dengan pandangan yang tetap tertuju pada pekarangan. “Jangan sekarang, Ki,” ujarnya seraya menahan tongkat pria tua di depannya dengan tangan kanan.
“Sedang apa kau, Lingga?” tanya Ki Petot. Kakek tua itu tengah berdiri dengan satu kaki di atas bambu runcing yang sengaja dibuat menjadi pagar.
“Aku hanya sedang menonton mereka latihan, Ki.” Lingga beralasan.
“Aku sudah bilang kalau kau—”
“Tidak boleh belajar silat karena kau tidak cocok jadi pendekar. Kau payah, bodoh dan tidak memiliki bakat,” sela Lingga dengan menirukan suara dan gestur Ki Petot saat menceramahinya. Anak laki-laki berusia 13 tahun itu sudah hafal ke mana arah pembicaraan kakek tua itu. Meski sudah sejak kecil tinggal di padepokan ini, tetapi nyatanya Ki Petot sama sekali tak mengizinkannya belajar silat, bahkan untuk sekadar menonton pun masih sering kena omel.
“Kurang ajar!” Ki Petot mendaratkan tongkat ke kepala Lingga hingga terdengar suara ketukan cukup keras.
“Aduh!” Lingga langsung memekik sembari melompat-lompat kecil. Satu kantong besar di tangannya langsung terjatuh ke tanah, sedang yang satunya sengaja ia daratkan di kaki Ki Petot sebagai balasan. Kedua tangannya kini beralih pada bagian kepala yang baru saja digetok.
Ki Petot langsung menendang kantong besar itu dengan cukup keras. Benda itu berhasil mendarat di perut Lingga.
“Aduh!” Lingga terdorong beberapa langkah hingga akhirnya terjatuh dengan posisi terduduk. Kedua tangannya kini beralih mengelus perut. Tiga ikat kayu bakar tampak berserakan di sekelilingnya.
Para murid yang berada di halaman seketika mengalihkan pandangan, menghentikan latihan. Mereka menoleh ke arah bocah laki-laki itu dengan senyum lebar, dan tak lama kemudian terbahak saat melihat Lingga kembali jadi bulan-bulanan sang guru.
“Diam!” pekik Ki Petot. Suaranya yang menggelegar menimbulkan terjangan angin yang cukup kencang hingga api obor dan dedauan di pohon bergoyang ke kiri dan kanan. Padepokan yang ramai dengan tawa mendadak hening seperti kuburan.
Sementara itu, Lingga mengintip Ki Petot dari bawah. Dengan gerakan sesenyap mungkin, ia mulai mengumpulkan kayu bakar, memasukkannya kembali ke keranjang. Bocah itu harus segera kabur sebelum Ki Petot menggetok kepalanya lagi.
“Kalian segera bersiap untuk kegiatan tengah malam nanti,” pinta Ki Petot pada kumpulan murid.
“Baik, Ki,” jawab para murid serempak, setengah membungkuk. Tak lama setelahnya, mereka mulai meninggalkan halaman, memasuki bangunan.
Lingga sudah bersiap kabur, berjalan mengendap-endap agar tak menghasilkan suara. Di rasa cukup aman, ia segera berlari menuju belakang bangunan.
“Dan kau Lingga.” Ki Petot segera memindai keadaan sekitar. Matanya membulat ketika menyadari jika bocah nakal itu sudah tak ada lagi di tempat. Tangannya mulai mengelus jenggot, kemudian berkata dengan nada heran, “Dari mana bocah itu tahu soal kekurangan murid-murid tadi?”
***
Para murid tengah menikmati hidangan makan malam. Lingga tampak sibuk mengambil lauk dan nasi, mondar-mandir dari dapur dan ruang makan. Sudah menjadi kesehariannya menjadi pembantu sekaligus pelayan di padepokan ini. Semua yang berkenaan dengan kebersihan dan kebutuhan seisi padepokan menjadi tanggung jawabnya.
“Kau masih saja cocok jadi pelayan di sini, Lingga,” ujar salah satu murid sembari tertawa.
“Mungkin saja kau akan jadi pelayan selamanya di padepokan ini,” sahut remaja laki-laki di sudut ruangan.
“Aki saja sampai tidak mau mengajarimu silat. Itu sudah pasti karena kau bodoh dan tak memiliki kemampuan. Mengajarimu persis seperti mengajari bagaimana kura-kura terbang.”
“Sebentar lagi kami akan mendapatkan senjata kami masing-masing. Setelah itu, kami akan berpetualang di rimba persilatan untuk menjadi yang terkuat,” timpal yang lain, “sepertinya kau memang ditakdirkan berkutat dengan sapu dan kayu bakar.”
Ruangan makan seketika ramai dengan gelak tawa. Lingga hanya diam sembari menghela napas panjang. Selain menjadi pelayan, anak itu juga terbiasa menjadi bahan olok-olokan para murid. Entah apa alasannya, tetapi setiap kali protes dan meminta diajari ilmu silat pada Ki Petot, ia akan langsung digetok dengan tongkat dan juga mendapat pelototan.
Ruang makan berangsur-angsur sepi. Tampak sampah berserakan di atas dan bawah meja. Lingga bergegas mengumpulkan sisa makanan, memasukkannya ke dalam keranjang bambu, menyapu ruangan hingga kembali bersih.
“Kau baik-baik saja, Lingga?” tanya seorang pemuda dengan ikat kepala hitam.
“Aku baik-baik saja, Kakang,” jawab Lingga dengan senyum tipis.
“Aku harap kau tidak memasukkan perkataan mereka ke dalam hati.” Wira menggaruk belakang tengkuk, mengamati keadaan sekeliling, lalu kembali melirik Lingga sekilas. “Aku harus segera bersiap.”
Wira bergegas keluar ruangan, bergabung bersama rekan-rekannya di pekarangan. Di antara dua puluh murid padepokan, hanya dirinya saja yang bersikap baik pada Lingga. Tak jarang ia menceritakan dan memeragakan gerakan silat pada anak itu.
“Kakang Wira baik sekali padaku. Beda sekali dengan murid lain, padahal Kakang Wira yang paling kuat di antara mereka,” ucap Lingga sembari menatap pintu di mana Wira pergi. “Sebaiknya aku juga bersiap.”
“Bersiap untuk apa?” tanya Ki Petot yang baru masuk dari pintu dapur. Tatapannya menghunus tajam ke Lingga.
“Tentu saja bersiap tidur, Ki.” Lingga keluar dari ruang makan dengan raut sedikit jengkel.
“Bagus. Jangan pernah kau datang ke kegiatan nanti malam,” ujar Ki Petot.
“Aku tahu.”
Ki Petot mengamati Lingga dari celah pintu dapur. Tampak anak itu berjalan ke arah tempat tinggalnya yang berada di belakang bangunan utama. “Dari mana bocah itu tahu kalau Wira yang paling terkuat di antara para murid?”
Meninggalkan keramaian di padepokan, di pinggiran hutan Ledok Beurik, tampak seekor kelelawar terbang ke bawah, melewati pepohonan, menerobos dedaunan. Ketika akan mendekat ke arah tanah, makhluk itu tiba-tiba berubah wujud menjadi seorang pria dewasa berikat kepala hitam.
Pria itu tersenyum dengan mata berkilap merah. Satu tangannya kemudian menghantam ruang kosong di depan dengan kuat. Sebuah kubah tiba-tiba terlihat dengan kondisi bergetar, menipis, dan tak lama kemudian menghilang.
“Aji Panday, jadi di hutan ini kau menyembunyikan kujang emas itu. Bersiaplah.”
Malam kian menggurita di pedalaman hutan Ledok Beurit. Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memantulkan cahaya keemasan. Langit terlihat cerah dari jajahan awan. Di salah satu pohon yang tak jauh dari padepokan, Lingga tengah duduk di dahan paling tinggi. Dari tempatnya saat ini, ia bisa melihat pekatnya Ledok Beurit. Kawasan padepokan ini memang berada di tengah hutan, jauh dari lokasi penduduk. Setidaknya butuh setengah hari agar bisa ke perkampungan terdekat. Berbekal obor kecil, Lingga mulai membuka lembaran gulungan-gulungan berisi gerakan silat yang sengaja ia gambar secara sembunyi-sembunyi. Ia berusaha berkonsentrasi untuk mengamati isi gulungan. Namun, fokusnya justru tertuju pada pekarangan yang ramai. Malam ini, para murid padepokan akan mendapat senjata mereka masing-masing dari Ki Petot sebagai tanda kelulusan dari padepokan ini. “Aku sangat kesal setiap kali kegiatan ini berlangsung.” Lingga menutup kembali gulungan, memilih berbaring
“Lingga!” sentak Ki Petot dengan suara tertahan. Matanya seakan ingin melompat dari tempatnya. Lingga dengan cepat berdiri, menepuk-nepuk baju dan celana. “Punteun, Ki,” ucapnya takut. Pandangan para murid segera tertuju pada Lingga dan Ki Petot. Sepertinya bocah pelayan itu akan kembali menjadi bulan-bulanan sang guru, pikir mereka. “Kenapa kau ada di sini, hah?” Ki Petot segera menunjuk dahi Lingga dengan ujung tongkat. “Bukannya aku sudah memerintahkanmu untuk menjauh dari semua hal yang berbau silat dan pendekar? Kenapa sekarang kau justru berada di sini?” “Ma-maaf, Ki. Aku ... tidak sengaja melihat hantu di kamar Aki,” jawab Lingga seraya menunduk. “Kamar?” Ki Petot sontak mengcengkeram kerah baju Lingga, lalu mengangkat tinggi-tinggi anak itu dengan satu tangan. Pandangannya menguliti Lingga lekat-lekat seperti harimau mengamati buruan. “Siapa yang menyuruhmu masuk ke kamarku, hah? Bukannya aku sudah melarangmu untuk masuk?”
Ki Petot memulai serangan dengan melempar tongkat. Benda itu memutar seperti gangsing ke arah lawan. Kartasura menghindar dengan cara melakukan salto sebanyak tiga kali ke belakang.“Kau mengarahkan tongkatmu ke mana, Aji Panday?” Kartasura tersenyum mengejak bersamaan dengan tubuhnya yang kembali mendarat di tanah.Ki Petot balas menyeringai. Tujuan dari tongkatnya saat ini bukanlah Kartasura, melainkan makhluk hitam di belakangnya. Serangan itu sukses mendarat di perut Jurig Lolong sesuai rencananya. Sosok hitam itu langsung tersungkur hingga membuat tanah bergetar. Dengan begitu, para murid padepokan akan memiliki cukup waktu untuk melarikan diri.“Kurang ajar!” Melihat hal itu, Kartasura seketika dilahap emosi. Ia dengan cepat menerjang ke depan, melayangkan pukulan dan tendangan beruntun ke arah mantan gurunya. Sialnya, pria tua itu dengan mudah mengelak.Ki Petot melompat ke atas tongkatnya, memastikan jika seluruh muridnya b
Di luar padepokan, Jurig Lolong masih mengejar para murid. Makhluk hitam itu terus-menerus memukul palu godam, membuat pohon tumbang dan menghasilkan serbuan angin ganas. Meski lambat dan buta, tetapi serangannya terbilang mematikan. Berbekal penciuman tajam, ia mengendus bau setiap murid. “Mundur, mundur!” perintah Wira yang tengah melompati satu dahan ke dahan lain. Gerakannya terhambat karena harus membawa dua orang temannya yang terluka, sedang rekan-rekannya yang lain masih membuntuti dari belakang. Jurig Lolong tersenyum hingga air liur menggenangi jalan yang dilaluinya. Sosok itu melempar palu godam ke arah depan, membuat jalan Wira dan para murid terhalang. “Kita harus melawan makhluk itu, Wira,” ucap salah satu murid. “Bisa saja ini ujian akhir dari Ki Petot untuk kita,” sahut yang lain, “beliau sengaja mengirim makhluk ini untuk menguji senjata sekaligus kemampuan kita.” “Benar,” sambung yang lain. “Kita harus ingat kalau har
Lingga melompat dari satu pucuk pohon ke pohon lain. Gerakannya cepat dan terarah seperti bajing. Siapa pun yang melihat aksinya pasti akan berpikir jika bocah itu sudah dilatih menjadi pendekar sejak kecil. Pada kenyataannya, Lingga hanya berlatih mandiri tanpa sepengetahuan siapa pun. Ia sering kali digetok oleh Ki Petot hanya karena ketahuan memeragakan salah satu gerakan silat. “Gerrrrrrr.” Lingga mendadak berhenti ketika terdengar suara raungan. Gelombang bunyi itu berubah menjadi terjangan angin yang membuat dedaunan bergerak ke kiri dan kanan. Ia kontan menutup kedua telinga kuat-kuat. “Suara apa ini? Apa mungkin itu makhluk besar yang diceritakan kakang Wira?” Tatapan Lingga seketika tertuju pada empat orang murid padepokan yang tergeletak tak sadarkan diri di dekat sebuah pohon. Ia kontan turun, mendekat, lalu menyisir keadaan sekitar. “Mereka semuanya terluka. Aku harus membawa mereka ke tempat kakang Wira.” Lingga mengangkat empat orang mur
Aksi Lingga yang tengah menaiki tebing mendadak terhenti saat ia mendengar raungan keras yang disusul terjangan angin dari bawah. Tubuhnya dibuat berayun-ayun ke kiri dan kanan hingga nyaris terjatuh. Untungnya, ia masih mampu berpegangan.Jurig Lolong nyatanya berusaha bangkit dengan cara memukul bebatuan yang menancap di tubuhnya. Asap tampak mengepul di bekas lukanya. Makhluk itu meraung keras, memukul tanah sekitar beberapa kali.“Celaka.” Lingga buru-buru naik. Nahas, tubuhnya masih tak bergerak dari tempatnya. Kakinya hanya berlari tanpa bisa berpindah jarak.Jurig Lolong berhasil berdiri di mana asap masih mengepul di sekeliling tubuhnya. Makhluk itu menggeram marah, dan tanpa ampun langsung melayangkan palu godam ke arah Lingga.Di tengah kekalutan, sebuah ide tiba-tiba saja terlintas di kepala Lingga. Ketika serangan Jurig Lolong akan menghantamnya, ia dengan cepat melompat ke arah palu godam, berpegangan dengan kuat.Menyadari
Kartasura seketika mendongak saat mendengar teriakan tersebut. Ia refleks menahan tendangan dengan tangan menyilang. Akan tetapi, ia abai dengan tendangan susulan yang dilancarkan Lingga ke arah dada. Alhasil, serangan tersebut berhasil membuatnya mundur beberapa langkah. Matanya memelotot ketika melihat seorang anak laki-laki sudah berdiri di depannya dengan posisi siaga. “Lingga,” ucap Ki Petot dengan mata membulat. Tubuhnya kembali terjatuh karena tak sepenuhnya mampu menerima keterkejutan yang baru saja terjadi. Ia seperti mimpi saat melihat anak itu berhasil mendaratkan tendangan ke arah Kartasura. “Aki,” ujar Lingga sembari memeriksa keadaan Ki Petot. Wajahnya menggurat kekhawatiran yang begitu mendalam. Matanya tampak berkaca-kaca ketika melihat deretan luka yang dialami Ki Petot. “Kenapa kau ada di sini, Lingga?” tanya Ki Petot sembari menggetok kepala Lingga dengan tongkat. “Bukannya kau sudah Aki usir?” “Aku tahu,” jawab Lingga dengan
“Kurang ajar kau, Kartasura!” sentak Ki Petot saat dengan jelas melihat tubuh Lingga terbang melintas di atasnya. Dengan serangan barusan, bocah itu tidak mungkin akan bisa bertahan, pikirnya.Kartasura terkekeh. Secara mengejutkan, kuku panjang itu kembali ke jari-jarinya. “Itu hukuman yang pantas untuk bocah sombong seperti dia. Sekarang katakan, di mana kujang pusaka itu berada?”“A-aku ... tidak akan pernah ... mengatakannya padamu,” jawab Ki Petot dengan napas yang mulai terputus-putus.Melihat Ki Petot tak berdaya, Kartasura justru kembali terbahak. “Kau memang pantas mendapatkan semua ini, Aji Panday. Dulu kau menghajarku habis-habisan di depan semua murid padepokan. Kau juga mengusirku tanpa belas kasihan di tengah hujan petir. Untuk itu, kau harus mati di tanganku.”Kartasura berdecak, meludah di depan Ki Petot. “Hanya dalam hitungan menit, racun dari kuku itu akan menyebar ke seluruh tubuhmu,