Malam kian menggurita di pedalaman hutan Ledok Beurit. Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memantulkan cahaya keemasan. Langit terlihat cerah dari jajahan awan.
Di salah satu pohon yang tak jauh dari padepokan, Lingga tengah duduk di dahan paling tinggi. Dari tempatnya saat ini, ia bisa melihat pekatnya Ledok Beurit. Kawasan padepokan ini memang berada di tengah hutan, jauh dari lokasi penduduk. Setidaknya butuh setengah hari agar bisa ke perkampungan terdekat.
Berbekal obor kecil, Lingga mulai membuka lembaran gulungan-gulungan berisi gerakan silat yang sengaja ia gambar secara sembunyi-sembunyi. Ia berusaha berkonsentrasi untuk mengamati isi gulungan. Namun, fokusnya justru tertuju pada pekarangan yang ramai. Malam ini, para murid padepokan akan mendapat senjata mereka masing-masing dari Ki Petot sebagai tanda kelulusan dari padepokan ini.
“Aku sangat kesal setiap kali kegiatan ini berlangsung.” Lingga menutup kembali gulungan, memilih berbaring dengan kedua tangan yang dijadikan bantal. Semangatnya mendadak luntur begitu mendengar suara dari pekarangan. Dengan wajah kesal, ia memunggungi bangunan padepokan.
“Kenapa Aki selalu saja melarangku belajar silat? Padahal aku yang lebih lama tinggal di padepokan ini dibanding murid-murid yang lain.”
Lingga kembali berbaring dengan pandangan tertuju pada bulan. “Aku juga heran kenapa Aki tidak pernah mengizinkanku masuk ke kamarnya. Mengintipnya pun aku langsung kena getok, padahal aku cuma ingin membersihkannya. Aki seperti menyimpan harta karun saja di sana.”
“Lingga, kau tidak aku izinkan memasuki kamarku,” ucap Lingga dengan mimik dan gestur yang biasa ditampilkan Ki Petot, bermaksud menghina. “Huh, dasar aki-aki peot!”
Sementara itu, di halaman padepokan, para murid sudah berbaris dengan rapi. Di depan mereka tampak dua meja panjang yang di atasnya terdapat beragam senjata. Ki Petot sendiri berdiri di depan teras, menyaksikan persiapan anak didiknya.
Begitu menilai anak didiknya siap, Ki Petot melemparkan tongkatnya ke arah halaman. Benda itu langsung menancap di tanah, dan dengan satu kali entakan kaki, tubuhnya langsung melompat dan mendarat dengan sempurna di atas tongkat. “Mulai,” perintahnya dengan wajah datar.
Para murid langsung memasang gerakan kuda-kuda, mengentak tanah dengan kaki kanan. Mereka kemudian menampilkan gerakan silat khas Padepokan Maung Bodas, dimulai dari jurus pertama hingga jurus ketujuh. Gerakan mereka persis seperti seekor harimau, sesuai dengan nama tempat di mana mereka menimba ilmu.
Di sisi lain, Lingga yang baru saja akan terlelap dikejutkan dengan getaran aneh yang muncul entah dari mana. Anak itu hampir saja jatuh kalau tidak segera berpegangan pada dahan pohon. Tangan dan kakinya dengan cepat menangkap gulungan-gulungan silat yang ikut terjatuh. “Hampir saja,” ujarnya sembari kembali menaiki dahan.
Lingga memasukkan gulungan ke dalam baju, lalu menaiki puncak pohon. Pandangannya segera memindai sekeliling. Untuk kedua kalinya, ia merasakan getaran. Anak beralis tebal itu segera terpejam, berusaha menajamkan indra pendengaran. Ia seperti mendengar bunyi gerungan di suatu tempat, dan dari suara itulah getaran itu muncul.
“Ada apa ini?” tanya Lingga. Angin yang berembus membuat bulu kuduknya meremang. Tak biasanya Ledok Beurit sedingin ini. “Aku ... harus memberitahu Aki.”
Lingga mulai menuruni satu per satu dahan. Saat kakinya berhasil mendarat di tanah, getaran itu kembali terasa, dan kali ini lebih kuat dibanding yang pertama. Ia terdiam beberapa saat, kembali menajamkan pendengaran. Suara entakan kaki kini sayup-sayup terdengar dari kejauhan.
“Aki,” panggil Lingga sembari berlari ke arah bangunan. Anak berbaju putih dengan ikat kepala berwarna cokelat itu bergegas menuju halaman depan. Hanya saja saat melihat Ki Petot tengah berdiri di atas tongkat di hadapan para murid, ia justru kembali menarik diri, lalu bersembunyi di sebuah ruangan untuk mengintip keadaan luar.
“Aki hebat sekali,” gumam Lingga dengan pandangan berbinar.
Di halaman bangunan, Ki Petot mengamati satu per satu anak didiknya, lalu berkata, “Malam ini adalah malam terakhir kalian berada di padepokan ini. Esok paginya kalian akan resmi menjadi murid lulusan Padepokan Maung Bodas. Ingat pesanku baik-baik. Kekuatan yang kalian miliki haruslah kalian gunakan untuk menolong sesama, menegakkan kebenaran, meruntuhkan kejahatan dan kezaliman di depan mata. Pendekar yang hebat bukanlah pendekar yang bisa menguasai banyak jurus dan menaklukkan banyak lawan, tetapi pendekar yang bisa menjadi penerang dan pengayom bagi orang-orang di sekelilingnya.”
Ki Petot turun dari tongkat. “Bersiaplah.”
Para murid segera membungkuk, mendaratkan kepalan tangan kanan ke telapak tangan kiri.
Ki Petot mencabut tongkatnya dengan cepat, memutar-mutar benda itu, mengentak tanah dengan tongkat. Kakek tua itu lantas memperagakan jurus pertama hingga jusru ketujuh. Pukulan, tendangan, terjangan, dilakukannya dengan gerakannya cepat, tetapi bertenaga. Meski sudah tua, kehebatan pria tua yang terampil dalam membuat senjata itu tak boleh diragukan.
Di dalam ruangan, Lingga begitu terpesona dengan gerakan yang dilakukan Ki Petot. Meski tubuhnya tengah berada di deretan senjata yang tergantung di dinding kayu, tetapi otaknya dengan cepat merekam semua gerakan itu.
“Itu gerakan yang belum pernah kulihat,” ucap Lingga dengan senyum melintang, “apa itu jurus baru? Aku harus segera mencatat dan mempelajarinya.”
Ki Petot mengakhiri gerakan dengan kedua telapak tangan saling menyatu. Pandangannya kembali memindai para murid. Kakek tua itu kemudian mengentak tanah sebanyak tiga kali dengan tongkat, lalu secara mengejutkan senjata-senjata di meja meluncur ke tiap-tiap anak didiknya.
“Senjata-senjata itu yang memilih pemiliknya sendiri,” kata Ki Petot dengan satu tangan berada di belakang punggung. Ia berjalan ke arah murid-murid, mengamati satu per satu senjata yang didapat anak didiknya. “Ambillah.”
Para murid mulai menegakkan tubuh, lalu tersenyum saat melihat sebuah senjata melayang di depan mereka. Satu per satu dari mereka mulai menggenggam senjata masing-masing.
Di dalam tempat persembunyian, Lingga ikut tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah para murid-murid meski di sisi lain ia merasa iri dan kesal. “Kakang Wira mendapat pedang perak. Itu cocok sekali dengannya.”
Lingga bergeser ke samping, hendak mengintip melalui lubang jendela agar lebih jelas. Akan tetapi, ia malah tak sengaja menjatuhkan sebuah senjata. Bunyinya cukup nyaring sampai ia terlonjak kaget. “Aduh,” ujarnya sembari menutup mulut.
Lingga langsung berjongkok. Sebuah golok berada di dekat kakinya. Tatapannya dengan cepat menyisir sekeliling. Ia baru sadar kalau dirinya berada di kamar Ki Petot. “Aki pasti membunuhku kalau dia sampai tahu aku berada di kamarnya,” ujarnya sembari menepuk dahi. Wajahnya mendadak pucat pasi.
Lingga dengan segera keluar dari kamar. Namun, baru saja kaki kanan menginjak luar ruangan, ia tiba-tiba berhenti. “Tapi, salah sendiri Aki tidak mengunci kamar ini.”
Lingga memindai satu per satu senjata di ruangan. Tampak pedang, panah, kapak, tombak, pecut, golok dan senjata lainnya tersimpan dengan rapi. Matanya berbinar seperti baru saja menemukan harta karun. “Aki tidak akan rugi jika kehilangan sebuah senjata. Lagi pula, dia sudah tua untuk bisa mengingat jumlah dan letak senjatanya.”
Lingga kembali memasuki kamar, menutup pintu, mulai mencari senjata yang sekiranya cocok dengannya. Pandangannya menyisir ke sekeliling seiring dengan tubuh yang memutar. Tatapannya tertuju pada sebuah lukisan bergambar harimau di tengah-tengah ruangan.
“Apa itu lukisan yang diberikan kakang Wira saat pertama kali masuk ke padepokan ini? Jelek sekali seperti wajah Aki. Sebaiknya aku tidak dekat-dekat dengan lukisan bau itu.”
Lingga mengambil sebuah pedang, mengayun-ayunkannya, lalu meletakkannya kembali. Anak itu mencoba satu per satu senjata yang ada. Saking fokus mencari, ia sampai melupakan niatnya untuk memberitahu Ki Petot soal suara dan getaran yang ia rasakan tadi.
Di saat tenggelam dalam antusiasnya, Lingga mendadak dikejutkan oleh sebuah kotak yang tiba-tiba terbang memutari tubuhnya. Ia sontak mundur hingga punggungnya menabrak dinding. Tak sampai di sana, sebuah benda berselimut kain putih tiba-tiba saja keluar dari dalam kotak tersebut.
“Ju-jurig!” teriak Lingga yang langsung kabur dari kamar. Ia lari pontang-panting ke teras bangunan, dan terjatuh saat hendak menuruni tangga. Tubuhnya berguling-guling dan baru berhenti ketika menabrak kaki Ki Petot.
“Lingga!” sentak Ki Petot dengan suara tertahan. Matanya seakan ingin melompat dari tempatnya. Lingga dengan cepat berdiri, menepuk-nepuk baju dan celana. “Punteun, Ki,” ucapnya takut. Pandangan para murid segera tertuju pada Lingga dan Ki Petot. Sepertinya bocah pelayan itu akan kembali menjadi bulan-bulanan sang guru, pikir mereka. “Kenapa kau ada di sini, hah?” Ki Petot segera menunjuk dahi Lingga dengan ujung tongkat. “Bukannya aku sudah memerintahkanmu untuk menjauh dari semua hal yang berbau silat dan pendekar? Kenapa sekarang kau justru berada di sini?” “Ma-maaf, Ki. Aku ... tidak sengaja melihat hantu di kamar Aki,” jawab Lingga seraya menunduk. “Kamar?” Ki Petot sontak mengcengkeram kerah baju Lingga, lalu mengangkat tinggi-tinggi anak itu dengan satu tangan. Pandangannya menguliti Lingga lekat-lekat seperti harimau mengamati buruan. “Siapa yang menyuruhmu masuk ke kamarku, hah? Bukannya aku sudah melarangmu untuk masuk?”
Ki Petot memulai serangan dengan melempar tongkat. Benda itu memutar seperti gangsing ke arah lawan. Kartasura menghindar dengan cara melakukan salto sebanyak tiga kali ke belakang.“Kau mengarahkan tongkatmu ke mana, Aji Panday?” Kartasura tersenyum mengejak bersamaan dengan tubuhnya yang kembali mendarat di tanah.Ki Petot balas menyeringai. Tujuan dari tongkatnya saat ini bukanlah Kartasura, melainkan makhluk hitam di belakangnya. Serangan itu sukses mendarat di perut Jurig Lolong sesuai rencananya. Sosok hitam itu langsung tersungkur hingga membuat tanah bergetar. Dengan begitu, para murid padepokan akan memiliki cukup waktu untuk melarikan diri.“Kurang ajar!” Melihat hal itu, Kartasura seketika dilahap emosi. Ia dengan cepat menerjang ke depan, melayangkan pukulan dan tendangan beruntun ke arah mantan gurunya. Sialnya, pria tua itu dengan mudah mengelak.Ki Petot melompat ke atas tongkatnya, memastikan jika seluruh muridnya b
Di luar padepokan, Jurig Lolong masih mengejar para murid. Makhluk hitam itu terus-menerus memukul palu godam, membuat pohon tumbang dan menghasilkan serbuan angin ganas. Meski lambat dan buta, tetapi serangannya terbilang mematikan. Berbekal penciuman tajam, ia mengendus bau setiap murid. “Mundur, mundur!” perintah Wira yang tengah melompati satu dahan ke dahan lain. Gerakannya terhambat karena harus membawa dua orang temannya yang terluka, sedang rekan-rekannya yang lain masih membuntuti dari belakang. Jurig Lolong tersenyum hingga air liur menggenangi jalan yang dilaluinya. Sosok itu melempar palu godam ke arah depan, membuat jalan Wira dan para murid terhalang. “Kita harus melawan makhluk itu, Wira,” ucap salah satu murid. “Bisa saja ini ujian akhir dari Ki Petot untuk kita,” sahut yang lain, “beliau sengaja mengirim makhluk ini untuk menguji senjata sekaligus kemampuan kita.” “Benar,” sambung yang lain. “Kita harus ingat kalau har
Lingga melompat dari satu pucuk pohon ke pohon lain. Gerakannya cepat dan terarah seperti bajing. Siapa pun yang melihat aksinya pasti akan berpikir jika bocah itu sudah dilatih menjadi pendekar sejak kecil. Pada kenyataannya, Lingga hanya berlatih mandiri tanpa sepengetahuan siapa pun. Ia sering kali digetok oleh Ki Petot hanya karena ketahuan memeragakan salah satu gerakan silat. “Gerrrrrrr.” Lingga mendadak berhenti ketika terdengar suara raungan. Gelombang bunyi itu berubah menjadi terjangan angin yang membuat dedaunan bergerak ke kiri dan kanan. Ia kontan menutup kedua telinga kuat-kuat. “Suara apa ini? Apa mungkin itu makhluk besar yang diceritakan kakang Wira?” Tatapan Lingga seketika tertuju pada empat orang murid padepokan yang tergeletak tak sadarkan diri di dekat sebuah pohon. Ia kontan turun, mendekat, lalu menyisir keadaan sekitar. “Mereka semuanya terluka. Aku harus membawa mereka ke tempat kakang Wira.” Lingga mengangkat empat orang mur
Aksi Lingga yang tengah menaiki tebing mendadak terhenti saat ia mendengar raungan keras yang disusul terjangan angin dari bawah. Tubuhnya dibuat berayun-ayun ke kiri dan kanan hingga nyaris terjatuh. Untungnya, ia masih mampu berpegangan.Jurig Lolong nyatanya berusaha bangkit dengan cara memukul bebatuan yang menancap di tubuhnya. Asap tampak mengepul di bekas lukanya. Makhluk itu meraung keras, memukul tanah sekitar beberapa kali.“Celaka.” Lingga buru-buru naik. Nahas, tubuhnya masih tak bergerak dari tempatnya. Kakinya hanya berlari tanpa bisa berpindah jarak.Jurig Lolong berhasil berdiri di mana asap masih mengepul di sekeliling tubuhnya. Makhluk itu menggeram marah, dan tanpa ampun langsung melayangkan palu godam ke arah Lingga.Di tengah kekalutan, sebuah ide tiba-tiba saja terlintas di kepala Lingga. Ketika serangan Jurig Lolong akan menghantamnya, ia dengan cepat melompat ke arah palu godam, berpegangan dengan kuat.Menyadari
Kartasura seketika mendongak saat mendengar teriakan tersebut. Ia refleks menahan tendangan dengan tangan menyilang. Akan tetapi, ia abai dengan tendangan susulan yang dilancarkan Lingga ke arah dada. Alhasil, serangan tersebut berhasil membuatnya mundur beberapa langkah. Matanya memelotot ketika melihat seorang anak laki-laki sudah berdiri di depannya dengan posisi siaga. “Lingga,” ucap Ki Petot dengan mata membulat. Tubuhnya kembali terjatuh karena tak sepenuhnya mampu menerima keterkejutan yang baru saja terjadi. Ia seperti mimpi saat melihat anak itu berhasil mendaratkan tendangan ke arah Kartasura. “Aki,” ujar Lingga sembari memeriksa keadaan Ki Petot. Wajahnya menggurat kekhawatiran yang begitu mendalam. Matanya tampak berkaca-kaca ketika melihat deretan luka yang dialami Ki Petot. “Kenapa kau ada di sini, Lingga?” tanya Ki Petot sembari menggetok kepala Lingga dengan tongkat. “Bukannya kau sudah Aki usir?” “Aku tahu,” jawab Lingga dengan
“Kurang ajar kau, Kartasura!” sentak Ki Petot saat dengan jelas melihat tubuh Lingga terbang melintas di atasnya. Dengan serangan barusan, bocah itu tidak mungkin akan bisa bertahan, pikirnya.Kartasura terkekeh. Secara mengejutkan, kuku panjang itu kembali ke jari-jarinya. “Itu hukuman yang pantas untuk bocah sombong seperti dia. Sekarang katakan, di mana kujang pusaka itu berada?”“A-aku ... tidak akan pernah ... mengatakannya padamu,” jawab Ki Petot dengan napas yang mulai terputus-putus.Melihat Ki Petot tak berdaya, Kartasura justru kembali terbahak. “Kau memang pantas mendapatkan semua ini, Aji Panday. Dulu kau menghajarku habis-habisan di depan semua murid padepokan. Kau juga mengusirku tanpa belas kasihan di tengah hujan petir. Untuk itu, kau harus mati di tanganku.”Kartasura berdecak, meludah di depan Ki Petot. “Hanya dalam hitungan menit, racun dari kuku itu akan menyebar ke seluruh tubuhmu,
Lingga mundur dengan bertumpu pada siku tangan. Giginya bergemelatuk ketika melihat senyum melintang di bibir Kartasura. Kedua tangannya terkepal, tetapi tak mau melayangkan serangan. Hatinya dipenuhi amarah, tetapi keadaan terus-menerus memaksanya pasrah. Nyatanya, hasil latihannya selama bertahun-tahun tak bisa menunjukkan hasil yang diharapkan.Lingga berusaha mati-matian agar tak menangis, membendung air mata agar tetap di tempat. Muncul benih penyesalan yang kian tumbuh menjadi keputusasaan. “Kalau saja aku lebih keras berlatih dan belajar, kalau saja aku tidak cereboh, kalau saja aku lebih kuat, mungkin keadaanku dan Aki tidak mungkin seperti ini,” lirihnya. Kartasura menendang perut Lingga hingga anak itu terlempar dan berguling-guling ke belakang, lalu mendarat di samping Ki Petot. “Pada akhirnya kalian akan mati di tanganku.”“Lingga,” lirih Ki Petot, berusaha menggapai anak laki-laki di sampingnya.