“Lingga!” sentak Ki Petot dengan suara tertahan. Matanya seakan ingin melompat dari tempatnya.
Lingga dengan cepat berdiri, menepuk-nepuk baju dan celana. “Punteun, Ki,” ucapnya takut.
Pandangan para murid segera tertuju pada Lingga dan Ki Petot. Sepertinya bocah pelayan itu akan kembali menjadi bulan-bulanan sang guru, pikir mereka.
“Kenapa kau ada di sini, hah?” Ki Petot segera menunjuk dahi Lingga dengan ujung tongkat. “Bukannya aku sudah memerintahkanmu untuk menjauh dari semua hal yang berbau silat dan pendekar? Kenapa sekarang kau justru berada di sini?”
“Ma-maaf, Ki. Aku ... tidak sengaja melihat hantu di kamar Aki,” jawab Lingga seraya menunduk.
“Kamar?” Ki Petot sontak mengcengkeram kerah baju Lingga, lalu mengangkat tinggi-tinggi anak itu dengan satu tangan. Pandangannya menguliti Lingga lekat-lekat seperti harimau mengamati buruan. “Siapa yang menyuruhmu masuk ke kamarku, hah? Bukannya aku sudah melarangmu untuk masuk?”
“Ma-maaf, Ki, tadi ... aku tidak sengaja—”
“Kurang ajar!” Ki Petot menampar Lingga hingga tubuh bocah itu terbaring di tanah dengan sudut bibir berdarah. Dalam sekejap, emosi berhasil menguasai diri. “Pergi kau!”
“Maafkan aku, Ki.” Lingga merangkak untuk meraih kaki Ki Petot, tetapi pria tua itu justru menendang tubuhnya. Melihat ekspresi kakek tua di depannya, ia berpikir jika kesalahan yang dirinya lakukan saat ini sangat fatal. Nyatanya ancama Ki Petot tentang kamar itu tidak main-main. “Aku bersalah karena melanggar perintah Aki.”
“Pergi kau!” bentak Ki Petot sembari mengarahkan tongkat ke gerbang padepokan. “Aku tidak butuh pembangkang sepertimu! Kau kuusir dari padepokan ini dan tidak akan kuizinkan untuk kembali sampai kapan pun! Kalau tahu kau akan jadi pembangkang, aku tidak akan sudi lagi membesarkanmu di tempat ini!”
“Ki ...,” lirih Lingga dengan mata berkaca-kaca.
“Pergi!” Ki Petot memunggungi Lingga. Matanya memelotot seperti pedang yang siap menghunus lawan. Para murid yang melihatnya sontak menunduk. Tubuh kakek tua itu bergetar hebat. Ia bahkan harus menekan kaki dengan ujung tongkat. Pandangannya segera mendongak ke langit.
“Aku ... pergi, Ki.” Lingga segera bangkit, mati-matian menahan tangis. “Aku ... tadi mendengar ada getaran dan suara aneh, Ki.”
“Pergi!” usir Ki Petot tanpa menoleh.
Lingga melirik Ki Petot untuk terakhir kali sebelum pergi. Ia berharap kalau hal ini hanya gurauan sang kakek. Akan tetapi, sejak kaki mulai melangkah hingga tubuhnya sudah berada di gapura padepokan, sosok yang sudah merawatnya sejak kecil itu sama sekali tak menarik kata-katanya.
Lingga dengan cepat berlari ke gelapnya hutan. Peninggalan dari padepokan yang ia bawa hanyalah buku-buku silat yang ia gambar sendiri, juga kenangan hidupnya di tempat itu. Ia seharusnya tahu jika memasuki larangan kamar itu adalah mutlak, tak bisa diganggu gugat.
Selepas kepergian Lingga, Ki Petot mulai merasakan gelagat tak beres. Hawa di wilayah ini menjadi pekat dan menyesakkan dada. Getaran dan dengungan aneh juga ikut menyesaki telinga. Pandangannya segera menyisir sekeliling padepokan. Ketika tatapannya tertuju pada gapura padepokan, ia tiba-tiba dikejutkan oleh seseorang pria yang tengah tersenyum ke arahnya.
“Aji Panday, akhirnya aku menemukanmu,” ujar pria itu dengan seringai bengis.
Ki Petot memelotot dengan tatapan tak percaya. “Kartasura.”
Kartasura melompat ke tanah dengan gerakan cepat. Aksinya membuat barisan para murid terbelah menjadi dua seakan membukakan jalan untuknya. “Sudah lama aku tidak bertemu denganmu,” kekehnya.
“Kurang ajar! Mau apa kau, Kartasura?” tanya Ki Petot dengan tatapan tajam. Sungguh aneh, ia tidak merasakan kehadiran mantan muridnya di area hutan ini, padahal dirinya sudah memasang pagar gaib. Bagaimana mungkin ia bisa sampai kecolongan?
Kartasura terbahak, memegangi perut. Pria itu menggurat senyum, lantas memindai keadaan sekeliling. “Kau jahat sekali, Aji Panday. Beginikah sambutanmu untuk murid terbaikmu ini?”
“Pengkhianat sepertimu tidak pantas disambut, dan juga kau bukan lagi muridku,” tegas Ki Petot. Pandangannya segera tertuju pada pemuda tinggi yang tengah menggenggam pedang. “Wira, segera bawa para murid keluar dari sini.”
“Kita bisa melawannya, Ki,” jawab Wira.
“Jangan membantah! Cepat pergi!” perintah Ki Petot.
Wira menoleh pada teman seperguruannya, meminta pendapat. Kebanyakan dari mereka setuju dengan usulannya. Akan tetapi, mereka tidak berani untuk membantah Ki Petot. Untuk itu, mau tak mau ia bersama murid lain mulai meninggalkan padepokan melalui pintu depan.
“Jurig Lolong,” ucap Kartasura dengan seringai bengis.
Secara tiba-tiba, seorang raksasa setinggi tiga meter muncul di depan gerbang padepokan. Sekujur tubuhnya hitam legam dengan bola mata memelotot seperti telur ayam, hidung besar persis babi hutan, juga tanduk melengkuk seperti kerbau.
“Bunuh murid-murid itu,” pinta Kartasura.
Jurig Lolong menggeram.
“Kurang ajar!” Ki Petot segera menerjang ke depan. Namun, aksinya langsung dihadang oleh Kartasura.
“Jika kau ingin murid-muridmu selamat, serahkan kujang emas itu padaku, Aji Panday,” ujar Kartasura dengan mata berkilap merah.
“Aku tidak tahu apa yang kau katakan, Kartasura. Tapi, mengganggu para muridku sama saja kau mencari mati!”
Ki Petot memulai serangan dengan melempar tongkat. Benda itu memutar seperti gangsing ke arah lawan. Kartasura menghindar dengan cara melakukan salto sebanyak tiga kali ke belakang.“Kau mengarahkan tongkatmu ke mana, Aji Panday?” Kartasura tersenyum mengejak bersamaan dengan tubuhnya yang kembali mendarat di tanah.Ki Petot balas menyeringai. Tujuan dari tongkatnya saat ini bukanlah Kartasura, melainkan makhluk hitam di belakangnya. Serangan itu sukses mendarat di perut Jurig Lolong sesuai rencananya. Sosok hitam itu langsung tersungkur hingga membuat tanah bergetar. Dengan begitu, para murid padepokan akan memiliki cukup waktu untuk melarikan diri.“Kurang ajar!” Melihat hal itu, Kartasura seketika dilahap emosi. Ia dengan cepat menerjang ke depan, melayangkan pukulan dan tendangan beruntun ke arah mantan gurunya. Sialnya, pria tua itu dengan mudah mengelak.Ki Petot melompat ke atas tongkatnya, memastikan jika seluruh muridnya b
Di luar padepokan, Jurig Lolong masih mengejar para murid. Makhluk hitam itu terus-menerus memukul palu godam, membuat pohon tumbang dan menghasilkan serbuan angin ganas. Meski lambat dan buta, tetapi serangannya terbilang mematikan. Berbekal penciuman tajam, ia mengendus bau setiap murid. “Mundur, mundur!” perintah Wira yang tengah melompati satu dahan ke dahan lain. Gerakannya terhambat karena harus membawa dua orang temannya yang terluka, sedang rekan-rekannya yang lain masih membuntuti dari belakang. Jurig Lolong tersenyum hingga air liur menggenangi jalan yang dilaluinya. Sosok itu melempar palu godam ke arah depan, membuat jalan Wira dan para murid terhalang. “Kita harus melawan makhluk itu, Wira,” ucap salah satu murid. “Bisa saja ini ujian akhir dari Ki Petot untuk kita,” sahut yang lain, “beliau sengaja mengirim makhluk ini untuk menguji senjata sekaligus kemampuan kita.” “Benar,” sambung yang lain. “Kita harus ingat kalau har
Lingga melompat dari satu pucuk pohon ke pohon lain. Gerakannya cepat dan terarah seperti bajing. Siapa pun yang melihat aksinya pasti akan berpikir jika bocah itu sudah dilatih menjadi pendekar sejak kecil. Pada kenyataannya, Lingga hanya berlatih mandiri tanpa sepengetahuan siapa pun. Ia sering kali digetok oleh Ki Petot hanya karena ketahuan memeragakan salah satu gerakan silat. “Gerrrrrrr.” Lingga mendadak berhenti ketika terdengar suara raungan. Gelombang bunyi itu berubah menjadi terjangan angin yang membuat dedaunan bergerak ke kiri dan kanan. Ia kontan menutup kedua telinga kuat-kuat. “Suara apa ini? Apa mungkin itu makhluk besar yang diceritakan kakang Wira?” Tatapan Lingga seketika tertuju pada empat orang murid padepokan yang tergeletak tak sadarkan diri di dekat sebuah pohon. Ia kontan turun, mendekat, lalu menyisir keadaan sekitar. “Mereka semuanya terluka. Aku harus membawa mereka ke tempat kakang Wira.” Lingga mengangkat empat orang mur
Aksi Lingga yang tengah menaiki tebing mendadak terhenti saat ia mendengar raungan keras yang disusul terjangan angin dari bawah. Tubuhnya dibuat berayun-ayun ke kiri dan kanan hingga nyaris terjatuh. Untungnya, ia masih mampu berpegangan.Jurig Lolong nyatanya berusaha bangkit dengan cara memukul bebatuan yang menancap di tubuhnya. Asap tampak mengepul di bekas lukanya. Makhluk itu meraung keras, memukul tanah sekitar beberapa kali.“Celaka.” Lingga buru-buru naik. Nahas, tubuhnya masih tak bergerak dari tempatnya. Kakinya hanya berlari tanpa bisa berpindah jarak.Jurig Lolong berhasil berdiri di mana asap masih mengepul di sekeliling tubuhnya. Makhluk itu menggeram marah, dan tanpa ampun langsung melayangkan palu godam ke arah Lingga.Di tengah kekalutan, sebuah ide tiba-tiba saja terlintas di kepala Lingga. Ketika serangan Jurig Lolong akan menghantamnya, ia dengan cepat melompat ke arah palu godam, berpegangan dengan kuat.Menyadari
Kartasura seketika mendongak saat mendengar teriakan tersebut. Ia refleks menahan tendangan dengan tangan menyilang. Akan tetapi, ia abai dengan tendangan susulan yang dilancarkan Lingga ke arah dada. Alhasil, serangan tersebut berhasil membuatnya mundur beberapa langkah. Matanya memelotot ketika melihat seorang anak laki-laki sudah berdiri di depannya dengan posisi siaga. “Lingga,” ucap Ki Petot dengan mata membulat. Tubuhnya kembali terjatuh karena tak sepenuhnya mampu menerima keterkejutan yang baru saja terjadi. Ia seperti mimpi saat melihat anak itu berhasil mendaratkan tendangan ke arah Kartasura. “Aki,” ujar Lingga sembari memeriksa keadaan Ki Petot. Wajahnya menggurat kekhawatiran yang begitu mendalam. Matanya tampak berkaca-kaca ketika melihat deretan luka yang dialami Ki Petot. “Kenapa kau ada di sini, Lingga?” tanya Ki Petot sembari menggetok kepala Lingga dengan tongkat. “Bukannya kau sudah Aki usir?” “Aku tahu,” jawab Lingga dengan
“Kurang ajar kau, Kartasura!” sentak Ki Petot saat dengan jelas melihat tubuh Lingga terbang melintas di atasnya. Dengan serangan barusan, bocah itu tidak mungkin akan bisa bertahan, pikirnya.Kartasura terkekeh. Secara mengejutkan, kuku panjang itu kembali ke jari-jarinya. “Itu hukuman yang pantas untuk bocah sombong seperti dia. Sekarang katakan, di mana kujang pusaka itu berada?”“A-aku ... tidak akan pernah ... mengatakannya padamu,” jawab Ki Petot dengan napas yang mulai terputus-putus.Melihat Ki Petot tak berdaya, Kartasura justru kembali terbahak. “Kau memang pantas mendapatkan semua ini, Aji Panday. Dulu kau menghajarku habis-habisan di depan semua murid padepokan. Kau juga mengusirku tanpa belas kasihan di tengah hujan petir. Untuk itu, kau harus mati di tanganku.”Kartasura berdecak, meludah di depan Ki Petot. “Hanya dalam hitungan menit, racun dari kuku itu akan menyebar ke seluruh tubuhmu,
Lingga mundur dengan bertumpu pada siku tangan. Giginya bergemelatuk ketika melihat senyum melintang di bibir Kartasura. Kedua tangannya terkepal, tetapi tak mau melayangkan serangan. Hatinya dipenuhi amarah, tetapi keadaan terus-menerus memaksanya pasrah. Nyatanya, hasil latihannya selama bertahun-tahun tak bisa menunjukkan hasil yang diharapkan.Lingga berusaha mati-matian agar tak menangis, membendung air mata agar tetap di tempat. Muncul benih penyesalan yang kian tumbuh menjadi keputusasaan. “Kalau saja aku lebih keras berlatih dan belajar, kalau saja aku tidak cereboh, kalau saja aku lebih kuat, mungkin keadaanku dan Aki tidak mungkin seperti ini,” lirihnya. Kartasura menendang perut Lingga hingga anak itu terlempar dan berguling-guling ke belakang, lalu mendarat di samping Ki Petot. “Pada akhirnya kalian akan mati di tanganku.”“Lingga,” lirih Ki Petot, berusaha menggapai anak laki-laki di sampingnya.
Jurig Lolong tiba-tiba memekik keras. Makhluk itu dengan cepat berlari ke arah Lingga dengan wajah murka. Ki Petot yang berada di tangannya dibuat terombang-ambing ke kiri dan kanan. Jurig Lolong tanpa ampun langsung menghantam palu godam ke arah Lingga. Akan tetapi, Lingga sudah lebih dahulu melompat hingga posisinya sejajar dengan wajah Jurig Lolong. Kujang emasnya segera tertuju pada makhluk hitam itu. Secara mengejutkan, petir keluar dari ujung kujang dan langsung menyambar Jurig Lolong. Jurig Lolong meraung keras. Tubuhnya berubah kaku dan setelahnya menghilang bagai debu tertiup angin. Untungnya, Ki Petot sama sekali tak mendapatkan efek apa pun dari serangan tersebut. Meski begitu, tubuhnya meluncur cepat ke bawah. Lingga dengan cepat menangkap tubuh Ki Petot, lalu membaringkannya di tanah. “Lingga,” gumam Ki Petot. Lingga mengarahkan kujang emas itu ke arah Ki Petot, dan secara ajaib benda itu menyembuhkan luka dan menghilangkan