Aksi Lingga yang tengah menaiki tebing mendadak terhenti saat ia mendengar raungan keras yang disusul terjangan angin dari bawah. Tubuhnya dibuat berayun-ayun ke kiri dan kanan hingga nyaris terjatuh. Untungnya, ia masih mampu berpegangan.
Jurig Lolong nyatanya berusaha bangkit dengan cara memukul bebatuan yang menancap di tubuhnya. Asap tampak mengepul di bekas lukanya. Makhluk itu meraung keras, memukul tanah sekitar beberapa kali.
“Celaka.” Lingga buru-buru naik. Nahas, tubuhnya masih tak bergerak dari tempatnya. Kakinya hanya berlari tanpa bisa berpindah jarak.
Jurig Lolong berhasil berdiri di mana asap masih mengepul di sekeliling tubuhnya. Makhluk itu menggeram marah, dan tanpa ampun langsung melayangkan palu godam ke arah Lingga.
Di tengah kekalutan, sebuah ide tiba-tiba saja terlintas di kepala Lingga. Ketika serangan Jurig Lolong akan menghantamnya, ia dengan cepat melompat ke arah palu godam, berpegangan dengan kuat.
Menyadari
Kartasura seketika mendongak saat mendengar teriakan tersebut. Ia refleks menahan tendangan dengan tangan menyilang. Akan tetapi, ia abai dengan tendangan susulan yang dilancarkan Lingga ke arah dada. Alhasil, serangan tersebut berhasil membuatnya mundur beberapa langkah. Matanya memelotot ketika melihat seorang anak laki-laki sudah berdiri di depannya dengan posisi siaga. “Lingga,” ucap Ki Petot dengan mata membulat. Tubuhnya kembali terjatuh karena tak sepenuhnya mampu menerima keterkejutan yang baru saja terjadi. Ia seperti mimpi saat melihat anak itu berhasil mendaratkan tendangan ke arah Kartasura. “Aki,” ujar Lingga sembari memeriksa keadaan Ki Petot. Wajahnya menggurat kekhawatiran yang begitu mendalam. Matanya tampak berkaca-kaca ketika melihat deretan luka yang dialami Ki Petot. “Kenapa kau ada di sini, Lingga?” tanya Ki Petot sembari menggetok kepala Lingga dengan tongkat. “Bukannya kau sudah Aki usir?” “Aku tahu,” jawab Lingga dengan
“Kurang ajar kau, Kartasura!” sentak Ki Petot saat dengan jelas melihat tubuh Lingga terbang melintas di atasnya. Dengan serangan barusan, bocah itu tidak mungkin akan bisa bertahan, pikirnya.Kartasura terkekeh. Secara mengejutkan, kuku panjang itu kembali ke jari-jarinya. “Itu hukuman yang pantas untuk bocah sombong seperti dia. Sekarang katakan, di mana kujang pusaka itu berada?”“A-aku ... tidak akan pernah ... mengatakannya padamu,” jawab Ki Petot dengan napas yang mulai terputus-putus.Melihat Ki Petot tak berdaya, Kartasura justru kembali terbahak. “Kau memang pantas mendapatkan semua ini, Aji Panday. Dulu kau menghajarku habis-habisan di depan semua murid padepokan. Kau juga mengusirku tanpa belas kasihan di tengah hujan petir. Untuk itu, kau harus mati di tanganku.”Kartasura berdecak, meludah di depan Ki Petot. “Hanya dalam hitungan menit, racun dari kuku itu akan menyebar ke seluruh tubuhmu,
Lingga mundur dengan bertumpu pada siku tangan. Giginya bergemelatuk ketika melihat senyum melintang di bibir Kartasura. Kedua tangannya terkepal, tetapi tak mau melayangkan serangan. Hatinya dipenuhi amarah, tetapi keadaan terus-menerus memaksanya pasrah. Nyatanya, hasil latihannya selama bertahun-tahun tak bisa menunjukkan hasil yang diharapkan.Lingga berusaha mati-matian agar tak menangis, membendung air mata agar tetap di tempat. Muncul benih penyesalan yang kian tumbuh menjadi keputusasaan. “Kalau saja aku lebih keras berlatih dan belajar, kalau saja aku tidak cereboh, kalau saja aku lebih kuat, mungkin keadaanku dan Aki tidak mungkin seperti ini,” lirihnya. Kartasura menendang perut Lingga hingga anak itu terlempar dan berguling-guling ke belakang, lalu mendarat di samping Ki Petot. “Pada akhirnya kalian akan mati di tanganku.”“Lingga,” lirih Ki Petot, berusaha menggapai anak laki-laki di sampingnya.
Jurig Lolong tiba-tiba memekik keras. Makhluk itu dengan cepat berlari ke arah Lingga dengan wajah murka. Ki Petot yang berada di tangannya dibuat terombang-ambing ke kiri dan kanan. Jurig Lolong tanpa ampun langsung menghantam palu godam ke arah Lingga. Akan tetapi, Lingga sudah lebih dahulu melompat hingga posisinya sejajar dengan wajah Jurig Lolong. Kujang emasnya segera tertuju pada makhluk hitam itu. Secara mengejutkan, petir keluar dari ujung kujang dan langsung menyambar Jurig Lolong. Jurig Lolong meraung keras. Tubuhnya berubah kaku dan setelahnya menghilang bagai debu tertiup angin. Untungnya, Ki Petot sama sekali tak mendapatkan efek apa pun dari serangan tersebut. Meski begitu, tubuhnya meluncur cepat ke bawah. Lingga dengan cepat menangkap tubuh Ki Petot, lalu membaringkannya di tanah. “Lingga,” gumam Ki Petot. Lingga mengarahkan kujang emas itu ke arah Ki Petot, dan secara ajaib benda itu menyembuhkan luka dan menghilangkan
Darah langsung menyembur dari mulut dan punggung Ki Petot ketika tangan Kartasura berhasil melubangi dadanya. Kuku beracun itu kini bersiap untuk mengincar jantungnya.Ki Petot segera memfokuskan kekuatan di kedua tangan dan kaki. Dalam sekajap, tubuhnya tiba-tiba menghilang dan kembali muncul di belakang Kartasura. Berperang dengan rasa sakit yang teramat sangat, kakek tua itu langsung menyerang mantan muridnya dengan membabi buta. Kedua tangan dan kakinya mengeluarkan cahaya putih seperti cakar harimau.“Ah!” Kartasura kontan memekik kencang. Sayap kelelawar dan taring di giginya mendadak hilang, bola matanya pun kembali normal. Tak lama setelahnya, ia ambruk di tanah dengan kondisi punggung yang penuh dengan luka cakaran.“Ku-kurang ... kurang ajar kau, Aji Panday!” maki Kartasura seraya memaksakan diri menoleh ke belakang.Ki Petot tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menghabisi lawan. Dengan darah yang kian deras menyembur dari
Malam kembali menguasai langit. Cahaya lampu obor tampak menerobos celah-celah kecil sebuah bangunan besar di tengah hutan. Tampak seorang pria bertubuh tinggi tengah mondar-mandir dengan kedua tangan berada di belakang punggung. Matanya memidai tajam ke sekeliling.Pria itu mengembus napas panjang, kemudian duduk di kursi singgasana. Tatapannya menyisir satu per satu bawahan yang tengah berlutut di depannya. “Aku bisa merasakan jika sesuatu yang berbahaya telah terjadi beberapa hari kemarin,” ucapnya.Empat orang yang tengah berlutut di depannya saling menoleh, tetapi tak berani mendongak, terlebih menyela ucapan pria yang tengah duduk di kursi singgasana.“Aku bahkan bisa merasakan darahku mendidih saat ini,” lanjut pria berkulit kemerah-merahan itu. Kuku-kuku jarinya mendadak memanjang sesaat. Ada kilat kemarahan yang terpancar di kedua bola matanya. Sebagai manusia setengah iblis, ia tidak pernah merasa segelisah ini.Pri
“Hamba mohon jangan dengarkan ucapan Kartasura dan pemuda itu, Gusti,” ujar Argaseni. Tubuhnya segera memutar dan menghadap punggung Totok Surya.Totok Surya seketika menoleh pada Argaseni. Dalam satu kediapan mata, pria itu dibuat melayang hingga menabrak dinding bangunan.Kartasura tersenyum tipis saat melihat Argaseni terkapar sembari menahan perih. Pemandangan itu benar-benar menghiburnya saat ini. Sudah lama ia tidak menyukai Argaseni karena pria itu terus meremehkannya.“Lalu di mana anak itu, Kartasura?” tanya Totok Surya.Mendengar hal itu, Kartasura langsung menegang. Bola matanya membulat seperti telur ayam. “Am-ampun, Gusti. A-anak itu ... berhasil membawa kujang emas itu. Saat hamba akan mengejarnya, hamba dihalangi oleh Aji Panday.”“Bodoh!” Totok Surya mengibaskan satu tangan yang menyebabkan Kartasura langsung terlempar ke belakang.Kartasura yang tak siap tiba-tiba sudah menabra
Kartasura dan Argaseni langsung melompat ke tanah lapang. Sementara itu, tiga anggota Cakar Setan dan Wira segera mendekat ke sisi lokasi. Pertarungan itu langsung menjadi pusat perhatian. Dalam waktu singkat, lokasi itu dipenuhi oleh banyak pendekar. “Aku beruntung sekali karena memiliki seseorang untuk menguji kekuatan baruku.” Kartasura terkekeh. “Aku harap kau tidak menyesali perbuatanmu karena berani menantangku. Terakhir kali aku menghajarmu, kau tak sadarkan diri selama dua hari, Kartasura.” Argaseni menyeringai. “Kau bisa memohon ampun dan menangis jika kau merasa tidak bisa lagi bertarung.” “Seperti biasa kau selalu saja banyak bicara. Tapi di pertarungan ini, aku akan membuatmu bungkam selamanya.” Argaseni meludah. “Matilah!” Kartasura dan Argaseni langsung menerjang ke depan. Kedua pria itu menyerang dengan pukulan dan tendangan beruntun. Keduanya tampak imbang untuk sementara waktu. Debu-debu tanah menyesaki area pertarungan hingga