“Hamba mohon jangan dengarkan ucapan Kartasura dan pemuda itu, Gusti,” ujar Argaseni. Tubuhnya segera memutar dan menghadap punggung Totok Surya.
Totok Surya seketika menoleh pada Argaseni. Dalam satu kediapan mata, pria itu dibuat melayang hingga menabrak dinding bangunan.
Kartasura tersenyum tipis saat melihat Argaseni terkapar sembari menahan perih. Pemandangan itu benar-benar menghiburnya saat ini. Sudah lama ia tidak menyukai Argaseni karena pria itu terus meremehkannya.
“Lalu di mana anak itu, Kartasura?” tanya Totok Surya.
Mendengar hal itu, Kartasura langsung menegang. Bola matanya membulat seperti telur ayam. “Am-ampun, Gusti. A-anak itu ... berhasil membawa kujang emas itu. Saat hamba akan mengejarnya, hamba dihalangi oleh Aji Panday.”
“Bodoh!” Totok Surya mengibaskan satu tangan yang menyebabkan Kartasura langsung terlempar ke belakang.
Kartasura yang tak siap tiba-tiba sudah menabra
Kartasura dan Argaseni langsung melompat ke tanah lapang. Sementara itu, tiga anggota Cakar Setan dan Wira segera mendekat ke sisi lokasi. Pertarungan itu langsung menjadi pusat perhatian. Dalam waktu singkat, lokasi itu dipenuhi oleh banyak pendekar. “Aku beruntung sekali karena memiliki seseorang untuk menguji kekuatan baruku.” Kartasura terkekeh. “Aku harap kau tidak menyesali perbuatanmu karena berani menantangku. Terakhir kali aku menghajarmu, kau tak sadarkan diri selama dua hari, Kartasura.” Argaseni menyeringai. “Kau bisa memohon ampun dan menangis jika kau merasa tidak bisa lagi bertarung.” “Seperti biasa kau selalu saja banyak bicara. Tapi di pertarungan ini, aku akan membuatmu bungkam selamanya.” Argaseni meludah. “Matilah!” Kartasura dan Argaseni langsung menerjang ke depan. Kedua pria itu menyerang dengan pukulan dan tendangan beruntun. Keduanya tampak imbang untuk sementara waktu. Debu-debu tanah menyesaki area pertarungan hingga
“Sialan kau, Kartasura!” pekik Argaseni dengan wajah memerah. “Aku akan membunuhmu!”Kartasura melompat ke arah Wira. Pria itu kembali ke keadaan semula. Sejujurnya, ia terkejut dengan kekuatan yang dirinya miliki saat ini. Ia sangat sulit menghadapi ular raksasa milik Argaseni beberapa waktu lalu, tetapi sekarang ia dengan mudah mempermainkan mahluk sialan itu. Jadi, inikah kekuatan yang sudah diberikan Totok Surya padanya?Kartasura berjalan ke arah kumpulan anggota Cakar Setan yang masih terbaring di tanah. “Kita tahu siapa yang lebih hebat di sini sekarang,” ujarnya.“Kartasura! Aku tidak akan ....” Argaseni tiba-tiba batuk darah. Matanya menyorotkan pandangan penuh kebencian.Kartasura terkekeh, melewati anggota Cakar Setan tanpa menoleh sedikit pun. “Sebaiknya kita bergegas Wira.”“Baik, Raka.” Wira membuntuti dari belakang. Bibirnya menyungging senyum penuh kepuasan sete
Kerajaan Kalong Setan tampak sepi malam ini, yang terlihat hanya beberapa pendekar yang tengah berjaga di gerbang depan dan belakang. Selepas kejadian semalam, Totok Surya belum keluar dari tempatnya bersemedi. Di sisi lain, empat anggota Cakar Setan tengah berada di tanah lapang bersama kumpulan bawahan mereka. “Kita akan berangkat menuju Ledok Beurit sekarang,” ujar Wulung, “anak buahku yang kuperintahkan untuk menjadi penyusup di pasukan Kartasura mengatakan jika Kartasura dan adiknya sudah berangkat ke Ledok Beurit setelah matahari terbenam.” “Lalu kenapa kau mengumpulkan kita tengah malam, Wulung?” tanya Argaseni dengan mata memelotot, “bisa saja Kartasura dan bocah bernama Wira itu lebih dulu menemukan bocah itu.” “Kau benar-benar bodoh, Argaseni,” maki Brajawesi. “Kau menantangku?” Argaseni segera memasang kuda-kuda. “Kau pikir aku takut?” Brajawesi ikut bersiaga. “Hentikan tindakan kalian.” Wulung menengahi. “Kita di sini untuk
Di halaman padepokan, Kartasura tengah bersemedi. Beberapa ekor kelelawar muncul dari beberapa bagian tubuhnya, lalu terbang ke sekeliling hutan Ledok Beurit. Bayangan-bayangan pertarungannya dengan Lingga dan peristiwa saat anak itu memanggil kujang emas terus bermunculan dalam benak.Kartasura mencoba mengingat ke mana bocah itu pergi setelah dirinya terlempar ke dalam hutan. Saat menyerang Ki Petot, Lingga sudah tidak berada di padepokan ini.Kartasura kembali membuka mata. Wira sudah berada di depannya dengan posisi berlutut. “Kau menemukan sesuatu, Wira?” tanyanya sembari berdiri.Wira ikut bangkit dari posisinya. “Aku baru ingat dengan kondisi murid padepokan, Raka. Aku sama sekali tidak bisa menemukan keberadaan mereka di tempat ini, begitupun dengan mayat para murid yang tewas. Saat aku berada di gua, samar-samar aku mencium bau beberapa murid, tapi setelahnya aku kehilangan bau mereka.”“Aku juga tidak bisa men
Kartasura baru saja menarik mundur pasukannya dari Ledok Beurit. Kondisi hutan yang ramai dengan para pendekar perlahan sepi. Tak lama setelah kepergian mereka, tiga bayangan tampak berkelebat keluar dari sebuah gua, melompati dahan-dahan pohon, bergerak menuju perkampungan terdekat.Saat pagi mulai menyingsing, tiga orang itu berhenti di pinggiran sungai untuk beristirahat. Satu per satu dari mereka membasahi wajah dan rambut, berbagi minuman. Lokasi mereka saat ini berada di pinggiran Ledok Beurit.“Kita harus segera memberi kabar pada Ki Petot mengenai apa yang kita temukan,” ujar seorang pemuda bercaping hitam.“Apa itu pilihan yang bijak di saat kondisi Ki Petot sedang sakit parah, Indra?” tanya pemuda bercaping putih.“Aku sependapat dengan Arya. Lebih baik kita merahasiakan hal ini sampai keadaan Ki Petot kembali membaik,” sahut pemuda bertubuh kurus tinggi bernama Meswara.“Baiklah,” ujar Indr
Indra, Arya dan Meswara seketika saling melempar pandangan, sedang Jaka hanya diam saat melihat ketiga kawannya seperti tengah berkomunikasi lewat tatapan dan gestur tubuh.“Bagaimana keadaan, Wira?” tanya Ki Petot, “kalian tidak perlu takut. Aku ... tidak akan menghukum kalian.”Indra menyikut Arya dan Meswara bergantian. Mau tak mau ketiganya harus mengatakan kabar mengenai Wira yang mereka lihat saat di Ledok Beurit tadi.“Katakan!” pinta Ki Petot tegas.“Wi-wira berhasil selamat, Ki,” ucap Indra pada akhirnya.“Lalu di mana dia sekarang?” tanya Ki Petot, “kenapa kalian tidak bersamanya?”Indra kembali menyikut Arya dan Meswara. Meski pemuda itu yang pertama kali mengusulkan untuk langsung memberi tahu Ki Petot, tetapi ia menjadi tak tega saat melihat kesedihan yang terpahat di wajah sang guru.“Se-sebenarnya ada hal yang ingin kami sampaikan soal Wira, K
“Pewaris?” Keempat murid itu seketika terkejut ketika mendengar kabar tersebut. Mereka saling berpandangan dengan tatapan tak percaya. Bagaimana mungkin seorang anak yang bahkan dilarang untuk belajar silat bisa menjadi pewaris kujang emas?“Benar.” Ki Petot mengangguk, berjalan melewati keempat muridnya, lalu menatap mereka satu per satu. “Tujuan mereka mencari Lingga adalah untuk mendapat kujang emas itu. Kujang emas adalah pusaka yang sudah dicari komplotan Kalong Setan sejak lama. Aku diperintahkan untuk menyimpan dan melindungi pusaka itu sejak lama. Jika sampai kujang emas itu jatuh ke tangan mereka, bisa dipastikan kita semua akan binasa.”Ki Petot melanjutkan, “Saat aku terluka karena racun yang diberikan Kartasura, Lingga tiba-tiba muncul untuk menolongku. Dia bertarung dengan Kartasura dan tanpa diduga dia bisa mengimbanginya. Lingga ternyata secara diam-diam berlatih silat tanpa sepengetahuanku, bahkan bisa dibilang
Di salah satu sudut istana Kalong Setan, Kartasura tengah berdiri dengan kedua tangan berada di belakang. Tatapannya menyipit sesaat, kemudian menajam. Pria itu sudah mengerahkan pasukan untuk mencari Lingga ke beberapa perkampungan. Akan tetapi, ia belum mendapatkan kabar keberadaan anak itu hingga saat ini.Kartasura mengembus napas panjang. Pria itu cukup heran dengan ketiadaan anggota Cakar Setan malam ini di lingkungan istana. Ia sudah memeriksa semua bawahannya, tetapi tidak ada tanda-tanda jika ada pengkhianat di antara mereka. Selain itu, Totok Surya sama sekali tidak pernah keluar dari ruangan pertapaannya sejak beberapa hari lalu.Seekor kelelawar terbang merendah, lalu berubah menjadi Wira ketika mendarat di tanah.“Bagaimana dengan pencarianmu, Wira?” tanya Kartasura sembari berbalik menghadap sang adik.“Aku sudah mencari di beberapa perkampungan warga, tapi aku masih belum bisa menemukan keberadaan Lingga, Raka,” jawa