Kerajaan Kalong Setan tampak sepi malam ini, yang terlihat hanya beberapa pendekar yang tengah berjaga di gerbang depan dan belakang. Selepas kejadian semalam, Totok Surya belum keluar dari tempatnya bersemedi. Di sisi lain, empat anggota Cakar Setan tengah berada di tanah lapang bersama kumpulan bawahan mereka.
“Kita akan berangkat menuju Ledok Beurit sekarang,” ujar Wulung, “anak buahku yang kuperintahkan untuk menjadi penyusup di pasukan Kartasura mengatakan jika Kartasura dan adiknya sudah berangkat ke Ledok Beurit setelah matahari terbenam.”
“Lalu kenapa kau mengumpulkan kita tengah malam, Wulung?” tanya Argaseni dengan mata memelotot, “bisa saja Kartasura dan bocah bernama Wira itu lebih dulu menemukan bocah itu.”
“Kau benar-benar bodoh, Argaseni,” maki Brajawesi.
“Kau menantangku?” Argaseni segera memasang kuda-kuda.
“Kau pikir aku takut?” Brajawesi ikut bersiaga.
“Hentikan tindakan kalian.” Wulung menengahi. “Kita di sini untuk
Di halaman padepokan, Kartasura tengah bersemedi. Beberapa ekor kelelawar muncul dari beberapa bagian tubuhnya, lalu terbang ke sekeliling hutan Ledok Beurit. Bayangan-bayangan pertarungannya dengan Lingga dan peristiwa saat anak itu memanggil kujang emas terus bermunculan dalam benak.Kartasura mencoba mengingat ke mana bocah itu pergi setelah dirinya terlempar ke dalam hutan. Saat menyerang Ki Petot, Lingga sudah tidak berada di padepokan ini.Kartasura kembali membuka mata. Wira sudah berada di depannya dengan posisi berlutut. “Kau menemukan sesuatu, Wira?” tanyanya sembari berdiri.Wira ikut bangkit dari posisinya. “Aku baru ingat dengan kondisi murid padepokan, Raka. Aku sama sekali tidak bisa menemukan keberadaan mereka di tempat ini, begitupun dengan mayat para murid yang tewas. Saat aku berada di gua, samar-samar aku mencium bau beberapa murid, tapi setelahnya aku kehilangan bau mereka.”“Aku juga tidak bisa men
Kartasura baru saja menarik mundur pasukannya dari Ledok Beurit. Kondisi hutan yang ramai dengan para pendekar perlahan sepi. Tak lama setelah kepergian mereka, tiga bayangan tampak berkelebat keluar dari sebuah gua, melompati dahan-dahan pohon, bergerak menuju perkampungan terdekat.Saat pagi mulai menyingsing, tiga orang itu berhenti di pinggiran sungai untuk beristirahat. Satu per satu dari mereka membasahi wajah dan rambut, berbagi minuman. Lokasi mereka saat ini berada di pinggiran Ledok Beurit.“Kita harus segera memberi kabar pada Ki Petot mengenai apa yang kita temukan,” ujar seorang pemuda bercaping hitam.“Apa itu pilihan yang bijak di saat kondisi Ki Petot sedang sakit parah, Indra?” tanya pemuda bercaping putih.“Aku sependapat dengan Arya. Lebih baik kita merahasiakan hal ini sampai keadaan Ki Petot kembali membaik,” sahut pemuda bertubuh kurus tinggi bernama Meswara.“Baiklah,” ujar Indr
Indra, Arya dan Meswara seketika saling melempar pandangan, sedang Jaka hanya diam saat melihat ketiga kawannya seperti tengah berkomunikasi lewat tatapan dan gestur tubuh.“Bagaimana keadaan, Wira?” tanya Ki Petot, “kalian tidak perlu takut. Aku ... tidak akan menghukum kalian.”Indra menyikut Arya dan Meswara bergantian. Mau tak mau ketiganya harus mengatakan kabar mengenai Wira yang mereka lihat saat di Ledok Beurit tadi.“Katakan!” pinta Ki Petot tegas.“Wi-wira berhasil selamat, Ki,” ucap Indra pada akhirnya.“Lalu di mana dia sekarang?” tanya Ki Petot, “kenapa kalian tidak bersamanya?”Indra kembali menyikut Arya dan Meswara. Meski pemuda itu yang pertama kali mengusulkan untuk langsung memberi tahu Ki Petot, tetapi ia menjadi tak tega saat melihat kesedihan yang terpahat di wajah sang guru.“Se-sebenarnya ada hal yang ingin kami sampaikan soal Wira, K
“Pewaris?” Keempat murid itu seketika terkejut ketika mendengar kabar tersebut. Mereka saling berpandangan dengan tatapan tak percaya. Bagaimana mungkin seorang anak yang bahkan dilarang untuk belajar silat bisa menjadi pewaris kujang emas?“Benar.” Ki Petot mengangguk, berjalan melewati keempat muridnya, lalu menatap mereka satu per satu. “Tujuan mereka mencari Lingga adalah untuk mendapat kujang emas itu. Kujang emas adalah pusaka yang sudah dicari komplotan Kalong Setan sejak lama. Aku diperintahkan untuk menyimpan dan melindungi pusaka itu sejak lama. Jika sampai kujang emas itu jatuh ke tangan mereka, bisa dipastikan kita semua akan binasa.”Ki Petot melanjutkan, “Saat aku terluka karena racun yang diberikan Kartasura, Lingga tiba-tiba muncul untuk menolongku. Dia bertarung dengan Kartasura dan tanpa diduga dia bisa mengimbanginya. Lingga ternyata secara diam-diam berlatih silat tanpa sepengetahuanku, bahkan bisa dibilang
Di salah satu sudut istana Kalong Setan, Kartasura tengah berdiri dengan kedua tangan berada di belakang. Tatapannya menyipit sesaat, kemudian menajam. Pria itu sudah mengerahkan pasukan untuk mencari Lingga ke beberapa perkampungan. Akan tetapi, ia belum mendapatkan kabar keberadaan anak itu hingga saat ini.Kartasura mengembus napas panjang. Pria itu cukup heran dengan ketiadaan anggota Cakar Setan malam ini di lingkungan istana. Ia sudah memeriksa semua bawahannya, tetapi tidak ada tanda-tanda jika ada pengkhianat di antara mereka. Selain itu, Totok Surya sama sekali tidak pernah keluar dari ruangan pertapaannya sejak beberapa hari lalu.Seekor kelelawar terbang merendah, lalu berubah menjadi Wira ketika mendarat di tanah.“Bagaimana dengan pencarianmu, Wira?” tanya Kartasura sembari berbalik menghadap sang adik.“Aku sudah mencari di beberapa perkampungan warga, tapi aku masih belum bisa menemukan keberadaan Lingga, Raka,” jawa
Setelah mengetahui ciri-ciri Lingga, anggota Cakar Setan mengirim pasukan untuk mencari keberadaan Lingga di pemukiman sekitar Ledok Beurit. Namun, hingga berminggu-minggu lamanya, mereka sama sekali tidak menemukan keberadaan anak itu. Hal serupa juga dialami oleh Kartasura dan Wira.Minggu berganti menjadi bulan, bulan berganti menjadi tahun. Cakar Setan, Kartasura dan Wira, mengerahkan pasukan besar-besaran. Tujuan mereka tak hanya menyasar perkampungan warga, tetapi juga merambah padepokan-padepokan silat. Pencarian itu banyak menimbulkan kekacauan di mana-mana. Tak hanya perampokan, penculikan anak laki-laki, bahkan juga pembunuhan. Hal itu juga menyebabkan penduduk mengungsi ke tempat yang lebih aman.Para pendekar golongan putih memberi perlawanan untuk menghentikan hal keji tersebut. Namun, mereka harus mengakui kekalahan karena kuatnya lawan. Satu kesalahan fatal mereka adalah karena tidak adanya satu pendekar yang bisa menyatukan mereka semua dalam satu panji
“Kau tidak akan bisa lari sekarang,” ucap Sekar Sari dengan senyum bengis, “dengan begini kau tidak akan ... ah!”Sekar Sari tiba-tiba saja berteriak ketika pria itu menarik selendangnya dengan kuat. Tubuhnya langsung melaju ke arah pria berbaju putih itu dengan cepat. Tenaga pria itu sungguh tidak main-main.Saat akan mendekat ke arah pria itu, Sekar Sari dengan segera melayangkan tendangan beruntun. Akan tetapi, pria itu dengan segera menyilangkan kedua tangan untuk menahan serangannya.Sekar Sari melakukan salto sebanyak dua kali untuk merenggangkan jarak. Ia mengamati pria di depannya yang tengah mengambil buah mangga dari kantong belanjaan. Meski wajah dan gayanya seperti pria edan, tetapi kepandaian dan kekuatannya tidak bisa dipandang sebelah mata.“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumam Sekar Sari.“Kau sangat pintar memilih buah-buahan yang manis dan segar, Nyai,” ujar pria itu.S
“Di mana aku?” tanya Sekar Sari dengan mata melebar. Selama empat tahun berguru di padepokan yang tak jauh dari hutan, gadis itu mengetahui seluk-beluk wilayah ini dengan sangat baik. Akan tetapi, ia baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini.Sekar Sari berjalan seraya mengamati sekeliling. Gadis itu melihat pepohonan yang menjulang sangat tinggi. Semakin memasuki wilayah ini, asap putih kian menyesaki pandangan, bahkan membuat matanya berair.“Siapa sebenarnya pria itu?” Sekar Sari terbatuk beberapa kali. “Kenapa dia membawaku ke tempat menyeramkan seperti ini? Apa mungkin pria itu siluman?” Sekar Sari terdiam beberapa saat. Pandangannya lagi-lagi mengelana ke sekeliling. Gadis itu masih ingat jika hari masih beranjak menuju siang, tetapi entah mengapa susana saat ini seperti tengah malam. “Apa aku harus kembali?” tanyanya saat ketakutan kian menyesaki diri.Sekar Sari mundur beberapa langkah
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me