Setelah mengetahui ciri-ciri Lingga, anggota Cakar Setan mengirim pasukan untuk mencari keberadaan Lingga di pemukiman sekitar Ledok Beurit. Namun, hingga berminggu-minggu lamanya, mereka sama sekali tidak menemukan keberadaan anak itu. Hal serupa juga dialami oleh Kartasura dan Wira.
Minggu berganti menjadi bulan, bulan berganti menjadi tahun. Cakar Setan, Kartasura dan Wira, mengerahkan pasukan besar-besaran. Tujuan mereka tak hanya menyasar perkampungan warga, tetapi juga merambah padepokan-padepokan silat. Pencarian itu banyak menimbulkan kekacauan di mana-mana. Tak hanya perampokan, penculikan anak laki-laki, bahkan juga pembunuhan. Hal itu juga menyebabkan penduduk mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Para pendekar golongan putih memberi perlawanan untuk menghentikan hal keji tersebut. Namun, mereka harus mengakui kekalahan karena kuatnya lawan. Satu kesalahan fatal mereka adalah karena tidak adanya satu pendekar yang bisa menyatukan mereka semua dalam satu panji
“Kau tidak akan bisa lari sekarang,” ucap Sekar Sari dengan senyum bengis, “dengan begini kau tidak akan ... ah!”Sekar Sari tiba-tiba saja berteriak ketika pria itu menarik selendangnya dengan kuat. Tubuhnya langsung melaju ke arah pria berbaju putih itu dengan cepat. Tenaga pria itu sungguh tidak main-main.Saat akan mendekat ke arah pria itu, Sekar Sari dengan segera melayangkan tendangan beruntun. Akan tetapi, pria itu dengan segera menyilangkan kedua tangan untuk menahan serangannya.Sekar Sari melakukan salto sebanyak dua kali untuk merenggangkan jarak. Ia mengamati pria di depannya yang tengah mengambil buah mangga dari kantong belanjaan. Meski wajah dan gayanya seperti pria edan, tetapi kepandaian dan kekuatannya tidak bisa dipandang sebelah mata.“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumam Sekar Sari.“Kau sangat pintar memilih buah-buahan yang manis dan segar, Nyai,” ujar pria itu.S
“Di mana aku?” tanya Sekar Sari dengan mata melebar. Selama empat tahun berguru di padepokan yang tak jauh dari hutan, gadis itu mengetahui seluk-beluk wilayah ini dengan sangat baik. Akan tetapi, ia baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini.Sekar Sari berjalan seraya mengamati sekeliling. Gadis itu melihat pepohonan yang menjulang sangat tinggi. Semakin memasuki wilayah ini, asap putih kian menyesaki pandangan, bahkan membuat matanya berair.“Siapa sebenarnya pria itu?” Sekar Sari terbatuk beberapa kali. “Kenapa dia membawaku ke tempat menyeramkan seperti ini? Apa mungkin pria itu siluman?” Sekar Sari terdiam beberapa saat. Pandangannya lagi-lagi mengelana ke sekeliling. Gadis itu masih ingat jika hari masih beranjak menuju siang, tetapi entah mengapa susana saat ini seperti tengah malam. “Apa aku harus kembali?” tanyanya saat ketakutan kian menyesaki diri.Sekar Sari mundur beberapa langkah
Sekar Sari mendekat ke arah dinding, memastikan apa yang dilihatnya barusan. Wajah orang yang tergantung di dinding gua itu tidak cukup jelas karena masih ditutupi tanaman merambat. Sekar Sari mulai mencabuti tumbuhan yang membelenggu pria itu.“Jangan, Nyai.” Pria berbaju putih tiba-tiba melompat ke arah Sekar Sari, lalu mengcengkeram tangan kiri gadis itu. “Itu berbahaya.”“Hei, apa yang kau lakukan?” Sekar Sari berusaha melepas cengkeraman. “Kau tidak melihat kalau ada seseorang yang terjebak di sana? Aku ingin membantunya.”“Itu berbahaya, Nyai,” ulang pria itu sembari menarik Sekar Sari menjauh dari dinding gua.“Lepaskan aku!” Sekar Sari berusaha melepaskan diri dari kungkungan pria itu. Namun, usahanya tampak sia-sia, yang terjadi ia justru kian ditarik mundur. “Aku bukan kambing!”Di tengah perdebatan yang terjadi di antara keduanya, tanaman merambat yang di
“Tapi kita sudah berhasil keluar dari tempat itu, Nyai,” ujar Limbur Kancana.“Hah, sejak kapan?” Sekar Sari tercengang saat menyadari jika dirinya memang sudah berada di hutan kembali.“Sejak kau terus berbicara dan melihat ke arah Lingga,” jawab Limbur Kancana jujur.Sekar Sari tiba-tiba saja terbatuk. “A-aku hanya mengkhawatirkan pemuda itu,” kilahnya beralasan.“Nyai, bisakah kau menunjukkan jalan tercepat untuk sampai ke padepokanmu?” Limbur Kancana menoleh sambil mengencangkan pegangan di tubuh Lingga.“Ten-tentu saja bisa. Ikuti aku.” Sekar Sari segera memimpin jalan.Ketiganya melewati rerimbunan pohon. Tampak sinar matahari menerobos masuk melalui celah daun dan ranting. Selama beberapa waktu, Sekar Sari memilih diam meski pandangannya sesekali tertuju pada Lingga. Tak berselang lama, mereka tiba di sungai tempat pertemuan pertama dan pertarungan terjadi.
Sekar Sari langsung menoleh ke sumber suara ketika mengenali siapa yang berbicara barusan. “Guru,” ucapnya sembari membungkuk dengan kedua tangan memberi hormat. Pria berbaju cokelat tua dengan ikat kepala hitam itu melompat turun dari dahan pohon. Gerakannya tampak ringan seperti daun gugur yang tertiup angin. Ia mendarat dengan sempurna nyaris tanpa suara. Sekar Sari segera mendekat ke arah Ganawirya dengan sikap yang masih memberi hormat. “Guru, maafkan aku karena lancnag membawa orang asing ke padepokan tanpa seizin Guru. Aku menemukan mereka dalam keadaan yang kurang baik. Aku bisa memastikan jika mereka bukanlah orang jahat.” Ganawirya menoleh ke arah Limbur Kancana, lalu beralih pada Lingga. Matanya membulat sesaat ketika merasakan sesuatu yang tak biasa dari pemuda itu. “Segera bawa mereka ke ruang perawatan, Sekar Sari.” “Baik, Guru.” Sekar Sari menoleh pada Limbur Kancana. “Ikuti aku.” Sekar Sari, Limbur Kancana dan Lingga yang dalam
Sekar Sari bergerak maju untuk menyerang Limbur Kancana. Namun, pria itu lebih dahulu melesat ke luar gubuk. “Ini benar-benar gawat,” ucap Sekar Sari dengan mata membulat. Ketika kakinya akan melangkah ke luar, ia tiba-tiba teringat dengan pria bernama Lingga yang masih berada di dalam gubuk. Sekar Sari mendekat ke arah Lingga, mengamati pemuda itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dilihat dari sudut manapun, sosok yang masih terbaring di dipan itu benar-benar sempurna. Untuk beberapa saat, gadis itu larut dalam pesona Lingga. Sekar Sari hendak menyentuh tangan Lingga dengan maksud untuk membangunkannya. Akan tetapi, secara tiba-tiba tubuhnya justru terdorong mundur seperti dirinya baru saja menabrak dinding tak kasat mata. Suara auman harimau mendadak memenuhi ruangan. Sekar Sari mundur beberapa langkah dengan tatapan yang tak lepas dari Lingga. “Apa yang sebenarnya terjadi? Sejak kapan ada harimau di tempat ini?” tanyanya dengan raut ketakutan.
Angin mendadak mengamuk di sekeliling lokasi pertarungan. Kawanan burung bergegas pergi dari sarang, memekik ketakutan, meliuk-meliuk di langit Lebak Angin. Pepohonan tampak bergoyang ke kiri dan kanan, menggugurkan dedauan, dan tak sedikit yang merobohkan ranting. Sekar Sari semakin menjauh dari lokasi pertempuran. Tubuhnya sempat melayang sesaat, tetapi untungnya gadis itu bisa kembali menapak di tanah setelah melilitkan selendang ke dahan pohon. Satu tangannya berusaha melindungi pandangan dari debu, kerikil dan batang pohon yang berterbangan. “Aku tidak mungkin bisa mendekat lebih dari ini,” ujar Sekar Sari. Di lokasi berbeda, empat bayangan hitam tampak berkelebat memasuki padepokan, lalu bergerak ke arah lokasi pertarungan. Empat pemuda itu terpaksa berhenti di dahan-dahan pohon yang agak jauh dari lokasi pertempuran. Serangan Ganawirya akhirnya bertubrukan dengan serangan yang diluncurkan Limbur Kancana. Kedua tangan mereka saling mengunci satu
“Maafkan ketidaksopanan kami,” ucap Sekar Sari dan empat pendekar itu bersamaan. Mereka membungkuk sembari menempatkan kedua tangan di depan dahi. Sekar Sari terpejam beberapa saat, kembali mengingat bagaimana pertemuannya dengan Limbur Kancana. Pria itu dengan mudah dapat menghindari semua serangannya, bahkan tidak mendapat luka apa pun. Namun, yang menjadi ketakutannya sekarang adalah sikapnya yang kasar dan tidak sopan pada pria itu. Apa mungkin ia akan mendapat hukuman berat? “Ma-maafkan aku, Kakang Guru. Sejak bertemu denganmu aku sudah bertindak kurang ajar,” ujar Sekar Sari sembari kian menunduk dalam. “Aku siap menerima hukuman.” Limbur Kancana menoleh pada Sekar Sari. Pembawaannya yang serius kembali ke sediakala. Ia melompat-lompat kecil, lalu memutari gadis itu dan empat pendekar di sampingnya. “Kau akan aku hukum, Nyai.” Sekar Sari meneguk ludah, tak berani mendongak. “A-aku ... siap menerimanya.” “Kalau begitu, kau harus menyiapka