Di luar padepokan, Jurig Lolong masih mengejar para murid. Makhluk hitam itu terus-menerus memukul palu godam, membuat pohon tumbang dan menghasilkan serbuan angin ganas. Meski lambat dan buta, tetapi serangannya terbilang mematikan. Berbekal penciuman tajam, ia mengendus bau setiap murid.
“Mundur, mundur!” perintah Wira yang tengah melompati satu dahan ke dahan lain. Gerakannya terhambat karena harus membawa dua orang temannya yang terluka, sedang rekan-rekannya yang lain masih membuntuti dari belakang.
Jurig Lolong tersenyum hingga air liur menggenangi jalan yang dilaluinya. Sosok itu melempar palu godam ke arah depan, membuat jalan Wira dan para murid terhalang.
“Kita harus melawan makhluk itu, Wira,” ucap salah satu murid.
“Bisa saja ini ujian akhir dari Ki Petot untuk kita,” sahut yang lain, “beliau sengaja mengirim makhluk ini untuk menguji senjata sekaligus kemampuan kita.”
“Benar,” sambung yang lain.
“Kita harus ingat kalau hari ini adalah hari kelulusan kita.”
“Tapi ....” Wira menimbang, turun ke tanah, lantas menyandarkan dua kawannya yang terluka di batang pohon. “Baiklah, kita serang dia bersama-sama.”
Para murid langsung mengepung Jurig Lolong. Dua orang murid langsung menaiki dahan pohon, lantas melempar anak panah secara beruntun tepat ke lubang hidung makhluk itu. Dua orang murid yang lain langsung melayangkan tombak ke arah yang sama.
Jurig Lolong seketika memekik. Makhluk itu mengentak-entak tanah dengan kuat. Saat Jurig Lolong akan melepaskan anak panah dan tombak dari hidung, empat murid yang lain langsung menahan kedua tangannya dengan pecut.
Kesempatan itu digunakan oleh sembilan murid dengan menerjang ke arah kaki Jurig Lolong, menghantam dengan kapak, golok, trisula, belati hingga sosok hitam legam itu jatuh dengan lutut kanan yang menjadi tumpuan. Wira menjadi pihak yang menutup serangan. Pemuda berumur 17 tahun itu melompat tinggi, dan dengan gerakan cepat menusuk jantung Jurig Lolong.
Jurig Lolong sontak meraung, dan tak lama kemudian tersungkur. Tubuhnya yang ambruk menghasilkan getaran kuat hingga tanah berguncang.
“Kita menang, Wira,” teriak salah satu murid kegirangan.
“Kita menang,” sahut yang lain.
“Hei.” Wira terkejut ketika tubuhnya tiba-tiba diangkat oleh teman-temannya. Pandangannya sekilas tertuju pada arah padepokan. “Sebaiknya kita obati dulu yang terluka. Setelah itu—”
Belum sempat Wira menyelesaikan perkataan, tib-tiba terdengar suara tawa yang menggema. Kegembiraan para murid padepokan mendadak lenyap ketika tanah berguncang beberapa kali. Pandangan mereka kontan tertuju pada palu godam yang melayang di atas mereka.
“Makhluk itu bangkit lagi,” ujar salah satu murid berperawakan kurus tinggi.
“Gawat,” ucap Wira, “sepertinya makhluk itu bukan dimunculkan untuk menguji kita, tapi membunuh kita.”
Wajah para murid tiba-tiba pucat pasi. Langkah mereka mendadak mundur, meneguk saliva beberapa kali. Jurig Lolong nyatanya kembali bangkit. Tampak asap mengepul dari bekas lukanya.
“Kalian larilah,” pinta Wira, “aku ... akan menghambatnya selagi kalian menyelamatkan diri. Sepertinya musuh yang dihadapi Ki Petot bukan orang sembarangan.”
“Tapi Wira,” kata salah satu murid sembari menepuk bahu Wira.
“Aku ... pastikan akan menyusul kalian secepatnya.” Wira mengembus napas panjang.
Sayangnya, ucapan Wira hanyalah harapan kosong. Tanpa diduga, Jurig Lolong melompat ke tengah-tengah para murid dengan palu godam yang mendarat lebih dahulu. Serangan itu berhasil membuat mereka terpelanting ke berbagai arah, menabrak pohon, menghantam batu, dan beberapa di antaranya jatuh ke jurang.
Sementara itu, Lingga tengah duduk di sebuah batu di pinggiran sungai. Matanya berkilat bening saat tertimpa cahaya bulan. Anak itu nyatanya masih berada di hutan Ledok Beurit, yang lokasinya cukup jauh dari padepokan. Ia bisa merasakan getaran dan suara aneh tadi menjadi lebih jelas sekarang. Beberapa kali dirinya juga mendengar suara dentuman. Hanya saja, ia tidak terlalu tertarik untuk mengecek keadaan.
Pandangan Lingga sering kali tertuju pada arah padepokan. Setelah diusir, anak itu memang sengaja berlari ke sungai ini. Tempat ini merupakan lokasi latihan silatnya selama bertahun-tahun dengan berbekal gulungan yang ia gambar. Tentu saja, ia melakukannya secara sembunyi-sembunyi.
Lingga menenggelamkan wajah di kedua lutut yang disatukan. Kedua tangannya memeluk kaki dengan erat. Tampak barisan semut berjalan di atas batu yang tengah ia duduki. Suara raungan dan getaran itu untuk sesaat tidak lagi ia dengar. “Aki tega sekali mengusirku. Aku memang salah karena masuk ke kamar tanpa seizinnya, tapi kenapa aku harus diusir segala? Siapa nanti yang mengurus keperluan Aki kalau aku tidak ada? Aki memang hebat, tapi dia pemalas.”
Lingga kembali mengarahkan wajah ke padepokan. Pandangannya mendadak teralih pada seberang sungai saat sesuatu menggelinding dari atas. Anak itu sontak berdiri, mengamati dengan saksama. Beruntung cahaya bulan membantunya untuk menyingkap siapa sosok tadi. “Kakang Wira,” ucapnya terkejut.
Lingga segera berlari menyebrangi sungai dengan cara melompati batu. Gerakannya terbilang cepat hingga hanya dalam hitungan detik tubuhnya sudah berada di samping Wira. “Apa yang terjadi, Kang?” tanyanya sembari membawa kepala pemuda itu ke atas pangkuan.
“Ling-lingga,” gumam Wira dengan susah payah. Tangan, kaki dan wajahnya dipenuhi luka. “Pa-padepokan ... diserang.”
“Diserang?” Lingga kontan terkejut.
“Lingga, cepat kau lari,” ujar Wira, “ka-kau ... bisa mati kalau sampai bertemu dengan makhluk besar itu. Murid-murid yang lain juga nasibnya tak jauh dariku.”
“Bagaimana) keadaan Aki, Kang?”
“Ki Petot ....” Wira terbatuk dan tak lama kemudian tak sadarkan diri.
“Kang.” Lingga memukul-mukul pelan pipi Wira. Ia mengecek denyut nadi dan bisa bernapas lega ketika menyadari bila pemuda itu hanya pingsan. “Kalau kakang Wira saja dibuat babak belur begini, pasti musuhnya sangat kuat.”
Lingga menoleh ke arah padepokan, lalu beralih pada tempat di mana Wira terjatuh tadi. “Siapa yang menyerang padepokan? Apa ... jangan-jangan suara dan getaran yang aku rasakan sejak tadi berasal dari para penyerang itu?”
Lingga mengembus napas panjang. “Aku sebaiknya membawa kakang Wira ke tempat yang aman lebih dulu. Setelah itu, aku akan mengecek keadaan Aki. Aku sebenarnya masih kesal, tapi ... tetap saja aku khawatir.”
Lingga membawa Wira ke dalam gendongannya, melompati bebatuan untuk sampai ke seberang, berlari di pinggiran sungai, kian menjauh dari arah padepokan. Gerakannya cepat meski tengah membawa beban cukup berat. Kebiasan membawa kayu bakar di punggung dan mencari bahan makanan di hutan memudahkannya bergerak di pekatnya tempat ini. Bisa dibilang ia sudah menjadikan area ini sebagai lokasi bermain.
Lingga membawa Wira ke dalam sebuah gua, meletakkan pemuda itu dengan perlahan. Ia lalu mencari beberapa tanaman obat, meramunya, kemudian membubuhkannya pada luka-luka Wira. “Maaf kakang Wira, aku harus melihat keadaan Aki dulu. Tapi, aku pastikan tempat ini aman.”
Lingga segera keluar dari gua, menaiki pohon dan bergerak menuju puncak. Dari jaraknya saat ini, anak itu bisa melihat keadaan padepokan yang berupa setitik cahaya. Ia kembali merasakan getaran ditambah hawa keberadaan seseorang yang begitu memuakkan. “Aki,” gumamnya dengan raut khawatir.
Lingga melompat dari satu pucuk pohon ke pohon lain. Gerakannya cepat dan terarah seperti bajing. Siapa pun yang melihat aksinya pasti akan berpikir jika bocah itu sudah dilatih menjadi pendekar sejak kecil. Pada kenyataannya, Lingga hanya berlatih mandiri tanpa sepengetahuan siapa pun. Ia sering kali digetok oleh Ki Petot hanya karena ketahuan memeragakan salah satu gerakan silat. “Gerrrrrrr.” Lingga mendadak berhenti ketika terdengar suara raungan. Gelombang bunyi itu berubah menjadi terjangan angin yang membuat dedaunan bergerak ke kiri dan kanan. Ia kontan menutup kedua telinga kuat-kuat. “Suara apa ini? Apa mungkin itu makhluk besar yang diceritakan kakang Wira?” Tatapan Lingga seketika tertuju pada empat orang murid padepokan yang tergeletak tak sadarkan diri di dekat sebuah pohon. Ia kontan turun, mendekat, lalu menyisir keadaan sekitar. “Mereka semuanya terluka. Aku harus membawa mereka ke tempat kakang Wira.” Lingga mengangkat empat orang mur
Aksi Lingga yang tengah menaiki tebing mendadak terhenti saat ia mendengar raungan keras yang disusul terjangan angin dari bawah. Tubuhnya dibuat berayun-ayun ke kiri dan kanan hingga nyaris terjatuh. Untungnya, ia masih mampu berpegangan.Jurig Lolong nyatanya berusaha bangkit dengan cara memukul bebatuan yang menancap di tubuhnya. Asap tampak mengepul di bekas lukanya. Makhluk itu meraung keras, memukul tanah sekitar beberapa kali.“Celaka.” Lingga buru-buru naik. Nahas, tubuhnya masih tak bergerak dari tempatnya. Kakinya hanya berlari tanpa bisa berpindah jarak.Jurig Lolong berhasil berdiri di mana asap masih mengepul di sekeliling tubuhnya. Makhluk itu menggeram marah, dan tanpa ampun langsung melayangkan palu godam ke arah Lingga.Di tengah kekalutan, sebuah ide tiba-tiba saja terlintas di kepala Lingga. Ketika serangan Jurig Lolong akan menghantamnya, ia dengan cepat melompat ke arah palu godam, berpegangan dengan kuat.Menyadari
Kartasura seketika mendongak saat mendengar teriakan tersebut. Ia refleks menahan tendangan dengan tangan menyilang. Akan tetapi, ia abai dengan tendangan susulan yang dilancarkan Lingga ke arah dada. Alhasil, serangan tersebut berhasil membuatnya mundur beberapa langkah. Matanya memelotot ketika melihat seorang anak laki-laki sudah berdiri di depannya dengan posisi siaga. “Lingga,” ucap Ki Petot dengan mata membulat. Tubuhnya kembali terjatuh karena tak sepenuhnya mampu menerima keterkejutan yang baru saja terjadi. Ia seperti mimpi saat melihat anak itu berhasil mendaratkan tendangan ke arah Kartasura. “Aki,” ujar Lingga sembari memeriksa keadaan Ki Petot. Wajahnya menggurat kekhawatiran yang begitu mendalam. Matanya tampak berkaca-kaca ketika melihat deretan luka yang dialami Ki Petot. “Kenapa kau ada di sini, Lingga?” tanya Ki Petot sembari menggetok kepala Lingga dengan tongkat. “Bukannya kau sudah Aki usir?” “Aku tahu,” jawab Lingga dengan
“Kurang ajar kau, Kartasura!” sentak Ki Petot saat dengan jelas melihat tubuh Lingga terbang melintas di atasnya. Dengan serangan barusan, bocah itu tidak mungkin akan bisa bertahan, pikirnya.Kartasura terkekeh. Secara mengejutkan, kuku panjang itu kembali ke jari-jarinya. “Itu hukuman yang pantas untuk bocah sombong seperti dia. Sekarang katakan, di mana kujang pusaka itu berada?”“A-aku ... tidak akan pernah ... mengatakannya padamu,” jawab Ki Petot dengan napas yang mulai terputus-putus.Melihat Ki Petot tak berdaya, Kartasura justru kembali terbahak. “Kau memang pantas mendapatkan semua ini, Aji Panday. Dulu kau menghajarku habis-habisan di depan semua murid padepokan. Kau juga mengusirku tanpa belas kasihan di tengah hujan petir. Untuk itu, kau harus mati di tanganku.”Kartasura berdecak, meludah di depan Ki Petot. “Hanya dalam hitungan menit, racun dari kuku itu akan menyebar ke seluruh tubuhmu,
Lingga mundur dengan bertumpu pada siku tangan. Giginya bergemelatuk ketika melihat senyum melintang di bibir Kartasura. Kedua tangannya terkepal, tetapi tak mau melayangkan serangan. Hatinya dipenuhi amarah, tetapi keadaan terus-menerus memaksanya pasrah. Nyatanya, hasil latihannya selama bertahun-tahun tak bisa menunjukkan hasil yang diharapkan.Lingga berusaha mati-matian agar tak menangis, membendung air mata agar tetap di tempat. Muncul benih penyesalan yang kian tumbuh menjadi keputusasaan. “Kalau saja aku lebih keras berlatih dan belajar, kalau saja aku tidak cereboh, kalau saja aku lebih kuat, mungkin keadaanku dan Aki tidak mungkin seperti ini,” lirihnya. Kartasura menendang perut Lingga hingga anak itu terlempar dan berguling-guling ke belakang, lalu mendarat di samping Ki Petot. “Pada akhirnya kalian akan mati di tanganku.”“Lingga,” lirih Ki Petot, berusaha menggapai anak laki-laki di sampingnya.
Jurig Lolong tiba-tiba memekik keras. Makhluk itu dengan cepat berlari ke arah Lingga dengan wajah murka. Ki Petot yang berada di tangannya dibuat terombang-ambing ke kiri dan kanan. Jurig Lolong tanpa ampun langsung menghantam palu godam ke arah Lingga. Akan tetapi, Lingga sudah lebih dahulu melompat hingga posisinya sejajar dengan wajah Jurig Lolong. Kujang emasnya segera tertuju pada makhluk hitam itu. Secara mengejutkan, petir keluar dari ujung kujang dan langsung menyambar Jurig Lolong. Jurig Lolong meraung keras. Tubuhnya berubah kaku dan setelahnya menghilang bagai debu tertiup angin. Untungnya, Ki Petot sama sekali tak mendapatkan efek apa pun dari serangan tersebut. Meski begitu, tubuhnya meluncur cepat ke bawah. Lingga dengan cepat menangkap tubuh Ki Petot, lalu membaringkannya di tanah. “Lingga,” gumam Ki Petot. Lingga mengarahkan kujang emas itu ke arah Ki Petot, dan secara ajaib benda itu menyembuhkan luka dan menghilangkan
Darah langsung menyembur dari mulut dan punggung Ki Petot ketika tangan Kartasura berhasil melubangi dadanya. Kuku beracun itu kini bersiap untuk mengincar jantungnya.Ki Petot segera memfokuskan kekuatan di kedua tangan dan kaki. Dalam sekajap, tubuhnya tiba-tiba menghilang dan kembali muncul di belakang Kartasura. Berperang dengan rasa sakit yang teramat sangat, kakek tua itu langsung menyerang mantan muridnya dengan membabi buta. Kedua tangan dan kakinya mengeluarkan cahaya putih seperti cakar harimau.“Ah!” Kartasura kontan memekik kencang. Sayap kelelawar dan taring di giginya mendadak hilang, bola matanya pun kembali normal. Tak lama setelahnya, ia ambruk di tanah dengan kondisi punggung yang penuh dengan luka cakaran.“Ku-kurang ... kurang ajar kau, Aji Panday!” maki Kartasura seraya memaksakan diri menoleh ke belakang.Ki Petot tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menghabisi lawan. Dengan darah yang kian deras menyembur dari
Malam kembali menguasai langit. Cahaya lampu obor tampak menerobos celah-celah kecil sebuah bangunan besar di tengah hutan. Tampak seorang pria bertubuh tinggi tengah mondar-mandir dengan kedua tangan berada di belakang punggung. Matanya memidai tajam ke sekeliling.Pria itu mengembus napas panjang, kemudian duduk di kursi singgasana. Tatapannya menyisir satu per satu bawahan yang tengah berlutut di depannya. “Aku bisa merasakan jika sesuatu yang berbahaya telah terjadi beberapa hari kemarin,” ucapnya.Empat orang yang tengah berlutut di depannya saling menoleh, tetapi tak berani mendongak, terlebih menyela ucapan pria yang tengah duduk di kursi singgasana.“Aku bahkan bisa merasakan darahku mendidih saat ini,” lanjut pria berkulit kemerah-merahan itu. Kuku-kuku jarinya mendadak memanjang sesaat. Ada kilat kemarahan yang terpancar di kedua bola matanya. Sebagai manusia setengah iblis, ia tidak pernah merasa segelisah ini.Pri