Ki Petot memulai serangan dengan melempar tongkat. Benda itu memutar seperti gangsing ke arah lawan. Kartasura menghindar dengan cara melakukan salto sebanyak tiga kali ke belakang.
“Kau mengarahkan tongkatmu ke mana, Aji Panday?” Kartasura tersenyum mengejak bersamaan dengan tubuhnya yang kembali mendarat di tanah.
Ki Petot balas menyeringai. Tujuan dari tongkatnya saat ini bukanlah Kartasura, melainkan makhluk hitam di belakangnya. Serangan itu sukses mendarat di perut Jurig Lolong sesuai rencananya. Sosok hitam itu langsung tersungkur hingga membuat tanah bergetar. Dengan begitu, para murid padepokan akan memiliki cukup waktu untuk melarikan diri.
“Kurang ajar!” Melihat hal itu, Kartasura seketika dilahap emosi. Ia dengan cepat menerjang ke depan, melayangkan pukulan dan tendangan beruntun ke arah mantan gurunya. Sialnya, pria tua itu dengan mudah mengelak.
Ki Petot melompat ke atas tongkatnya, memastikan jika seluruh muridnya berhasil lolos. Mereka adalah penerus dari padepokan ini, termasuk calon pendekar di masa depan. Meski anak didiknya memiliki potensi untuk berkembang, tetapi Kartasura dan makhluk hitam itu jelas bukan tandingan mereka untuk saat ini.
“Jurig Lolong!” pekik Kartasura menggelegar. Angin seketika menerjang kencang, mengililingi sekitar padepokan. Api obor hampir saja dibuat padam.
Tanpa dinyana, Jurig Lolong kembali berdiri. Dalam satu kedipan mata, makhluk itu berlari mengejar para murid, tersenyum dengan air liur menetes.
“Ja-jangan takut,” ucap Wira dengan menggenggam kuat pedang peraknya.
Jurig Lolong menyeringai, dan secara tiba-tiba menghantam tanah dengan palu godam. Serangan yang dihasilkan dari hantaman senjata itu langsung meluluhlantakkan keadaan sekitar, termasuk beberapa murid yang terhempas ke sekeliling arah. Beberapa di antara mereka menabrak pohon, sisanya berhasil menyelamatkan diri.
“Celaka,” gumam Ki Petot dengan mata membulat. Ia yang fokus pada anak didiknya tak sadar mengendurkan kewaspadaan. Alhasil, Kartasura sukses mendaratkan tendangan di dada hingga dirinya mundur beberapa langkah.
“Ada apa, Aji Panday?” Kartasura terkekeh. “Kau sepertinya menjadi lemah, atau justru aku yang semakin kuat.”
“Apa tujuanmu datang ke sini, Kartasura?” tanya Ki Petot dengan tatapan menyelidik. Lawan yang berada di hadapannya saat ini sudah bertambah berkali-kali lebih kuat dibanding terakhir kali ia hadapi. Meski hanya satu tendangan, ia merasakan dadanya seperti terbakar.
Kartasura terkekeh. “Aku datang ke tempat ini untuk mengambil kujang emas.”
“Kau datang ke tempat yang salah,” ujar Ki Petot, “aku tidak pernah menyimpan senjata itu.”
Kartasura kembali tergelak. “Kau pikir aku bodoh? Aku bisa merasakan energi besar di tempat ini, dan aku tahu kalau itu berasal dari kujang emas. Jika kau mengatakannya, aku akan mengampuni nyawamu dan murid-muridmu.”
“Siapa yang memerintahkanmu datang ke tempat ini?”
“Itu bukan urusanmu.” Kartasura melangkah maju dengan ekspresi tenang. “Sepertinya aku harus memaksamu untuk mengatakannya.”
Ki Petot kembali melemparkan tongkat. Benda itu memutar secara vertikal ke arah lawan. Untuk kedua kalinya Kartasura berhasil menghindar, tetapi ia dipaksa menyaksikan bagaimana tongkat itu membelah batu dan pohon di belakangnya. Saat kembali menoleh ke depan, pria berambut panjang itu sudah dihadapkan dengan sosok sang mantan guru.
Ki Petot menghantam dada Kartasura dengan pukulan kuat. Kakek tua itu yakin jika serangan itu bisa menghasilkan luka dalam yang cukup fatal. Akan tetapi, ia justru dibuat terkejut ketika melihat musuhnya hanya terpental ke belakang, lalu kembali berdiri dengan tawa mengejek seolah tidak pernah diserang.
“Ada apa, Aji Panday?” Kartasura mendekat dengan wajah angkuh. Ia menepuk-nepuk dada seperti baru saja terkena kotoran. “Pukulanmu sama sekali tidak terasa apa-apa.”
Ki Petot melompat mundur, berusaha mencerna peristiwa yang terjadi. Pertama, ia tak bisa merasakan kehadiran Kartasura, bahkan pagar gaibnya bisa ditembus dengan mudah. Kedua, pukulannya sama sekali tidak berefek apa pun. “Aku merasa indra-indraku menumpul. Kekuatanku seolah lenyap. Apa ini karena aku sudah lama tidak terlibat pertarungan?” gumamnya.
“Bagiku kau bukan lagi ancaman, kakek tua.”
Kartasura lebih dahulu menyerang. Pria itu melayangkan pukulan dan tendangan secara beruntun seraya merangsek maju. Di sisi lain, Ki Petot terdesak meski masih bisa mengimbangi serangan lawan. Kedua pendekar itu saling jual beli serangan untuk sementara waktu.
Debu tanah mulai menyesaki area pertarungan. Cahaya api di sekitar padepokan menjadi saksi bagaimana pukulan dan tendangan saling berbalasan. Bila dahulu keduanya dihadapkan sebagai guru dan murid, maka saat ini mereka dipertemukan untuk saling menghabisi.
Kedua pendekar itu kian tenggelam dalam pertempuran. Saking intens berbalas serangan, keduanya berubah menjadi dua bayangan hitam yang saling bertubrukan dengan gerakan cepat, menghasilkan angin kencang yang menerbangkan daun, ranting, juga menggoyang api obor bergerak ke kiri dan kanan.
Dua bayangan hitam itu kembali menjadi sosok Ki Petot dan Kartasura ketika mendarat di tanah.
“Aku memberimu satu kali lagi kesempatan, Aji Panday. Di mana kau menyembunyikan kujang emas itu?” tanya Kartasura.
“Sudah kukatakan kalau aku tidak pernah menyimpan senjata itu,” jawab Ki Petot, “kau ....”
Ki Petot tiba-tiba terbatuk. Ia terkejut ketika melihat darah keluar dari mulut. Sekujur tubuhnya mendadak lemas hingga dirinya hampir ambruk di tanah. “Sejak kapan dia melakukannya?”
Melihat hal itu, Kartasura terbahak. Suaranya menggelegar seperti petir di siang bolong. Ia melompat ke arah Ki Petot, tetapi kakek tua itu berhasil menghindar. “Kau bukan lagi tandinganku, Aji Panday,” ujarnya dengan mata berkilat merah.
Ki Petot menyeka darah di mulut dengan punggung tangan. “Si-siapa yang menyuruhmu, Kartasura? Katakan!”
Di luar padepokan, Jurig Lolong masih mengejar para murid. Makhluk hitam itu terus-menerus memukul palu godam, membuat pohon tumbang dan menghasilkan serbuan angin ganas. Meski lambat dan buta, tetapi serangannya terbilang mematikan. Berbekal penciuman tajam, ia mengendus bau setiap murid. “Mundur, mundur!” perintah Wira yang tengah melompati satu dahan ke dahan lain. Gerakannya terhambat karena harus membawa dua orang temannya yang terluka, sedang rekan-rekannya yang lain masih membuntuti dari belakang. Jurig Lolong tersenyum hingga air liur menggenangi jalan yang dilaluinya. Sosok itu melempar palu godam ke arah depan, membuat jalan Wira dan para murid terhalang. “Kita harus melawan makhluk itu, Wira,” ucap salah satu murid. “Bisa saja ini ujian akhir dari Ki Petot untuk kita,” sahut yang lain, “beliau sengaja mengirim makhluk ini untuk menguji senjata sekaligus kemampuan kita.” “Benar,” sambung yang lain. “Kita harus ingat kalau har
Lingga melompat dari satu pucuk pohon ke pohon lain. Gerakannya cepat dan terarah seperti bajing. Siapa pun yang melihat aksinya pasti akan berpikir jika bocah itu sudah dilatih menjadi pendekar sejak kecil. Pada kenyataannya, Lingga hanya berlatih mandiri tanpa sepengetahuan siapa pun. Ia sering kali digetok oleh Ki Petot hanya karena ketahuan memeragakan salah satu gerakan silat. “Gerrrrrrr.” Lingga mendadak berhenti ketika terdengar suara raungan. Gelombang bunyi itu berubah menjadi terjangan angin yang membuat dedaunan bergerak ke kiri dan kanan. Ia kontan menutup kedua telinga kuat-kuat. “Suara apa ini? Apa mungkin itu makhluk besar yang diceritakan kakang Wira?” Tatapan Lingga seketika tertuju pada empat orang murid padepokan yang tergeletak tak sadarkan diri di dekat sebuah pohon. Ia kontan turun, mendekat, lalu menyisir keadaan sekitar. “Mereka semuanya terluka. Aku harus membawa mereka ke tempat kakang Wira.” Lingga mengangkat empat orang mur
Aksi Lingga yang tengah menaiki tebing mendadak terhenti saat ia mendengar raungan keras yang disusul terjangan angin dari bawah. Tubuhnya dibuat berayun-ayun ke kiri dan kanan hingga nyaris terjatuh. Untungnya, ia masih mampu berpegangan.Jurig Lolong nyatanya berusaha bangkit dengan cara memukul bebatuan yang menancap di tubuhnya. Asap tampak mengepul di bekas lukanya. Makhluk itu meraung keras, memukul tanah sekitar beberapa kali.“Celaka.” Lingga buru-buru naik. Nahas, tubuhnya masih tak bergerak dari tempatnya. Kakinya hanya berlari tanpa bisa berpindah jarak.Jurig Lolong berhasil berdiri di mana asap masih mengepul di sekeliling tubuhnya. Makhluk itu menggeram marah, dan tanpa ampun langsung melayangkan palu godam ke arah Lingga.Di tengah kekalutan, sebuah ide tiba-tiba saja terlintas di kepala Lingga. Ketika serangan Jurig Lolong akan menghantamnya, ia dengan cepat melompat ke arah palu godam, berpegangan dengan kuat.Menyadari
Kartasura seketika mendongak saat mendengar teriakan tersebut. Ia refleks menahan tendangan dengan tangan menyilang. Akan tetapi, ia abai dengan tendangan susulan yang dilancarkan Lingga ke arah dada. Alhasil, serangan tersebut berhasil membuatnya mundur beberapa langkah. Matanya memelotot ketika melihat seorang anak laki-laki sudah berdiri di depannya dengan posisi siaga. “Lingga,” ucap Ki Petot dengan mata membulat. Tubuhnya kembali terjatuh karena tak sepenuhnya mampu menerima keterkejutan yang baru saja terjadi. Ia seperti mimpi saat melihat anak itu berhasil mendaratkan tendangan ke arah Kartasura. “Aki,” ujar Lingga sembari memeriksa keadaan Ki Petot. Wajahnya menggurat kekhawatiran yang begitu mendalam. Matanya tampak berkaca-kaca ketika melihat deretan luka yang dialami Ki Petot. “Kenapa kau ada di sini, Lingga?” tanya Ki Petot sembari menggetok kepala Lingga dengan tongkat. “Bukannya kau sudah Aki usir?” “Aku tahu,” jawab Lingga dengan
“Kurang ajar kau, Kartasura!” sentak Ki Petot saat dengan jelas melihat tubuh Lingga terbang melintas di atasnya. Dengan serangan barusan, bocah itu tidak mungkin akan bisa bertahan, pikirnya.Kartasura terkekeh. Secara mengejutkan, kuku panjang itu kembali ke jari-jarinya. “Itu hukuman yang pantas untuk bocah sombong seperti dia. Sekarang katakan, di mana kujang pusaka itu berada?”“A-aku ... tidak akan pernah ... mengatakannya padamu,” jawab Ki Petot dengan napas yang mulai terputus-putus.Melihat Ki Petot tak berdaya, Kartasura justru kembali terbahak. “Kau memang pantas mendapatkan semua ini, Aji Panday. Dulu kau menghajarku habis-habisan di depan semua murid padepokan. Kau juga mengusirku tanpa belas kasihan di tengah hujan petir. Untuk itu, kau harus mati di tanganku.”Kartasura berdecak, meludah di depan Ki Petot. “Hanya dalam hitungan menit, racun dari kuku itu akan menyebar ke seluruh tubuhmu,
Lingga mundur dengan bertumpu pada siku tangan. Giginya bergemelatuk ketika melihat senyum melintang di bibir Kartasura. Kedua tangannya terkepal, tetapi tak mau melayangkan serangan. Hatinya dipenuhi amarah, tetapi keadaan terus-menerus memaksanya pasrah. Nyatanya, hasil latihannya selama bertahun-tahun tak bisa menunjukkan hasil yang diharapkan.Lingga berusaha mati-matian agar tak menangis, membendung air mata agar tetap di tempat. Muncul benih penyesalan yang kian tumbuh menjadi keputusasaan. “Kalau saja aku lebih keras berlatih dan belajar, kalau saja aku tidak cereboh, kalau saja aku lebih kuat, mungkin keadaanku dan Aki tidak mungkin seperti ini,” lirihnya. Kartasura menendang perut Lingga hingga anak itu terlempar dan berguling-guling ke belakang, lalu mendarat di samping Ki Petot. “Pada akhirnya kalian akan mati di tanganku.”“Lingga,” lirih Ki Petot, berusaha menggapai anak laki-laki di sampingnya.
Jurig Lolong tiba-tiba memekik keras. Makhluk itu dengan cepat berlari ke arah Lingga dengan wajah murka. Ki Petot yang berada di tangannya dibuat terombang-ambing ke kiri dan kanan. Jurig Lolong tanpa ampun langsung menghantam palu godam ke arah Lingga. Akan tetapi, Lingga sudah lebih dahulu melompat hingga posisinya sejajar dengan wajah Jurig Lolong. Kujang emasnya segera tertuju pada makhluk hitam itu. Secara mengejutkan, petir keluar dari ujung kujang dan langsung menyambar Jurig Lolong. Jurig Lolong meraung keras. Tubuhnya berubah kaku dan setelahnya menghilang bagai debu tertiup angin. Untungnya, Ki Petot sama sekali tak mendapatkan efek apa pun dari serangan tersebut. Meski begitu, tubuhnya meluncur cepat ke bawah. Lingga dengan cepat menangkap tubuh Ki Petot, lalu membaringkannya di tanah. “Lingga,” gumam Ki Petot. Lingga mengarahkan kujang emas itu ke arah Ki Petot, dan secara ajaib benda itu menyembuhkan luka dan menghilangkan
Darah langsung menyembur dari mulut dan punggung Ki Petot ketika tangan Kartasura berhasil melubangi dadanya. Kuku beracun itu kini bersiap untuk mengincar jantungnya.Ki Petot segera memfokuskan kekuatan di kedua tangan dan kaki. Dalam sekajap, tubuhnya tiba-tiba menghilang dan kembali muncul di belakang Kartasura. Berperang dengan rasa sakit yang teramat sangat, kakek tua itu langsung menyerang mantan muridnya dengan membabi buta. Kedua tangan dan kakinya mengeluarkan cahaya putih seperti cakar harimau.“Ah!” Kartasura kontan memekik kencang. Sayap kelelawar dan taring di giginya mendadak hilang, bola matanya pun kembali normal. Tak lama setelahnya, ia ambruk di tanah dengan kondisi punggung yang penuh dengan luka cakaran.“Ku-kurang ... kurang ajar kau, Aji Panday!” maki Kartasura seraya memaksakan diri menoleh ke belakang.Ki Petot tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menghabisi lawan. Dengan darah yang kian deras menyembur dari