Beranda / Pendekar / Pendekar Kujang Emas / 4. Bangkitnya Pusaka Kujang Emas

Share

4. Bangkitnya Pusaka Kujang Emas

Ki Petot memulai serangan dengan melempar tongkat. Benda itu memutar seperti gangsing ke arah lawan. Kartasura menghindar dengan cara melakukan salto sebanyak tiga kali ke belakang.

“Kau mengarahkan tongkatmu ke mana, Aji Panday?” Kartasura tersenyum mengejak bersamaan dengan tubuhnya yang kembali mendarat di tanah.

Ki Petot balas menyeringai. Tujuan dari tongkatnya saat ini bukanlah Kartasura, melainkan makhluk hitam di belakangnya. Serangan itu sukses mendarat di perut Jurig Lolong sesuai rencananya. Sosok hitam itu langsung tersungkur hingga membuat tanah bergetar. Dengan begitu, para murid padepokan akan memiliki cukup waktu untuk melarikan diri.

“Kurang ajar!” Melihat hal itu, Kartasura seketika dilahap emosi. Ia dengan cepat menerjang ke depan, melayangkan pukulan dan tendangan beruntun ke arah mantan gurunya. Sialnya, pria tua itu dengan mudah mengelak.

Ki Petot melompat ke atas tongkatnya, memastikan jika seluruh muridnya berhasil lolos. Mereka adalah penerus dari padepokan ini, termasuk calon pendekar di masa depan. Meski anak didiknya memiliki potensi untuk berkembang, tetapi Kartasura dan makhluk hitam itu jelas bukan tandingan mereka untuk saat ini.

“Jurig Lolong!” pekik Kartasura menggelegar. Angin seketika menerjang kencang, mengililingi sekitar padepokan. Api obor hampir saja dibuat padam.

Tanpa dinyana, Jurig Lolong kembali berdiri. Dalam satu kedipan mata, makhluk itu berlari mengejar para murid, tersenyum dengan air liur menetes.

“Ja-jangan takut,” ucap Wira dengan menggenggam kuat pedang peraknya.

Jurig Lolong menyeringai, dan secara tiba-tiba menghantam tanah dengan palu godam. Serangan yang dihasilkan dari hantaman senjata itu langsung meluluhlantakkan keadaan sekitar, termasuk beberapa murid yang terhempas ke sekeliling arah. Beberapa di antara mereka menabrak pohon, sisanya berhasil menyelamatkan diri.

“Celaka,” gumam Ki Petot dengan mata membulat. Ia yang fokus pada anak didiknya tak sadar mengendurkan kewaspadaan. Alhasil, Kartasura sukses mendaratkan tendangan di dada hingga dirinya mundur beberapa langkah.

“Ada apa, Aji Panday?” Kartasura terkekeh. “Kau sepertinya menjadi lemah, atau justru aku yang semakin kuat.”

“Apa tujuanmu datang ke sini, Kartasura?” tanya Ki Petot dengan tatapan menyelidik. Lawan yang berada di hadapannya saat ini sudah bertambah berkali-kali lebih kuat dibanding terakhir kali ia hadapi. Meski hanya satu tendangan, ia merasakan dadanya seperti terbakar.

Kartasura terkekeh. “Aku datang ke tempat ini untuk mengambil kujang emas.”

“Kau datang ke tempat yang salah,” ujar Ki Petot, “aku tidak pernah menyimpan senjata itu.”

Kartasura kembali tergelak. “Kau pikir aku bodoh? Aku bisa merasakan energi besar di tempat ini, dan aku tahu kalau itu berasal dari kujang emas. Jika kau mengatakannya, aku akan mengampuni nyawamu dan murid-muridmu.”

“Siapa yang memerintahkanmu datang ke tempat ini?”

“Itu bukan urusanmu.” Kartasura melangkah maju dengan ekspresi tenang. “Sepertinya aku harus memaksamu untuk mengatakannya.”

Ki Petot kembali melemparkan tongkat. Benda itu memutar secara vertikal ke arah lawan. Untuk kedua kalinya Kartasura berhasil menghindar, tetapi ia dipaksa menyaksikan bagaimana tongkat itu membelah batu dan pohon di belakangnya. Saat kembali menoleh ke depan, pria berambut panjang itu sudah dihadapkan dengan sosok sang mantan guru.

Ki Petot menghantam dada Kartasura dengan pukulan kuat. Kakek tua itu yakin jika serangan itu bisa menghasilkan luka dalam yang cukup fatal. Akan tetapi, ia justru dibuat terkejut ketika melihat musuhnya hanya terpental ke belakang, lalu kembali berdiri dengan tawa mengejek seolah tidak pernah diserang.

“Ada apa, Aji Panday?” Kartasura mendekat dengan wajah angkuh. Ia menepuk-nepuk dada seperti baru saja terkena kotoran. “Pukulanmu sama sekali tidak terasa apa-apa.”

Ki Petot melompat mundur, berusaha mencerna peristiwa yang terjadi. Pertama, ia tak bisa merasakan kehadiran Kartasura, bahkan pagar gaibnya bisa ditembus dengan mudah. Kedua, pukulannya sama sekali tidak berefek apa pun. “Aku merasa indra-indraku menumpul. Kekuatanku seolah lenyap. Apa ini karena aku sudah lama tidak terlibat pertarungan?” gumamnya.  

“Bagiku kau bukan lagi ancaman, kakek tua.”

Kartasura lebih dahulu menyerang. Pria itu melayangkan pukulan dan tendangan secara beruntun seraya merangsek maju. Di sisi lain, Ki Petot terdesak meski masih bisa mengimbangi serangan lawan. Kedua pendekar itu saling jual beli serangan untuk sementara waktu.

Debu tanah mulai menyesaki area pertarungan. Cahaya api di sekitar padepokan menjadi saksi bagaimana pukulan dan tendangan saling berbalasan. Bila dahulu keduanya dihadapkan sebagai guru dan murid, maka saat ini mereka dipertemukan untuk saling menghabisi.

Kedua pendekar itu kian tenggelam dalam pertempuran. Saking intens berbalas serangan, keduanya berubah menjadi dua bayangan hitam yang saling bertubrukan dengan gerakan cepat, menghasilkan angin kencang yang menerbangkan daun, ranting, juga menggoyang api obor bergerak ke kiri dan kanan.

Dua bayangan hitam itu kembali menjadi sosok Ki Petot dan Kartasura ketika mendarat di tanah.

“Aku memberimu satu kali lagi kesempatan, Aji Panday. Di mana kau menyembunyikan kujang emas itu?” tanya Kartasura.

“Sudah kukatakan kalau aku tidak pernah menyimpan senjata itu,” jawab Ki Petot, “kau ....”

Ki Petot tiba-tiba terbatuk. Ia terkejut ketika melihat darah keluar dari mulut. Sekujur tubuhnya mendadak lemas hingga dirinya hampir ambruk di tanah. “Sejak kapan dia melakukannya?”

Melihat hal itu, Kartasura terbahak. Suaranya menggelegar seperti petir di siang bolong. Ia melompat ke arah Ki Petot, tetapi kakek tua itu berhasil menghindar. “Kau bukan lagi tandinganku, Aji Panday,” ujarnya dengan mata berkilat merah.

Ki Petot menyeka darah di mulut dengan punggung tangan. “Si-siapa yang menyuruhmu, Kartasura? Katakan!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status