"Badai Kelabu! Jika aku terpaksa membunuhmu, bukan karena aku tidak menghargai persahabatan kita selama ini, tapi karena aku mempertahankan batu pusakaku ini! Jangan kau salahkan diriku jika nyawamu sampai melayang, karena kau tak mau mengikuti saranku untuk segera pulang ke Pulau Hitam!"
"Nyai Ratu," kata Badai Kelabu dengan berdiri tegak siap menyerang, "Sejujurnya kukatakan, aku cukup senang dan gembira menerima tantanganmu! Kalau toh aku harus mati, biarlah aku mati lebih dulu daripada mati setelah guruku!"
"Baiklah! Kau rupanya lebih senang mati di tanganku daripada mati di tangan orang lain. Hiaaat...!"
Ratu Pekat kembali sentakkan tangannya dari bawah ke atas depan, dan Badai Kelabu cepat hentakkan kaki, tubuhnya melenting di udara. Kejap berikut, tubuh itu sudah berdiri tegak menghindari pukulan jarak jauhnya Ratu Pekat.
Tangan Badai Kelabu segera bergerak memutar ke belakang keduanya, lalu seperti melepas burung ia lepaskan pukulan 'Badai Gunung'
"Berselisih!" bentak Dewa Racun. "Pertarungan bisa terjadi!""Jadi, maksudmu kita harus memihak salah satu dari mereka. Tidak, Dewa Racun! Aku tidak mau mencampuri urusan orang lain, kecuali hanya sebagai pihak penengah! Tugas kita di sini hanya menjaga serangan dari Siluman Selaksa Nyawa yang bisa datang sewaktu-waktu. Tapi sampai lima hari kita di pulau ini, tak ada utusan dari Siluman Selaksa Nyawa yang datang menyerang. Berarti kita harus segera berangkat ke Pulau Serindu. Aku sudah tak sabar lagi ingin segera bertemu dengan Hyun Jelita, nyai gustimu itu, Dewa Racun. Aku tak mau ikut campur urusan Badai Kelabu dan Ratu Pekat!""Mak... mak... mak....""Makan.""Maksudnya!" sentak Dewa Racun. Biasanya jika dia kesulitan mengucap satu kata, jika sudah ditebak oleh orang lain, kata-kata yang akan diucapkan segera dapat ditemukan dan dilontarkan. Tapi jika orang lain itu salah menebak apa yang ingin diucapkan, Dewa Racun sering merasa dongkol hatinya.
Sinar merah yang terkena kibasan tangan Baraka itu membalik, yang semula besarnya seperti sebatang lidi, kini menjadi lebih besar lagi, tiga kali lipat dari besar semula. Kecepatan geraknya pun melebihi kecepatan semula. Hampir saja Mata Elang tak sempat menghindari serangan yang membalik ke arahnya jika tubuhnya tidak disentakkan oleh tangan Cempaka Ungu dengan sekuat tenaga.Brakkk...! Prokkk...!Tubuh Mata Elang yang didorong keras oleh Cempaka Ungu terlempar dan membentur reruntuhan bekas pintu gerbang. Pelipisnya menghantam kuat sebuah benda keras, dan akhirnya berdarah, ia menyeringai sambil memegangi pelipisnya. Sedangkan sinar merah yang membalik itu juga hampir saja mengenai tangan Cempaka Ungu saat gadis itu mendorong tubuh Mata Elang. Untung Cempaka Ungu cepat menarik tangannya dan berguling ke arah samping, sehingga sinar merah itu menghantam tiang penyangga atap di serambi samping. Tiang sebesar tiga pelukan manusia itu menjadi gompal pada bagian salah sat
SUNGGUH sederhana pengobatan itu. Setelah beristirahat satu malam, esok paginya semua luka memar telah hilang, luka berdarah di betisnya menjadi kering dan nyaris hilang. Badan terasa segar, bahkan Badai Kelabu merasa seperti mendapat kekuatan baru. Lebih lincah dalam bergerak, lebih lega dalam bernapas."Hanya seperti itu...?" gumam Cempaka Ungu di dalam hatinya. "Apakah suatu saat nanti kalau aku mengalami luka dalam atau luka luar bisa cepat sembuh secepat itu?"Hanya saja, Badai Kelabu masih sedikit sangsi dengan kemampuan Baraka. Terang-terangan ia berkata, "Pusaka Tombak Kematian adalah pusaka yang ganas dan berbahaya, apalagi di tangan orang-orang angkara murka! Tak pernah ada lawan yang luput dari ancaman maut Pusaka Tombak Kematian, menurut cerita guruku. Jika kau ingin mengobati guruku, apakah kau punya pusaka lain yang bisa menandingi racun dari Pusaka Tombak Kematian itu? Apakah kau juga mempunyai Batu Galih Bumi, seperti yang dimiliki Nyai Ratu Pekat itu?"
"Kau bermaksud menghinaku?"“Tidak. Aku tidak bermaksud menghinamu atau merendahkan kamu. Tapi aku bermaksud memacu semangatmu agar terus menuntut ilmu setinggi mungkin, supaya kau tidak direndahkan oleh orang lain!"Badai Kelabu akhirnya hempaskan napas panjang, lalu berkata, "Sulit sekali membantah kata-katamu. Sebaiknya memang kita segera bertolak dari pulau ini menuju Pulau Hitam. Sebaiknya... sebaiknya aku memeriksa perahu dulu sebelum berangkat!""Aku hanya akan membawa Dewa Racun. Mungkin dia bisa membantuku!"Tanpa diketahui oleh mereka, sepasang mata memperhatikan percakapan itu dan mencuri dengar semuanya. Sepasang mata itu adalah milik Cempaka Ungu yang berwajah berang.-o0o-Baru saja menapakkan kakinya di pasir pantai, Badai Kelabu sudah mendapat serangan dari arah belakang. Hembusan angin panas terasa melesat mendekati punggungnya. Badai Kelabu cepat sentakkan kaki dan melesat ke samping.Wuttt...! Da
"Sial! Dia mengetahui keadaanku!" geram Cempaka Ungu dalam hatinya. Karena rasa malu, maka tanpa bicara apa-apa lagi, ia segera sentakkan kaki dan kembali menerjang ke arah lawannya."Hiaaat...!"Wugggh...! Wugggh...!Dua sosok perempuan itu saling terjang kembali di udara. Pedang mereka saling dikibaskan dengan cepat.Trang trang trang...!Buhgg...! Jleg...!Cempaka Ungu mendaratkan kakinya di tanah, ia telah berhasil menyodok bagian bawah ketiak lawannya dengan siku yang berkekuatan tenaga dalam.Sodokannya tadi terasa terkena telak. Itulah sebabnya ia membalikkan tubuh dengan tersenyum angkuh. Badai Kelabu berhasil berdiri dengan tegak walau tadi saat mendaratkan kakinya di atas batu tempat berdirinya Cempaka Ungu itu hampir saja ia terjungkal jatuh.Sodokan keras bertenaga dalam terasa meremukkan tulang rusuk dan menahan jalur pernapasannya. Tetapi ia masih mampu menahan dengan mengeraskan seluruh urat yang ada di sekitar b
"Cukup asing namamu itu di telingaku! Pangeran Berdarah...! Sebuah nama yang belum kondang, tentunya!" ejek Badai Kelabu.Pangeran Berdarah merasa terhina dan menggeram gusar. Wajahnya yang tampan kelihatan buas dan liar. Segera ia sentakkan tangan kanannya ke arah sebuah batu, wuut...! ia lepaskan pukulan tenaga dalamnya ke sana. Badai Kelabu hanya melirik dengan menyimpan rasa heran, ia sangka Pangeran Berdarah memamerkan ilmunya.Batu itu tidak pecah. Badai Kelabu sunggingkan senyum tipis meremehkan. Tapi belum habis senyumnya, tiba-tiba ia merasakan gelombang hawa panas mendekatinya dengan gerakan cepat, arahnya dari batu yang habis dihantam Pangeran Berdarah.Wuusss...! Beeghh...!Badai Kelabu terjungkal jatuh dan berguling-guling bagai dilanda angin topan yang bertenaga besar. Rupanya pukulan yang dilepaskan Pangeran Berdarah itu sengaja dipantulkan melalui batu tersebut untuk mengecohkan lawan, sehingga lawan menjadi kelabakan."Edan! Ini ju
"Ibu Ratu," kata Pangeran Berdarah dengan sopan, "Saya mohon Ibu Ratu tidak menaruh curiga kepada tiga teman saya itu, mereka adalah Jalak Putih, si Latah Lidah dan Penghulu Petir. Mereka yang akan membantu saya dalam mengejar larinya Tapak Baja. Pusaka milik Guru saya telah dicuri oleh Tapak Baja dan....""Aku sudah mendengar," sahut Ratu Pekat. "Pusaka Tombak Kematian milik gurumu; Ki Jangkar Langit, telah berada di tangan Tapak Baja, si Nakhoda Kapal Neraka itu."Pendekar Kera Sakti dan Dewa Racun diam saja. Tapi Dewa Racun manggut-manggut dan baru tahu bahwa Pangeran Berdarah adalah murid dari Ki Jangkar Langit, pemilik Pusaka Tombak Kematian itu. Pendekar Kera Sakti pun baru tahu hal itu, tapi ia sepertinya tidak begitu peduli siapa Pangeran Berdarah, ia garuk-garuk kepalanya sambil mengikuti percakapan tersebut.Pangeran Berdarah berkata kepada Ratu Pekat, "Saya datang kemari di samping untuk menengok keadaan Cempaka Ungu dan Ibu Ratu, juga mencari tahu ke
Penghulu Petir, yang sejak tadi duduk di belakang agak samping dari Badai Kelabu, segera menyumbang kata, “Tapak Baja memang keji dan ganas. Kabar terakhir yang saya terima, bahwa dari sejumlah dua puluh tujuh orang anak buahnya dalam Kapal Neraka itu, sekarang tinggal satu orang, yaitu yang bernama Hantu Laut. Dua puluh enam anak buahnya itu kebanyakan mati di tangan Tapak Baja sendiri. Tetapi dengan adanya Pangeran Berdarah dan kami bertiga di sini, Ratu tidak perlu cemas lagi. Kami mampu menghadapi Tapak Baja dan Hantu Laut. Kami sudah perhitungkan kekuatan mereka, dan kami sudah atur satu rencana perlawanan sendiri!"Semua mata tertuju pada orang berusia lima puluh tahun yang berambut abu-abu itu. Rambutnya pendek, tubuhnya kurus, matanya sedikit sipit, ia mengenakan jubah panjang warna ungu tua yang sudah kumal, tanpa mengenakan baju dalam, tapi memakai celana abu-abu dengan ikat pinggang kain putih. Jubahnya itu tak pernah ditutup, sehingga tulang iganya tampak be