Baraka memberi isyarat supaya orang tinggi besar itu duduk di dekatnya. Singo Bodong menurut bagaikan patuh pada segala perintah Baraka. Ia duduk di bongkahan batu yang ada di depan Pendekar Kera Sakti. Dewa Racun mendampinginya, dan melompat ke atas sebatang pohon berdahan lengkung ke bawah, hampir menyentuh tanah.
Di dahan itu Dewa Racun duduk mendengarkan percakapan Baraka dengan Singo Bodong. Agaknya Pendekar Kera Sakti kali ini bersungguh-sungguh ingin mengorek keterangan dari Singo Bodong. Sore yang kian menua dibiarkan meredup menabur petang. Sebentar lagi bumi akan gelap, tapi Pendekar Kera Sakti tak pernah peduli dengan kegelapan bumi.
"Singo Bodong, ingat-ingatlah siapa dirimu sebenarnya! Benar-benarkah namamu Singo Bodong?"
"Dari dulu aku memang dipanggil Singo Bodong!" jawab orang berkumis yang tampangnya angker tapi bodoh itu.
"Siapa nama aslimu?"
"Sugali!"
"Mengapa kau disebut Singo Bodong?"
"Karena... hmmm... karena sew
Ia menuding Dewa Racun, yang membuat Dewa Racun sempat kaget dan cepat pasang kuda-kudanya."Itu nama bapakku! Rawana...! Tapi... Rawana siapa, ya?" pikir Singo Bodong.Baraka cepat menyahut."Rawana Baka...?""Nah, tepat!" Singo Bodong pekikkan suara dengan semangat. "Betul! Nama bapakku betul itu; Rawana Baka!"Tentu saja hal itu membuat Pendekar Kera Sakti dan Dewa Racun sama-sama terperangah bengong. Mereka saling pandang dengan mata menegang. Cukup lama Baraka dan Dewa Racun saling terkunci mulutnya sejak mendengar nama ayah dari Singo Bodong adalah Rawana Baka. Ini sesuatu yang sulit dipercaya oleh Baraka maupun Dewa Racun, karena Rawana Baka adalah nama asli Siluman Selaksa Nyawa."Apakah kau percaya dengan kata-katanya?"Baraka mencari tahu perasaan Dewa Racun. Dan si kerdil yang gagap itu menjawab, "Ag... ag... agak sangsi. Nama Dasamuka tid... tidak mirip nama Rawana Baka. Mungkin dia salah dengar atau salah ingat. Tak mungk
SISA cahaya purnama masih ada, membuat keadaan di pantai menjadi tampak benderang. Karena benderangnya cahaya itu, Baraka melihat sekelebat gerakan melesat dari arah hutan ke pantai. Kelebat gerakan itu berlari dari ujung sana mendekati tempat Baraka dan dua teman barunya itu duduk sebelum bergegas naik ke pohon besar itu.Dalam kilasan gerak yang lain, Baraka melihat seseorang mengejar cepat orang pertama. Baraka cepat colekkan tangannya ke lengan Dewa Racun dan Dewa Racun segera lemparkan pandang ke arah Pendekar Kera Sakti. Tanpa mendapat jawaban, Dewa Racun sudah mengerti apa yang dimaksud Baraka, maka ia pun ikut lemparkan pandang ke pantai.Dewa Racun berbisik, "Aaak... aku seperti pernah melihat perempuan itu!""Tentu saja. Dia adalah Selendang Maut, satu dari ketiga perempuan yang hadir di pertarungan Bukit Jagal tempo hari.""O, iiy... iya! Tapi ag.. agaknya dia sedang berusaha menghindari kejaran lawan. Dan... dan apa yang ada di tangannya itu!"
"Bahaya juga ini si bocah edan!" pikir Datuk Marah Gadai dengan menahan serangan berikutnya. Matanya yang sedikit sipit berkesan bengis itu menatap Pendekar Kera Sakti dengan tajam. Baraka hanya sunggingkan senyum kalem."Jangan ikut campur urusanku lagi, Pendekar Kera Sakti!" kata Selendang Maut dengan wajah merengut. "Biarkan aku mengurus diriku sendiri dan kau mengurus dirimu sendiri!"Selendang Maut mendekati Pendekar Kera Sakti dengan langkah tegasnya, ia berdiri di samping Pendekar Kera Sakti dengan pandangan benci, namun sebenarnya memendam cinta. Pendekar Kera Sakti tersenyum menatapnya, Selendang Maut mendengus menyambutnya, ia mencoba untuk tidak tertarik dengan senyuman Pendekar Kera Sakti yang tampan rupa itu."Kau tentunya sudah tahu kebusukanku saat di Bukit Jagal! Aku tak butuh sikap baikmu lagi! Jadi, kau tak perlu bantu aku dalam urusan ini!""Tenanglah...!" kata Pendekar Kera Sakti sambil menepuk pundak Selendang Maut. Tepukan pelan itu
"Memegang untuk menyelamatkan kitab pusaka, itu baik. Tapi memegang untuk memilikinya, itu curang! Aku tahu kau ingin mempelajari semua jurus yang ada di dalam kitab itu untuk satu keperluan pribadimu, Selendang Maut. Karenanya, aku perlu mencegah niat burukmu itu!""Baraka!" seru Datuk Marah Gadai di sebelah sana."Kesabaranku sudah habis! Waktumu untuk hidup pun sudah habis! Sekarang tiba saatnya untuk mencabut nyawamu, Baraka! Hiaaat...."Jari tangan Baraka membara hijau, lalu menyentil ke depan.Tass...!Pada waktu itu, Datuk Marah Gadai merasakan adanya satu sentakan halus di pinggangnya, tapi ia tidak pedulikan hal itu. Ia hentakkan kakinya dan melesat terbang dengan kedua tangan siap menghantam bersamaan. Kedua tangan itu berada di samping telinga dengan jari mengeras kaku dan memercik-mercikkan bunga api biru.Baraka cepat sabetkan Suling Naga Krishna-nya ke depan sebelum tubuh Datuk Marah Gadai tiba di depannya.Wuus
Ia tak tahu, ada orang yang menertawakan dari atas pohon sebelah sana. Dewa Racun terkikik dengan mulut dibekapnya sendiri. Sementara itu Singo Bodong masih tetap tidur mendengkur. Sayang sekali dia tidur, andai dia dalam keadaan bangun, dia sangat senang melihat pertarungan dahsyat itu.Datuk Marah Gadai melompatkan tubuh dengan kekuatan tenaga peringan tubuhnya yang cukup tinggi, ia tiba di tanah berpasir dalam keadaan tubuh basah kuyup. Wajahnya semakin bengis. Oh, rupanya ada darah yang keluar dari hidungnya saat ia terlempar ke laut tadi."Baraka!" ia melangkah dengan gusarnya. Berdiri tegak lagi setelah dalam jarak lima langkah dari Pendekar Kera Sakti, ia ucapkan kata dalam nada geram, penuh dengan nafsu membunuh yang berkobar-kobar di dadanya. "Jangan anggap dirimu menang, Baraka! Aku masih punya satu pusaka lagi yang akan mengakhiri masa hidupmu sekarang juga!""Kalau kau masih penasaran padaku, lakukanlah apa yang ingin kau lakukan," kata Baraka. "Kala
"Kau tak berhak memiliki! Kau bukan murid Perguruan Merpati Wingit. Akulah murid Merpati Wingit yang berhak mempelajari ilmu-ilmu di dalam kitab inil"Pendekar Kera Sakti tersenyum, bahkan tertawa pelan berkesan meremehkan kata-kata Selendang Maut. Lalu, ia berkata pada perempuan itu, "Kalau aku mau curang, kuambil kitab itu darimu, dan kubiarkan kau tetap dalam pengaruh totokan. Setelah itu aku akan lari jauh sekali, kau tak akan bisa mengejarnya!""Biadab kau! Sekalipun ilmumu tinggi, aku tak takut melawanmu, Baraka! Aku berani taruhkan nyawa untuk kitab ini!""Bertaruh nyawa saja belum tentu bisa, apalagi kau mau melawanku. Mungkin aku akan kalah padamu, tapi bukan berarti aku binasa, melainkan kasihan padamu! Tapi kitab itu, tetap harus kumiliki!""Tak ada yang berhak memiliki kitab pusaka ini kecuali aku!""Siapa bilang!" tiba-tiba sebuah suara terdengar dari kerumunan dedaunan di belakang Selendang Maut. Pemilik suara itu segera melesat denga
Pendekar Kera Sakti sendiri sempat kaget dan tak menyangka kalau tangan Betari Ayu mau berkelebat menampar Selendang Maut, ia jadi tak enak hati mendengar kata-kata Betari Ayu tadi, seakan dia sangat dibela harga dirinya di depan sang murid."Ampunilah saya, Guru," ucap Selendang Maut setelah hening sejurus dan suaranya terdengar melemah. Air matanya mulai menggenang di kedua kelopak mata. Tapi Betari Ayu cepat menggeram bagai lampiaskan kemarahannya, "Sekali lagi kuingatkan, aku benci melihat muridku menangis! Minggat saja kau, jika harus menangis di depanku!"Selendang Maut segera tarik napas dalam-dalam, ia menelan ludahnya sendiri beberapa kali, kemudian berkata dengan tegas, "Saya memang salah, Guru! Saya mohon ampun dan berjanji untuk tidak mencuri kitab pusaka itu lagi! Saya... saya butuh ketenangan jiwa untuk beberapa saat ini, Guru!"Baraka manggut-manggut sambil sesekali melirik Selendang Maut. Yang dilirik sudah mulai mengendurkan permusuhannya. Sikap
Tiba-tiba ada sesuatu yang menyentak dari dalam perut Singo Bodong yang berwajah sangar dan berkumis tebal itu. Sesuatu yang menyentak itu makin kuat, dan akhirnya Singo Bodong paksakan diri untuk duduk, lalu tersontaklah isi perutnya keluar mulut."Hoooek...! Hoooek...!"Tak banyak yang terkuras keluar, namun bikin Singo Bodong semakin geram menahan jengkel. Batinnya mengucap, "Mabuk yang telat! Mestinya tadi, sewaktu aku terombang-ambing ombak, muntah ini bekerja. Sekarang giliran aku mau istirahat, baru muntah ini datang!"Baru saja Singo Bodong bangkit dengan menggeloyor, tiba-tiba dari arah punggungnya ada benda keras yang menyentak kuat. Bukk!"Ehg...!"Singo Bodong memekik tertahan dan tubuhnya yang besar itu tersungkur ke depan sedikit terlonjak.Bruusss...!Singo Bodong terpaksa mencium pasir basah. Bahkan setengah terpaksa membenamkan wajahnya ke sana. Kepalanya semakin berat, pandangan matanya berkunang-kunang saat ia kibas