"Bahaya juga ini si bocah edan!" pikir Datuk Marah Gadai dengan menahan serangan berikutnya. Matanya yang sedikit sipit berkesan bengis itu menatap Pendekar Kera Sakti dengan tajam. Baraka hanya sunggingkan senyum kalem.
"Jangan ikut campur urusanku lagi, Pendekar Kera Sakti!" kata Selendang Maut dengan wajah merengut. "Biarkan aku mengurus diriku sendiri dan kau mengurus dirimu sendiri!"
Selendang Maut mendekati Pendekar Kera Sakti dengan langkah tegasnya, ia berdiri di samping Pendekar Kera Sakti dengan pandangan benci, namun sebenarnya memendam cinta. Pendekar Kera Sakti tersenyum menatapnya, Selendang Maut mendengus menyambutnya, ia mencoba untuk tidak tertarik dengan senyuman Pendekar Kera Sakti yang tampan rupa itu.
"Kau tentunya sudah tahu kebusukanku saat di Bukit Jagal! Aku tak butuh sikap baikmu lagi! Jadi, kau tak perlu bantu aku dalam urusan ini!"
"Tenanglah...!" kata Pendekar Kera Sakti sambil menepuk pundak Selendang Maut. Tepukan pelan itu
"Memegang untuk menyelamatkan kitab pusaka, itu baik. Tapi memegang untuk memilikinya, itu curang! Aku tahu kau ingin mempelajari semua jurus yang ada di dalam kitab itu untuk satu keperluan pribadimu, Selendang Maut. Karenanya, aku perlu mencegah niat burukmu itu!""Baraka!" seru Datuk Marah Gadai di sebelah sana."Kesabaranku sudah habis! Waktumu untuk hidup pun sudah habis! Sekarang tiba saatnya untuk mencabut nyawamu, Baraka! Hiaaat...."Jari tangan Baraka membara hijau, lalu menyentil ke depan.Tass...!Pada waktu itu, Datuk Marah Gadai merasakan adanya satu sentakan halus di pinggangnya, tapi ia tidak pedulikan hal itu. Ia hentakkan kakinya dan melesat terbang dengan kedua tangan siap menghantam bersamaan. Kedua tangan itu berada di samping telinga dengan jari mengeras kaku dan memercik-mercikkan bunga api biru.Baraka cepat sabetkan Suling Naga Krishna-nya ke depan sebelum tubuh Datuk Marah Gadai tiba di depannya.Wuus
Ia tak tahu, ada orang yang menertawakan dari atas pohon sebelah sana. Dewa Racun terkikik dengan mulut dibekapnya sendiri. Sementara itu Singo Bodong masih tetap tidur mendengkur. Sayang sekali dia tidur, andai dia dalam keadaan bangun, dia sangat senang melihat pertarungan dahsyat itu.Datuk Marah Gadai melompatkan tubuh dengan kekuatan tenaga peringan tubuhnya yang cukup tinggi, ia tiba di tanah berpasir dalam keadaan tubuh basah kuyup. Wajahnya semakin bengis. Oh, rupanya ada darah yang keluar dari hidungnya saat ia terlempar ke laut tadi."Baraka!" ia melangkah dengan gusarnya. Berdiri tegak lagi setelah dalam jarak lima langkah dari Pendekar Kera Sakti, ia ucapkan kata dalam nada geram, penuh dengan nafsu membunuh yang berkobar-kobar di dadanya. "Jangan anggap dirimu menang, Baraka! Aku masih punya satu pusaka lagi yang akan mengakhiri masa hidupmu sekarang juga!""Kalau kau masih penasaran padaku, lakukanlah apa yang ingin kau lakukan," kata Baraka. "Kala
"Kau tak berhak memiliki! Kau bukan murid Perguruan Merpati Wingit. Akulah murid Merpati Wingit yang berhak mempelajari ilmu-ilmu di dalam kitab inil"Pendekar Kera Sakti tersenyum, bahkan tertawa pelan berkesan meremehkan kata-kata Selendang Maut. Lalu, ia berkata pada perempuan itu, "Kalau aku mau curang, kuambil kitab itu darimu, dan kubiarkan kau tetap dalam pengaruh totokan. Setelah itu aku akan lari jauh sekali, kau tak akan bisa mengejarnya!""Biadab kau! Sekalipun ilmumu tinggi, aku tak takut melawanmu, Baraka! Aku berani taruhkan nyawa untuk kitab ini!""Bertaruh nyawa saja belum tentu bisa, apalagi kau mau melawanku. Mungkin aku akan kalah padamu, tapi bukan berarti aku binasa, melainkan kasihan padamu! Tapi kitab itu, tetap harus kumiliki!""Tak ada yang berhak memiliki kitab pusaka ini kecuali aku!""Siapa bilang!" tiba-tiba sebuah suara terdengar dari kerumunan dedaunan di belakang Selendang Maut. Pemilik suara itu segera melesat denga
Pendekar Kera Sakti sendiri sempat kaget dan tak menyangka kalau tangan Betari Ayu mau berkelebat menampar Selendang Maut, ia jadi tak enak hati mendengar kata-kata Betari Ayu tadi, seakan dia sangat dibela harga dirinya di depan sang murid."Ampunilah saya, Guru," ucap Selendang Maut setelah hening sejurus dan suaranya terdengar melemah. Air matanya mulai menggenang di kedua kelopak mata. Tapi Betari Ayu cepat menggeram bagai lampiaskan kemarahannya, "Sekali lagi kuingatkan, aku benci melihat muridku menangis! Minggat saja kau, jika harus menangis di depanku!"Selendang Maut segera tarik napas dalam-dalam, ia menelan ludahnya sendiri beberapa kali, kemudian berkata dengan tegas, "Saya memang salah, Guru! Saya mohon ampun dan berjanji untuk tidak mencuri kitab pusaka itu lagi! Saya... saya butuh ketenangan jiwa untuk beberapa saat ini, Guru!"Baraka manggut-manggut sambil sesekali melirik Selendang Maut. Yang dilirik sudah mulai mengendurkan permusuhannya. Sikap
Tiba-tiba ada sesuatu yang menyentak dari dalam perut Singo Bodong yang berwajah sangar dan berkumis tebal itu. Sesuatu yang menyentak itu makin kuat, dan akhirnya Singo Bodong paksakan diri untuk duduk, lalu tersontaklah isi perutnya keluar mulut."Hoooek...! Hoooek...!"Tak banyak yang terkuras keluar, namun bikin Singo Bodong semakin geram menahan jengkel. Batinnya mengucap, "Mabuk yang telat! Mestinya tadi, sewaktu aku terombang-ambing ombak, muntah ini bekerja. Sekarang giliran aku mau istirahat, baru muntah ini datang!"Baru saja Singo Bodong bangkit dengan menggeloyor, tiba-tiba dari arah punggungnya ada benda keras yang menyentak kuat. Bukk!"Ehg...!"Singo Bodong memekik tertahan dan tubuhnya yang besar itu tersungkur ke depan sedikit terlonjak.Bruusss...!Singo Bodong terpaksa mencium pasir basah. Bahkan setengah terpaksa membenamkan wajahnya ke sana. Kepalanya semakin berat, pandangan matanya berkunang-kunang saat ia kibas
Rupanya Tengkorak Terbang sama sekali tidak mau mempercayai penjelasan Singo Bodong. Bahkan ia berkata, "Kau boleh berganti nama jika kau sudah terbujur kaku tanpa nyawa, Dadung Amuk!""Jangan begitu," Singo Bodong tampak gemetar."Aku benar-benar bukan Dadung Amuk. Mungkin wajahku memang mirip dia, tapi aku bukan dia, Tengkorak Terbang. Sungguh! Berani sumpah apa saja!""Tutup mulutmu! Aku tak butuh kepura-puraanmu! Sekarang terimalah pukulan 'Gempur Baja' ini, hiaaaaah...!"Tengkorak Terbang sentakkan sedikit kaki ke tanah, tubuhnya sudah melayang cepat menuju ke arah Singo Bodong. Kedua tangannya mengepal dan begitu mendarat tepat di depan Singo Bodong, kedua tangan itu disentakkan ke depan dengan cepat sekali.Brreggh...!Dada Singo Bodong menjadi sasaran empuknya. Singo Bodong mencoba kibaskan tangan untuk menangkis, tapi meleset. Akibatnya, tubuh besar itu tersentak ke belakang, kedua kakinya sampai mengambang di permukaan tanah. Lalu.
Mata cekung itu cepat layangkan pandang ke arah depan. Keadaan di depan sana sepi-sepi saja. Tiap jengkal tanah, tiap bentuk tanaman, disusuri oleh mata cekung Tengkorak Terbang. Tapi tak terlihat tanda-tanda gerakan yang mencurigakan. Akhirnya si Tengkorak Terbang serukan suaranya, "Siapa yang ada di depan! Keluarlah! Jangan bikin aku marah!"Dari atas pohon meluncur orang berpakaian serba ungu. Melihat warna pakaiannya saja Tengkorak Terbang sudah dapat mengerti siapa tokoh perempuan yang baru saja turun dari pohon itu."Cempaka Ungu...!" sebut Tengkorak Terbang dengan sedikit kerutkan dahi. Perempuan bertusuk konde bentuk kembang cempaka itu berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang. Sebagian rambutnya yang samping jatuh ke depan telinga berbentuk lengkung-lengkung indah, ia menyandang pedang di punggungnya dengan gagang dan sarung pedang dibungkus kain ungu. Perempuan berusia antara tiga puluh tahun itu bukan hanya cantik, tapi juga bermata menarik. Mata itu mem
Perempuan bertampang cantik namun angkuh itu mendenguskan hidungnya. Semakin benci ia memandang Singo Bodong, semakin bergolak darahnya dan bertambah besar nafsunya untuk membunuh orang besar itu. Mata indahnya itu menatap Singo Bodong dengan buas, seolah-olah seluruh darah Singo Bodong ingin dihirupnya habis sebagai pembalasan atas kematian kedua kakaknya, yaitu Melati Hitam dan Kenanga Merah.Singo Bodong sendiri semakin sedih hatinya, ia tahu bahwa perempuan itu ingin sekali menghabisi nyawanya. Seandainya ia bisa jelaskan bahwa dirinya bukan Dadung Amuk, ia akan jelaskan sejelas-jelasnya. Tapi geram kemarahan perempuan itu kelihatan tak akan mau menerima penjelasan Singo Bodong, dan sulit mempercayai kata-katanya. Sebab itu Singo Bodong sekarang justru bertaruh harap kepada Tengkorak Terbang, ia sengaja berdiri di belakang Tengkorak Terbang sebagai pelindung dari serangan Cempaka Ungu."Cempaka," kata Tengkorak Terbang tanpa ada kesan mengimbangi kemarahan perempua
JUBAH hitam berambut putih panjang terurai sebatas punggung adalah tokoh sakti dari Nusa Garong. Biar badannya kurus, wajahnya bengis, matanya cekung, tapi kesaktiannya tak diragukan lagi. Ia dikenal sebagai ketua perguruan aliran hitam, yaitu Perguruan Lumbung Darah. Namanya cukup dikenal di kalangan aliran sesat sebagai Tengkorak Liar. Anak buahnya pernah berhadapan dengan Baraka ketika Baraka selamatkan Sabani, kakak Angon Luwak dalam peristiwa Keris Setan Kobra. Orang kurus bersenjata cambuk pendek warna merah itu berdiri tepat berhadapan dengan Baraka. Usianya diperkirakan sama dengan orang yang berpakaian serba hijau, sampai ikat kepalanya juga hijau, sabuknya hijau, gagang rencongnya hijau dan pakaian dalamnya hijau lebih tua dari jubah lengan panjangnya. Orang itu dikenal dengan nama Tongkang Lumut, dari Perguruan Tambak Wesi.Dalam usia sekitar delapan puluh tahun ke atas ia masih mempunyai mata tajam dan rambut serta kumisnya abu-abu. Badannya masih tegap, walau tak
Kini kelihatannya Ki Bwana Sekarat mulai memperhatikan segala sikap Baraka yang tadi terjadi saat ia menceritakan kehebatan pedang maha sakti itu. Ki Bwana Sekarat bertanya pada pemuda dari lembah kera itu, "Tadi kudengar kau mengatakan 'persis', maksudnya persis bagaimana?""Aku melihat pedang itu ada di tangan muridmu."Ki Bwana Sekarat kerutkan dahi, pandangi Baraka penuh curiga dan keheranan."Aku tak punya murid. Semua muridku sudah mati ketika Pulau Mayat diobrak-abrik oleh Rawana Baka atau Siluman Selaksa Nyawa!"Baraka tersenyum. "Kau mempunyai murid baru yang hanya mempunyai satu ilmu, yaitu ilmu 'Genggam Buana'. Apakah kau sudah tak ingat lagi?"Segera raut wajah Ki Bwana Sekarat berubah tegang. "Maksudmu... maksudmu pedang itu ada di tangan Angon Luwak, bocah penggembala kambing itu?""Benar!" lalu Baraka pun ceritakan kembali tentang apa yang dilihatnya saat Angon Luwak bermain perang-perangan dengan Saladin dan yang lainnya.
Wuuuss...! Kabut itu membungkus sekeliling mereka berdua. Kejap berikut kabut itu lenyap. Kedua tubuh mereka pun lenyap. Tak terlihat oleh mata siapa pun."Kita lenyap dari pandang mata siapa pun, Gusti Manggala. Suara kita pun tak akan didengar oleh siapa pun walau orang itu berilmu tinggi."Baraka memandangi alam sekeliling dengan kagum, sebab dalam pandangannya alam sekeliling bercahaya hijau semua. Mulut Baraka pun menggumam heran. "Luar biasa! Hebat sekali! Ilmu apa namanya, Ki?""Namanya ilmu... jurus 'Surya Kasmaran'.""Aneh sekali namanya itu?""Jurus ini untuk menutupi kita jika sewaktu-waktu kita ingin bermesraan dengan kekasih."Gelak tawa Baraka terlepas tak terlalu panjang. "Agaknya jurus ini adalah jurus baru. Aku baru sekarang tahu kau memiliki ilmu ini, Ki!""Memang jurus baru! Calon istrimu itulah yang menghadiahkan jurus ini padaku sebagai hadiah kesetiaanku yang menjadi penghubung antara kau dan dia!""Menakj
"Apa maksudmu bertepuk tangan, Bwana Sekarat?" tegur Pendeta Mata Lima.Dengan suara parau karena dalam keadaan tidur, KI Bwana Sekarat menjawab, "Aku memuji kehebatan Gusti Manggala-ku ini!" seraya tangannya menuding Baraka dengan lemas. "Masih muda, tapi justru akan menjadi pelindung kalian yang sudah tua dan berilmu tinggi!""Jaga bicaramu agar jangan menyinggung perasaanku, Bwana Sekarat!" hardik Pendeta Mata Lima.Ki Bwana Sekarat tertawa pendek, seperti orang mengigau, ia menepuk pundak Baraka dan berkata, "Pendeta yang satu ini memang cepat panas hati dan mudah tersinggung!""Ki Bwana Sekarat, apa maksud Ki Bwana Sekarat datang menemuiku di sini? Apakah ada utusan dari Puri Gerbang Kayangan?"Mendengar nama Puri Gerbang Kayangan disebutkan, kedua pendeta itu tetap tenang. Sebab mereka tahu, bahwa Baraka adalah orang Puri Gerbang Kayangan. Noda merah di kening Baraka sudah dilihat sejak awal jumpa. Semestinya mereka merasa sungkan, karena mer
Tetapi tiba-tiba sekelebat Sinar putih perak dari telapak tangan sang pengintai melesat lebih dulu sebelum Rajang Lebong lepaskan jurus 'Pasir Neraka' andalannya.Zlaaap...!Sinar putih perak yang dinamakan jurus 'Tapak Dewa Kayangan' itu tepat kedai dada Rajang Lebong.Deeub...! Blaaarrr...!Apa yang terjadi sungguh tak diduga-duga oleh Pangkas Caling. Tubuh Rajang Lebong hancur. Pecah menjadi serpihan-serpihan daging dan tulang yang menyebar ke mana-mana. Bahkan darahnya sendiri tak bisa terkumpulkan. Ada yang membasahi batu, pohon, daun, ilalang, dan ke mana saja tak jelas bentuknya, hanya warna merah yang membuat alam sekitarnya bagai berbunga indah. Sedangkan Pangkas Caling gemetar antara takut dan memendam murka, ia sempat berkata pada dirinya sendiri, "Kalau begini matinya, bagaimana aku bisa meludahi Rajang Lebong? Apanya yang harus kuludahi! Celaka! Ada orang yang membantu kedua pendeta itu! Ilmunya pasti lebih tinggi! Sebaiknya aku harus lekas-l
Tubuh Pangkas Caling tak kelihatan setelah terjadi kilatan cahaya terang warna ungu akibat benturan tadi. Tubuh kedua pendeta itu terjungkal lima langkah dari jarak tempat berdiri mereka tadi. Hidung mereka sama-sama keluarkan darah, dan wajah mereka sama-sama menjadi pucat. Mereka sendiri tak sangka kalau akan terjadi ledakan sedahsyat itu."Jantung Dewa, apakah kita masih hidup atau sudah di nirwana?""Kukira kita masih ada di bumi, Mata Lima," jawab Pendeta Jantung Dewa dengan suara berat dan napas sesak. Getaran bumi terhenti, angin membadai hilang. Gemuruh bebatuan yang longsor bersama tanahnya pun tinggal sisanya. Kedua pendeta itu sudah tegak berdiri walau sesak napasnya belum teratasi. Tapi pandangan mata para orang tua itu sudah cukup terang untuk memandang alam sekitarnya.Pada waktu itu, keadaan Rajang Lebong yang sudah mati ternyata bisa bernapas dan bangkit lagi. Sebab sebelum Pangkas Caling menyerang, terlebih dulu meludahi wajah Rajang Lebong. Tet
Bersalto di udara dua kali masih merupakan kelincahan yang dimiliki orang setua dia. Kini keduanya sudah kembali mendarat di tanah dan langsung menghadang lawannya, tak pedulikan sinar kuning tadi kenai pohon itu langsung kering dari pucuk sampai akarnya."Rajang Lebong dan Pangkas Caling, mau apa kalian menyerang kami!" tegur Pendeta Jantung Dewa dengan kalem. Senyum Pangkas Caling diperlihatkan kesinisannya, tapi bagi Pendeta Jantung Dewa, yang dipamerkan adalah dua gigi taring yang sedikit lebih panjang dari barisan gigi lainnya. Pangkas Caling menyeringai mirip hantu tersipu malu.Sekalipun yang menyeringai Pangkas Caling, tapi yang bicara adalah Rajang Lebong yang punya badan agak gemuk, bersenjata golok lengkung terselip di depan perutnya. Beda dengan Pangkas Caling yang bersenjata parang panjang di pinggang kirinya."Kulihat kalian berdua tadi ada di Bukit Lajang!""Memang benar!" jawab Pendeta Jantung Dewa. Tegas dan jujur."Tentunya kalian
RESI Wulung Gading mengatakan, bahwa Seruling Malaikat tidak mempunyai kelemahan. Satu-satunya cara menghadapi Seruling Malaikat adalah, "Jangan beri kesempatan Raja Tumbal meniup Seruling itu!"Pendekar Kera Sakti punya kesimpulan, "Harus menyerang lebih dulu sebelum diserang. Karena jika Raja Tumbal diserang lebih dulu, maka ia tidak punya persiapan untuk meniup serulingnya. Syukur bisa membuat dia tidak punya kesempatan untuk mengambil pusaka itu!Itu berarti Baraka harus lakukan penyerangan mendadak ke Lumpur Maut. Padahal ia tidak mengetahui di mana wilayah Lumpur Maut. Maka, hatinya pun membatin, "Aku harus minta bantuan Angin Betina! Di mana perempuan itu sekarang?"Pendekar Kera Sakti dihadapkan pada beberapa persoalan yang memusingkan kepala. Pertama, ia harus mencari di mana Angon Luwak, agar Pedang Kayu Petir yang ada di tangan anak itu tidak jatuh ke tangan orang sesat. Kedua, ia harus temukan Delima Gusti dan memberi tahu tentang siasat Raja Tumbal
Diamnya Baraka dimanfaatkan oleh Angin Betina untuk berkata lagi, "Aku suka padamu, dan berjanji akan melindungimu!""Berani sekali kau berkata begitu padaku. Apakah kau tak merasa malu, sebagai perempuan menyatakan isi hatimu di depanku?""Aku lebih malu jika kau yang menyatakan rasa suka padaku lebih dulu!""Aneh!" Baraka tertawa, tapi tiba-tiba Angin Betina menyentak lirih, "Jangan tertawa!""Kenapa" Aku tertawa pakai mulutku sendiri!""Tawamu makin memancing gairahku," jawabnya dalam desah yang menggiring khayalan kepada sebentuk kehangatan. Baraka hanya tersenyum, matanya sempat melirik nakal ke dada Angin Betina. Perempuan itu pun berkata lirih lagi, "Jangan hanya melirik kalau kau berani! Lakukanlah! Tunjukkan keberanianmu sebagai seorang lelaki yang mestinya mampu tundukkan wanita sepertiku!"Baraka kian lebarkan senyum dan menggeleng. "Tidak. Anggap saja aku pengecut untuk urusan ini! Selamat tinggal!"Zlaaap...! Weesss...!