Pendekar Kera Sakti sendiri sempat kaget dan tak menyangka kalau tangan Betari Ayu mau berkelebat menampar Selendang Maut, ia jadi tak enak hati mendengar kata-kata Betari Ayu tadi, seakan dia sangat dibela harga dirinya di depan sang murid.
"Ampunilah saya, Guru," ucap Selendang Maut setelah hening sejurus dan suaranya terdengar melemah. Air matanya mulai menggenang di kedua kelopak mata. Tapi Betari Ayu cepat menggeram bagai lampiaskan kemarahannya, "Sekali lagi kuingatkan, aku benci melihat muridku menangis! Minggat saja kau, jika harus menangis di depanku!"
Selendang Maut segera tarik napas dalam-dalam, ia menelan ludahnya sendiri beberapa kali, kemudian berkata dengan tegas, "Saya memang salah, Guru! Saya mohon ampun dan berjanji untuk tidak mencuri kitab pusaka itu lagi! Saya... saya butuh ketenangan jiwa untuk beberapa saat ini, Guru!"
Baraka manggut-manggut sambil sesekali melirik Selendang Maut. Yang dilirik sudah mulai mengendurkan permusuhannya. Sikap
Tiba-tiba ada sesuatu yang menyentak dari dalam perut Singo Bodong yang berwajah sangar dan berkumis tebal itu. Sesuatu yang menyentak itu makin kuat, dan akhirnya Singo Bodong paksakan diri untuk duduk, lalu tersontaklah isi perutnya keluar mulut."Hoooek...! Hoooek...!"Tak banyak yang terkuras keluar, namun bikin Singo Bodong semakin geram menahan jengkel. Batinnya mengucap, "Mabuk yang telat! Mestinya tadi, sewaktu aku terombang-ambing ombak, muntah ini bekerja. Sekarang giliran aku mau istirahat, baru muntah ini datang!"Baru saja Singo Bodong bangkit dengan menggeloyor, tiba-tiba dari arah punggungnya ada benda keras yang menyentak kuat. Bukk!"Ehg...!"Singo Bodong memekik tertahan dan tubuhnya yang besar itu tersungkur ke depan sedikit terlonjak.Bruusss...!Singo Bodong terpaksa mencium pasir basah. Bahkan setengah terpaksa membenamkan wajahnya ke sana. Kepalanya semakin berat, pandangan matanya berkunang-kunang saat ia kibas
Rupanya Tengkorak Terbang sama sekali tidak mau mempercayai penjelasan Singo Bodong. Bahkan ia berkata, "Kau boleh berganti nama jika kau sudah terbujur kaku tanpa nyawa, Dadung Amuk!""Jangan begitu," Singo Bodong tampak gemetar."Aku benar-benar bukan Dadung Amuk. Mungkin wajahku memang mirip dia, tapi aku bukan dia, Tengkorak Terbang. Sungguh! Berani sumpah apa saja!""Tutup mulutmu! Aku tak butuh kepura-puraanmu! Sekarang terimalah pukulan 'Gempur Baja' ini, hiaaaaah...!"Tengkorak Terbang sentakkan sedikit kaki ke tanah, tubuhnya sudah melayang cepat menuju ke arah Singo Bodong. Kedua tangannya mengepal dan begitu mendarat tepat di depan Singo Bodong, kedua tangan itu disentakkan ke depan dengan cepat sekali.Brreggh...!Dada Singo Bodong menjadi sasaran empuknya. Singo Bodong mencoba kibaskan tangan untuk menangkis, tapi meleset. Akibatnya, tubuh besar itu tersentak ke belakang, kedua kakinya sampai mengambang di permukaan tanah. Lalu.
Mata cekung itu cepat layangkan pandang ke arah depan. Keadaan di depan sana sepi-sepi saja. Tiap jengkal tanah, tiap bentuk tanaman, disusuri oleh mata cekung Tengkorak Terbang. Tapi tak terlihat tanda-tanda gerakan yang mencurigakan. Akhirnya si Tengkorak Terbang serukan suaranya, "Siapa yang ada di depan! Keluarlah! Jangan bikin aku marah!"Dari atas pohon meluncur orang berpakaian serba ungu. Melihat warna pakaiannya saja Tengkorak Terbang sudah dapat mengerti siapa tokoh perempuan yang baru saja turun dari pohon itu."Cempaka Ungu...!" sebut Tengkorak Terbang dengan sedikit kerutkan dahi. Perempuan bertusuk konde bentuk kembang cempaka itu berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang. Sebagian rambutnya yang samping jatuh ke depan telinga berbentuk lengkung-lengkung indah, ia menyandang pedang di punggungnya dengan gagang dan sarung pedang dibungkus kain ungu. Perempuan berusia antara tiga puluh tahun itu bukan hanya cantik, tapi juga bermata menarik. Mata itu mem
Perempuan bertampang cantik namun angkuh itu mendenguskan hidungnya. Semakin benci ia memandang Singo Bodong, semakin bergolak darahnya dan bertambah besar nafsunya untuk membunuh orang besar itu. Mata indahnya itu menatap Singo Bodong dengan buas, seolah-olah seluruh darah Singo Bodong ingin dihirupnya habis sebagai pembalasan atas kematian kedua kakaknya, yaitu Melati Hitam dan Kenanga Merah.Singo Bodong sendiri semakin sedih hatinya, ia tahu bahwa perempuan itu ingin sekali menghabisi nyawanya. Seandainya ia bisa jelaskan bahwa dirinya bukan Dadung Amuk, ia akan jelaskan sejelas-jelasnya. Tapi geram kemarahan perempuan itu kelihatan tak akan mau menerima penjelasan Singo Bodong, dan sulit mempercayai kata-katanya. Sebab itu Singo Bodong sekarang justru bertaruh harap kepada Tengkorak Terbang, ia sengaja berdiri di belakang Tengkorak Terbang sebagai pelindung dari serangan Cempaka Ungu."Cempaka," kata Tengkorak Terbang tanpa ada kesan mengimbangi kemarahan perempua
"Kenapa tidak kau lakukan?""Karena dia sudah menyerah dan siap dihadapkan pengadilan sang Ratu! Siapa menentang langkahku ini, berarti menentang keputusan sang Ratu!"Orang yang tadi berani bicara sekarang terdiam. Matanya memandangi teman-temannya. Teman- temannya juga saling pandang satu dengan yang lain. Pada saat hening tanpa kata, Tengkorak Terbang cepat sentakkan suaranya lagi, "Minggir kalian!"Maka, empat orang yang menutup jalan menuju pintu gerbang itu pun segera menepi dengan sikap tetap mengacungkan senjatanya, seakan berjaga-jaga mendapat serangan sewaktu-waktu dari Singo Bodong yang dianggap tawanan mereka."Buka pintu!" sentak Tengkorak Terbang kepada penjaga pintu gerbang itu. Dengan terburu-buru kedua penjaga segera membukakan pintu, dan Tengkorak Terbang menarik tangan Singo Bodong agar mempercepat langkahnya. Kali ini, Singo Bodong ada di belakang Tengkorak Terbang yang melangkah lebih dulu.Begitu mereka masuk ke pintu gerbang,
ILMU 'Lebur Samudera' adalah ilmu yang sangat berbahaya. Si Setan Bodong pun tidak memiliki ilmu itu. Tetapi Ratu Pekat tahu, satu-satunya orang yang memiliki ilmu 'Lebur Samudera' yang ada di sekelilingnya itu adalah Dewi Kencana Langit, yang bersemayam di pesisir selatan bagian timur tanah Jawa.'Lebur Samudera' ilmu yang tak kenal ampun lagi. Orang yang memiliki kesaktian setinggi apa pun, jika terkena pukulan ilmu 'Lebur Samudera', akan hilang semua kesaktiannya, dan ia tak akan bisa berbuat apa-apa. Ia akan menjadi orang polos dan bodoh. Bahkan untuk berlari cepat pun tak akan mampu. Ratu Pekat melihat keadaan Singo Bodong yang dianggap Dadung Amuk itu, menjadi sangat curiga dan agak ragu dalam bertindak.Sebab ia tahu ciri-ciri orang berilmu tinggi yang habis terkena pukulan 'Lebur Samudera' akan menjadi seperti Singo Bodong; bodoh, penakut, dan kosong tanpa isi sedikit pun."Setidaknya," pikir Ratu Pekat, "Kalau Dadung Amuk hanya berpura-pura kalah, maka
Cempaka Ungu kerutkan dahi. "Mengapa bisa begitu, Ibu?""Tengkorak Terbang yang melakukannya dan membuat dia menjadi seperti itu.""Apa maksud, Ibu?""Kau tahu sendiri kehebatan jurus dan ilmunya Dadung Amuk sewaktu dia mengamuk di sini dan mencari Kitab Pusaka Wedar Kesuma! Begitu tangguh dan hebatnya dia. Ibu mengakui hal itu. Tapi di tangan Tengkorak Terbang, ia menjadi luluh dan tak berdaya seperti itu. Kesaktian dan kekuatannya hilang tak tersisa sedikit pun. Dan hanya orang yang mempunyai ilmu 'Lebur Samudera' yang bisa membuat lawan menjadi seperti itu.""Jadi... jadi maksud Ibu, Tengkorak Terbang telah memiliki ilmu 'Lebur Samudera' Oh, tidak mungkin, Ibu! Aku tidak percaya kalau Cakradanu bisa memiliki ilmu sehebat itu!""Nyatanya Dadung Amuk menjadi sebegitu lemahnya setelah dibawanya kemari! Tentunya saat ia temukan Dadung Amuk di pantai, ia telah lepaskan pukulan 'Lebur Samudera' yang membuat ilmu dan kesaktian Dadung Amuk menjadi sirna
"Mengapa jadi begitu?" pikir Tengkorak Terbang.Bahkan si Mata Elang pun memandangnya dengan sikap bersahabat. Biasanya anak muda yang bertubuh kekar itu memandangnya dengan sikap angkuh, seakan meremehkan keberadaan Tengkorak Terbang di lingkungan para pejabat istana. Sekarang sikap angkuh dan meremehkan itu sudah tidak ada lagi. Bahkan dengan senyum kecilnya, si Mata Elang berkata, "Sebagai seorang panglima yang baru saja diangkat, kau harus bisa tunjukkan sikap kejantananmu yang mengagumkan hati Nyai Ratu itu, Tengkorak Terbang. Kurasa tak ada jeleknya kau memutuskan apakah hukuman gantung itu perlu dilaksanakan atau tidak! Kau punya kekuasaan sekarang ini!""Nyai Ratu," kata Tengkorak Terbang. "Penghargaan ini terlalu tinggi buat saya! Tak pantas rasanya saya menjadi panglima!""Siapa bilang tak pantas!" senyum Ratu Pekat tersungging. "Bahkan menurutku kau sangat pantas untuk mendapat gelar sang Penakluk dari Pulau Beliung!""O, tidak, Nyai! Itu semak
Blaaar...!Gelombang ledakan menghentak sangat kuat membuat tubuh Pendekar Kera Sakti sebelum sempat mendarat sudah terlempar lagi bagaikan terbuang ke arah belakang.Wuuus...! Brrukk...!Benturan tersebut bukan saja hasilkan gelombang ledakan tinggi, namun juga kerliapan cahaya merah yang lebar dan menyilaukan. Tongkat itu sendiri pecah dan terpotong-potong tidak beraturan. Pandangan mata Baraka menjadi gelap bagaikan menemui kebutaan.Ketika ia jatuh terpuruk dan mencoba untuk bangkit, ia tak melihat apa-apa kecuali kegelapan yang pekat. Tetapi suling mustika masih ada di tangannya, sehingga Baraka buru-buru menyalurkan hawa murni ‘Kristal Bening’-nya!Maka dalam beberapa kejap saja pandangan matanya sudah kembali seperti semula. Kesesakan dadanya mulai lancar, dan rasa sakit pada sekujur tubuh serta tulang-tulangnya yang merasa patah telah pulih segar seperti semuia."Edan! Kekuatannya begitu tinggi. Hampir saja aku celaka!" p
Orang pertama yang menghadapi Baraka adalah Tongkang Lumut yang bersenjata rencong terselip di depan perutnya. Yang lain mundur, memberikan tempat untuk pertarungan maut itu. Tongkang Lumut mulai buka kuda-kudanya, tapi Baraka malahan menggaruk-garuk pantatnya dengan seenaknya saja. Ketenangan itu sengaja dipamerkan Baraka untuk membuat ciut nyali lawannya, sekalipun hanya sedikit saja kedutan nyali itu dialami oleh lawan, tapi punya sisi menguntungkan bagi Baraka.Tongkang Lumut rendahkan kakinya. Kedua tangan terangkat, yang kanan ada di atas kepala dengan bergetar pertanda tenaga dalam mulai disalurkan pada tangan tersebut. Tangan kirinya menghadang di depan dada. Menggenggam keras dan kuat sekali.Slaaap...!Tiba-tiba Tongkang Lumut bagai menghilang dari hadapan Baraka. Tahu-tahu dia sudah berpindah tempat di belakang Baraka dalam jarak satu jangkauan tangan. Tentu saja punggung Pendekar Kera Sakti dijadikan sasaran tangan yang sudah berasap itu. Menyadari h
JUBAH hitam berambut putih panjang terurai sebatas punggung adalah tokoh sakti dari Nusa Garong. Biar badannya kurus, wajahnya bengis, matanya cekung, tapi kesaktiannya tak diragukan lagi. Ia dikenal sebagai ketua perguruan aliran hitam, yaitu Perguruan Lumbung Darah. Namanya cukup dikenal di kalangan aliran sesat sebagai Tengkorak Liar. Anak buahnya pernah berhadapan dengan Baraka ketika Baraka selamatkan Sabani, kakak Angon Luwak dalam peristiwa Keris Setan Kobra. Orang kurus bersenjata cambuk pendek warna merah itu berdiri tepat berhadapan dengan Baraka. Usianya diperkirakan sama dengan orang yang berpakaian serba hijau, sampai ikat kepalanya juga hijau, sabuknya hijau, gagang rencongnya hijau dan pakaian dalamnya hijau lebih tua dari jubah lengan panjangnya. Orang itu dikenal dengan nama Tongkang Lumut, dari Perguruan Tambak Wesi.Dalam usia sekitar delapan puluh tahun ke atas ia masih mempunyai mata tajam dan rambut serta kumisnya abu-abu. Badannya masih tegap, walau tak
Kini kelihatannya Ki Bwana Sekarat mulai memperhatikan segala sikap Baraka yang tadi terjadi saat ia menceritakan kehebatan pedang maha sakti itu. Ki Bwana Sekarat bertanya pada pemuda dari lembah kera itu, "Tadi kudengar kau mengatakan 'persis', maksudnya persis bagaimana?""Aku melihat pedang itu ada di tangan muridmu."Ki Bwana Sekarat kerutkan dahi, pandangi Baraka penuh curiga dan keheranan."Aku tak punya murid. Semua muridku sudah mati ketika Pulau Mayat diobrak-abrik oleh Rawana Baka atau Siluman Selaksa Nyawa!"Baraka tersenyum. "Kau mempunyai murid baru yang hanya mempunyai satu ilmu, yaitu ilmu 'Genggam Buana'. Apakah kau sudah tak ingat lagi?"Segera raut wajah Ki Bwana Sekarat berubah tegang. "Maksudmu... maksudmu pedang itu ada di tangan Angon Luwak, bocah penggembala kambing itu?""Benar!" lalu Baraka pun ceritakan kembali tentang apa yang dilihatnya saat Angon Luwak bermain perang-perangan dengan Saladin dan yang lainnya.
Wuuuss...! Kabut itu membungkus sekeliling mereka berdua. Kejap berikut kabut itu lenyap. Kedua tubuh mereka pun lenyap. Tak terlihat oleh mata siapa pun."Kita lenyap dari pandang mata siapa pun, Gusti Manggala. Suara kita pun tak akan didengar oleh siapa pun walau orang itu berilmu tinggi."Baraka memandangi alam sekeliling dengan kagum, sebab dalam pandangannya alam sekeliling bercahaya hijau semua. Mulut Baraka pun menggumam heran. "Luar biasa! Hebat sekali! Ilmu apa namanya, Ki?""Namanya ilmu... jurus 'Surya Kasmaran'.""Aneh sekali namanya itu?""Jurus ini untuk menutupi kita jika sewaktu-waktu kita ingin bermesraan dengan kekasih."Gelak tawa Baraka terlepas tak terlalu panjang. "Agaknya jurus ini adalah jurus baru. Aku baru sekarang tahu kau memiliki ilmu ini, Ki!""Memang jurus baru! Calon istrimu itulah yang menghadiahkan jurus ini padaku sebagai hadiah kesetiaanku yang menjadi penghubung antara kau dan dia!""Menakj
"Apa maksudmu bertepuk tangan, Bwana Sekarat?" tegur Pendeta Mata Lima.Dengan suara parau karena dalam keadaan tidur, KI Bwana Sekarat menjawab, "Aku memuji kehebatan Gusti Manggala-ku ini!" seraya tangannya menuding Baraka dengan lemas. "Masih muda, tapi justru akan menjadi pelindung kalian yang sudah tua dan berilmu tinggi!""Jaga bicaramu agar jangan menyinggung perasaanku, Bwana Sekarat!" hardik Pendeta Mata Lima.Ki Bwana Sekarat tertawa pendek, seperti orang mengigau, ia menepuk pundak Baraka dan berkata, "Pendeta yang satu ini memang cepat panas hati dan mudah tersinggung!""Ki Bwana Sekarat, apa maksud Ki Bwana Sekarat datang menemuiku di sini? Apakah ada utusan dari Puri Gerbang Kayangan?"Mendengar nama Puri Gerbang Kayangan disebutkan, kedua pendeta itu tetap tenang. Sebab mereka tahu, bahwa Baraka adalah orang Puri Gerbang Kayangan. Noda merah di kening Baraka sudah dilihat sejak awal jumpa. Semestinya mereka merasa sungkan, karena mer
Tetapi tiba-tiba sekelebat Sinar putih perak dari telapak tangan sang pengintai melesat lebih dulu sebelum Rajang Lebong lepaskan jurus 'Pasir Neraka' andalannya.Zlaaap...!Sinar putih perak yang dinamakan jurus 'Tapak Dewa Kayangan' itu tepat kedai dada Rajang Lebong.Deeub...! Blaaarrr...!Apa yang terjadi sungguh tak diduga-duga oleh Pangkas Caling. Tubuh Rajang Lebong hancur. Pecah menjadi serpihan-serpihan daging dan tulang yang menyebar ke mana-mana. Bahkan darahnya sendiri tak bisa terkumpulkan. Ada yang membasahi batu, pohon, daun, ilalang, dan ke mana saja tak jelas bentuknya, hanya warna merah yang membuat alam sekitarnya bagai berbunga indah. Sedangkan Pangkas Caling gemetar antara takut dan memendam murka, ia sempat berkata pada dirinya sendiri, "Kalau begini matinya, bagaimana aku bisa meludahi Rajang Lebong? Apanya yang harus kuludahi! Celaka! Ada orang yang membantu kedua pendeta itu! Ilmunya pasti lebih tinggi! Sebaiknya aku harus lekas-l
Tubuh Pangkas Caling tak kelihatan setelah terjadi kilatan cahaya terang warna ungu akibat benturan tadi. Tubuh kedua pendeta itu terjungkal lima langkah dari jarak tempat berdiri mereka tadi. Hidung mereka sama-sama keluarkan darah, dan wajah mereka sama-sama menjadi pucat. Mereka sendiri tak sangka kalau akan terjadi ledakan sedahsyat itu."Jantung Dewa, apakah kita masih hidup atau sudah di nirwana?""Kukira kita masih ada di bumi, Mata Lima," jawab Pendeta Jantung Dewa dengan suara berat dan napas sesak. Getaran bumi terhenti, angin membadai hilang. Gemuruh bebatuan yang longsor bersama tanahnya pun tinggal sisanya. Kedua pendeta itu sudah tegak berdiri walau sesak napasnya belum teratasi. Tapi pandangan mata para orang tua itu sudah cukup terang untuk memandang alam sekitarnya.Pada waktu itu, keadaan Rajang Lebong yang sudah mati ternyata bisa bernapas dan bangkit lagi. Sebab sebelum Pangkas Caling menyerang, terlebih dulu meludahi wajah Rajang Lebong. Tet
Bersalto di udara dua kali masih merupakan kelincahan yang dimiliki orang setua dia. Kini keduanya sudah kembali mendarat di tanah dan langsung menghadang lawannya, tak pedulikan sinar kuning tadi kenai pohon itu langsung kering dari pucuk sampai akarnya."Rajang Lebong dan Pangkas Caling, mau apa kalian menyerang kami!" tegur Pendeta Jantung Dewa dengan kalem. Senyum Pangkas Caling diperlihatkan kesinisannya, tapi bagi Pendeta Jantung Dewa, yang dipamerkan adalah dua gigi taring yang sedikit lebih panjang dari barisan gigi lainnya. Pangkas Caling menyeringai mirip hantu tersipu malu.Sekalipun yang menyeringai Pangkas Caling, tapi yang bicara adalah Rajang Lebong yang punya badan agak gemuk, bersenjata golok lengkung terselip di depan perutnya. Beda dengan Pangkas Caling yang bersenjata parang panjang di pinggang kirinya."Kulihat kalian berdua tadi ada di Bukit Lajang!""Memang benar!" jawab Pendeta Jantung Dewa. Tegas dan jujur."Tentunya kalian