"Membunuh itu hal yang mudah, tapi mengampuni lawan adalah hal yang sulit! Dulu kudapatkan wejangan seperti itu dari guruku."
"Mungkin benar kata gurumu. Tapi tahukah kau, tak ada ampun lagi buat perempuan macam dia, hah?!"
Peri Malam sudah berusaha bangkit. Mulutnya semburkan darah segar saat tadi terkena pukulan 'Merpati Puber'. Tapi ia masih bisa menahan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. Kalau saja ia teruskan pertarungan itu, ia masih sanggup menumbangkan Selendang Maut dengan jurus-jurus maut yang belum sempat dikeluarkan. Tetapi ia menangkap adanya bahaya dari percakapan Baraka dengan Selendang Maut.
Rahasia Air Mata Malaikat akan terbongkar dari mulut Selendang Maut. Sudah tentu Baraka akan berada di pihak Selendang Maut dan segera menyerangnya jika Baraka tahu pusaka itu ada padanya. Demi menyelamatkan pusaka dari tangannya, juga demi menyelamatkan hubungannya dengan Baraka di kelak kemudian hari, Peri Malam terpaksa harus menghilang sementar
"Aku bertemu dengan Dewi Murka, juga bertemu dengan gurumu Nyai Guru Betari Ayu. Bahkan aku sempat bicara panjang lebar dengan gurumu di taman yang indah itu.""Apa...?! Kau bicara dengan Guru? Kau diajak ke taman itu?!""Ya," Jawab Baraka polos. "Aku kagum sekali.""Kagum pada guruku?""Kagum pada taman yang indah itu," Jawab Baraka mengalihkan sangkaan, karena ia tahu arah pertanyaan Selendang Maut itu.Selendang Maut kembali katupkan mulutnya. Kembali pula hatinya berkata. "Kalau dia dibawa oleh Guru ke taman itu, berarti Guru punya perhatian istimewa padanya. Oh, apakah Guru juga mempunyai rasa suka pada Baraka?""Bahkan aku sempat bermalam di sana. Satu malam," Tambah Baraka.Selendang Maut semakin terperanjat. "Kau bermalam di sana?! Hmmm... dengan siapa? Dengan siapa kau tidur di sana?”"Dengan seseorang," Jawab Baraka menggoda, membuat hati Selendang Maut semakin penasaran."Siapa orang itu?! Sebutkan naman
MENURUT BARAKA, mereka tidak perlu mengejar Peri Malam. Sebab tadi ia melihat ada perahu di celah bebatuan karang. Baraka ingat, bahwa Guru dari Peri Malam adalah Mawar Hitam yang tinggal di Pulau Hantu. Tentunya menjadi penguasa di Pulau Hantu tersebut.Menurut perhitungan Baraka, cepat atau lambat pasti Peri Malam akan kembali datang ke pantai itu dan menuju ke Pulau Hantu memakai perahu tersebut. Tetapi, Selendang Maut mempunyai pemikiran lain lagi."Mungkin saja dia akan pulang ke Pulau Hantu menyerahkan Pusaka Air Mata Malaikat kepada gurunya. Tapi bagaimana jika ia nekat menjadi murid murtad?!""Apa maksudmu?""Karena dia tahu kekuatan dahsyat di dalam Air Mata Malaikat itu, maka dia meminum sendiri Air Mata Malaikat tersebut. Bukankah dengan begitu dia bisa kalahkan gurunya sendiri?""Hmmm... ya. Memang bisa saja terjadi begitu!" Kata Baraka. Kemudian ia bertanya kepada Selendang Maut."Apa dia berani menjadi murid murtad?""Ak
Sejurus kemudian, Dewi Murka perdengarkan suaranya yang tegas. "Dengar, Larasati...! Guru telah perintahkan aku untuk memaksamu pulang. Tak bisa hidup, mati pun tak apa! Guru telah tugaskan aku untuk membawamu pulang dalam keadaan hidup atau mati! Paham?!""Tak mungkin Guru keluarkan tugas begitu untukmu! Aku bukan murid bersalah. Aku tidak melanggar peraturan perguruan!""Siapa bilang?!" Sergah Dewi Murka."Kau menjadi murid bersalah dan dianggap telah murtad!""Hei, apa salahku?!" Selendang Maut kian keras kerutkan keningnya karena heran."Jangan berlagak bodoh, Larasati! Sejak kepergianmu tempo hari dari perguruan, ternyata kau telah berhasil mencuri Kitab Wedar Kesuma!""Gila kau!""Kitab Wedar Kesuma telah hilang dari tempatnya. Siapa lagi pencurinya jika bukan kau, Larasati! Karena sejak saat itu kau tidak berani pulang ke perguruan!""Itu fitnah! Itu praduga yang kau timbulkan sendiri, karena kau takut Guru akan memilihk
Pemilik kedai itu menggeragap sambil bergegas menyiapkan arak satu kendil berukuran kecil.Pada saat itu, lelaki berkumis melintang dan berbadan seperti kebo itu melirik sinis pada Baraka. Meski tahu dilirik, Baraka diam saja dan pura-pura tidak memperhatikan lelaki yang sedang unjuk keberanian dan kegalakannya itu."Ini araknya, Kang? Apa masih kurang?" Tanya pemilik kedai."Sudah. Cukup."Seorang lelaki kurus berbaju merah lusuh bertanya kepada lelaki berkumis tebat itu. "Kang, apa tidak merasa sayang kalau arak sebegitu banyak dipakai untuk cuci tangan?”"Sudah biasa!" Jawab lelaki itu."Aku kalau habis makan, cuci tangannya harus pakai arak. Arak seperti ini kalau di rumahku tidak diminum, tapi buat cuci tangan atau cuci kaki kalau habis kena tanah becek!"Tangan lelaki berkumis itu segera masuk ke kendil berisi arak. Tapi kejap berikutnya dia memekik keras, kaget dan heran. Tangannya ditarik kuat-kuat."Bangsat! Kena
Baraka jadi dikerumuni oleh mereka, ditanyai ini-itu, dijamu dengan makanan lezat, dan dipaksa untuk bercerita tentang kehebatan ilmu-ilmunya.Baraka sempat berbisik kepada Peri Malam."Apa-apaan ini sebenarnya? Mengapa mereka terkagum-kagum sekali padaku?""Kuceritakan tentang kehebatanmu. Mereka suka dengan cerita-cerita kependekaran. Mereka kagum mendengar ceritaku. Kagum terhadap dirimu. Jadi, jangan kecewakan mereka, toh mereka berikan kita tumpangan untuk bermalam di rumah ini!""Bermalam? Siapa bilang aku mau bermalam di sini? Aku hanya akan numpang tidur saja!" Kata Baraka sedikit mengacau.Mereka duduk di tikar, di pelataran samping rumah. Bahkan kala itu datang juga beberapa tetangga sekeliling rumah Kriyo Suntuk. Pendekar Kera Sakti bercerita apa saja yang pernah dialaminya.Dan mereka tampak senang, hanyut dalam cerita tersebut. Satu-satunya orang yang datang ke situ dan sangat tertarik sekali dengan cerita Baraka adalah seorang
Dalam pengertian Peri Malam, sesuatu yang amat berharga dalam hidupnya adalah sebuah cinta sejati dari pria seperti Baraka. Tapi ia lupa siapa Baraka, ia hanya terpengaruh oleh bayangan hatinya sendiri, sehingga pada akhirnya ia pun berkata. "Baik. Akan kuserahkan kembali padamu. Tapi setelah itu bawalah aku pergi bersamamu, Baraka!"Peri Malam pun mengeluarkan guci kecil satu genggaman tangan yang disembunyikan di balik pinggangnya. Guci itu pun diserahkan kepada Baraka."Terimalah, Baraka. Inilah bukti bahwa aku sungguh mencintaimu...."Seperti badai melintas di depan mereka berdua, tiba-tiba guci kecil itu lenyap dari tangan Peri Malam sebelum jatuh ke tangan Baraka. Kedua tubuh mereka pun terpental ke belakang secara bersamaan.Sesuatu yang berkelebat bagaikan badai lewat tadi mempunyai angin berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi.Baraka terjengkang dan sempat terkapar, sedangkan Peri Malam terpental dan punggungnya membentur batu. Ia menyering
Baraka merasakan datangnya gelombang panas yang menyerang ke arahnya. Baraka cepat jejakkan kaki ke tanah dan berkelebat jungkir balik di angkasa dalam gerakan maju. Pukulan tenaga dalam yang mempunyai daya panas cukup tinggi itu melesat menemui tempat kosong. Tapi pada saat itu, kaki Baraka sudah berpijak di batu atasnya Mawar Hitam."Hiaaah...!" Sentak Baraka sambi! meluncurkan tendangan ke arah kepala nenek bungkuk itu.Plakkk...!Mawar Hitam terkena tendangan pada pelipisnya. Tendangan itu bertenaga dalam besar. Tubuh Mawar Hitam terpental melayang akibat tendangan itu. Baraka segera mengejarnya dengan satu kali sentakan kaki, tubuhnya melayang ke arah Mawar Hitam.Jlig...!Kakinya berpijak ke tanah. Mawar Hitam yang terkapar segera layangkan kakinya menendang pangkal paha Baraka. Namun Baraka lebih cepat lagi bergerak. Sambil tertawa, Baraka melepaskan tendangannya.Jurus ‘Kera Tertawa Kibaskan Ekor’ digelar.Plokk...
Ia tergolong salah satu dari sekian tokoh sakti yang punya hasrat untuk menguasai rimba persilatan di seluruh tanah Jawa. Ia punya harapan untuk menjadi penguasa tanah Jawa, hingga tak segan-segan turunkan tangan dan cabutkan pedang untuk membunuh siapa pun yang menjadi penghalangnya.Datuk Marah Gadai memandangi air telaga dengan perasaan dongkol. Matanya yang berkesan bengis itu semakin tampak bengis, karena sebuah perasaan kecewa yang dikarenakan oleh sesuatu hal semakin menggerogoti jiwanya.Datuk Marah Gadai menggeram dalam keraguan bertindak. "Kutinggalkan telaga keparat ini, atau kucoba sekali lagi menyelam dan mencari di dasar telaga. Bila perlu kuangkat semua tanah yang ada di dasar telaga ini!"Belum sampai Datuk Marah Gadai putuskan langkah, tiba-tiba ia mendengar suara tawa terkekeh dari atas pohon. Cepat-cepat Datuk Marah Gadai palingkan wajah lemparkan pandangan ke atas."Turun kau, Monyet!" Sentak Datuk Marah Gadai dengan kasar."Tak