Dalam pengertian Peri Malam, sesuatu yang amat berharga dalam hidupnya adalah sebuah cinta sejati dari pria seperti Baraka. Tapi ia lupa siapa Baraka, ia hanya terpengaruh oleh bayangan hatinya sendiri, sehingga pada akhirnya ia pun berkata. "Baik. Akan kuserahkan kembali padamu. Tapi setelah itu bawalah aku pergi bersamamu, Baraka!"
Peri Malam pun mengeluarkan guci kecil satu genggaman tangan yang disembunyikan di balik pinggangnya. Guci itu pun diserahkan kepada Baraka.
"Terimalah, Baraka. Inilah bukti bahwa aku sungguh mencintaimu...."
Seperti badai melintas di depan mereka berdua, tiba-tiba guci kecil itu lenyap dari tangan Peri Malam sebelum jatuh ke tangan Baraka. Kedua tubuh mereka pun terpental ke belakang secara bersamaan.
Sesuatu yang berkelebat bagaikan badai lewat tadi mempunyai angin berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi.
Baraka terjengkang dan sempat terkapar, sedangkan Peri Malam terpental dan punggungnya membentur batu. Ia menyering
Baraka merasakan datangnya gelombang panas yang menyerang ke arahnya. Baraka cepat jejakkan kaki ke tanah dan berkelebat jungkir balik di angkasa dalam gerakan maju. Pukulan tenaga dalam yang mempunyai daya panas cukup tinggi itu melesat menemui tempat kosong. Tapi pada saat itu, kaki Baraka sudah berpijak di batu atasnya Mawar Hitam."Hiaaah...!" Sentak Baraka sambi! meluncurkan tendangan ke arah kepala nenek bungkuk itu.Plakkk...!Mawar Hitam terkena tendangan pada pelipisnya. Tendangan itu bertenaga dalam besar. Tubuh Mawar Hitam terpental melayang akibat tendangan itu. Baraka segera mengejarnya dengan satu kali sentakan kaki, tubuhnya melayang ke arah Mawar Hitam.Jlig...!Kakinya berpijak ke tanah. Mawar Hitam yang terkapar segera layangkan kakinya menendang pangkal paha Baraka. Namun Baraka lebih cepat lagi bergerak. Sambil tertawa, Baraka melepaskan tendangannya.Jurus ‘Kera Tertawa Kibaskan Ekor’ digelar.Plokk...
Ia tergolong salah satu dari sekian tokoh sakti yang punya hasrat untuk menguasai rimba persilatan di seluruh tanah Jawa. Ia punya harapan untuk menjadi penguasa tanah Jawa, hingga tak segan-segan turunkan tangan dan cabutkan pedang untuk membunuh siapa pun yang menjadi penghalangnya.Datuk Marah Gadai memandangi air telaga dengan perasaan dongkol. Matanya yang berkesan bengis itu semakin tampak bengis, karena sebuah perasaan kecewa yang dikarenakan oleh sesuatu hal semakin menggerogoti jiwanya.Datuk Marah Gadai menggeram dalam keraguan bertindak. "Kutinggalkan telaga keparat ini, atau kucoba sekali lagi menyelam dan mencari di dasar telaga. Bila perlu kuangkat semua tanah yang ada di dasar telaga ini!"Belum sampai Datuk Marah Gadai putuskan langkah, tiba-tiba ia mendengar suara tawa terkekeh dari atas pohon. Cepat-cepat Datuk Marah Gadai palingkan wajah lemparkan pandangan ke atas."Turun kau, Monyet!" Sentak Datuk Marah Gadai dengan kasar."Tak
Tawa Datuk Marah Gadai terlepas keras. Pada saat yang sama, Peramal Pikun berkata dalam hatinya. "Pasti dia sudah dapatkan pusaka itu. Kalau dia tidak memperoleh Pusaka Air Mata Malaikat dari Cadaspati, tak mungkin dia menyelam di dalam telaga dalam keadaan tanpa melepas pakaian. Sengaja dia menyelam dengan berpakaian lengkap, karena keadaan itu bisa dimanfaatkan olehnya untuk menyembunyikan Pusaka Air Mata Malaikat di balik baju atau pinggangnya itu."Datuk Marah Gadai hentikan tawa. Tapi bibirnya masih sunggingkan sisa senyum sinisnya, sambil ia perdengarkan suaranya yang sedikit besar itu."Lucu sekali buatku. Dulu, sangkaku Cadaspati membawa Pusaka Air Mata Malaikat dari dasar telaga, sebab aku lihat dia muncul dari kedalaman telaga. Lalu aku kejar dia sampai akhirnya kubunuh, dan ternyata dia tidak pegang pusaka itu. Sekarang, aku muncul dari dasar telaga tanpa membawa pusaka itu, tapi disangka berhasil memperoleh pusaka itu. Tentunya kau tidak percaya jika kukata
Datuk Marah Gadai sendiri masih berdiri tegak tanpa luka.Ia memandang lawannya dengan senyum sinis meremehkan. Jarak mereka antara tujuh langkah, tanpa penghalang benda apa pun.Pada saat itu, tongkat Peramal Pikun tergeletak di tanah akibat lepas dari pegangannya saat beradu pukulan di udara tadi. Melihat tongkat ada di dekat kaki kanan, keadaan tubuh masih separo berbaring, secepatnya Peramal Pikun jejakkan kakinya ke kepala tongkat.Dalam satu jejakan kaki, tongkat itu melesat sendiri menuju arah lawan.Wuuugh...! Trak... trak...!Dua tangan Datuk Marah Gadai sentakkan ke atas dari bawah tongkat yang hampir mengenai dadanya. Sentakan keras tangan itu membuat tongkat membalik dan terlempar kuat, hingga melayang tinggi sampai akhirnya jatuh tepat di depan mata Peramal Pikun.Jlubh...!Tongkat itu jatuh dalam keadaan berdiri dan menancap di tanah. Bagian kepala tongkat tetap menghadap ke atas. Dengan sigap Peramal Pikun yang sudah terluka it
Tubuh Baraka menjadi seperti terbakar saat cairan dari Air Mata Malaikat itu tertelan masuk ke dalam mulutnya, ia terkapar di atas bukit itu, ditinggalkan oleh lawannya si Mawar Hitam dari Pulau Hantu, sedangkan Peri Malam yang waktu itu membela Baraka dan menyerang gurunya sendiri, dalam keadaan parah akibat pukulan sang Guru. Pada saat itulah Nyai Guru Betari Ayu datang dan terkejut melihat keadaan Baraka yang mirip sedang sekarat itu. Betari Ayu datang bersama Murbawati, muridnya, kemudian segera membawa lari tubuh yang berasap itu ke Perguruan Merpati Wingit, tempat Betari Ayu duduk sebagai Guru dan ketua perguruan tersebut.Enam hari lamanya Baraka dalam perawatan Betari Ayu, demikian pula Peri Malam. Mereka dirawat berbeda kamar, sebab Betari Ayu selalu mengistimewakan Baraka dalam segala hal. Peri Malam yang sudah dianggap murid murtad oleh Mawar Hitam itu dirawat di dalam ruang penyembuhan, sedangkan Baraka dirawat di dalam kamar pribadi Betari Ayu, yang tentu saja ja
"Besok, atau lusa, atau malam nanti..., kalau aku tak mampu lagi bertahan dari tuntutan gairah ini, biarkan aku pergi seperti murid-muridku itu, Baraka," Tutur Betari Ayu begitu lirih dan mengharukan."Jangan, Nyai," Bisik Baraka yang menempelkan mulutnya di sekitar telinga dan pelipis Betari Ayu."Jangan lakukan kebodohan hanya karena nafsu birahi. Kau orang terhormat, kau orang bijak, kau punya sikap dan watak yang dibutuhkan oleh manusia-manusia lain, agar bumi ini tidak dikuasai oleh orang-orang bersifat angkara murka, yang bergolongan hitam, yang sesat dan tidak tahu kehidupan manusiawi."Betari Ayu bisikkan kata di sela isak tangis."Lebih baik aku bertarung dengan tokoh sakti yang berilmu tinggi, daripada harus bertarung melawan nafsu sendiri, Baraka.""Ya. Memang lawan terberat adalah nafsu diri sendiri. Tetapi seseorang tidak bisa mencapai kesempurnaan dalam pertarungan ini. Setiap orang hanya bisa diwajibkan melawan nafsu pribadinya, kare
Hatinya membatin. "Nyai Betari Ayu. memang cantik, lembut, dan menggairahkan. Tapi sayang ia bukan Hyun Jelita. Mengapa yang hadir dalam ingatanku hanya wajah Hyun Jelita, bukan wajah Nyai Betari Ayu. Rasa rinduku begitu besar, ingin segera dapat menemukan wanita idaman hatiku yang sering hadir dalam mimpi itu. Tapi di mana aku harus temukan dia? Kalau kutanyakan pada Nyai Betari Ayu apakah pertanyaan itu tidak menyinggung hatinya dan melukai cintanya? Aku tahu, Nyai Betari Ayu cinta sama aku. Tapi Nyai tidak memaksaku untuk membalas. Dia hanya memohon padaku agar aku tidak melarang dirinya untuk tetap mencintaiku sepanjang masa. Ah, perempuan itu sungguh aneh, namun menyenangkan sekali sikapnya."Kala ia duduk di ayunan itu, adalah hari ketujuh ia berada di lingkungan Perguruan Merpati Wingit. Mestinya siang itu ia baringkan tubuh di atas ranjang berlapis kain lembut. Tapi ia lebih suka duduk merenungi perjalanan hidupnya di taman yang berkesan teduh dan damai itu.Ke
Wuusss...! Wuusss...!Seekor kelelawar masuk ke dalam gua. Kejap berikutnya, seekor lagi menyusul. Bahkan hampir menyambar kepala Peramal Pikun.Mata tua itu memandang ke langit-langit gua. Tak ada lubang keluar di sana. Yang ada hanya dua kelelawar agak besar menggantung dan mencicit menjelang petang.Peramal Pikun gumamkan kata. "Mati aku kalau begini! Apa mungkin aku harus hidup bersama kampret-kampret ini?!"Lelaki tua berkumis dan alis serba putih itu termenung. Kejap berikutnya ia tersentak, karena tiba-tiba di mulut gua telah berdiri sosok bayangan berambut mekar acak-acakan."Nah, ini dia!" Peramal Pikun ucapkan kata bernada lega.Perempuan berpakaian ketat warna ungu muda itu datang. Pedang bergagang bentuk 'barang keramat' lelaki itu terlihat jelas terselempang di punggungnya. Pedang bergagang dan bersarung dari gading ukuran itu jelas menandakan bukan sembarang pedang.Sisa cahaya sore masih merambah masuk melalui mulut gua