"Tapi apa artinya kau memberikan setangkai mawar ungu itu padaku?"
Betari Ayu alihkan pandang. Tangannya merapikan letak ranting mawar yang kurang rapi sambil menjawab. "Sebagai jawaban dari pertanyaanmu tadi, Baraka. Kalau aku menyerahkan setangkai bunga pada seorang pria, itu berarti aku berkata bahwa aku belum punya kekasih di tempat lain, maupun di sini. Dan kalau bunga itu berwarna ungu, itu pertanda pernyataanku sangat jarang kuberikan kepada seorang pria. Karena, auh...!"
Betari Ayu sentakkan tangan. Jari telunjuknya tertusuk duri mawar. Jari itu berdarah dan Betari Ayu gigitkan bibir menahan sakitnya.
"Ah, kau kurang hati-hati, Nyai...," Kata Baraka seraya raih tangan itu dan menyedot darah yang keluar dari luka di jari telunjuk Betari Ayu. Perbuatan itu dilakukan Baraka tanpa ragu-ragu.
Dan Betari Ayu tak bisa menolak, karena ketika jari itu masuk ke mulut Baraka untuk disedot darahnya, yang timbul hanya rasa nikmat di sekujur tubuh Betari Ayu.
"Datuk Marah Gadai!" Geram Cadaspati dengan mata dinginnya."Untuk membuktikan kebenaran kata-kataku, aku siap bertarung denganmu sampai habis nyawaku!""Bagus!" Kata Datuk Marah Gadai sambil tersenyum sinis."Jangan sangka aku takut melihat cambuk sapimu itu! Buktikan dengan nyawamu bahwa kau memang tidak memiliki pusaka itu, biar puas hatiku.""Bersiaplah menerima kematianmu sendiri, Datuk Busuk!" Geram murid Malaikat Tanpa Nyawa.Dengan gerakan amat cepat, tangan kiri yang memegangi cambuk itu melecut ke depan, ke arah tubuh Datuk Marah Gadai. Satu kali lecutan, tiga cambuk mengeluarkan nyala api yang berbeda-beda. Nyala api itu memercik dan menimbulkan suara menggelegar bagai hendak meruntuhkan langit.Blaarrr...! Glegeerrr...!Tepian sungai berguncang bagai dilanda gempa sekejap. Bebatuan retak dalam jarak sepuluh langkah dari tempat lecutan cambuk. Tubuh Datuk Marah Gadai pun terpental ke samping membentur batu. Lengan kirinya k
Datuk Marah Gadai melirik ke satu arah. Ada sesuatu yang ia curigai di balik tiga batang pohon pisang di bagian atas tanggul sungai, ia yakin di sana ada orang. Maka, ia sentakkan tangannya ke sana, ia kirimkan pukulan jarak jauhnya yang membuat tiga batang pisang itu jebol dan tumbang berentakan dalam sekejap.Dari balik tiga batang pisang yang tumbang itu muncul sesosok tubuh yang melesat dengan lincahnya menghindari pukulan tadi. Tubuh itu mendaratkan kakinya tak jauh dari Datuk Marah Gadai, berjarak antara tujuh langkah, ia berpakaian kuning kunyit dan berparas cantik menarik. Siapa lagi kalau bukan paras cantik milik Peri Malam."Rupanya kau yang mau membokongku dari belakang, Peri Malam!" Tuduh Datuk Marah Gadai yang sudah mengenal perempuan itu."Jaga mulutmu, Datuk!" Sentak Peri Malam."Tak ada watak dalam diri Peri Malam untuk membokong seseorang dari belakang!""Jadi kau minta dari depan?" Sambil senyum nakal Datuk Marah Gadai terlihat je
Tongkat dikibaskan menghantam kepala Peri Malam. Tapi dengan cepat perempuan itu tundukkan kepala. Tongkat menebas udara bebas. Peri Malam segera hantamkan tangannya ke wajah Peramal Pikun.Taapp...!Pukulan menggenggam yang dialiri tenaga dalam oleh Peri Malam itu ditahan dengan telapak tangan Peramal Pikun. Telapak tangan itu akan patah jika tanpa dialiri tenaga dalam yang cukup tinggi.Satu tangan Peramal Pikun yang memegang tongkat siap menyodokkan tongkatnya ke perut Peri Malam. Tapi tiba-tiba sekelebat bayangan keemasan menerabas di pertengahan kedua tangan yang saling beradu kekuatan tenaga dalam itu.Prasss...!Kedua orang tersebut terjengkang ke belakang bagai sama-sama habis diseruduk kerbau liar. Mereka sama-sama bergegas bangkit dan siap saling adu tenaga dalam lagi. Tapi sebuah suara berseru dari sisi samping mereka."Tahan!"Keduanya saling palingkan wajah memandang pemuda yang mengenakan rompi kulit ular emas itu. Peri
GEMURUH ombak di Pantai Karang Saru terdengar bagai nyanyian pagi. Dinamakan Pantai Karang Saru, karena di sana ada tebing karang yang memiliki gua dengan lubang mulut yang memanjang ke atas. Di samping lubang mulut gua itu ditumbuhi lumut-lumut hijau kehitaman. Lumut itu tumbuh hanya di tepian mulut gua, sedang di tempat lain tidak terdapat lumut sedikit pun. Itulah sebabnya pantai itu dikenal dengan nama Pantai Karang Saru, alias karang kotor. Di salah satu celah karang-karang tak jauh dari mulut gua itu, sebuah perahu telah disembunyikan beberapa waktu lamanya, dan ditutup dengan belarak pelepah daun kelapa. Menilik keadaan perahu yang disembunyikan sebegitu rupa, pastilah seseorang telah menyiapkan perahu itu untuk suatu keperluan penting. Sebelum matahari sempat meninggi, belarak daun kelapa itu disingkirkan oleh sepasang tangan berjari lentik dan berkulit sawo matang. Tangan itu milik seorang perempuan berambut lurus yang dililit rantai emas dengan batu merah delima dibagian k
Praak...!Airnya muncrat ke mana-mana, serabut dan tempurungnya pun terpental tak tentu arah. Cepat-cepat Peri Malam palingkan wajah dengan mata nanar.Pandangannya menyapu sekeliling sambil ia membatin. "Rupanya ada orang usil ingin menggangguku. Hmm... tahu aku sekarang. Gerakan perahuku yang mundur ke pantai pasti bukan karena gerakan ombak, tapi karena ada yang sengaja menariknya dengan kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi. Bedebah! Siapa orang yang berani betul mempermainkanku?"Peri Malam kembali hantam pohon kelapa untuk memancing persembunyian orang yang memecahkan kelapa saat buah itu melayang turun. Tapi kali ini buah kelapa segar itu tidak pecah di udara. Buah kelapa segar itu tetap meluncur ke bawah dan jatuh ke tanah berpasir.Bluukkk...!Peri Malam kerutkan dahinya. Aneh melihat kelapa tak lagi pecah di udara. Segera ia dekati kelapa itu. Saat Peri Malam mau ambil kelapa itu, tiba-tiba benda tersebut bergerak menggelinding dengan c
"Tidak. Ada saatnya kalau toh telpaksa halus bentlok sama dia. Tapi... sebaiknya jangan. Usahakan jauhi Dilgo dan jangan ada pelselisihan sama dia!"Geram hati Peri Malam bila ingat larangan itu. Apa lagi sekarang Dirgo Mukti semakin usil, mulai berani mau memegang pundak Peri Malam. Cepat-cepat Peri Malam kibaskan tangan menampik pergelangan tangan Dirgo Mukti. Sebenarnya ia bisa menghindari saja, tapi untuk melampiaskan perasaan dongkolnya yang sudah lama terpendam, ia sengaja tepiskan tangan Dirgo Mukti dengan satu sentakan keras. Tulang lengan beradu dengan pergelangan tangan Dirgo.Trakkk...!Sama-sama keras bagai dua besi baja saling beradu."Jangan coba-coba bertindak lebih konyol lagi, Dirgo!" Sentak Peri Malam dengan mata menatap tajam, penuh sinar permusuhan."Sesungguhnya mulai hari ini kau tak bisa lepas lagi dariku, Peri Malam," Kata Dirgo Mukti dengan mata menahan kejengkelan hati."Apa maksudmu, hah?!" Sentak Peri Malam.
Dirgo Mukti benar-benar marah, ia sama saja dibuat malu di depan perempuan yang sedang ditaksirnya. Maksud hati unjuk kebolehan ilmunya di depan Peri Malam, tak tahunya terpental dan berjungkir balik dengan hidung berdarah. Rasa malu yang amat besar itu yang membuat Dirgo Mukti benar-benar marah pada orang yang mengganggunya."Kalau kau benar-benar berilmu tinggi, tampakkan batang hidungmu dan hadapilah aku, Manusia Sontoloyo!" Teriaknya keras.Dirgo Mukti sengaja salurkan tenaga dalamnya lewat teriakan itu, hingga batu-batu karang bergetar, Peri Malam tutupkan tangan ke telinganya.Kejap berikutnya, dari celah bebatuan karang di belakang Dirgo Mukti melompatlah sesosok tubuh berompi kulit ular emas, berwajah tampan.Seketika itu hati Peri Malam terpekik kaget."Oh...?! Rupanya dia! Murid Setan Bodong!"-o0o-Dirgo Mukti segera kibaskan tangan kanannya ke arah Baraka.Taap...!Sebuah pisau kecil bertali rumbai merah dari
"Maaf kalau begitu!' ucap Peri Malam berlagak ketus sambil melangkahkan kaki menuju bawah pohon mahoni yang rindang itu. Sampai di sana ia duduk. Matanya memandang Baraka yang masih berdiri dalam jarak sepuluh langkah. Berdebar hati Peri Malam setiap menatap mata murid Setan Bodong itu. Gelisah jiwanya menerima rasa indah yang mekar berbunga-bunga di dalam hatinya."Luar biasa daya pikatnya. Ingin aku tenggelam dalam pelukannya. Ah, setan! Sulit sekali aku menolak kehadiran bayangannya!" Gerutu resah hati Peri Malam.Baraka menghentikan langkah tiga tindak ke depan Peri Malam. Pandangan matanya tetap tertuju ke wajah Peri Malam. Perempuan itu pun menatapnya dan berkata. "Duduklah,"Sambil ia tepuk batu di sampingnya, seakan menuntun agar Baraka duduk di batu sebelahnya itu."Aku sedang memikirkan tantangan Dirgo.""Apakah kau takut?"Baraka masih berdiri. Kali ini ia tersenyum indah mengarah pada wajah Peri Malam. Darah Peri Malam bagai dise