Dulu mereka terlibat bentrokan karena seorang pemuda yang bernama Trenggono. Pemuda yang punya mulut setajam pisau itu telah menyebar fitnah asmara, sehingga Selendang Maut dan Peri Malam saling beradu kekuatan ilmunya. Tetapi setelah diketahui bahwa Trenggono seorang pemuda yang gemar melihat perempuan saling adu kekuatan, maka mereka berdua segera menyerang Trenggono, dan tubuh pemuda itu hancur di tangan mereka sendiri. Tetapi, apakah sekarang mereka bertarung gara-gara seorang pemuda juga? Termakan fitnah asmara juga?
"Selendang Maut! Aku tak punya banyak waktu untuk melayanimu!" Seru Peri Malam.
"Kalau memang kau masih punya dendam padaku dengan persoalan masa lalu kita, sebaiknya sekarang juga kulenyapkan raga dan nyawamu!"
Selendang Maut cepat menyahut sebelum Peri Malam melepaskan satu pukulan tenaga dalam yang pasti lebih berbahaya dari yang sudah-sudah.
"Peri Malam! Urusan kita kali ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan kita tempo
Peri Malam mencibir, memuakkan Selendang Maut. Lanjutnya lagi."Ingat, kita pernah mempertaruhkan nyawa demi seorang pria. Tapi apa nyatanya? Pria itu hanya mempunyai kebusukan. Dan setiap pria memang tak lebih dari seonggok daging busuk yang patut dilenyapkan!"Selendang Maut hanya membatin. "Dendamnya kepada lelaki masih membekas di hati, sehingga wajar dia berkata begitu. Tapi apakah benar pengorbananku ini akan sia-sia di mata Baraka? Apakah benar Baraka tidak akan tahu balas budi padaku, walau aku siap mati untuk merebutkan pusaka yang menjadi hak miliknya itu?"Renungan itu segera dibuang jauh, karena kejap berikutnya Selendang Maut telah melihat Peri Malam berkelebat dan hinggap di atas gugusan batu yang lebih tinggi dari batu-batu yang ada di situ. Perempuan berpakaian kuning kunyit itu serukan kata. "Pertimbangkan langkahmu, Selendang Maut. Sudah benarkah kau siap korbankan nyawa untuk lelaki yang belum tentu membalas cintamu?! Sudah benarkah kamu siap
Baraka nekat melangkah masuk ke pintu gerbang itu. Namun tiba-tiba kedua tombak penjaga beradu menyilang di depan langkah Baraka. Kaki pemuda tampan itu diam. Mata memandang ke kiri dan ke kanan. Kedua penjaga itu bertampang angkuh, berlagak acuh tak acuh dengan ketampanan pria asing. Baraka tahu kepurapuraan itu. Baraka tertawa tanpa suara. Kedua penjaga itu pun tetap acuh tak acuh."Bolehkah aku masuk?" Sapa Baraka bersikap ramah."Tidak!" Tanpa disengaja kedua penjaga itu menjawab serentak."Mengapa aku tak boleh masuk? Aku punya niat baik!"Penjaga berambut panjang berkata ketus. "Sebutkan niatmu!""Aku ingin bertemu Selendang Maut."Sejurus kedua perempuan itu saling pandang, lalu kembali bersikap angkuh dan berlagak tegas. Yang berambut pendek bertanya."Ada hubungan apa kau dengan Selendang Maut?""Teman," Jawab Baraka dengan tegas tapi suaranya menawan."Teman baik atau teman jahat?" Tanya yang berambut pendek la
"Selendang Maut tidak ada. Dia belum pulang," Kata Dewi Murka."Kalau begitu, aku mau bicara dengan gurumu!""Tidak perlu. Cukup kau bicara padaku!"Dewi Murka semakin memperbesar ketegasannya untuk menutupi hatinya yang berbunga-bunga saat itu."Tak bisa aku bicara denganmu. Aku perlu bicara dengan ketua perguruan ini!""Nyai Guru sedang sakit! Semua urusan diserahkan padaku!"Tetapi, tiba-tiba dari arah belakang Dewi Murka terdengar suara yang lebih bernada tegas dan berwibawa."Biarkan dia menemuiku, Dewi!"Malu hati Dewi Murka melihat gurunya sudah ada di belakangnya. Nyai Guru Betari Ayu kelihatan tenang berkharisma tinggi.Dewi Murka menyisih, membuat pandangan mata Baraka ke arah Betari Ayu menjadi lebih jelas dan lebih langsung lagi. Dalam hati Baraka membatin. "O, ini guru mereka? Cantik juga. Tapi tidak sebegitu menarik dengan kecantikan Hyun Jelita, idaman hatiku itu!"Betari Ayu memerintahkan kepada De
"Tapi apa artinya kau memberikan setangkai mawar ungu itu padaku?"Betari Ayu alihkan pandang. Tangannya merapikan letak ranting mawar yang kurang rapi sambil menjawab. "Sebagai jawaban dari pertanyaanmu tadi, Baraka. Kalau aku menyerahkan setangkai bunga pada seorang pria, itu berarti aku berkata bahwa aku belum punya kekasih di tempat lain, maupun di sini. Dan kalau bunga itu berwarna ungu, itu pertanda pernyataanku sangat jarang kuberikan kepada seorang pria. Karena, auh...!"Betari Ayu sentakkan tangan. Jari telunjuknya tertusuk duri mawar. Jari itu berdarah dan Betari Ayu gigitkan bibir menahan sakitnya."Ah, kau kurang hati-hati, Nyai...," Kata Baraka seraya raih tangan itu dan menyedot darah yang keluar dari luka di jari telunjuk Betari Ayu. Perbuatan itu dilakukan Baraka tanpa ragu-ragu.Dan Betari Ayu tak bisa menolak, karena ketika jari itu masuk ke mulut Baraka untuk disedot darahnya, yang timbul hanya rasa nikmat di sekujur tubuh Betari Ayu.
"Datuk Marah Gadai!" Geram Cadaspati dengan mata dinginnya."Untuk membuktikan kebenaran kata-kataku, aku siap bertarung denganmu sampai habis nyawaku!""Bagus!" Kata Datuk Marah Gadai sambil tersenyum sinis."Jangan sangka aku takut melihat cambuk sapimu itu! Buktikan dengan nyawamu bahwa kau memang tidak memiliki pusaka itu, biar puas hatiku.""Bersiaplah menerima kematianmu sendiri, Datuk Busuk!" Geram murid Malaikat Tanpa Nyawa.Dengan gerakan amat cepat, tangan kiri yang memegangi cambuk itu melecut ke depan, ke arah tubuh Datuk Marah Gadai. Satu kali lecutan, tiga cambuk mengeluarkan nyala api yang berbeda-beda. Nyala api itu memercik dan menimbulkan suara menggelegar bagai hendak meruntuhkan langit.Blaarrr...! Glegeerrr...!Tepian sungai berguncang bagai dilanda gempa sekejap. Bebatuan retak dalam jarak sepuluh langkah dari tempat lecutan cambuk. Tubuh Datuk Marah Gadai pun terpental ke samping membentur batu. Lengan kirinya k
Datuk Marah Gadai melirik ke satu arah. Ada sesuatu yang ia curigai di balik tiga batang pohon pisang di bagian atas tanggul sungai, ia yakin di sana ada orang. Maka, ia sentakkan tangannya ke sana, ia kirimkan pukulan jarak jauhnya yang membuat tiga batang pisang itu jebol dan tumbang berentakan dalam sekejap.Dari balik tiga batang pisang yang tumbang itu muncul sesosok tubuh yang melesat dengan lincahnya menghindari pukulan tadi. Tubuh itu mendaratkan kakinya tak jauh dari Datuk Marah Gadai, berjarak antara tujuh langkah, ia berpakaian kuning kunyit dan berparas cantik menarik. Siapa lagi kalau bukan paras cantik milik Peri Malam."Rupanya kau yang mau membokongku dari belakang, Peri Malam!" Tuduh Datuk Marah Gadai yang sudah mengenal perempuan itu."Jaga mulutmu, Datuk!" Sentak Peri Malam."Tak ada watak dalam diri Peri Malam untuk membokong seseorang dari belakang!""Jadi kau minta dari depan?" Sambil senyum nakal Datuk Marah Gadai terlihat je
Tongkat dikibaskan menghantam kepala Peri Malam. Tapi dengan cepat perempuan itu tundukkan kepala. Tongkat menebas udara bebas. Peri Malam segera hantamkan tangannya ke wajah Peramal Pikun.Taapp...!Pukulan menggenggam yang dialiri tenaga dalam oleh Peri Malam itu ditahan dengan telapak tangan Peramal Pikun. Telapak tangan itu akan patah jika tanpa dialiri tenaga dalam yang cukup tinggi.Satu tangan Peramal Pikun yang memegang tongkat siap menyodokkan tongkatnya ke perut Peri Malam. Tapi tiba-tiba sekelebat bayangan keemasan menerabas di pertengahan kedua tangan yang saling beradu kekuatan tenaga dalam itu.Prasss...!Kedua orang tersebut terjengkang ke belakang bagai sama-sama habis diseruduk kerbau liar. Mereka sama-sama bergegas bangkit dan siap saling adu tenaga dalam lagi. Tapi sebuah suara berseru dari sisi samping mereka."Tahan!"Keduanya saling palingkan wajah memandang pemuda yang mengenakan rompi kulit ular emas itu. Peri
GEMURUH ombak di Pantai Karang Saru terdengar bagai nyanyian pagi. Dinamakan Pantai Karang Saru, karena di sana ada tebing karang yang memiliki gua dengan lubang mulut yang memanjang ke atas. Di samping lubang mulut gua itu ditumbuhi lumut-lumut hijau kehitaman. Lumut itu tumbuh hanya di tepian mulut gua, sedang di tempat lain tidak terdapat lumut sedikit pun. Itulah sebabnya pantai itu dikenal dengan nama Pantai Karang Saru, alias karang kotor. Di salah satu celah karang-karang tak jauh dari mulut gua itu, sebuah perahu telah disembunyikan beberapa waktu lamanya, dan ditutup dengan belarak pelepah daun kelapa. Menilik keadaan perahu yang disembunyikan sebegitu rupa, pastilah seseorang telah menyiapkan perahu itu untuk suatu keperluan penting. Sebelum matahari sempat meninggi, belarak daun kelapa itu disingkirkan oleh sepasang tangan berjari lentik dan berkulit sawo matang. Tangan itu milik seorang perempuan berambut lurus yang dililit rantai emas dengan batu merah delima dibagian k