PERAMAL Pikun pergi dengan berkelebat bagaikan angin atau hantu siang hari. Baraka tidak peduli lagi dengan kepergian Peramal Pikun. Hasratnya untuk mandi begitu kuat, tak bisa ditahan lagi. Bahkan dalam hatinya ia berkata. "Siapa tahu habis mandi bisa bertemu dengan Hyun Jelita. Setidaknya bunga rindu di hati yang belum pernah bertemu ini akan terpupus habis."
Baraka mulai meletakkan sulingnya. Baru saja ia mau membuka baju, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang berlari cepat ke arahnya. Baraka buru-buru merapatkan bajunya kembali dengan wajah celingak-celinguk penuh curiga.
Dari kerumunan semak di seberang telaga, muncul sesosok tubuh berbaju merah dan bercelana hitam. Baraka menghempaskan napas dan menggeram jengkel dalam hatinya.
"Kau membuatku terkejut, Paman Giri!"
Orang yang dipanggil sebagai Paman Giri itu tak lain adalah Pujangga Kramat, manusia yang tak pernah benar dalam bicaranya. Orang tersebut segera mendekati Baraka dan berkata dengan na
"Hah...?l"Pujangga Kramat terkejut. la segera merapatkan kedua pahanya dan menutupkan tangannya ke bawah. Baraka tidak demikian. Baraka hanya tertawa pelan, setengah tidak percaya pada kata-kata Selendang Maut. la berkata. "Jangan menyombongkan ilmu di depanku, Selendang Maut.""Aku tidak menyombongkan ilmu. Memang aku bisa melihat tubuhmu tanpa pakaian walaupun kau mengenakan baju rangkap tujuh dari kulit kerbau sekalipun. Aku mempunyai 'Candra Tembus Pandang'. Dan hanya aku satu-satunya murid Perguruan Merpati Wingit yang menoleh ilmu 'Candra Tembus Pandang'."Senyum Baraka tipis dan masih berkesan tidak percaya."Kau mempunyai tahi lalat di bawah pinggulmu!" Kata Selendang Maut setelah menatap Baraka beberapa saat. Baraka terperanjat kaget, karena kata-kata itu memang benar. Lebih terkejut lagi setelah Selendang Maut berkata. "Ada noda hitam semacam tompel kecil di atas pahamu yang kanan, dekat dengan tulang pinggul."Menggeragap bingung Baraka
Selendang Maut masih tetap diam, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya."Paman Giri, Pusaka Air Mata Malaikat kutemukan!" Kata Baraka kepada Pujangga Kramat.Orang berperut agak buncit itu memandang tak berkedip dengan perasaan kagum. Hatinya berdebar-debar."Baraka," Kata Pujangga Kramat."Satu ada lagi pusaka terkubur Air Mata Malaikat bersama!""Maksudmu, ada satu pusaka lagi yang terkubur bersama Air Mata Malaikat ini? Oh, ya... aku ingat! Cincin Manik Bidari.""Ya. Ambillah. Majikan Setan Bodong menyuruh menghancurkan pusaka dua-duanya!"Baraka berpikir beberapa saat, kemudian kepalanya mengangguk-angguk. Mulutnya mengeluarkan kata pelan."Ya, satu lagi pusaka milik Guru masih ada di dasar telaga. Sebaiknya kuambil sekarang juga. Aku tadi melihatnya di sana!""Ambillah, orang lain sebelum mengambilnya!""Baik, Paman Giri. Bawalah dulu guci kuno ini, aku akan menyelam kembali ke dasar telaga.""Lama-lama
Dulu mereka terlibat bentrokan karena seorang pemuda yang bernama Trenggono. Pemuda yang punya mulut setajam pisau itu telah menyebar fitnah asmara, sehingga Selendang Maut dan Peri Malam saling beradu kekuatan ilmunya. Tetapi setelah diketahui bahwa Trenggono seorang pemuda yang gemar melihat perempuan saling adu kekuatan, maka mereka berdua segera menyerang Trenggono, dan tubuh pemuda itu hancur di tangan mereka sendiri. Tetapi, apakah sekarang mereka bertarung gara-gara seorang pemuda juga? Termakan fitnah asmara juga?"Selendang Maut! Aku tak punya banyak waktu untuk melayanimu!" Seru Peri Malam."Kalau memang kau masih punya dendam padaku dengan persoalan masa lalu kita, sebaiknya sekarang juga kulenyapkan raga dan nyawamu!"Selendang Maut cepat menyahut sebelum Peri Malam melepaskan satu pukulan tenaga dalam yang pasti lebih berbahaya dari yang sudah-sudah."Peri Malam! Urusan kita kali ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan kita tempo
Peri Malam mencibir, memuakkan Selendang Maut. Lanjutnya lagi."Ingat, kita pernah mempertaruhkan nyawa demi seorang pria. Tapi apa nyatanya? Pria itu hanya mempunyai kebusukan. Dan setiap pria memang tak lebih dari seonggok daging busuk yang patut dilenyapkan!"Selendang Maut hanya membatin. "Dendamnya kepada lelaki masih membekas di hati, sehingga wajar dia berkata begitu. Tapi apakah benar pengorbananku ini akan sia-sia di mata Baraka? Apakah benar Baraka tidak akan tahu balas budi padaku, walau aku siap mati untuk merebutkan pusaka yang menjadi hak miliknya itu?"Renungan itu segera dibuang jauh, karena kejap berikutnya Selendang Maut telah melihat Peri Malam berkelebat dan hinggap di atas gugusan batu yang lebih tinggi dari batu-batu yang ada di situ. Perempuan berpakaian kuning kunyit itu serukan kata. "Pertimbangkan langkahmu, Selendang Maut. Sudah benarkah kau siap korbankan nyawa untuk lelaki yang belum tentu membalas cintamu?! Sudah benarkah kamu siap
Baraka nekat melangkah masuk ke pintu gerbang itu. Namun tiba-tiba kedua tombak penjaga beradu menyilang di depan langkah Baraka. Kaki pemuda tampan itu diam. Mata memandang ke kiri dan ke kanan. Kedua penjaga itu bertampang angkuh, berlagak acuh tak acuh dengan ketampanan pria asing. Baraka tahu kepurapuraan itu. Baraka tertawa tanpa suara. Kedua penjaga itu pun tetap acuh tak acuh."Bolehkah aku masuk?" Sapa Baraka bersikap ramah."Tidak!" Tanpa disengaja kedua penjaga itu menjawab serentak."Mengapa aku tak boleh masuk? Aku punya niat baik!"Penjaga berambut panjang berkata ketus. "Sebutkan niatmu!""Aku ingin bertemu Selendang Maut."Sejurus kedua perempuan itu saling pandang, lalu kembali bersikap angkuh dan berlagak tegas. Yang berambut pendek bertanya."Ada hubungan apa kau dengan Selendang Maut?""Teman," Jawab Baraka dengan tegas tapi suaranya menawan."Teman baik atau teman jahat?" Tanya yang berambut pendek la
"Selendang Maut tidak ada. Dia belum pulang," Kata Dewi Murka."Kalau begitu, aku mau bicara dengan gurumu!""Tidak perlu. Cukup kau bicara padaku!"Dewi Murka semakin memperbesar ketegasannya untuk menutupi hatinya yang berbunga-bunga saat itu."Tak bisa aku bicara denganmu. Aku perlu bicara dengan ketua perguruan ini!""Nyai Guru sedang sakit! Semua urusan diserahkan padaku!"Tetapi, tiba-tiba dari arah belakang Dewi Murka terdengar suara yang lebih bernada tegas dan berwibawa."Biarkan dia menemuiku, Dewi!"Malu hati Dewi Murka melihat gurunya sudah ada di belakangnya. Nyai Guru Betari Ayu kelihatan tenang berkharisma tinggi.Dewi Murka menyisih, membuat pandangan mata Baraka ke arah Betari Ayu menjadi lebih jelas dan lebih langsung lagi. Dalam hati Baraka membatin. "O, ini guru mereka? Cantik juga. Tapi tidak sebegitu menarik dengan kecantikan Hyun Jelita, idaman hatiku itu!"Betari Ayu memerintahkan kepada De
"Tapi apa artinya kau memberikan setangkai mawar ungu itu padaku?"Betari Ayu alihkan pandang. Tangannya merapikan letak ranting mawar yang kurang rapi sambil menjawab. "Sebagai jawaban dari pertanyaanmu tadi, Baraka. Kalau aku menyerahkan setangkai bunga pada seorang pria, itu berarti aku berkata bahwa aku belum punya kekasih di tempat lain, maupun di sini. Dan kalau bunga itu berwarna ungu, itu pertanda pernyataanku sangat jarang kuberikan kepada seorang pria. Karena, auh...!"Betari Ayu sentakkan tangan. Jari telunjuknya tertusuk duri mawar. Jari itu berdarah dan Betari Ayu gigitkan bibir menahan sakitnya."Ah, kau kurang hati-hati, Nyai...," Kata Baraka seraya raih tangan itu dan menyedot darah yang keluar dari luka di jari telunjuk Betari Ayu. Perbuatan itu dilakukan Baraka tanpa ragu-ragu.Dan Betari Ayu tak bisa menolak, karena ketika jari itu masuk ke mulut Baraka untuk disedot darahnya, yang timbul hanya rasa nikmat di sekujur tubuh Betari Ayu.
"Datuk Marah Gadai!" Geram Cadaspati dengan mata dinginnya."Untuk membuktikan kebenaran kata-kataku, aku siap bertarung denganmu sampai habis nyawaku!""Bagus!" Kata Datuk Marah Gadai sambil tersenyum sinis."Jangan sangka aku takut melihat cambuk sapimu itu! Buktikan dengan nyawamu bahwa kau memang tidak memiliki pusaka itu, biar puas hatiku.""Bersiaplah menerima kematianmu sendiri, Datuk Busuk!" Geram murid Malaikat Tanpa Nyawa.Dengan gerakan amat cepat, tangan kiri yang memegangi cambuk itu melecut ke depan, ke arah tubuh Datuk Marah Gadai. Satu kali lecutan, tiga cambuk mengeluarkan nyala api yang berbeda-beda. Nyala api itu memercik dan menimbulkan suara menggelegar bagai hendak meruntuhkan langit.Blaarrr...! Glegeerrr...!Tepian sungai berguncang bagai dilanda gempa sekejap. Bebatuan retak dalam jarak sepuluh langkah dari tempat lecutan cambuk. Tubuh Datuk Marah Gadai pun terpental ke samping membentur batu. Lengan kirinya k
Trangg, Trangg..! Wuutt! Wuutt! Trangg...! Breett...!Selama perpaduan pedang di udara, percikan bunga api terlihat jelas bagi siapapun yang menyaksikan pertarungan itu. Tapi kecepatan gerak pedang keduanya tak bisa dilihat jelas oleh setiap orang. Hanya mereka yang terbiasa melihat kecepatan gerak pedang seperti itu saja yang bisa menyaksikannya, seperti Kusuma Sumi dan Pita Biru.Dalam sekejap mereka sudah berpindah tempat saat kaki mendarat. Tapi keduanya masih tegak berdiri dengan kaki merenggang kokoh. Rlndu Malam menggenggam pedangnya dengan satu tangan, tubuhnya tetap tanpa luka dan cidera apapun. Tapi Dewa Rayu yang juga tanpa luka sedikit pun itu sempat merasa malu karena sabuk kain pengikat celana dan tali celananya putus oleh sabetan pedang Rindu Malam. Celana itu sempat melorot sedikit ketika ia menapakkan kaki ditanah, lalu buru-buru dicekal dengan tangan kirinya."Ih...!" Dewa Rayu celingukan, malu sekali. Suara yang mengikik datang dari arah Pita
“Siapa kau sebenarnya?" tanya Rindu Malam dengan menahan hati berdebar-debar."Aku yang berjuluk Dewa Rayu!""Dewa Rayu?!" gumam lirih Kusuma Sumi yang tak berbarengan dengan gumam Pita Biru. Akibatnya Rindu Malam melirik ke arah mereka. Keduanya sama-sama malu ditahan karena gumaman tadi bernada kagum.“Namaku sebenarnya adalah Aryawinuda, Putra Raja Pengging yang dibuang oleh Ibu tiriku sejak usia delapan tahun."“Kasihan!" desah Pita Biru. Karena jaraknya amat dekat dengan Kusuma Sumi, maka tulang kakinya terkena tendangan kecil Kusuma Sumi yang menyuruhnya diam dengan isyarat kaki. Pita Biru menggerutu sambil mendesis sakit.Dewa Rayu kembali berkata dengan Suaranya yang berkharisma, “Aku dirawat oleh Paman Patih Janursulung, dan kemudian minggat dari Istana bersamaku dan akhirnya menjadi seorang resi di Bukit Karangapus"Tiga wajah cantik bungkam, bagaikan terkesima oleh cerita si tampan bermata bening itu. Rindu
"Sayang sekali sewaktu Baraka ada di tempat kita, aku dan Pita Biru sedang menjalankan tugas ke Pulau Gayung, sehingga aku dan Pita Biru tidak melihat seperti apa ketampannya.” Desah resah Kesuma Sumi"Sudah, sudah..., jangan bicara soal ketampanannya. Nanti kalian terkulai lemas membayangkannya!" sergah Rindu Malam. "Sebaiknya kita pergi temui Sumbaruni di pantai semberani!""Apakah Sumbaruni alias Pelangi Sutera itu mengenal Pendekar Kera Sakti?!"Rindu Malam menjawab dengan mulut runcing, "Bukan hanya kenal, tapi juga jatuh cinta kepada Pendekar Kera Sakti!"Kesuma Sumi menyahut. "Kalau begitu, ku rasa Pendekar tampan itu sedang terlena dalam pelukan Sumbaruni!?"Rindu Malam tarik napas dalam-dalam, karena masih ada sisa kecemburuan yang bikin dia deg-deg-an. Betapa pun juga ia harus bisa sisa kecemburuan itu karena takut melanggar peringatan dari ratunya."Jangan bayangkan dia ada dalam pelukan Sumbaruni. Bayangkan saja dia ada dal
Dari semadi yang dilakukannya, Ratu Asmaradani mendapatkan petunjuk kalau kalau Baraka adalah sang pewaris para dewa. Maka, Ratu Asmaradani pun mengirim ilmu 'merambah bhatin' untuk hadir ke alam mimpi Baraka. Tetapi sudah beberapa kali hal itu dilakukan, ternyata Baraka belum datang juga. Terpaksa tiga utusan diperintahkan mencari Pendekar tampan yang namanya sering menjadi bahan pembicaraan para tokoh rimba persilatan itu. Sebab Ratu Asmaradani curiga, pasti ada kesulitan yang di alami Baraka sehingga pemuda itu tidak bisa datang ke negeri Samudera Kencana. Karenanya, sang Ratu berpesan kepada Rindu Malam, jika ada sesuatu yang menyulitkan sang Pendekar Kera Sakti, Rindu Malam bergegas membantu melepaskan si Pendekar tampan itu dari kesulitan tersebut. Kesulitan apa yang dihadapi Baraka sebenarnya?Titik pangkal kesulitan itu terletak pada hilangnya Pedang Kayu Petir yang sebenarnya sudah ada di tangan Angon Luwak, bocah penggembala kambing itu namun pedang tersebut jatuh k
Kapak bergagang panjang dicabut dari selipan sabuk, lalu tubuh Roh Gepuk berkelebat menerjang Pita Biru. Tapi mendadak tubuh itu terpental ke samping. Baru saja melompat belum jauh dari tempat, sebuah pukulan jarak jauh tanpa sinar dilepaskan dari tangan Kusuma Sumi. Roh Gepuk terpekik pendek. Lalu jatuh tak tentu keseimbangan.Pita Biru memandang Kusuma Sumi dengan sikap masih berdiri tegak dan kedua kaki sedikit merenggang. Saat itu Kusuma Sumi segera melangkah maju dan berkata dengan tegas. “yang ini biar kutangani, mundurlah!”Pita Biru segera melompat ke samping. Kejap berikut sudah berdiri tak jauh dari Rindu Malam, yang bersidekap dengan tenang di bawah pohon. Dan ketika Roh Gepuk bangkit kembali, ia terkesiap melihat lawannya sudah berganti pakaian. Tapi segera sadar, bahwa lawannya bukan berganti pakaian, tetapi berganti orang.“Kau yang akan menggantikan nyawa temanmu itu untuk menebus nyawa temanku, ha?!”Kusuma Sumi dia
“Ya, kami tahu. Tapi Nila Cendani sudah mati, kabarnya dibunuh Pendekar Kera Sakti. Entah benar atau tidak, kami tidak ikut terbunuh waktu itu. Tapi kami tahu, Ratu Samudera Kencana pernah terlibat bentrokan dengan Nila Cendani dan mengejarnya sampai ke Teluk Sumbing. Tentunya ratumu tahu dimana Teluk itu berada. Tentu ratumu pun tahu bahwa disana terpendam harta karun rampasan Nila Cendani semasa menjadi ketua Rompak Samudera. Dan tentunya sebagai anak buah Ratu Asmaradani, kalian juga diberitahu letak Teluk itu, untuk sewaktu-waktu menggali harta karun disana”.“Ratu kami tidak pernah memikirkan harta yang bukan miliknya. Kami sudah cukup kaya tanpa merampas harta yang bukan milik kami!” Kata Rindu Malam.Roh Gepuk segera menyahut, “Begini saja nona-nona cantik. Aku akan membuka sayembara. Barang siapa di antara kalian ada yang bisa menyebutkan dimana letak Teluk Sumbing. Akan mendapat hadiah dikawinkan dengan temanku ini, si Cucur Sangi
MEREKA baru saja mendarat di pantai dengan gunakan sebuah sampan. Tiga wanita berambut cepak, seperti potongan rambut lelaki itu mempunyai paras ayu yang berbeda nilai kecantikannya. Namun ketiganya sama-sama menggiurkan seorang lelaki yang memandang dari sisi kemesuman. Karena ketiganya mempunyai bentuk tubuh nan elok, bak lambaian perawan menunggu pelukan.“Ingat ciri-cirinya!” kata wanita muda yang berpakaian putih bertepian benang emas. “Tampan, rambut poni, pakaian rompi kulit ular emas tanpa lengan, memiliki rajah naga emas melingkar di punggung lengannya”.Si cantik berpakaian putih yang mempunyai pedang di punggung bergagang balutan kain beludru merah itu menyebutkan ciri-ciri seorang pendekar tampan yang tak lain adalah Pendekar Kera Sakti, Baraka.Si cantik berdada seksi dan berkulit kuning langsung memberi isyarat dengan tangan agar kedua gadis seusianya itu bergerak mengikuti langkahnya jauh ke dalam hutan. Sesekali ia berpali
"Bocah bodoh kau! Gurumu saja tak mampu kalahkan aku, apalagi kau yang hanya muridnya!" geram Tengkorak Liar."Mendiang Guru tidak mempunyai ilmu 'Pedang Bintang', tapi aku punya jurus itu dari seorang guru pedang tersohor: Ki Argapura alias si Penggal Jagat! Tentunya kau kenal, Tengkorak Liar!""Persetan dengan Argapura!" geram Tengkorak Liar."Buktikan kehebatannya di depanku! Hiaaah...!"Tengkorak Liar sentakkan kedua tangannya ke depan. Dua larik sinar merah yang melingkar-lingkar pada ujungnya bagaikan mata bor itu melesat ke arah Angin Betina. Kecepatannya amat tinggi, membahayakan sekali bagi Angin Betina. Dihindari akan terlambat, ditangkis akan telat. Untung Baraka selalu siap siaga. Begitu sinar merah itu terlepas, sinar biru berkelok-kelok bagai lidah petirpun keluar dari sentakan kedua tangan Baraka.Claaap...!Jurus 'Cahaya Kilat Biru' warisan Ki Ageng Buana yang biasanya membuat lawan hangus dan keropos itu menghantam sinar mer
Blaaar...!Gelombang ledakan menghentak sangat kuat membuat tubuh Pendekar Kera Sakti sebelum sempat mendarat sudah terlempar lagi bagaikan terbuang ke arah belakang.Wuuus...! Brrukk...!Benturan tersebut bukan saja hasilkan gelombang ledakan tinggi, namun juga kerliapan cahaya merah yang lebar dan menyilaukan. Tongkat itu sendiri pecah dan terpotong-potong tidak beraturan. Pandangan mata Baraka menjadi gelap bagaikan menemui kebutaan.Ketika ia jatuh terpuruk dan mencoba untuk bangkit, ia tak melihat apa-apa kecuali kegelapan yang pekat. Tetapi suling mustika masih ada di tangannya, sehingga Baraka buru-buru menyalurkan hawa murni ‘Kristal Bening’-nya!Maka dalam beberapa kejap saja pandangan matanya sudah kembali seperti semula. Kesesakan dadanya mulai lancar, dan rasa sakit pada sekujur tubuh serta tulang-tulangnya yang merasa patah telah pulih segar seperti semuia."Edan! Kekuatannya begitu tinggi. Hampir saja aku celaka!" p