Clappp...!
"Heaah...!” Dardanila lompat dan bersaito di udara satu kali. Sepasang sinar merah itu luput dari sasaran, lewat di bawah kakl Dardanila.
Wuttt..! Duarr.. !
Terdengar suara ledakan di belakang Dardanila yang sudah berdiri tegak kembali itu. Rupanya sinar merah itu mengenai dua prajurit yang mengepung di belakang Dardanila. Kedua prajurit itu tubuhnya entah ke mana. Yang jelas tangannya ke selatan, kakinya ke utara, kepalanya ada di timur dan yang lainnya menyebar tak tentu arah tanpa tinggalin alamat segala. Kedua prajurit itu pecah dihantam sinar merah dari ratunya.
"Sadis!" gumam prajurit yang lain, lalu menepi pelan-pelan, takut jadi korban salah sasaran. Jarak Dardanila dan Wulandita menjadi lebih dekat lagi, sehingga dengan satu lompatan cepat Dardanila menyerang Wulandita.
Wuttt...!
Kakinya berkelebat menendang kepala bercadar hitam itu. Tapi tangan Wulandita cukup trampil. Kaki itu dihantam dengan kepalan tangan berte
"Nah, kenapa masih tanya juga!" ketus sang Ratu, dan Rembulan Pantai diam menunduk, tapi hatinya membatin, "Memang kita nggak punya kuda betina, habis elu takut bersaing sih!"Rembulan Pantai segera perintahkan salah seorang prajurit untuk siapkan kuda tunggangannya sang Ratu. Langkah sang Ratu pun segera diikuti, karena memang begitulah tugas Rembulan Pantai; selalu siap mendampingi sang Ratu ke mana pun perginya, kecuali ke kamar pribadi dan ke kamar mandi.Tapi langkah mereka tertahan oleh sapaan lelaki yang datang dari kejauhan."Wulandita...!”Lelaki itu berlari cepat bagaikan daun dihembus angin. Tahu-tahu sudah ada di depan pintu gerbang dalam jarak sekitar iima tombak dari sang Ratu."Lagi-lagi kau yang datang, Panji Gosip!" ujar sang Ratu dengan nada muak. "Apakah kau sudah berhasil menangkap Baraka?""Belum, tapi...""Pulanglah!" sahut sang Ratu. "Sudah kukatakan, kau boleh datang menemuiku kalau kau sudah membawa buro
"Aku harus ganti pakaian perang. Sasaran utamaku adalah ke kaki Bukit Kayangan. Karena kudengar Baraka itu berasal dari puncak Bukit Kayangan. Dan.. o, ya.. sebaiknya aku pakai pakaian yang belahan dadanya agak lebar, ah! Siapa tahu pemuda itu benar-benar tampan dan menawan seperti omongan orang-orang dan pengaduan si Janda Keramat beberapa waktu yang lalu. Ah, tapi... dia tertarik dengan tubuhku nggak, ya? Kalau dilihat di kaca seperti saat ini sih, tubuhku sangat indah tanpa selembar kain begini."Di dalam almari Baraka panas dingin. Ia ingin mengintip tapi nggak ada lubang yang bisa dipakai ngintip. Padahal ia punya bayangan yang menggugah kenakalan otaknya."Sialan! Dia pasti nggak pakai selembar benang pun nih. Aduh, padahal ini kesempatan baik untuk membuktikan kata-kata Payung Cendana bahwa sang Ratu itu cantik dan sexy. Kayak apa sih sexynya?"Baraka diam tak bergerak, karena suara sang Ratu semakin dekat, tepat di depan almari."Jubah kuningnya u
"Emangnya gue tuli! He, he, he..!" jawab suara Raja Dedemit.Dari dulu memang sang Raja Dedemit ini suka bercanda, nggak heran kalau meski sudah jadi pedang pun masih suka bercanda."Paduka, aku terkurung di dalam almari nih!""Lha kok bisa?""Ceritanya panjang deh. Tolongin dong, aku mau keluar nih!""Ini almarinya siapa?""Ratu Cadar Jenazah!""Lagian kamu pendekar kok macam-macam aja tingkahnya. Masuk almari cewek segala. Kamu jangan playboy banget, ah! Itu nggak baik.""Idilih..! Dimintai tolong. Kok malah kasih nasihat! Aku kegerahan nih. Aku mau pakai Pedang Raja Dedemit buat mecahin pintu almari ini, ya?""Kamu ini kok kerjanya ngerusak barang orang""Kok melantur sih! Kalau Paduka nggak mau tolong aku, pedang ini mau kubuang ke tong sampah, biar digondol anjing iho!""Jangan, jangan..!" terdengar nada cemas dari suara sang Raja Dedemit yang tampak dalam wujud pedang bercahaya ungu itu. Kata Raja Ded
"Katanya ada kelemahannya ya, Paduka?""Ada. Kelemahannya di pusar, karena darah campuran itu nggak bisa sampai di pusar. Sebab di pusar ada ruang kosong yang hanya terisi cairan pada saat manusia belum lahir dari rahim sang Ibu. Kalau sudah lahir, cairan itu habis dan ruang itu jadi kosong, tak bisa ditembus cairan apa pun.""Lalu, bagaimana dengan kelemahan 'Cincin Daki Dewa' itu, Paduka?" tanya Baraka semakin asyik, semakin ingin tahu."Nah, bisa kamu bayangkan, tanpa cincin itu saja Wulandita sudah kebal, apalagi kalau cincin itu dipakainya. Dalam keadaan nggak pakai cincin aku masih bisa menembus pusarnya, tapi kalau dia udah pakai cincin itu, wah, aku nggak bisa menembusnya. Bisa sih bisa, tapi nggak ada artinya, seperti bayangan saja. Jadi kalau kau mau melawan dia, usahakan pada saat dia belum memakai cincin itu. Kalau sudah memakai cincin itu, kurasa kau nggak bisa mengalahkannya!""Seandainya sudah telanjur mengenakan cincin itu, lalu bagaimana
Kayaknya ada dosa yang dilakukan Baraka tanpa sadar menghadirkan kesialan seperti itu. Apakah mungkin karena sebelum berangkat ke situ Baraka sempat mencium bibir Nyai Guru Payung Cendana? Mungkin yang bikin sial karena ia hanya mencium bibir saja. Coba kalau ia ikut mencium tangan si guru yang cantik itu, mungkin nggak sebegitu apesnya nasib seorang pendekar dalam almari pakaian.Ketika Baraka terbangun dari tidurnya, hari sudah malam, gelap sudah datang sejak tadi. Baraka memang nggak bisa lihat apakah di luar sudah gelap atau belum, tapi suasana sepi dan suara derik jangkrik yang samarsamar membuatnya yakin bahwa saat itu hari sudah malam."Celaka! Pingin buang air kecil, lagi! Ke mana buangnya, ya?" gumam Baraka dalam hatinya. "Ampun deh! Nggak lagi-lagi aku ngumpet dalam almari, ah! Menderita sekali. Mana di almari ini nggak ada toiletnya? Kalau mau buang air repot sekali!"Segala macam cara sudah dicoba, tapi Baraka belum bisa keluar dari kurungan gelomban
"Itu gagasan yang bagus! Cuma yang kuherankan, kenapa pedangnya Pendekar Kera Sakti tadi ikut berkeliaran sendirian? Terbang ke sana-sini menangkis seranganku terhadap Rani Adinda. Mestinya Rani Adinda sudah mati bersama delapan belas orangnya itu. Cuma karena ada pedang bercahaya ungu itu jadi dia bisa dilarikan oleh pengawalnya!""Apakah Gusti Ratu yakin kalau itu pedangnya Pendekar Kera Sakti?""Lho, bukannya kau dan beberapa orang yang melihat pertarungan Baraka dengan Dalang Setah pernah bercerita tentang ciri-ciri pedangnya Pendekar Kera Sakti? Bukankah menurut kalian ciri-cirinya kayak gitu?""Memang sih, cuma saya masih sangsi, apa benar itu pedangnya Pendekar Kera Sakti, sebab orangnya sendiri nggak kelihatan!""Nah, itu yang perlu dipelajari! Berarti Baraka itu bisa menghilang. Buktinya ia bisa muncul dengan hanya tampak pedangnya saja!""Oo... begitu, ya? Wah, kalau gitu Baraka itu sakti sekali ya, Gusti?""Kayaknya sih begitu. Cu
"Setan kau! Keluar! Cepat keluar!" bentaknya dalam keadaan mulut terbungkam bantal. Kakinya segera merapat. Bahkan saling lilit. Saking kuatnya kaki saling lilit akhirnya ia terpelanting jatuh.Buhkk..!Makin menyingkap semuanya, makin kelabakan sang Ratu."Hiaaahh...!” teriaknya jengkel sendiri.Wuutt..! Dalam sekejap tubuhnya yang mampu melenting ke udara itu sudah berdiri di depan Baraka.Jlegg..!Itulah pelampiasan kejengkelan sang Ratu terhadap tingkahnya sendiri. Bantal masih menutup wajah, mata ditongolkan sedikit. Baraka memandangi dengan tenang, badannya malah sedikit bersandar di tepi almari. Kain cadar hitam ada di tangannya. Kain itu segera diulurkan dengan pandangan mata dan senyum yang sering bikin para gadis melayang-layang bagaikan mabuk gadung."Astaga.. ! Ternyata dia yang ada dalam almariku"l" pikir Ratu Cadar Jenazah setelah muiai tenang dan bisa memandang dengan terang."Ambillah cadarmu.. tapi perlu
Sang Ratu menepukkan tangan ke kasur sampingnya, itu sebuah isyarat agar Baraka duduk di sampingnya. Baraka pun menuruti perintah itu, bagai terhipnotis dari kekuatan gaib yang terpancar dari mata sang Ratu."Apa maksudmu masuk ke kamar pribadiku ini, Baraka?""Untuk melawanmu!" jawab Baraka dengan tegas tapi berkesan enak didengar. Sang Ratu hanya melebarkan senyum."Haruskah kita bermusuhan, Baraka?""Sayembaramu telah membuat suatu tantangan tersendiri bagiku!""Kubatalkan sayembara itu!""Tetap saja kau menantangku!""Demi dewa apa saja, aku nggak berani menantangmu sekarang.""Buktinya kau biarkan jubahmu terbuka begitu?"Sang Ratu tersipu malu sambil merapikan jubah. Baraka melengos sambil tertawa dengan suara gumam. "Rasa-rasanya kita perlu berdamai, Baraka.""Kalau kau mau menjadi baik, aku mau berdamai denganmu.""Menjadi baik? Kau pikir aku sakit?""Ya. Jiwamu sakit sehingga kau berad