Ya, memang Rani Adinda yang terkapar di sana dengan tubuh terluka panjang. Luka yang mengucurkan darah itu menandakan luka bekas sabetan pedang. Tubuh itu membiru, berarti pedang itu mempunyai racun yang berbahaya jika menggores kulit manusia. Dilihat dari kesegaran darahnya dan masih hangat, berarti Rani Adinda baru saja melangsungkan pertarungan. Mungkin musuhnya belum jauh dari tempat tersebut. Baraka segera mencari dengan gerakan cepatnya ke berbagai penjuru. Namun ia tidak menemukan siapa-siapa di sana. Ia kembali ke tempat Rani Adinda terkapar dengan wajah penuh kekecewaan.
Janda Keramat berkata, "Dia belum meninggal. Kurasakan ada denyut nadinya, tapi lemah sekali!"
Baraka tegang, segera memeriksa denyut nadi Rani Adinda dengan menempelkan tangannya ke dada montok itu. Janda Keramat menampel tangan Baraka keras-keras.
Plak!
"Jangan periksa daerah itunya dong! Sini lho... di pergelangan tangan! Uuuh... dasar cowok ganjen!" umpatnya sambil bersungut-
Baraka hanya menarik napas, tetap tak mau ceritakan hal yang sebenarnya. Ia malah mengalihkan percakapan, "Sebaiknya kita temui Sawung Seta ke pesanggrahan sang Guru!""Ogah, ah!" sentak Rani Adinda."Kita selesaikan masalahmu dari sana!""Maksudmu?""Aku kenal dengan gurunya Sawung Seta! Aku akan bicara pada Layang Petir tentang sikapnya selama ini!""Ah, malas! Nanti dia macem-macem lagi sama aku!""Kalau kau ingin selesaikan masalahmu, kalau kau ingin diterima kembali sebagai keluarga kesultanan, kau harus menemui gurunya Sawung Seta!"Kini dahi si cantik berdada besar yang dari tadi dilirik nakal oleh Baraka itu menjadi berkerut. Dahinya yang berkerut lho, bukan dadanya! Gadis itu merasa heran dan curiga dengan maksud kata-kata Baraka."Apakah gurunya Sawung Seta ada hubungannya dengan Hantu Putih?"Baraka diam sebentar, mempertimbangkan jawabannya. Beberapa saat kemudian, berkata ia kepada Rani Adinda dengan hati-ha
"Kalau begitu aku harus segera membunuhnya!""Hei, tunggu...!"Wuuut...!Rani Adinda sudah tak bisa ditahan lagi gerakannya. Ia berkelebat cepat tanpa pedulikan lagi tentang Pendekar Kera Sakti.Begitu muncul di pertengahan jarak antara semak dengan rimbunan bambu, tangannya menyentak dan cahaya merah bagai gumpalan api menghantam pepohonan bambu itu.Wuuus...! Duaaar...!Pohon bambu sebegitu banyaknya buyar mendadak. Pecah ke mana-mana bagaikan diterjang terpedo. Dua orang yang ada di balik pepohonan bambu itu pun terpental dan jatuh tunggang langgang."Gawat! Rani Adinda mengamuk!" pikir Baraka. "Apa yang harus kulakukan kalau begini? Mencegah pertarungan atau membiarkannya? Serba salah saja rasanya kalau begini!""Sekarang terbuka sudah kedokmu, Hantu Putih!" seru Rani Adinda dengan lantang."Kaulah yang selama ini merusak bayang-bayang masa depanku! Sekarang kau harus berhadapan denganku! Majulah!"Baraka sege
Wut, wut, wut, wut...!Dari ujung jari itu keluar tenaga dalam yang cukup besar tanpa sinar. Menghantam telak beberapa kali di dada Sawung Seta. Akibatnya tubuh Sawung Seta tersentak-sentak mundur dengan badan melengkung dan tangan merenggang lemas. Yang terakhir dari sentakan lurus tersebut membuat Sawung Seta jatuh terjungkal dengan keluarnya erangan tertahan yang memanjang."Huuuhgg...!"Gusrak...!Ia jatuh di bekas pecahan pepohonan bambu tadi. Matanya mendelik bagaikan sukar bernapas. Mulutnya ternganga-nganga. Sikunya berdarah karena tergores keruncingan pecahan bambu. Bahkan dari mulutnya tampak mengalir darah walau tak banyak. Baraka ingin segera hampiri Sawung Seta untuk tanyakan: ‘Mau diteruskan atau berhenti sampai di situ saja?’Tapi niatnya segera dibatalkan begitu ia melihat keadaan Rani Adinda terdesak oleh serangan Janda Keramat. Tubuh gadis berdada besar itu terhempas dan membentur pohon ketika sinar biru dari lima kuku
PEMUDA ganteng yang punya rajah Naga Emas Melingkar di punggung lengan tidak ada duanya kecuali si Pendekar Kera Sakti, Baraka. Sang Pewaris para Dewa ini memang mempunyai ketampanan yang bisa bikin para gadis maupun janda pada 'celeng'.Semua orang bilang; Baraka itu tampan. Cuma orang hutan yang nggak bilang begitu. Sebagian orang mengakui bahwa Baraka itu hebat, ilmunya tinggi. Nggak aneh lagi kalau Baraka sekarang sedang jadi sorotan massa. Ia adalah idola para wanita. Banyak yang tergila-gila padanya, banyak pula yang gila beneran. Malah ada yang mengusulkan agar Baraka dijadikan 'cover boy' untuk sebuah kitab pusaka yang terbit sebulan sekali. Tapi Baraka menolak usul para gadis itu, alasannya karena ia tak ingin wajahnya dijadikan poster dan dipajang di sembarang dinding, termasuk dinding kamar mandi segala."Dia memang tampan, dia memang menawan, dia memang menggairahkan, dia memang sangat dirindukan, cuma kalau mau cari dia susahnya bukan main," ujar seorang g
"Maaf, boleh saya mengganggu Mbakyu-mbakyu berdua ini?" sapa Baraka membuka percakapan.Sri berkata pada Jaitun, "Mau mengganggu kok pakai bilang-bilang, ya Tun?""Yah, namanya lelaki, Sri...," Jaitun berlagak mengeluh. "Lelaki di mana saja sama, kerjanya mengganggu wanita."Baraka sunggingkan senyum geli. Senyuman itu pas dilirik oleh Jaitun dan Sri. Hati mereka berdebar karena mengakui bahwa senyuman itu sangat menawan hati. Tapi mereka masih berpura-pura cuek.Baraka berkata, "Maksudku bukan mengganggu tidak sopan, cuma ingin numpang nanya."Sri berkata lagi kepada Jaitun, "Memang katamu itu benar, Tun. Lelaki di mana-mana sama saja, senangnya numpang wanita.""Husy...!" hardik Jaitun, melirik Baraka dengan malu. Lalu sambil memeras cucian ia berkata dengan senyum sipu-sipu, "Maaf, temanku ini memang kalau ngomong suka slebor, Kang. Maklumi saja, habis lahirnya barengan gunung meletus sih."Sri bersungut-sungut menggerutu tak jelas
"Memangnya kenapa?" tanya Baraka semakin berlagak bego."Soalnya...," Jaitun tersenyum ma-lu. "Soalnya... Baraka nggak sehebat kamu, Kang.""Maksudnya nggak sehebat bagaimana?" desak Baraka kian memancing perasaan si gadis manis berkulit kuning itu."Yaah... pokoknya nggak hebatlah. Bisa dilihat dari wajahnya, perawakannya, kegagahannya, semuanya nggak kayak kamu. Pasti masih lebih hebat kamu, Kang.""Masa' sih...?" Baraka senyum-senyum saja sambil tetap melangkah bersebelahan."Iya. Nggak lebih tampan dari kamu. Baraka itu kan, yaaah... namanya juga anak masih baru GeDe, tentu saja masih imut-imut. Tua sedikit juga peot."Baraka tertawa geli tapi tidak dilepas semuanya. Jaitun bagaikan lupa dengan kematian kakeknya. Ia tersenyum-senyum seraya sesekali menunduk. Menjinjing bakul menenteng ember karet. Dalam tunduknya itu ia melirik Baraka sebentar dan bertanya, "Ngomong-ngomong... namamu siapa sih, Kang?""Namaku...?" Baraka tersenyum
Baraka mendekati Ken Warok karena terlalu lama ditinggalkan sendirian di tengah pelataran. Mirip tiang bendera. Saat itu Ken Warok memang baru akan temui Baraka untuk mengatakan sesuatu, tapi Baraka lebih dulu perdengarkan suaranya yang kalem itu."Apakah kau punya urusan pribadi dengan Ratu Cadar Jenazah?""Tidak. Tapi..., rasa-rasanya ada sesuatu yang harus kulakukan. Ki Mangut Pedas, kakekku, dulu adalah seorang jagoan, pengawal istana kerajaan Balekambang. Kakek pernah berguru di puncak Gunung Sahari. Dan menurut cerita beliau, Ratu Cadar Jenazah adalah rekan seperguruannya, tapi kakek lebih senior.""Kalau begitu," kata Baraka menyim-pulkan, "Pasti ada hubungannya dengan perguruan kakekmu dulu.""Kayaknya sih begitu," kata Ken Warok. "Pasti soal Kitab Lima Setan."Baraka cepat memandang Ken Warok dengan dahi berkerut. Yang dipandang juga sedang menatapnya dalam renungan.Tanpa diminta, Ken Warok segera jelaskan persoalan itu. "Kitab Lim
Ternyata Kitab Lima Setan tidak disembunyikan di dalam rumah. Mungkin takut kalau dibaca para cucunya, Ki Mangut Pedas sembunyikan kitab itu jauh dari rumah. Baraka diajak pergi ke sebuah bukit oleh Ken Warok."Kakek pernah ceritakan tempat penyimpanan itu, dan aku pernah ke sana tapi nggak ngapa-ngapain. Soalnya kakek masih hidup sih," katanya sambil melangkah menuju kaki bukit."Jadi kitab itu disembunyikan di puncak bukit?""Ya, sebab di puncak bukit itulah terdapat gua tempat kakekku dulu bertapa. Namanya gua Panas Dingin."Baraka tertawa pendek. "Gua kok namanya panas-dingin? Gua penyakitan itu sih!""Kata kakek, kalau kita berada di dalam gua itu udaranya bisa jadi panas dan bisa jadi dingin, tergantung kata batin kita. Kalau kita membatin; 'wah, kok gua ini panas, ya"', maka udara di dalam gua akan semakin panas. Kalau batin kita bilang 'dingin', ya dingin.""Kau pernah masuk ke dalamnya?""Nggak berani. Kakek melarangku masuk