"Maaf, boleh saya mengganggu Mbakyu-mbakyu berdua ini?" sapa Baraka membuka percakapan.
Sri berkata pada Jaitun, "Mau mengganggu kok pakai bilang-bilang, ya Tun?"
"Yah, namanya lelaki, Sri...," Jaitun berlagak mengeluh. "Lelaki di mana saja sama, kerjanya mengganggu wanita."
Baraka sunggingkan senyum geli. Senyuman itu pas dilirik oleh Jaitun dan Sri. Hati mereka berdebar karena mengakui bahwa senyuman itu sangat menawan hati. Tapi mereka masih berpura-pura cuek.
Baraka berkata, "Maksudku bukan mengganggu tidak sopan, cuma ingin numpang nanya."
Sri berkata lagi kepada Jaitun, "Memang katamu itu benar, Tun. Lelaki di mana-mana sama saja, senangnya numpang wanita."
"Husy...!" hardik Jaitun, melirik Baraka dengan malu. Lalu sambil memeras cucian ia berkata dengan senyum sipu-sipu, "Maaf, temanku ini memang kalau ngomong suka slebor, Kang. Maklumi saja, habis lahirnya barengan gunung meletus sih."
Sri bersungut-sungut menggerutu tak jelas
"Memangnya kenapa?" tanya Baraka semakin berlagak bego."Soalnya...," Jaitun tersenyum ma-lu. "Soalnya... Baraka nggak sehebat kamu, Kang.""Maksudnya nggak sehebat bagaimana?" desak Baraka kian memancing perasaan si gadis manis berkulit kuning itu."Yaah... pokoknya nggak hebatlah. Bisa dilihat dari wajahnya, perawakannya, kegagahannya, semuanya nggak kayak kamu. Pasti masih lebih hebat kamu, Kang.""Masa' sih...?" Baraka senyum-senyum saja sambil tetap melangkah bersebelahan."Iya. Nggak lebih tampan dari kamu. Baraka itu kan, yaaah... namanya juga anak masih baru GeDe, tentu saja masih imut-imut. Tua sedikit juga peot."Baraka tertawa geli tapi tidak dilepas semuanya. Jaitun bagaikan lupa dengan kematian kakeknya. Ia tersenyum-senyum seraya sesekali menunduk. Menjinjing bakul menenteng ember karet. Dalam tunduknya itu ia melirik Baraka sebentar dan bertanya, "Ngomong-ngomong... namamu siapa sih, Kang?""Namaku...?" Baraka tersenyum
Baraka mendekati Ken Warok karena terlalu lama ditinggalkan sendirian di tengah pelataran. Mirip tiang bendera. Saat itu Ken Warok memang baru akan temui Baraka untuk mengatakan sesuatu, tapi Baraka lebih dulu perdengarkan suaranya yang kalem itu."Apakah kau punya urusan pribadi dengan Ratu Cadar Jenazah?""Tidak. Tapi..., rasa-rasanya ada sesuatu yang harus kulakukan. Ki Mangut Pedas, kakekku, dulu adalah seorang jagoan, pengawal istana kerajaan Balekambang. Kakek pernah berguru di puncak Gunung Sahari. Dan menurut cerita beliau, Ratu Cadar Jenazah adalah rekan seperguruannya, tapi kakek lebih senior.""Kalau begitu," kata Baraka menyim-pulkan, "Pasti ada hubungannya dengan perguruan kakekmu dulu.""Kayaknya sih begitu," kata Ken Warok. "Pasti soal Kitab Lima Setan."Baraka cepat memandang Ken Warok dengan dahi berkerut. Yang dipandang juga sedang menatapnya dalam renungan.Tanpa diminta, Ken Warok segera jelaskan persoalan itu. "Kitab Lim
Ternyata Kitab Lima Setan tidak disembunyikan di dalam rumah. Mungkin takut kalau dibaca para cucunya, Ki Mangut Pedas sembunyikan kitab itu jauh dari rumah. Baraka diajak pergi ke sebuah bukit oleh Ken Warok."Kakek pernah ceritakan tempat penyimpanan itu, dan aku pernah ke sana tapi nggak ngapa-ngapain. Soalnya kakek masih hidup sih," katanya sambil melangkah menuju kaki bukit."Jadi kitab itu disembunyikan di puncak bukit?""Ya, sebab di puncak bukit itulah terdapat gua tempat kakekku dulu bertapa. Namanya gua Panas Dingin."Baraka tertawa pendek. "Gua kok namanya panas-dingin? Gua penyakitan itu sih!""Kata kakek, kalau kita berada di dalam gua itu udaranya bisa jadi panas dan bisa jadi dingin, tergantung kata batin kita. Kalau kita membatin; 'wah, kok gua ini panas, ya"', maka udara di dalam gua akan semakin panas. Kalau batin kita bilang 'dingin', ya dingin.""Kau pernah masuk ke dalamnya?""Nggak berani. Kakek melarangku masuk
Gadis cantik bertubuh seksi dengan bagian dadanya melenuk mirip mangkok bakso itu, mengenakan pakaian serba biru. Biru muda yang cerah. Kontras dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Gadis itu mengenakan ikat pinggang yang punya pisau cukup banyak. Hampir seluruh pinggangnya dilingkari dengan pisau, ada yang besar ada yang sedang, ada yang kecil.Andai tak cantik, ia mirip pedagang keliling door to door. Tetapi dengan rambut disanggul kecil di bagian tengah, sisanya dibiarkan meriap sepanjang punggung. Meski wajahnya tanpa senyum tapi kecantikannya justru tampak menggemaskan bagi Baraka. Sejak tadi yang dipandangi bagian bibir si gadis dan permukaan mangkok baksonya itu. Maklum, pendekar yang satu ini memang punya mata nakal dan otak sedikit seronok, sehingga hobinya mengincar tempat-tempat yang mestinya tak boleh dipegang sembarang orang. Jika sudah memandang ke arah sana, Baraka sering lupa daratan dan lupa lautan. Malah kadang-kadang ia sering lupa berkedip."Bi
Seakan begitu cueknya dengan hasil tendangannya tadi. Yang dipandangi adalah Baraka dan pandangan itu tak mau bergeser sedikit pun. Tajam, tapi juga menyimpan tendensi tertentu.Akhirnya pendekar tampan kembali pandangi wajah di depannya yang amat dekat sekali itu. Hanya satu ayunan maju saja bibir bisa langsung nyosor bibir si gadis. Tapi Baraka punya perhitungan, jika saat itu ia langsung menyosorkan diri ke bibir si gadis, maka tangan si gadis dapat bergerak menghantamnya dengan cepat. Karena Baraka tahu, gadis itu punya kecepatan gerak cukup tinggi. Terlihat saat ia menendang Ken Warok, gerakan kakinya nyaris tak terlihat menendang ke dada Ken Warok."Baru sekarang aku melihat kecantikan yang sempurna. Ck, ck, ck...!" Baraka berdecak sambil geleng-geleng kepala. Gadis itu merasa tersanjung, tapi berlagak tak suka sanjungan itu. Ia mencibir sinis, membuang pandangan ke arah lain.Sementara itu Ken Warok bergegas bangkit perlahan-lahan sambil menyeringai, mera
Belati Binal tarik napas. "Sakit juga dada kananku, Setan! Rupanya dia punya ilmu yang boleh diperhitungkan. Gerakan begitu saja dapat menghancurkan pukulan 'Racun Kejujuran'ku. Apakah aku harus gunakan jurus yang lebih tinggi lagi? Nanti kalau dia mati bagaimana?" pikir-nya."Racun apa lagi yang kau punya? Kalau belum puas dan belum percaya bahwa aku bukan Ken Warok, keluarkanlah jurus racunmu lagi," kata Pendekar Kera Sakti dengan agak jengkel. "Ayo, keluarkan lagi racunmu, aku siap mati di tangan gadis secantik kau, Belati Binal. Aku bangga mati di pelukan-mu!"Belati Binal diam. Matanya memandang tajam sekali. Ken Warok cemas, takut kalau Baraka terluka, maka ia segera lepaskan pukulan jarak jauh berupa gelombang dingin.Wusss...! Clapp...!Sinar kuning berbentuk bundar seperti kelereng lebih dulu menghantam dada Ken Warok, menerobos pukulan hawa dingin tersebut.Dess...!Ken Warok jatuh terkulai, tulangnya bagaikan dipresto seperti band
"Dari mana gurumu dapat kabar tentang kematian Ki Mangut Pedas? Karena akulah orang yang menguburkan jenazah Ki Mangut Pedas! Beliau ditemukan terkapar sendirian dalam keadaan sekarat. Masa' gurumu bisa tahu kalau Ki Mangut Pedas tewas? Padahal aku belum bicara kepada siapa pun sebelum aku tiba di desanya Ken Warok."Gadis tanpa senyum itu bicara bernada ketus, tapi sebenarnya serius, "Sehabis Tengkorak Tobat yang bertarung dengan Ki Mangut Pedas berhasil melukai lawannya, ia lari dalam keadaan luka beracun. Ia bertemu dengan Guru yang saat itu sedang pulang dari lawatannya ke Pulau Kelambu. Tengkorak Tobat sujud di depan Guru dan mohon pertolongan atas luka racunnya, karena menurut perkiraan Tengkorak Tobat, racun itu akan merenggut nyawanya sebelum ia sampai di Bukit Gulana. Tengkorak Tobat berjanji akan damaikan pertikaian lama antara Guru dengan adik tirinya itu. Guru pun obati Tengkorak Tobat, lalu ia ceritakan sendiri bagaimana pertarungannya dengan Ki Mangut Pedas yang
"Kalau kau tak mencuri dengar percakapanku, aku tak akan menyerangmu, Dupa Dulang!"Dupa Dulang diam tak membalas ucapan. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Baraka untuk bertanya kepada Belati Binal dalam suara berbisik, "Siapa orang itu?""Namanya Dupa Dulang, orang Perguruan Tanduk Singa. Gurunya yang bernama Dalang Setan adalah orang yang sedang berusaha menundukkan hati Ratu Cadar Jenazah. Tentunya dia ada di pihak Ratu Cadar Jenazah untuk mengambil perhatian perempuan tersebut.""O, jadi Ratu Cadar Jenazah dapat bantuan dari Dalang Setan?""Benar. Apakah kau ciut nyali?"Baraka tidak menjawab selain tersenyum kalem, masih menggigit-gigit rumput. Ia sempat berbisik, "Apakah kau merasa sanggup hadapi dia?""Kenapa tidak! Mundurlah, biar ku-selesaikan urusan ini dengannya!"Pendekar Kera Sakti bukan pendekar yang gila bertarung. Ia selalu memberi kesempatan kepada pihak lain untuk lakukan pertarungan semasa pihak lain itu merasa sangg