"Hari sudah hampir sore. Apakah kau berani pulang sendiri?"
"Berani, Kang. Pokoknya asal jangan ketemu orang berpakaian hitam dengan rambut dikuncir. Aku takut kalau lihat orang itu, Kang."
"Mengapa takut?"
"Soalnya tadi malam aku lihat dia lari di kaki bukit ini dan bertarung dengan lawannya. Tapi lawannya tahu-tahu mati sendiri. Padahal orang berkuncir itu hanya memasukkan pisau kecil pada boneka yang dibawanya. Dia sakti sekali, Kang."
"Tunggu, tunggu...!" kata Pak Tua. "Boneka kecil seperti apa?! Kau melihat sendiri boneka itu?".
"Ya, tapi tak jelas sekali karena cahaya rembulan tidak terlalu terang. Boneka itu sepertinya dari karet, Pak Tua."
"Pantas! Itulah yang dinamakan Patung Genit, eh... Patung Dedemit," kata Pak Tua saking gugupnya. "Patung itu memang seperti karet, tapi menurut penjelasan guruku; Iblis Dedemit sendiri, patung tersebut sebenarnya terbuat dari gumpalan daging dan urat-urat tubuhnya yang mengkerut selama sekian tahu
TEBING karang itu cukup curam. Di bawah tebing itu anak-cucu batu karang mencuat runcing, seakan pamer gigi masing-masing. Belum lagi ditambah debur ombak ganas yang menghantam di kaki tebing cukup membuat bulu kuduk meremang tak kenal lelah. Dapat dibayangkan seandainya seseorang jatuh dari atas tebing, pasti raganya akan hancur tercabik-cabik anak cucu si karang kejam itu. Selain raganya hancur tercabik, nyawanya pun pergi tak mau balik. Sebab itulah banyak orang yang malas terjun dari tebing karang yang dikenal bernama: Tebing Selamat Tinggal.Meskipun demikian, toh sore itu ada saja orang yang berdiri di tepian tebing karang tersebut. Orang yang berdiri di pinggiran tebing adalah seorang gadis berpakaian biru muda, lengkap dengan jubah tipisnya yang berwarna kuning gading. Gadis itu berdiri di tepian tebing, hanya satu langkah lagi ia menuju akhirat alias mati dicabik-cabik anak-cucu karang runcing itu.Sepasang mata anak muda berusia sekitar dua puluh tahun memand
Tiba-tiba sang gadis berseru,"Berhenti! Jangan mendekat lagi!""Lho, kenapa?""Aku mau bunuh diri! Aku tak mau kau pegangi saat aku mau melompat nanti!""Kau mau bunuh diri?" Baraka bernada tidak percaya. Sengaja ia bernada begitu, supaya sang gadis mengurungkan niatnya karena tidak dipercaya."Ya, memang aku mau bunuh diri. Kalau kau tidak percaya, lihat nih aku mau melompat ke jurang karang, hiaaah....""Ee, eh... tunggu dulu!" Baraka mau mendekat dengan tangan terulur, tapi gerakannya ragu-ragu dan sang gadispun tak jadi melompat."Apa maksudmu menahan gerakanku!" ketus sang gadis."Jangan bunuh diri, nanti kamu mati lho!""Memang aku kepingin mati!" sahutnya makin ketus. "Lihatlah kalau nggak percaya, satu, dua, ti....""Eeeh... tunggu!" sergah Baraka makin dekat tapi tak berani menyentuh gadis itu.Kulit sang gadis begitu putih dan mulus berkesan lembut, sehingga merasa sangat disayangkan kalau harus
Sebelum hal itu ditanyakan, Rani Adinda berkata lebih dulu, "Apakah kau tahu, siapa Hantu Putih itu?""Aku baru mau tanyakan padamu, apakah Hantu Putih itu benar-benar hantu atau hanya nama julukan saja?""Entahlah. Aku tak jelas. Ayahandaku hanya berkata begitu, lalu beliau tak mau bertemu denganku. Bahkan aku tak diizinkan masuk ke dalam kesultanan.""Mengapa tidak kamu tanyakan kepada gurumu?""Sudah. Tapi guruku tak tahu siapa orang yang menggunakan julukan Hantu Putih itu. Menurut Guru, mungkin yang dimaksud Hantu Putih adalah benar-benar hantu atau mayat yang terbungkus kain kafan dan berkeliaran di mana-mana. Tapi menurut dugaanku yang belum tentu benar, Hantu Putih itu nama julukan seseorang.""Dari mana kau bisa menyimpulkannya begitu?""Kabarnya, ayahku sangat benci dengan Hantu Putih, sebab ibuku jatuh sakit karena rindu ingin jumpa si Hantu Putih itu. Bahkan...," Rani Adinda diam sebentar, seperti ada yang perlu dipertimbangkan.
Secara jujur hatinya mengakui bahwa ia tak bisa melihat Rani Adinda mati bunuh diri. Bisa-bisa Baraka akan merasa menyesal seumur hidup jika membiarkan Rani Adinda mati bunuh diri sebelum disentuh bibirnya. Jadi dengan cara bagaimanapun mau tak mau Baraka harus bisa mencegah anak sultan itu tidak terburu-buru mati."Barangkali kalau dia sudah merasakan sebentuk kehangatan bibirku dia akan enggan mati dengan cara apa pun" pikir Baraka.Rani Adinda mengaku pernah dengar nama seorang ahli nujum di kaki Gunung Malabar. Gadis itu mengajak Baraka pergi ke sana."Namanya Syuka Nehi. Kabarnya dia tidak pernah pergi ke mana-mana dan selalu tinggal di kaki Gunung Malabar. Jadi kalau kita kesana pasti akan ketemu dia.""Dia ahli nujum apa pedagang martabak?""Baraka! Aku serius nih!" Rani Adinda merajuk jengkel.Baraka tertawa kecil. "Gunung Malabar itu jauh, Sayang," ujarnya dengan lembut sambil merapikan rambut di punggung Rani Adinda."Gunung
Dan Baraka pun tahu seberapa tinggi ilmu Layang Petir yang dulu bekas muridnya Iblis Banci itu. Kini Baraka jadi gelisah dan terbayang wajah tua si Layang Petir yang pernah membuatnya dikuasai hasrat bercumbu gara-gara sinar putih dari mata Pak Tua tersebut.Lebih gawat lagi Rani Adinda berkata sumbar, "Kalau perlu, gurumu suruh kemari dan berhadapan denganku! Nih, murid Resi Pancal Sukma tak akan tumbang menghadapi Layang Petir dan muridnya yang kayak ondel-ondel itu!"Gemeretak gigi Sawung Seta mendengar hinaan seperti itu. Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat. Matanya mulai mengecil pertanda memendam murka. Ia bicara dengan suara menggeram, "Bicaramu kelewat batas, Rani Adinda!""Blarin! Biar elu nggak mau lagi deketin gue!""Kalau bukan karena hati sedang jatuh cinta padamu, kuhancurkan kepalamu pakai terompet saktiku ini, Adinda!"Dengan tengil Rani Adinda menyahut, "Hancurkan saja kalau bisa!""Tidak. Kalau kepalamu kuhancurkan, bagai
Sawung Seta cepat melompat dari posisi berlutut satu kaki. Dan ketika ia melompat, jari-jari kakinya keluarkan sepuluh sinar biru kecil yang menyergap tubuh Rani Adinda.Sraaaab...!Kesepuluh larik sinar biru itu segera dilawan oleh Rani Adinda dengan kesepuluh larik sinar merah yang keluar dari jari-jari tangannya.Sraaab...!Dan terjadilah dentuman menggelegar akibat benturan sinar-sinar tersebut.Blegaaarrrr...!Tanah di sekitar mereka terguncang hebat. Air laut membumbung tinggi dalam gulungan ombak besar. Sementara itu tubuh Rani Adinda sendiri terlempar sejauh lima langkah dan terpuruk di sana. Tubuh Sawung Seta juga terpental dan membentur gugusan karang di depan tepian pantai berair asin.Buuhg...!Tubuh itu jatuh terkulai setelah menggeliat kesakitan dengan wajah menyeringai. Baraka pun ikut jatuh terpelanting akibat ledakan tadi. Hampir saja ia kejatuhan pohon kelapa yang tumbang akibat getaran kuat daya ledak tersebu
TIGA PONDOK di dalam hutan, mirip villa tempat peristirahatan. Pondok itu berlantai dua, terbuat dari kayu jati. Kokoh sekali. Pondok itu berhalaman luas, dipagar dengan kayu-kayu dolken setinggi perut orang dewasa. Di halaman yang mengelilingi pondok itu terdapat pohon cemara tertanam rapi. Di luar pagar adalah tanaman hutan liar yang campur aduk, bukan dari satu jenis tanaman. Jalanan setapak terdapat di depan pondok itu, dinaungi pepohonan bambu hitam. Pondok itu bersuasana tenang, teduh, nyaman, dan entah kenapa bisa timbulkan hawa betah bagi tamu yang singgah. Disela ketenangan itu, terdengar bunyi gemuruh air terjun. Berarti pondok itu tak jauh dari sumber air terjun, yang tentu saja mempunyai sungai yang mengalir entah ke mana. Selain gemuruh air terjun samar-samar juga terdengar kicau burung di awal pagi dan di awal petang. Suara macan tak ada. Atau binatang buas lainnya tak kentara berseliweran di sana. Mungkin tempat itu sudah dipasangi ranjau anti binatang buas, walau pem
Janda Keramat tertawa kecil sambil membawa Baraka masuk, meninggalkan balkon lantai atas itu. Sang pemuda tampan menurut karena merasa perlu bicara serius dengan si Janda Keramat. Mereka duduk bersila menghadap meja. Mulanya Baraka mau ambil posisi duduk berhadapan. Tapi menurutnya, tak enak, karena terhalang meja. Walau ia bisa beradu muka terus, tapi jika terhalang meja kurang asyik. Jadi ia memilih duduk bersebelahan dengan si Janda Keramat yang berpakaian tipis dan tampak membayang 'perabot'nya itu."Mari minum untuk kesehatanmu!" kata Janda Keramat sambil mengangkat cangkir keramik. Baraka pun mengangkat cangkir itu dan kedua cangkir diadu pelan.Trik...! Maka keduanya segera menghirup teh hangat yang dibuat dari rumput laut dan tanaman lainnya."Segar sekali teh ini. Rupanya kau pandai menghidangkan minuman dan makanan yang lezat-lezat, ya?""Aku dulu bekas anak pemilik kedai," kata Janda Keramat. "Kemudian aku berguru kepada seorang tabib ahli ramu