TIGA PONDOK di dalam hutan, mirip villa tempat peristirahatan. Pondok itu berlantai dua, terbuat dari kayu jati. Kokoh sekali. Pondok itu berhalaman luas, dipagar dengan kayu-kayu dolken setinggi perut orang dewasa. Di halaman yang mengelilingi pondok itu terdapat pohon cemara tertanam rapi. Di luar pagar adalah tanaman hutan liar yang campur aduk, bukan dari satu jenis tanaman. Jalanan setapak terdapat di depan pondok itu, dinaungi pepohonan bambu hitam. Pondok itu bersuasana tenang, teduh, nyaman, dan entah kenapa bisa timbulkan hawa betah bagi tamu yang singgah. Disela ketenangan itu, terdengar bunyi gemuruh air terjun. Berarti pondok itu tak jauh dari sumber air terjun, yang tentu saja mempunyai sungai yang mengalir entah ke mana. Selain gemuruh air terjun samar-samar juga terdengar kicau burung di awal pagi dan di awal petang. Suara macan tak ada. Atau binatang buas lainnya tak kentara berseliweran di sana. Mungkin tempat itu sudah dipasangi ranjau anti binatang buas, walau pem
Janda Keramat tertawa kecil sambil membawa Baraka masuk, meninggalkan balkon lantai atas itu. Sang pemuda tampan menurut karena merasa perlu bicara serius dengan si Janda Keramat. Mereka duduk bersila menghadap meja. Mulanya Baraka mau ambil posisi duduk berhadapan. Tapi menurutnya, tak enak, karena terhalang meja. Walau ia bisa beradu muka terus, tapi jika terhalang meja kurang asyik. Jadi ia memilih duduk bersebelahan dengan si Janda Keramat yang berpakaian tipis dan tampak membayang 'perabot'nya itu."Mari minum untuk kesehatanmu!" kata Janda Keramat sambil mengangkat cangkir keramik. Baraka pun mengangkat cangkir itu dan kedua cangkir diadu pelan.Trik...! Maka keduanya segera menghirup teh hangat yang dibuat dari rumput laut dan tanaman lainnya."Segar sekali teh ini. Rupanya kau pandai menghidangkan minuman dan makanan yang lezat-lezat, ya?""Aku dulu bekas anak pemilik kedai," kata Janda Keramat. "Kemudian aku berguru kepada seorang tabib ahli ramu
Kejap berikutnya, malam menjadi lengang. Suara teriakan mereka hilang. Yang ada hanya hembusan napas-napas sisa pertarungan sengit yang menghadirkan sejuta keindahan. Keringat mengucur dan membasahi tubuh mereka. Keringat itulah tanda bahwa pertarungan mereka tidak sekadar main-main atau uji coba. Mereka sama kuat, walaupun Janda Keramat merasa kalah di tangan Baraka. Ia terpaksa mengakui keunggulan sang Pendekar Kera Sakti. Namun kekalahannya itu justru membuat sang janda enggan lepaskan diri dari Baraka."Aku harus bersamamu selamanya.""Apa...!" Baraka kaget."Aku harus bersamamu ke mana pun kau pergi.""Tak ada alasan untuk itu!""Ada!""Apa alasannya?""Karena kau yang terunggul dari yang paling hebat!""Ah, lupakan soal itu tadi!""Nggak bisa! Ini benar-benar istimewa dan aku harus mendapatkannya! Harus!""Apa akibatnya kalau aku menolak?""Kita tarung sampai mati!""Gila!" Baraka terbengong me
Janda Keramat tidak berpikir sampai di situ, ia hanya menyangka maksud penghadangan Nyai Perawan Busik semata-mata hanya ingin balas dendam atas kekalahannya tempo hari."Hapsari, sudah tiba saatnya bagimu untuk menikmati kepahitan hidup sepertiku. Bersiaplah menebus dosamu empat tahun yang lalu, Janda Keramat!""Apa maumu akan kulayani, Perawan Busik!""Terimalah jurus 'Debu Neraka'ku ini! Hiiih...!"Wuuut...!Tangan kiri Nyai Perawan Busik menyentak ke depan. Dari telapak tangan tersebut menyembur debu putih menyerupai tepung.Wuuss...!Janda Keramat tetap berdiri tegak ditempatnya. Tapi kedua tangannya bergerak menyilang di dada, hentakannya menimbulkan angin kencang yang membuat debu-debu itu beterbangan ke mana-mana.Wuuurs!Debu itu adalah racun yang mematikan. Terbukti tanaman yang terkena debu itu langsung menjadi kering dan tanah di sekitarnya menjadi hitam bagai habis terbakar.Janda Keramat hanya tertaw
Duaaar...!Pohon jati menjadi sasaran sinar merah itu. Pohon tersebut retak, sedangkan Nyai Perawan Busik segera larikan diri."Nikmati dulu hidup dalam ketuaan, Hapsari! Suatu saat kita akan bertemu lagi untuk tentukan siapa yang harus mati lebih dulu!""Jangan lari kau, Keparaaatt..!"Janda Keramat ingin mengejar lawannya. Tapi apa daya, perubahan dari muda menjadi setua itu menjadikan otot-ototnya mengalami shock. Tak bisa bekerja dengan cepat seperti biasanya. Maka, Hapsari pun akhirnya hanya bisa terpuruk di bawah pohon dan menitikkan air matanya. Ia tampak sebagai seorang nenek tanpa tongkat yang sedang dirundung kesedihan amat dalam."Hancur! Hancur sudah hidupku kalau begin!! Kekuatanku sebentar lagi akan sirna. Daya tarikku lenyap karena si keparat itu. Padahal gairahku masih ada. Ooh... Baraka, di manakah kau? Tidakkah kau kasihan padaku yang menjadi begini?" pikiran itu tembus ke hati menjadi ratapan batin sang janda yang mungkin sudah t
Gua tersebut tidak terlalu dalam. Langit-langitnya tidak begitu tinggi. Tapi tempatnya datar walau banyak bebatuannya. Sang gadis masih dibaringkan dalam keadaan pucat pasi. Bibirnya membiru, bagian bawah dadanya memar karena hantaman sinar tenaga dalam Baraka tadi. Pedangnya masih utuh. Mestinya pedang itu pecah karena terkena sinar merah jurus 'Tenaga Matahari Merah'. Mungkin karena di pedang itu ada kekuatan gaib yang cukup besar, maka sang pedang malas untuk hancur. Mestinya pula tubuh gadis itu hancur berkeping-keping, tapi karena mempunyai kekebalan tenaga dalam yang sangat tinggi, maka sang tubuh hanya memar dan urat nadinya terhenti, bagian dalamnya terpaksa hangus merata."Kuat juga gadis itu!" pikir Baraka sambil memperhatikan sang gadis dari atas batu yang berjarak empat langkah samping kirinya."Nggak sangka kalau ilmunya tinggi juga. Atau barangkali karena dia punya jimat lain, sehingga jurus 'Tenaga Matahari Merah' tidak dapat menghancurkan tubuhnya? Tapi
"Yaaah... nggak percaya," ucap Baraka pelan dan tak berani banyak gerak karena lehernya tertodong pedang dan ia tahu pedang itu dapat semburkan racun berbahaya, walau racun itu telah habis dan belum diisikan ke dalam pedang lagi."Katakan sejujurnya!""Kok kayak judul lagu aja," ujar Baraka sambil nyengir. Ujung pedang mulai menempel dan agak ditekankan di leher. Baraka ngeri."Jawab dengan jujur atau kurobek lehermu dengan pedangku!" hardik Awan Sari dengan tampang galaknya."Aku tidak berbuat apa-apa, Nona Cantik!" jawab Baraka menyabarkan nada suaranya."Berani dicubit seribu bidadari, aku tidak berbuat apa-apa kepadamu.""Hmm...!" dengus Awan Sari sambil menarik pedangnya dan mundur dua tindak."Bodoh...!"Baraka berkerut dahi mendengar gerutuan 'bodoh' dari mulut yang berbibir cemberut itu."Apa maksudmu mengatakan 'bodoh' padaku!"Gadis itu tidak menjawab, tapi ia pergi ke balik batu setinggi lewat kepala. D
Tapi sikap itu hanya ditertawakan Baraka dengan kalem. "Aku melamunkan tentang Layang Petir dan muridnya itu! Aku ingin bertemu dengan mereka. Apakah kau bisa bantu aku menunjukkan tempat tinggal mereka?""Tidak!" Jawab Awan Sari dengan singkat dan tegas."Barangkali suatu saat kau butuh pertolonganku, aku akan menolongmu dengan suka rela tanpa mengharap imbalan, kecuali sekadar uang buat beli nasi saja!""Kau ini pendekar apa pengemis?""Aku cuma bercanda," kata Baraka sambil tertawa. Lalu ia dekati gadis itu, si gadis menjauh. "Bantulah aku menemui mereka. Ada persoalan yang harus kuluruskan berkenaan dengan si Sawung Seta!""Pergi aja sendiri!"Baraka mendekat lagi, si gadis sudah terpojok dinding gua. Akhirnya hanya diam saja, tapi memandang sangar kepada Baraka. Pendekar Kera Sakti tetap tenang, menyunggingkan senyumannya yang punya daya pikat tinggi itu.Baraka ingin ulangi permohonannya tadi, tapi terkesima memandang seraut waj
"Rupanya kau telah bebas dari Sawung Seta, Dinda!" Baraka mencoba mengalihkan suasana agar jangan terjadi pertumpahan darah di antara kedua gadis tersebut. Tapi ucapan Baraka itu tidak mendapat reaksi apa-apa dari Rani Adinda."Apa maksudmu menyerangku secara licik, Gadis Jalang!" sentak Awan Sari dengan kasar sambil lebih mendekat lagi."Jauhi pemuda itu!" kata Rani Adinda dengan menuding Baraka tapi tidak memandang pemuda tersebut."Apa hakmu melarangku mendekati Baraka? Kau tak berhak mengatur hidupku, Rani Adinda!""Kuingatkan sekali lagi," tegas Rani Adinda tanpa senyum sedikit pun,"Jauhi Baraka atau jauhi nyawamu!""Setan! Kau menantangku, hah! Belum puas menjadi kekasih seorang 'pelanang' seperti Sawung Seta itu!"Baraka membatin, "Apa itu 'pelanang'? Apakah sejenis dengan gigilu, eh... gigolo? Hmmm... mungkin 'pelanang' singkatan dari 'Pelacur Lanang'. Ah, persetanlah. Ngapain aku malah mikirin singkatan seperti itu? Bego!"