TEBING karang itu cukup curam. Di bawah tebing itu anak-cucu batu karang mencuat runcing, seakan pamer gigi masing-masing. Belum lagi ditambah debur ombak ganas yang menghantam di kaki tebing cukup membuat bulu kuduk meremang tak kenal lelah. Dapat dibayangkan seandainya seseorang jatuh dari atas tebing, pasti raganya akan hancur tercabik-cabik anak cucu si karang kejam itu. Selain raganya hancur tercabik, nyawanya pun pergi tak mau balik. Sebab itulah banyak orang yang malas terjun dari tebing karang yang dikenal bernama: Tebing Selamat Tinggal.
Meskipun demikian, toh sore itu ada saja orang yang berdiri di tepian tebing karang tersebut. Orang yang berdiri di pinggiran tebing adalah seorang gadis berpakaian biru muda, lengkap dengan jubah tipisnya yang berwarna kuning gading. Gadis itu berdiri di tepian tebing, hanya satu langkah lagi ia menuju akhirat alias mati dicabik-cabik anak-cucu karang runcing itu.
Sepasang mata anak muda berusia sekitar dua puluh tahun memand
Tiba-tiba sang gadis berseru,"Berhenti! Jangan mendekat lagi!""Lho, kenapa?""Aku mau bunuh diri! Aku tak mau kau pegangi saat aku mau melompat nanti!""Kau mau bunuh diri?" Baraka bernada tidak percaya. Sengaja ia bernada begitu, supaya sang gadis mengurungkan niatnya karena tidak dipercaya."Ya, memang aku mau bunuh diri. Kalau kau tidak percaya, lihat nih aku mau melompat ke jurang karang, hiaaah....""Ee, eh... tunggu dulu!" Baraka mau mendekat dengan tangan terulur, tapi gerakannya ragu-ragu dan sang gadispun tak jadi melompat."Apa maksudmu menahan gerakanku!" ketus sang gadis."Jangan bunuh diri, nanti kamu mati lho!""Memang aku kepingin mati!" sahutnya makin ketus. "Lihatlah kalau nggak percaya, satu, dua, ti....""Eeeh... tunggu!" sergah Baraka makin dekat tapi tak berani menyentuh gadis itu.Kulit sang gadis begitu putih dan mulus berkesan lembut, sehingga merasa sangat disayangkan kalau harus
Sebelum hal itu ditanyakan, Rani Adinda berkata lebih dulu, "Apakah kau tahu, siapa Hantu Putih itu?""Aku baru mau tanyakan padamu, apakah Hantu Putih itu benar-benar hantu atau hanya nama julukan saja?""Entahlah. Aku tak jelas. Ayahandaku hanya berkata begitu, lalu beliau tak mau bertemu denganku. Bahkan aku tak diizinkan masuk ke dalam kesultanan.""Mengapa tidak kamu tanyakan kepada gurumu?""Sudah. Tapi guruku tak tahu siapa orang yang menggunakan julukan Hantu Putih itu. Menurut Guru, mungkin yang dimaksud Hantu Putih adalah benar-benar hantu atau mayat yang terbungkus kain kafan dan berkeliaran di mana-mana. Tapi menurut dugaanku yang belum tentu benar, Hantu Putih itu nama julukan seseorang.""Dari mana kau bisa menyimpulkannya begitu?""Kabarnya, ayahku sangat benci dengan Hantu Putih, sebab ibuku jatuh sakit karena rindu ingin jumpa si Hantu Putih itu. Bahkan...," Rani Adinda diam sebentar, seperti ada yang perlu dipertimbangkan.
Secara jujur hatinya mengakui bahwa ia tak bisa melihat Rani Adinda mati bunuh diri. Bisa-bisa Baraka akan merasa menyesal seumur hidup jika membiarkan Rani Adinda mati bunuh diri sebelum disentuh bibirnya. Jadi dengan cara bagaimanapun mau tak mau Baraka harus bisa mencegah anak sultan itu tidak terburu-buru mati."Barangkali kalau dia sudah merasakan sebentuk kehangatan bibirku dia akan enggan mati dengan cara apa pun" pikir Baraka.Rani Adinda mengaku pernah dengar nama seorang ahli nujum di kaki Gunung Malabar. Gadis itu mengajak Baraka pergi ke sana."Namanya Syuka Nehi. Kabarnya dia tidak pernah pergi ke mana-mana dan selalu tinggal di kaki Gunung Malabar. Jadi kalau kita kesana pasti akan ketemu dia.""Dia ahli nujum apa pedagang martabak?""Baraka! Aku serius nih!" Rani Adinda merajuk jengkel.Baraka tertawa kecil. "Gunung Malabar itu jauh, Sayang," ujarnya dengan lembut sambil merapikan rambut di punggung Rani Adinda."Gunung
Dan Baraka pun tahu seberapa tinggi ilmu Layang Petir yang dulu bekas muridnya Iblis Banci itu. Kini Baraka jadi gelisah dan terbayang wajah tua si Layang Petir yang pernah membuatnya dikuasai hasrat bercumbu gara-gara sinar putih dari mata Pak Tua tersebut.Lebih gawat lagi Rani Adinda berkata sumbar, "Kalau perlu, gurumu suruh kemari dan berhadapan denganku! Nih, murid Resi Pancal Sukma tak akan tumbang menghadapi Layang Petir dan muridnya yang kayak ondel-ondel itu!"Gemeretak gigi Sawung Seta mendengar hinaan seperti itu. Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat. Matanya mulai mengecil pertanda memendam murka. Ia bicara dengan suara menggeram, "Bicaramu kelewat batas, Rani Adinda!""Blarin! Biar elu nggak mau lagi deketin gue!""Kalau bukan karena hati sedang jatuh cinta padamu, kuhancurkan kepalamu pakai terompet saktiku ini, Adinda!"Dengan tengil Rani Adinda menyahut, "Hancurkan saja kalau bisa!""Tidak. Kalau kepalamu kuhancurkan, bagai
Sawung Seta cepat melompat dari posisi berlutut satu kaki. Dan ketika ia melompat, jari-jari kakinya keluarkan sepuluh sinar biru kecil yang menyergap tubuh Rani Adinda.Sraaaab...!Kesepuluh larik sinar biru itu segera dilawan oleh Rani Adinda dengan kesepuluh larik sinar merah yang keluar dari jari-jari tangannya.Sraaab...!Dan terjadilah dentuman menggelegar akibat benturan sinar-sinar tersebut.Blegaaarrrr...!Tanah di sekitar mereka terguncang hebat. Air laut membumbung tinggi dalam gulungan ombak besar. Sementara itu tubuh Rani Adinda sendiri terlempar sejauh lima langkah dan terpuruk di sana. Tubuh Sawung Seta juga terpental dan membentur gugusan karang di depan tepian pantai berair asin.Buuhg...!Tubuh itu jatuh terkulai setelah menggeliat kesakitan dengan wajah menyeringai. Baraka pun ikut jatuh terpelanting akibat ledakan tadi. Hampir saja ia kejatuhan pohon kelapa yang tumbang akibat getaran kuat daya ledak tersebu
TIGA PONDOK di dalam hutan, mirip villa tempat peristirahatan. Pondok itu berlantai dua, terbuat dari kayu jati. Kokoh sekali. Pondok itu berhalaman luas, dipagar dengan kayu-kayu dolken setinggi perut orang dewasa. Di halaman yang mengelilingi pondok itu terdapat pohon cemara tertanam rapi. Di luar pagar adalah tanaman hutan liar yang campur aduk, bukan dari satu jenis tanaman. Jalanan setapak terdapat di depan pondok itu, dinaungi pepohonan bambu hitam. Pondok itu bersuasana tenang, teduh, nyaman, dan entah kenapa bisa timbulkan hawa betah bagi tamu yang singgah. Disela ketenangan itu, terdengar bunyi gemuruh air terjun. Berarti pondok itu tak jauh dari sumber air terjun, yang tentu saja mempunyai sungai yang mengalir entah ke mana. Selain gemuruh air terjun samar-samar juga terdengar kicau burung di awal pagi dan di awal petang. Suara macan tak ada. Atau binatang buas lainnya tak kentara berseliweran di sana. Mungkin tempat itu sudah dipasangi ranjau anti binatang buas, walau pem
Janda Keramat tertawa kecil sambil membawa Baraka masuk, meninggalkan balkon lantai atas itu. Sang pemuda tampan menurut karena merasa perlu bicara serius dengan si Janda Keramat. Mereka duduk bersila menghadap meja. Mulanya Baraka mau ambil posisi duduk berhadapan. Tapi menurutnya, tak enak, karena terhalang meja. Walau ia bisa beradu muka terus, tapi jika terhalang meja kurang asyik. Jadi ia memilih duduk bersebelahan dengan si Janda Keramat yang berpakaian tipis dan tampak membayang 'perabot'nya itu."Mari minum untuk kesehatanmu!" kata Janda Keramat sambil mengangkat cangkir keramik. Baraka pun mengangkat cangkir itu dan kedua cangkir diadu pelan.Trik...! Maka keduanya segera menghirup teh hangat yang dibuat dari rumput laut dan tanaman lainnya."Segar sekali teh ini. Rupanya kau pandai menghidangkan minuman dan makanan yang lezat-lezat, ya?""Aku dulu bekas anak pemilik kedai," kata Janda Keramat. "Kemudian aku berguru kepada seorang tabib ahli ramu
Kejap berikutnya, malam menjadi lengang. Suara teriakan mereka hilang. Yang ada hanya hembusan napas-napas sisa pertarungan sengit yang menghadirkan sejuta keindahan. Keringat mengucur dan membasahi tubuh mereka. Keringat itulah tanda bahwa pertarungan mereka tidak sekadar main-main atau uji coba. Mereka sama kuat, walaupun Janda Keramat merasa kalah di tangan Baraka. Ia terpaksa mengakui keunggulan sang Pendekar Kera Sakti. Namun kekalahannya itu justru membuat sang janda enggan lepaskan diri dari Baraka."Aku harus bersamamu selamanya.""Apa...!" Baraka kaget."Aku harus bersamamu ke mana pun kau pergi.""Tak ada alasan untuk itu!""Ada!""Apa alasannya?""Karena kau yang terunggul dari yang paling hebat!""Ah, lupakan soal itu tadi!""Nggak bisa! Ini benar-benar istimewa dan aku harus mendapatkannya! Harus!""Apa akibatnya kalau aku menolak?""Kita tarung sampai mati!""Gila!" Baraka terbengong me
Trangg, Trangg..! Wuutt! Wuutt! Trangg...! Breett...!Selama perpaduan pedang di udara, percikan bunga api terlihat jelas bagi siapapun yang menyaksikan pertarungan itu. Tapi kecepatan gerak pedang keduanya tak bisa dilihat jelas oleh setiap orang. Hanya mereka yang terbiasa melihat kecepatan gerak pedang seperti itu saja yang bisa menyaksikannya, seperti Kusuma Sumi dan Pita Biru.Dalam sekejap mereka sudah berpindah tempat saat kaki mendarat. Tapi keduanya masih tegak berdiri dengan kaki merenggang kokoh. Rlndu Malam menggenggam pedangnya dengan satu tangan, tubuhnya tetap tanpa luka dan cidera apapun. Tapi Dewa Rayu yang juga tanpa luka sedikit pun itu sempat merasa malu karena sabuk kain pengikat celana dan tali celananya putus oleh sabetan pedang Rindu Malam. Celana itu sempat melorot sedikit ketika ia menapakkan kaki ditanah, lalu buru-buru dicekal dengan tangan kirinya."Ih...!" Dewa Rayu celingukan, malu sekali. Suara yang mengikik datang dari arah Pita
“Siapa kau sebenarnya?" tanya Rindu Malam dengan menahan hati berdebar-debar."Aku yang berjuluk Dewa Rayu!""Dewa Rayu?!" gumam lirih Kusuma Sumi yang tak berbarengan dengan gumam Pita Biru. Akibatnya Rindu Malam melirik ke arah mereka. Keduanya sama-sama malu ditahan karena gumaman tadi bernada kagum.“Namaku sebenarnya adalah Aryawinuda, Putra Raja Pengging yang dibuang oleh Ibu tiriku sejak usia delapan tahun."“Kasihan!" desah Pita Biru. Karena jaraknya amat dekat dengan Kusuma Sumi, maka tulang kakinya terkena tendangan kecil Kusuma Sumi yang menyuruhnya diam dengan isyarat kaki. Pita Biru menggerutu sambil mendesis sakit.Dewa Rayu kembali berkata dengan Suaranya yang berkharisma, “Aku dirawat oleh Paman Patih Janursulung, dan kemudian minggat dari Istana bersamaku dan akhirnya menjadi seorang resi di Bukit Karangapus"Tiga wajah cantik bungkam, bagaikan terkesima oleh cerita si tampan bermata bening itu. Rindu
"Sayang sekali sewaktu Baraka ada di tempat kita, aku dan Pita Biru sedang menjalankan tugas ke Pulau Gayung, sehingga aku dan Pita Biru tidak melihat seperti apa ketampannya.” Desah resah Kesuma Sumi"Sudah, sudah..., jangan bicara soal ketampanannya. Nanti kalian terkulai lemas membayangkannya!" sergah Rindu Malam. "Sebaiknya kita pergi temui Sumbaruni di pantai semberani!""Apakah Sumbaruni alias Pelangi Sutera itu mengenal Pendekar Kera Sakti?!"Rindu Malam menjawab dengan mulut runcing, "Bukan hanya kenal, tapi juga jatuh cinta kepada Pendekar Kera Sakti!"Kesuma Sumi menyahut. "Kalau begitu, ku rasa Pendekar tampan itu sedang terlena dalam pelukan Sumbaruni!?"Rindu Malam tarik napas dalam-dalam, karena masih ada sisa kecemburuan yang bikin dia deg-deg-an. Betapa pun juga ia harus bisa sisa kecemburuan itu karena takut melanggar peringatan dari ratunya."Jangan bayangkan dia ada dalam pelukan Sumbaruni. Bayangkan saja dia ada dal
Dari semadi yang dilakukannya, Ratu Asmaradani mendapatkan petunjuk kalau kalau Baraka adalah sang pewaris para dewa. Maka, Ratu Asmaradani pun mengirim ilmu 'merambah bhatin' untuk hadir ke alam mimpi Baraka. Tetapi sudah beberapa kali hal itu dilakukan, ternyata Baraka belum datang juga. Terpaksa tiga utusan diperintahkan mencari Pendekar tampan yang namanya sering menjadi bahan pembicaraan para tokoh rimba persilatan itu. Sebab Ratu Asmaradani curiga, pasti ada kesulitan yang di alami Baraka sehingga pemuda itu tidak bisa datang ke negeri Samudera Kencana. Karenanya, sang Ratu berpesan kepada Rindu Malam, jika ada sesuatu yang menyulitkan sang Pendekar Kera Sakti, Rindu Malam bergegas membantu melepaskan si Pendekar tampan itu dari kesulitan tersebut. Kesulitan apa yang dihadapi Baraka sebenarnya?Titik pangkal kesulitan itu terletak pada hilangnya Pedang Kayu Petir yang sebenarnya sudah ada di tangan Angon Luwak, bocah penggembala kambing itu namun pedang tersebut jatuh k
Kapak bergagang panjang dicabut dari selipan sabuk, lalu tubuh Roh Gepuk berkelebat menerjang Pita Biru. Tapi mendadak tubuh itu terpental ke samping. Baru saja melompat belum jauh dari tempat, sebuah pukulan jarak jauh tanpa sinar dilepaskan dari tangan Kusuma Sumi. Roh Gepuk terpekik pendek. Lalu jatuh tak tentu keseimbangan.Pita Biru memandang Kusuma Sumi dengan sikap masih berdiri tegak dan kedua kaki sedikit merenggang. Saat itu Kusuma Sumi segera melangkah maju dan berkata dengan tegas. “yang ini biar kutangani, mundurlah!”Pita Biru segera melompat ke samping. Kejap berikut sudah berdiri tak jauh dari Rindu Malam, yang bersidekap dengan tenang di bawah pohon. Dan ketika Roh Gepuk bangkit kembali, ia terkesiap melihat lawannya sudah berganti pakaian. Tapi segera sadar, bahwa lawannya bukan berganti pakaian, tetapi berganti orang.“Kau yang akan menggantikan nyawa temanmu itu untuk menebus nyawa temanku, ha?!”Kusuma Sumi dia
“Ya, kami tahu. Tapi Nila Cendani sudah mati, kabarnya dibunuh Pendekar Kera Sakti. Entah benar atau tidak, kami tidak ikut terbunuh waktu itu. Tapi kami tahu, Ratu Samudera Kencana pernah terlibat bentrokan dengan Nila Cendani dan mengejarnya sampai ke Teluk Sumbing. Tentunya ratumu tahu dimana Teluk itu berada. Tentu ratumu pun tahu bahwa disana terpendam harta karun rampasan Nila Cendani semasa menjadi ketua Rompak Samudera. Dan tentunya sebagai anak buah Ratu Asmaradani, kalian juga diberitahu letak Teluk itu, untuk sewaktu-waktu menggali harta karun disana”.“Ratu kami tidak pernah memikirkan harta yang bukan miliknya. Kami sudah cukup kaya tanpa merampas harta yang bukan milik kami!” Kata Rindu Malam.Roh Gepuk segera menyahut, “Begini saja nona-nona cantik. Aku akan membuka sayembara. Barang siapa di antara kalian ada yang bisa menyebutkan dimana letak Teluk Sumbing. Akan mendapat hadiah dikawinkan dengan temanku ini, si Cucur Sangi
MEREKA baru saja mendarat di pantai dengan gunakan sebuah sampan. Tiga wanita berambut cepak, seperti potongan rambut lelaki itu mempunyai paras ayu yang berbeda nilai kecantikannya. Namun ketiganya sama-sama menggiurkan seorang lelaki yang memandang dari sisi kemesuman. Karena ketiganya mempunyai bentuk tubuh nan elok, bak lambaian perawan menunggu pelukan.“Ingat ciri-cirinya!” kata wanita muda yang berpakaian putih bertepian benang emas. “Tampan, rambut poni, pakaian rompi kulit ular emas tanpa lengan, memiliki rajah naga emas melingkar di punggung lengannya”.Si cantik berpakaian putih yang mempunyai pedang di punggung bergagang balutan kain beludru merah itu menyebutkan ciri-ciri seorang pendekar tampan yang tak lain adalah Pendekar Kera Sakti, Baraka.Si cantik berdada seksi dan berkulit kuning langsung memberi isyarat dengan tangan agar kedua gadis seusianya itu bergerak mengikuti langkahnya jauh ke dalam hutan. Sesekali ia berpali
"Bocah bodoh kau! Gurumu saja tak mampu kalahkan aku, apalagi kau yang hanya muridnya!" geram Tengkorak Liar."Mendiang Guru tidak mempunyai ilmu 'Pedang Bintang', tapi aku punya jurus itu dari seorang guru pedang tersohor: Ki Argapura alias si Penggal Jagat! Tentunya kau kenal, Tengkorak Liar!""Persetan dengan Argapura!" geram Tengkorak Liar."Buktikan kehebatannya di depanku! Hiaaah...!"Tengkorak Liar sentakkan kedua tangannya ke depan. Dua larik sinar merah yang melingkar-lingkar pada ujungnya bagaikan mata bor itu melesat ke arah Angin Betina. Kecepatannya amat tinggi, membahayakan sekali bagi Angin Betina. Dihindari akan terlambat, ditangkis akan telat. Untung Baraka selalu siap siaga. Begitu sinar merah itu terlepas, sinar biru berkelok-kelok bagai lidah petirpun keluar dari sentakan kedua tangan Baraka.Claaap...!Jurus 'Cahaya Kilat Biru' warisan Ki Ageng Buana yang biasanya membuat lawan hangus dan keropos itu menghantam sinar mer
Blaaar...!Gelombang ledakan menghentak sangat kuat membuat tubuh Pendekar Kera Sakti sebelum sempat mendarat sudah terlempar lagi bagaikan terbuang ke arah belakang.Wuuus...! Brrukk...!Benturan tersebut bukan saja hasilkan gelombang ledakan tinggi, namun juga kerliapan cahaya merah yang lebar dan menyilaukan. Tongkat itu sendiri pecah dan terpotong-potong tidak beraturan. Pandangan mata Baraka menjadi gelap bagaikan menemui kebutaan.Ketika ia jatuh terpuruk dan mencoba untuk bangkit, ia tak melihat apa-apa kecuali kegelapan yang pekat. Tetapi suling mustika masih ada di tangannya, sehingga Baraka buru-buru menyalurkan hawa murni ‘Kristal Bening’-nya!Maka dalam beberapa kejap saja pandangan matanya sudah kembali seperti semula. Kesesakan dadanya mulai lancar, dan rasa sakit pada sekujur tubuh serta tulang-tulangnya yang merasa patah telah pulih segar seperti semuia."Edan! Kekuatannya begitu tinggi. Hampir saja aku celaka!" p