"Gila!"
Menyentak dengan tenaga penuh akhirnya Abby terlepas dari dekapan yang membuat sesak itu.Sorotnya yang tajam dan tersirat kebenciaan begitu menghunas pada sepasang mata biru langit di hadapannya.
Tidak habis pikir dengan kerja otak lelaki itu, sangat tidak memiliki perasaan, bisa-bisanya merencanakan untuk memisahkan ibu dan anak yang sendari bayi merah bersama.
Setelah perjuangannya mengandung melahirkan dan membesarkan tentu saja Abby tidak akan sudi akan tawaran gila lelaki sialan ini.
"Aku tau kau memang kejam tapi aku tidak berpikir kau berencana memisahkan ku dengan putriku sendiri hanya karena menolak tawaranmu!"
Dan Gabriel hanya mengendikan bahunya seakan tak peduli.
"Kau yang memperumitnya, aku jelas menawarkan hal simpel," ucapnya dengan tangan yang kini terulur menuju pipi halus sang little girlnya, mengelusnya seringai bulu.
"... Kembali padaku, kau akan tetap bersama anak kita dan melepaskan pekerjaan ini, tapi jika kau tak mau maka sebaliknya."
Abby Mengepalkan tangannya menahan emosi, energinya bener-bener akan terkuras habis jika terus berdebat tanpa arah tujuan karena tidak ada yang mau mengalah.
Gabriel sangat suka berbuat sesukanya, seperti dulu. Seakan di dunianya tak ada yang bisa menolak apa lagi menentang, keinginannya harus terpenuhi.
"Oh c'mon baby kenapa kau berpikir rumit sekali!"
Rasanya Abby ingin membenturkan kepala lelaki itu ke dinding keras di belakangnya agar sedikit saja di beri jalan benar oleh tuhan.
Dan bisa-bisanya dia bertanya begitu? Seakan di antara mereka tidak pernah terjadi perang besar.
Bertemu kembali setelah bertahun-tahun, lelaki itu masih sama hanya lebih mature saja di bagian wajah dan tubuh, sedangkan akhlaknya benar-bener nol tak terselamatkan.
Pikir Abby semakin dewasa lelaki itu akan berubah tapi ternyata pemikirannya salah malah semakin bertambah parah.
"Kau berkata dengan begitu enteng sekali seakan tak pernah ada sesuatu yang terjadi di antara kita."
Gabriel terdiam mendengar nada dingin itu, seakan termenung.
"Oke fine, aku—kita memang bersalah, satu sama lain," Abby mendengus mendengar pembelaan diri itu. Tetap saja si berengsek ini.
Ouhh ingatkan Abby telah berapa banyak mengumpat hari ini?!
"... oke oke salahku sepenuhnya, tapi saat mengetahui kau mengandung, ada rasa tak nyaman di hatiku. Aku ingin memperbaiki semuanya, dan kau harus ingat kau masih istriku."
Maaf saja Abby berprasangka buruk, tapi yakin lah Abby tahu lelaki itu bagaimana.
"Berhenti berakting, kau buruk sekali saat memainkan peran."
Dan gota!
Bener sekali, tawa itu menyahut setelah sekian detik terasa sunyi.
"Kalau begitu apa yang kau tunggu, kau bisa melepaskan kehidupan miskin di sini, dan di rumah lama kau akan mendapatkan semuanya."
Abby tertawa sinis mendengarnya. Lelaki itu pikir dirinya sejenis jalang begitu, bertukar uang membuatnya senang, apa lagi menyerahkan Lucyana sebagai umpannya. Gila saja!
"Otakmu sepertinya macet, dan aku tidak butuh uang. Aku bisa melakukan apa pun sekarang, tidak seperti dulu—yang apa-apa selalu mengikuti perintah bodohmu!"
Gabriel terpaku dengan rahang yang mulai mengeras, ada perkataan yang menyinggingnya. Sedang Abby tidak gentar menatap begis meski tak bisa di pungkiri rasa takut merajarela dalam dirinya.
Tentu saja Gabriel bukan lawan sepadannya, lelaki itu—ahh astaga, dia hanya punya keberanian untuk saat ini.
Ah atau dirinya pindah saja untuk mengindar tapi tetap saja semua itu tidak lah mudah. Butuh rencana matang-matang, terlebih budget yang tidak memadai, dan Abby pun tak punya list harus menyambangi kota mana.
Dan pikirnya setelah bertahun-tahun Gabriel akan membiarkannya, tapi ternyata kemunculannya kini yang entah di sengaja atau tidak membuat kekacauan dalam kehidupan barunya.
"Dengar..."
Drett
Kring
Baru akan merangkai perkataan yang telah siap dari kepala, ucapan Gabriel terhenti kala atensi tertuju pada getar dan dering yang berasal dari saku jasnya.
Mengambil ponselnya, dan hanya tatap datar yang pria itu perlihatkan kala melihat nama si penelepon.
Dan Gabriel mengabaikannya. Lanjut menyelesaikan ucapannya.
"Aku—"Dret
"Shit!" Umpatnya kesal, kala si penelepon tampaknya tidak menyerah, mendengus Gabriel akhirnya menggeser ikon hijau di ponselnya itu.
"Sudah ku bilang aku tidak mau di ganggu!" Semprot pada Brian—si penelepon.
"Maaf tuan, ada info yang harus tuan dengar segera."
"Apa?" Sahut dingin Gabriel.
"..."
"Apa?"
Dengan raut kakunya Abby memperhatikan raut wajah terkejut yang di tampakan sekilas oleh Gabriel, sebelum kemudian raut itu begitu dingin namun tampak kosong.
"Pak tua itu mati. Kapan?"
Mati? Siapa yang mati? Batin Abby bertanya-tanya, namun seakan tersadar wanita itu mencoba tak peduli. Bukan urusannya!
Yang harus di lakukan saat ini adalah...
"ABBYANA!!"
Gabriel yang kecolongan berteriak keras kala Abby dengan gesit melangkah kabur darinya.
"Tuan Anda harus segera berkemas. Dan nyonya ingin Anda hadir di pemakan."
Sialan
Sialan!Apa harus dalam waktu ini?!Tapi Gabriel tidak mengabaikan berita ini, apa lagi setelah sekian lama dia menunggu.
Dan pada akhirnya lelaki membiarkan Abby pergi. Toh wanita itu tidak akan bisa lepas dari jangkauannya.
***
Sedangkan di Italia, di sebuah bangunan mewah bernuansa klasik modern.
Suasana berkabung melingkupi sebuah kamar besar yang di ranjang tidurnya terdapat sesosok kakek berselimut sampai dada dengan mata tertutup.Telah meninggal.
Isak tangis yang mengiri tak dapat terelak dari seorang wanita muda dengan rambut blonde cokelatnya.
"Grandpa, wake up please...." raungnya dalam kepiluan, sambil menggoyang kan bahu tambun sang kakek, pipi keripitnya pun tak luput dari tepukan tangannya.
"Grandpa sudah berjanji akan selalu menemaniku,"
"Dizzy, c'mon baby kau tidak boleh seperti ini,"
"No no, Mommy grandpa..."
wanita dewasa berdress formal selutut itu mengeleng mencoba menenangkan.
"Ayo, kita pergi dulu," ajaknya menarik sang putri yang terus merengek di sisi mertuanya yang telah tiada."Tidak mau,"
Tapi pada akhirnya penolakan itu membuahkan hasil, wanita bernama Dizzy itu berhasil di geret keluar.
Dan ternyata saat tiba di luar kamar yang hanya terdapat dua penjaga di pintu, raut dua orang itu berubah datar.
"Gota."
Dengan smirk tipisnya yang penuh makna, wanita itu menyusut air mata di bawah pelupuk matanya."Aktingmu memang patut di acungi jompol nak."
Dizzy menyeringai, "Siapa dulu, princess Dizzy."
"Tapi apa yang akan terjadi pada Gabriel. Kakak mu itu pasti tak akan tinggal diam."
"Tenang mom, akan akan mengurusnya." Ucapnya misterius.
"Dizzy, Elina..."
Dan seketika dua raut wajah itu kembali berubah suram dan menyedihkan kala seseorang sadar arah tangga menghampiri setengah berlari.
"Om, " Dizzy memeluk om dari ayahnya itu.
"Aku baru mendapat kabar satu jam yang lalu, dan perjalanan kesini lumayan jauh sekali." Ucap sang om.
"Tidak apa, Daddy masih di kamar." Beritahu Elina.
Dan segera lelaki berusia setengah abad itu menuju kamar yang sudah beberapa langkah di hadapannya, meninggalkan
Dua orang perempuan yang kembali menampakan smirk liciknya.Kurang satu minggu menginjakan kaki di tanah Amerika, Gabriel yang di haruskan kembali karena kabar yang mengejutkan dan begitu mendadak. Padahal urusannya di sini dalam meninjau projek baru belum selesai, terlebih-Jika di pikir-pikir urusannya pun di kota ini akan semakin bertambah dan otamatis akan menetap lama karena kemunculan tak terduga sesorang yang telah berani enyah dari hidupnya dulu.Terlebih setelah mengetahui ada bagian dirinya yang terbentuk di tubuh sesosok gadis cilik bernama Lucyana-gadis dengan raut dingin yang dia temui sehari setelah malam panas itu. Di sambut lirikan penasaran dari para ibu-ibu yang tengah berlalu lalang kala pertama menginjakan kakinya di pekarangan luar sekolah dasar, Gabriel melepaskan kacamata hitam yang mambingkai matanya. "Wanita itu apa tidak salah menyekolahkan di sekolah kecil seperti ini," komentarnya yang di balas delikan Brian. Cengkem bosnya ini memang benar-benar butuh di sumpal. "Yang penting niatnya tuan," komentar Brial yang
Tepat pukul sembilan lebih tiga puluh menit di kediaman kecil Abbyana. Prank "Mom, are you oke?" Lucyana yang baru turun dengan muka bantalnya terkejut kala Ibunya menjatuhkan sebuah gelas hingga pecah berkeping menabrak lantai. Sedangkan Abby sendiri mengerutkan keningnya, ada yang terasa aneh dan tidak mengenakan menyerang dadanya, tapi sebab apa? "Mommy?!" Lucyana kembali berseru sedikit menaikan nadanya, karena Ibunya itu malah tampak melamun. "Hah, ya?" terkejut Abby kala melihat Lucy. "Kenapa gelasnya jatuh, Mommy tidak apa-apa?" "Oke, Mommy oke kok, tadi tidak sengaja kesenggol." Abby menyahut setelah tersadar dari lamunannya yang aneh. Lucyana hanya berdecak. "Duduk sana, Mommy siapkan sarapannya." Well, sarapan yang bisa di sebut kesiangan. Menurut, bocah itu segera menuju meja makan sedang yang kursinya hanya ada dua. "Telur lagi," cebik sang bocah kala menu sarapan hari ini lagi-lagi telur dadar sebagai lauknya. Sudah merasa bosan tiga hari ini hanya telur teru
Bruk Bunyi hempasan pelan bersama ringisan Gabriel keluar kan kala tubuhnya sudah terbaring di berangkar yang tersedia di ruang medis di bandara tersebut. Di bagian perut kanannya yang tertutupi kemeja putih polos yang saat ini tampak mengerikan dengan noda merah yang terus keluar tak karuan di bawah telapak tangan besarnya yang tengah menahan lanjuan cairan bernama darah segar tersebut. "Tuan," Brian dengan raut wajah paniknya, baru memasuki ruangan. Brian menatap ngeri sang tuan yang tampak berantakan dengan pakaian yang 80% di penuhi noda darah. Sebelum di evakusi memang Gabriel sempat terkena tembakan karena ingin menghampiri Ayahnya yang sudah tergeletak mengenaskan, tapi sayangnya peluru dari musuhnya berhasil mampir di bagian perut kanannya yang saat itu langsung membuat Gabriel tumbang, dan belum selesai dengan itu dua hujaman peluru kembali dia terima di bagian bahunya yang untungnya saja meleset dan hanya meninggalkan goresan. Selang detik kemudian, sang penyerang pun m
Sudah berpindah ke rumah sakit terdekat dari bandara. Gabriel yang tengah bersandar di berangkarnya, tampak serius melihat berlembar-lembar foto jepretan di tangan kanannya, padahal ada luka yang sekarang telah di perban di area bahunya, tapi seakan tidak merasakan rasa sakit pria itu bergerak luas membolak balik foto tersebut.Lembaran foto yang di tangkap cctv, pelaku-pelaku yang beberapa waktu lalu menyerangnya. Wajah orang-orang berpakaian serba hitam itu tertutup topi dan masker, yang mungkin beberapa dari mereka telah menjadi mayat karena baku tembak tadi, apa lagi Gabriel yang saat itu tidak pandang bulu menembak mati kepala sang lawan."Oh, oke. Terus cari infomasinya lebih detail."Gabriel melirik sang ajudannya—Brian, yang tengah bertelepon. Sampai lelaki itu selesai, lalu melaporkan informasi yang baru di dengarnya."Dari beberapa yang kita dapatkan, dari yang telah tewas atau masih hidup adalah— sebagian besar pembunuh bayaran," ucap Brian sambil menyerahkan ipadnya setela
Gabriel melirik Brian dengan bengis setelah mendengar alasan dari keberhasilannya membawa istrinya itu.Sedangkan yang di tatap hanya bisa meringis. "Kata tuan apa pun alasannya yang penting bisa membawa madam kesini.""Tapi tidak dengan mengatakan—damn! sudah lah, pergi sana!" Gabriel yang akhirnya mendengus dan tak memperpanjang lagi protesannya mengusir Brian yang langsung mendengus samar."Kebiasaan seenaknya terima kasih saja tidak, cih.""Apa katamu?"Deg Ah mati dia! Sepertinya ucapannya tadi bukan dari batin."Brian?!""Ahh tidak tidak. Saya undur diri saja. Selamat menimati reuni nya, dan jangan berantem. Malu sama anak kecil." Tunjuknya pada Lucy yang tengah menyandarkan tubuh mungilnya pada sisi perut kiri Daddynya yang tidak terluka. Dan sebelum kembali di semprot lelaki iti lebih dulu kabur meninggalkan umpatan nyaring Gabriel."Heh mulut!" Yang langsung di protes Abby.Wanita itu hanya bisa mengelus dada karena contoh buruk putrinya sepertinya bertambah. Dan pula tanpa
"Damn!" Menatap stik mini di antara jarinya, Abbyana yang kala itu masih berusia sembilan belas tahun terbelalak. Rasa panik, takut dan marah menyerbunya kala mendapati dua garis merah terpang-pang nyata. "Bagaimana bisa?" Lirih dengan kepala penuh. Ternyata tanda-tanda mual, pusing, mood sawing yang menyebalkan beberapa hari lalu itu ini penyebabnya? Dan bagaimana bisa? TENTU SAJA KARENA DIA BERSETUBUH DENGAN MAKHLUK HIDUP! Dan kecebong si MAKHLUK HIDUP ITU mendapatkan sel telurnya. SIALAN ABBYANA!Dia masih sembilan belas tahun, amat sangat belum siap terlebih keadaan saat ini sangat kacau. Dan bajingan itu... Ini semua kesalahan BAJINGAN itu! "GABRIEL METTEOW SIALAN!" Jeritnya memenuhi kamar mandi. Melempar stik di tangannya ke sembarang arah, mengacau rambutnya dengan perasaan campur aduk, dengan berutal juga melempar benda apa saja yang bisa di jangkau tangan kecil kurusnya sampai berhamburan. Rasanya dia ingin merubuhkan kamar mandi ini!BRAK BRAKKKKPRANKK"Abby?"Tok
Membuka matanya kemudian bangkit dalam sekejap mata, Abby meringis kala kepalanya berputar kencang setelahnya. Tapi tidak dia hiraukan karena ada yang lebih penting.Yea, Lucyana. Dimana putrinya? "Lucy?"Tidak ada sahutan.Bergerak bangkit dengan tergesa wanita itu keluar dari kamarnya dan hanya di sapa oleh keheningan."Lucyana?"Masih tidak ada sahutan.Ini benar? Bukan mimpi?Astaga, Abby harus bagaimana?Tadi malam setelah keributan yang terjadi di rumah sakit, permohonannya pada Gabriel, pemberontakannya pada bodyguart lelaki itu, lalu setelahnya tengkuknya terasa di pukul dan setelahnya dia tak ingat apa pun lagi.Dan lelaki itu tadi malam menyuruh bodyguartnya memulangkannya setelah membuatnya pingsan.Astaga. Dasar gila!Menatap sekeliling Abby berlari ke kamar putrinya, mencoba berharap kendati hanya kekosongan yang menyapa.Terduduk lemas di ranjang mini putrinya, Abby memeras kepalanya supaya berpikir—langkah apa yang harus di ambilnya.Tentu saja dia akan mengambil putri
Wynnn vegas, Amerika. 08.45 PM.Langkah kaki yang terbalut flat shoes itu tampak meliuk-liuk dan tergesa di antara puluhan kaki-kaki yang tengah sibuk kesana-kemari. Kedua tangannya pun tampak sibuk dengan nampan yang berisi beberapa gelas minuman. ABBYANA—Perempuan berusia 29 tahun itu—dengan wajah cantiknya yang terlapis makeup tipis, tersenyum kala satu pria paruh baya menyambut sodoran minuman yang di bawanya."Selamat menikmati, tuan." Ramah tamahnya yang memang merupakan tugas dari pekerjaannya."Yea, dan akan sangat menyenangkan jika kau ikut bergabung denganku, cantik." Bersama kalimat itu selesai terucap, Abby tersentak kala merasakan rangkulan mesra di pinggangnya.Dan wajah ini—Shit!Abby tidak menyukainya."Go ahead, mr!" Pria hidung belang bermarga Alexander yang sebisa mungkin selalu di hindarinya, meski hasilnya sia-sia saja karena bagaimana pun tempat kerjanya berhubungan dengan pria itu. Setelah berhasil menghilangkan keterkejutannya, Abby mencoba melebarkan seny