Kring
Kring"Ohhh shit!"
Umpatan itu lancar sekali terlontar dari bibir mungil seorang gadis kecil. Putri dari Abbyana yang dalam satu bulan kedepan akan menginjak usia 7 tahun— Mendapati jam yang telah menunjukan angka tujuh lebih dua puluh lima pagi.Telat.
Tentu saja!Setelah mematikan alarmnya yang memang telah diatur sejak setahun lalu oleh sang Ibu. kendati usianya yang masih sangat belia Lucy sudah di ajarkan mandiri untuk mengarungi dunia yang keras ini.
Pekerjaan dengan jam kelalawar yang di miliki sang Ibu sejak dua tahun yang lalu, membuat Lucy ikhlas tidak ikhlas mengiyakan titah sang ibu. Meski terkadang Lucy akan di ungsikan pada teman Abby yang bersebelahan dengan kontrakannya.
Pagi hari pukul setengah delapan Lucy berangkat sekolah dan pulang tepat pukul satu siang, dan tentunya di jemput oleh ibunya.
Dan
dari pukul—ahh mentok jam 6 pagi Ibunya akan luang sekali dan lebih menghabiskan waktunya di rumah sedangkan pada malam hari, wanita yang telah melahirkannya itu akan sangat sibuk sekali, bahkan terkadang akan melewatkan jam waktu pulang, membuat Lucy terkadang hanya mendapati kekosongan di dapur,karena jika biasanya ada ibunya yang tengah menyiapkan sarapan."Morning,"
Kaki kecil yang terbalut sepatu docmart itu terhenti di pertengahan tangga, kala netranya mendapati sesosok perempuan tinggi semampai dengan rambut merahnya yang mencolok—yaps, tentu saja itu Ibunya, yang telah pulang, entah dari jam berapa.
"Mommy is home?" Dengan sebelah alis naik, Lucy bertanya dengan wajah polosnya. Karena dia ingat sekali, sudah 3 hari ibunya itu pulang terlampat.
"Tidak senang, hm?"
Lucy hanya mengendikan bahunya sambil melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Lucy hanya sudah terbiasa saja sendiri.
"Tidak juga." balas bibir kecil itu setelah berhadapan dengan Abby yang langsung menunduk untuk mengecup pipinya.
Well rutinitas Abby di pagi dan pulang bekerja meski lebih sering Ia mendapati bocah nakalnya itu sudah tertidur.
"Lucy tidak mencium balik Mommy?" Tanya Abby menatap cemberut putrinya itu.
"Mommy," protes malas bocah itu.
"Hem?"
Mendengus, akhirnya Lucy mengecup kening ibunya itu.
"Duduk."
Tapi Lucy menolak dengan gelengan kepala dan malah mengambil roti berselai stroberi yang baru selesai di buat Abby dan langsung bocah itu gigit.
"Mommy c'mon, sudah terlambat!" Tangan mungil itu meraih tangan besar Abby yang tengah sibuk dengan sarapan paginya.
"Tunggu Lucy, Mommy belum selesai,"
"Ishh ayo sudah terlambat!"
"Oke fine, kita berangkat!"
Abby akhirnya pasrah juga.
Ada dua puluh menit tersisa kala sekilas Abby melirik jam dinding. Kesekolah putrinya memang memerlukan kurang lebih 20 menit. Dan Abby pun sadar Lucy terlambat bangun, begitu pun dengan dirinya sendiri.
Abby terlambat sadar dari hal mengerikan yang ternyata terulang kembali malam tadi.
Dan pagi tadi bukan lah ilusi.
Lupakan saja ABBYANA!! Decaknya dalam batin.
"Mom!"
Dan ya, ini lah kehidupannya saat ini dan mungkin seterusnya, yang sibuk mengurus kekacauan di pagi hari, sedangkan di malam hari—dia abdikan untuk sepucuk uang yang mampu menopang kehidupan keluarga kecilnya.
***
Menjadi seorang ibu di usia muda Abby tentu memikul beban berat di pundaknya, terlebih setelah dirinya di buang bak seonggak sampah yang tidak bisa di daur ulang lagi.
Kehidupan yang seperti di neraka tujuh tahun yang lalu, akhirnya bisa Abby terlepas meski Lucyana sebagai gantinya. Tapi Abby tidak menyesal karena gadis yang dulunya selalu dia timang-timang dengan sayang itu merupakan permata berharga yang akan selalu melekat padanya.
"Saya terima ya bu,"
Abby mengangguk dengan senyum formalnya pada sesosok wanita bertubuh semok di hadapannya—Sally, merupakan guru dari putrinya.
Dan ya, dirinya tengah berada di ruang tamu sekolahan putrinya, membayar uang pangkal setiap bulannya.
Baru beberapa bulan putrinya itu memasuki kelas 1 sekolah dasar tapi pengeluarannya sudah membuat Abby pusing.
Ternyata ini lah babak baru kehidupan berkeluarga, Abby jadi tak heran dengan beberapa tetangganya yang mengelukan soal perekonomian terlebih dalam lingkup sekolahan anak-anaknya.
"Ah iya bu, soal Lucy..."
"Lucy bikin masalah baru?"
Abby meringis kala tersadar menyela ucapan Sally. Terlalu reflek karena—oh ayolah Lucyana—seperti kebanyakan anak-anak nakal pada umumnya.Dan perangainya kadang-kadang membuat tensi darah orang-orang naik.
Abby ingat sekali dua minggu lalu, bocah itu membuat masalah dengan perundungan terhadap teman sekelasnya.
***
Dan di sini lah sang bocah yang tengah di perbincangkan itu, kelas 1-D.
Bukan lah kelasnya.
Putri dari Abbyana itu mendatangi kelas tersebut dengan tujuan negatis. Menajamkan pandangannya Lucy mendapatkan apa yang tengah di carinya.Lelaki sebaya di barisan ke dua terdepan yang tingginya tidak jauh berbeda dengan Lucy dan tengah membereskan buku bergambarnya.
Tersenyum Lucyana mendekat dengan di kawal sisi kanan kiri temannya.
"Hai Kevin," sapanya dengan tatap yang membuat anak lelaki itu menciut.
Entah semenyeramkan apa Lucyana, padahal usia masih sangat lah gemes-gemesnya.
"Kalvin, Lucy."
"Ohh, Maaf." Lucyana tampak tak peduli dengan ucapannya yang salah itu.
Well bocah itu ada faktor cadel keturunan yang sering kali membuat kesalahan kala berbicara.
"Karena aku tidak membawa bekal sekolah, boleh aku minta bekalmu," Kata Lucy yang lebih seperti pembajakan karena tanpa persetujuan mengambil bekal yang masih berada di tas sang pemilik.
Sang bocah ingin protes kala Lucy mengahut garang. "Ingat utangmu Kevin, maaf saja tidak cukup untuk mengampunimu."
Kalvin adalah anak baru di high school berusia delapan tahun, orang tuanya baru saja pindah ke kota ini seminggu yang lalu.
Karena sifatnya yang pendiam dan sedikit melambai menurut Lucy—padahal hanya di lihat dari warna-warna tas, buku-buku yang memiliki warna terang seperti pink, yang lucy simpulkan seperti perempuan.
Membuat Lucy tidak suka dan merundung Kelvin.
Alasan yang tak mendasar dari bocah nakal itu dan jika di biarkan akan semakin bertingkah.
***
"By!"
Baru turun dari kendaraan yang mengantarkannya, Abby mengerutkan keningnya kala mendengar namanya di sahutkan.
"Abby!"
Dan ternyata Noah.
Seorang pekerja market yang akan dia masuki, tentu untuk berbelanja bulanannya.
"Hai Noah." Sapa Abby yang di balas senyuman lebar Noah yang tampaknya tengah sibuk menurunkan berdus-dus stok berbagai merk yang akan di jualkan—maybe, dari mobil box.
"Belanja?" Tanya pria yang sudah berdiri di hadapannya.
"Menurutmu?" balasnya. Tujuan ke market apa lagi kalau berbelanja.
"Ya siapa tau mau ngadem." Balas Noah dengan kekeh garingnya. Tatapan pria itu tampak lekat menatap wajah Abby yang sedikit memerah, mungkin karena panas.
Yea, cuaca tengah terik-teriknya di jam sepuluh ini.
"Raut wajah lelahmu tidak bisa di tutupi." Ucapnya lagi bersamaan pandangannya yang berpaling.
"Apa tampak jelas?"
Kembali menatap Abby, Noah mengangguk. "Hm, tampak suram sekali seakan auramu habis tersedot penyedot wc."
Yang seketika saja Abby hadiahkan gebukan di pundak lelaki itu yang terkekeh nyaring dan begitu menyebalkan.
"Menyebalkan." Jengkelnya sebelum kemudian mulai melangkah memasuki market.
Bunyi ketukan dari sepatu pentofel coklat mengkilap itu terdengar tegas kala menginjak lantai marmer. Sesosok tinggi berwajah eropa dengan rahang tegas dan gaya rambut undercut itu tampak sibuk dengan berkas yang di bolak-balik oleh tangannya."Laporan yang kuminta tadi pagi?" Tanya pria itu setelah menyerahkan berkas di tangannya pada tangan kanannya yang bernama Brian D'obrien."Ini tuan," Brian menyerahkan ipad pada majikannya setelah mengutak-atiknya dengan kilat."Nyonya Alexa telah sampai di D'Hotel."Dan lirikan tajam yang di dapat Brian setelah menginformasikan hal tersebut."Maaf." Sadar situasi yang menegangkan Brian menunduk dengan ringisan samar.Lelaki itu berdecak. "Tidak ada hotel lain kah, lintah itu selalu mengangguku!" gerutunya terus melangkah menuju mobil yang telah terparkir cantik di depan lobby perusahaan pencakar langit yang tampak gagah dengan desain modernnya."Nyonya meminta anda menemaninya di jam makan malam." Meski sudah tau diberi respon tak mengenakan
Kilas balik"NO, LUCY!!"Di pagi hari setelah malam itu, Abby yang terbangun karena mimpi buruk di ranjang hotel itu, bangkit dengan raut cemas dan peluh yang membanjiri tubuhnya terutama wajah yang tampak jelas, dan kedua pipinya pun sedikit memerah. Tangannya terulur memijit kepalanya yang seperti tertimpa palu, pusing yang terasa sakit sekali dan semakin sakit kala menyadari sesuatu. Ada sesuatu yang bergerak. Batinnya merasakan pergerakan di sebelahnya.Dan rasa bingung menghampirinya. "Ini di— Oh shit" ucapannya terhenti dengan raut kaget yang tampak di wajahnya, terlibih kala melihat punggung kekar milik pria di sampingnya. "Jangan bilang, damn it?" Punggung milik pria itu? "Kau gila Abbbyana!!"Dan seketika itu pula otaknya di penuhi kerusuhan, tadi malam memang gila tak seharusnya dia mabuk. Abby pun sadar akan keberadaan Gabriel yang lelaki itu lah yang menjadi pelanggannya. Pertama kali bertatap wajah tentu syok tapi syukurnya Abby bisa mempertahankan raut datar dan
"Gila!" Menyentak dengan tenaga penuh akhirnya Abby terlepas dari dekapan yang membuat sesak itu.Sorotnya yang tajam dan tersirat kebenciaan begitu menghunas pada sepasang mata biru langit di hadapannya.Tidak habis pikir dengan kerja otak lelaki itu, sangat tidak memiliki perasaan, bisa-bisanya merencanakan untuk memisahkan ibu dan anak yang sendari bayi merah bersama.Setelah perjuangannya mengandung melahirkan dan membesarkan tentu saja Abby tidak akan sudi akan tawaran gila lelaki sialan ini."Aku tau kau memang kejam tapi aku tidak berpikir kau berencana memisahkan ku dengan putriku sendiri hanya karena menolak tawaranmu!"Dan Gabriel hanya mengendikan bahunya seakan tak peduli."Kau yang memperumitnya, aku jelas menawarkan hal simpel," ucapnya dengan tangan yang kini terulur menuju pipi halus sang little girlnya, mengelusnya seringai bulu."... Kembali padaku, kau akan tetap bersama anak kita dan melepaskan pekerjaan ini, tapi jika kau tak mau maka sebaliknya."Abby Mengepalka
Kurang satu minggu menginjakan kaki di tanah Amerika, Gabriel yang di haruskan kembali karena kabar yang mengejutkan dan begitu mendadak. Padahal urusannya di sini dalam meninjau projek baru belum selesai, terlebih-Jika di pikir-pikir urusannya pun di kota ini akan semakin bertambah dan otamatis akan menetap lama karena kemunculan tak terduga sesorang yang telah berani enyah dari hidupnya dulu.Terlebih setelah mengetahui ada bagian dirinya yang terbentuk di tubuh sesosok gadis cilik bernama Lucyana-gadis dengan raut dingin yang dia temui sehari setelah malam panas itu. Di sambut lirikan penasaran dari para ibu-ibu yang tengah berlalu lalang kala pertama menginjakan kakinya di pekarangan luar sekolah dasar, Gabriel melepaskan kacamata hitam yang mambingkai matanya. "Wanita itu apa tidak salah menyekolahkan di sekolah kecil seperti ini," komentarnya yang di balas delikan Brian. Cengkem bosnya ini memang benar-benar butuh di sumpal. "Yang penting niatnya tuan," komentar Brial yang
Tepat pukul sembilan lebih tiga puluh menit di kediaman kecil Abbyana. Prank "Mom, are you oke?" Lucyana yang baru turun dengan muka bantalnya terkejut kala Ibunya menjatuhkan sebuah gelas hingga pecah berkeping menabrak lantai. Sedangkan Abby sendiri mengerutkan keningnya, ada yang terasa aneh dan tidak mengenakan menyerang dadanya, tapi sebab apa? "Mommy?!" Lucyana kembali berseru sedikit menaikan nadanya, karena Ibunya itu malah tampak melamun. "Hah, ya?" terkejut Abby kala melihat Lucy. "Kenapa gelasnya jatuh, Mommy tidak apa-apa?" "Oke, Mommy oke kok, tadi tidak sengaja kesenggol." Abby menyahut setelah tersadar dari lamunannya yang aneh. Lucyana hanya berdecak. "Duduk sana, Mommy siapkan sarapannya." Well, sarapan yang bisa di sebut kesiangan. Menurut, bocah itu segera menuju meja makan sedang yang kursinya hanya ada dua. "Telur lagi," cebik sang bocah kala menu sarapan hari ini lagi-lagi telur dadar sebagai lauknya. Sudah merasa bosan tiga hari ini hanya telur teru
Bruk Bunyi hempasan pelan bersama ringisan Gabriel keluar kan kala tubuhnya sudah terbaring di berangkar yang tersedia di ruang medis di bandara tersebut. Di bagian perut kanannya yang tertutupi kemeja putih polos yang saat ini tampak mengerikan dengan noda merah yang terus keluar tak karuan di bawah telapak tangan besarnya yang tengah menahan lanjuan cairan bernama darah segar tersebut. "Tuan," Brian dengan raut wajah paniknya, baru memasuki ruangan. Brian menatap ngeri sang tuan yang tampak berantakan dengan pakaian yang 80% di penuhi noda darah. Sebelum di evakusi memang Gabriel sempat terkena tembakan karena ingin menghampiri Ayahnya yang sudah tergeletak mengenaskan, tapi sayangnya peluru dari musuhnya berhasil mampir di bagian perut kanannya yang saat itu langsung membuat Gabriel tumbang, dan belum selesai dengan itu dua hujaman peluru kembali dia terima di bagian bahunya yang untungnya saja meleset dan hanya meninggalkan goresan. Selang detik kemudian, sang penyerang pun m
Sudah berpindah ke rumah sakit terdekat dari bandara. Gabriel yang tengah bersandar di berangkarnya, tampak serius melihat berlembar-lembar foto jepretan di tangan kanannya, padahal ada luka yang sekarang telah di perban di area bahunya, tapi seakan tidak merasakan rasa sakit pria itu bergerak luas membolak balik foto tersebut.Lembaran foto yang di tangkap cctv, pelaku-pelaku yang beberapa waktu lalu menyerangnya. Wajah orang-orang berpakaian serba hitam itu tertutup topi dan masker, yang mungkin beberapa dari mereka telah menjadi mayat karena baku tembak tadi, apa lagi Gabriel yang saat itu tidak pandang bulu menembak mati kepala sang lawan."Oh, oke. Terus cari infomasinya lebih detail."Gabriel melirik sang ajudannya—Brian, yang tengah bertelepon. Sampai lelaki itu selesai, lalu melaporkan informasi yang baru di dengarnya."Dari beberapa yang kita dapatkan, dari yang telah tewas atau masih hidup adalah— sebagian besar pembunuh bayaran," ucap Brian sambil menyerahkan ipadnya setela
Gabriel melirik Brian dengan bengis setelah mendengar alasan dari keberhasilannya membawa istrinya itu.Sedangkan yang di tatap hanya bisa meringis. "Kata tuan apa pun alasannya yang penting bisa membawa madam kesini.""Tapi tidak dengan mengatakan—damn! sudah lah, pergi sana!" Gabriel yang akhirnya mendengus dan tak memperpanjang lagi protesannya mengusir Brian yang langsung mendengus samar."Kebiasaan seenaknya terima kasih saja tidak, cih.""Apa katamu?"Deg Ah mati dia! Sepertinya ucapannya tadi bukan dari batin."Brian?!""Ahh tidak tidak. Saya undur diri saja. Selamat menimati reuni nya, dan jangan berantem. Malu sama anak kecil." Tunjuknya pada Lucy yang tengah menyandarkan tubuh mungilnya pada sisi perut kiri Daddynya yang tidak terluka. Dan sebelum kembali di semprot lelaki iti lebih dulu kabur meninggalkan umpatan nyaring Gabriel."Heh mulut!" Yang langsung di protes Abby.Wanita itu hanya bisa mengelus dada karena contoh buruk putrinya sepertinya bertambah. Dan pula tanpa