Bunyi ketukan dari sepatu pentofel coklat mengkilap itu terdengar tegas kala menginjak lantai marmer. Sesosok tinggi berwajah eropa dengan rahang tegas dan gaya rambut undercut itu tampak sibuk dengan berkas yang di bolak-balik oleh tangannya.
"Laporan yang kuminta tadi pagi?" Tanya pria itu setelah menyerahkan berkas di tangannya pada tangan kanannya yang bernama Brian D'obrien.
"Ini tuan," Brian menyerahkan ipad pada majikannya setelah mengutak-atiknya dengan kilat.
"Nyonya Alexa telah sampai di D'Hotel."
Dan lirikan tajam yang di dapat Brian setelah menginformasikan hal tersebut.
"Maaf."
Sadar situasi yang menegangkan Brian menunduk dengan ringisan samar.Lelaki itu berdecak. "Tidak ada hotel lain kah, lintah itu selalu mengangguku!" gerutunya terus melangkah menuju mobil yang telah terparkir cantik di depan lobby perusahaan pencakar langit yang tampak gagah dengan desain modernnya.
"Nyonya meminta anda menemaninya di jam makan malam." Meski sudah tau diberi respon tak mengenakan Brian tetap menginfirmasikan yang hanya di balas decahan Gabriel, sebelum kemudian memasuki mobil.
Di kursi penumpang dengan sang tangan kanan kepercayaannya di samping kirinya, lelaki itu tampak sibuk dengan Ipad di pangkuannya.
Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk seringaian kala informasi yang telah di bacanya memuaskan apa yang di inginkan otaknya.
***
"Hups, huuuu..."
Abby menggeleng kala melihat sang putri menghempaskan tubuh rampingnya—yang mendekati kurus, ke sofa.
"Ganti seragamnya sayang."
"Cape banget," tapi keluhan yang Lucy ucapkan sebagai balasan, dengan bibirnya yang mengerucut membuat Abby gemas.
"Mommy laper," adu Lucy dengan posisi yang berubah tengkurap sambil menopang pipi gembulnya dengan kedua tangan mungilnya, dan hanya bisa berdecak gemas. Ohh Abby yakin seragai putrinya itu yang akan kembali di pakai besok telah kusut.
Menghela napas mencoba menahan kesabarannya, single mom itu hampiri si bocah.
"Lucyana," Abby dengan tinggi yang menjulang di banding putrinya itu, berkacak pinggang. "... bangun atau Mommy buang jauh si punkin, hm?"
Tapi Lucy hanya menolehkan wajahnya sekilas, sebelum kembali membenamkan kepalanya di sudut sofa.
Punkin adalah kucing abu gembul yang sekarang tengah berbaring malas-malasan di lantai.
"Baby!"
"Dusta."
"Apa?"
"Tidak mungkin mommy buang punkin, dia hilang saja mommy tangisin, cih."
Dan respon itu membuat Abby menggeram, lebih tepatnya pada decakan yang di keluar kan mulut mungil Lucyana.
Tidak sopan sekali putri nakalnya ini!
"Ah terserah, mommy paksa saja kamu."
Dan jurus andalan yang selalu Abby gunakan.
Gelitikan, ya itu.
"Mo... Mommy st-stop... hihi!"
"Dasar nakal, mommy habisi kamu,"
Gemas Abby sambil terus menggelitiki putrinya itu.Yang pada akhirnya Abby gendong tubuh yang lumayan berat itu, terlebih dengan kondisi Lucy yang seperti cacing kepanasan.
"Hai hai diam Lucy, nanti jatuh."
"Mommy menyebalkan!" Cemberut Lucy kala mulai terlepas dari eforia buatan sang Mommy.
"Di bilangin juga, kamunya yang nakal."
Dan kembali Lucy berdecih.
"Nah nah, tidak sopan Lucy. Kamu tuh baru 7 tahun kok ya itu ketidaksopanan nyontek dari siapa." Geleng Abby akan sikap dan sifat putrinya itu.
***
Pukul 06.45 AM. Abby sudah berada di Wnyy lantai 2, melakukan tugasnya dengan gesit, berharap waktu segera subuh saja.
Entah kenapa dia merasa hari ini waktu begitu lambat sekali, dan ada kalanya di waktu tertentu jantungnya merasa tidak tenang.
Tidak mungkin Abby mengindap penyakit jantung kan?
Menghela napas lelah, Abby dengan prefesional tetap memamerkan senyum formalnya sebagai pramusaji, "Selamat menikmati nyonya."
"Ahh, Abbyana, right?"
Abby hanya mengangguk mendapat pertanyaan dari sosok cantik berusia kisaran tiga puluhan di hadapannya ini.
Dan entah kenapa terasa familiar sekali wajah di hadapannya ini.
"Benar, nyonya." Mengangguk membenarkan sebagai jawaban.
Sang Nyonya dengan rambut merah itu mengangguk.
"Napoli, lex flower,"
Deg
Abby menatap lekat sosok di hadapannya itu, raut ramahnya hilang.
Dari mana wanita itu tahu?
Tapi sebelum Abby bertanya wanita berambut merah itu sudah terpanggil oleh seorang lelaki yang entah siapa, partner pestanya mungkin?
Mengendikan kedua bahunya Abby menggeleng mencoba tak peduli.
"Oke, kembali bekerja Abby."Tapi belum lima langkah berjalan, Abby malah terpaku di tempat, tatapannya tampak syok kala mendapati...
"Ti-tidak,"
"Terkejut melihatku?" seringaian itu—seringaian yang tentu di kenalnya.
Tuhan..
Dan Abby tak berhasil mengatasi keterkejutannya.
"K-kau..."
Tatap kosong wanita itu lemparkan pada sosok tinggi besar di hadapannya, ludahnya terasa kesat sekali, terlebih kala seringai licik itu tertangkap netranya dan degup gugup dari hatinya mewakili apa yang di tepis hatinya dalam beberapa tahun ini.
Bahwa ternyata...
Rasa itu masih sama, dan ketakutan masa lalu kembali mendomonisinya.
Ya, Abby tidak akan menyangkal karena itu lah kebenarannya.
"Terima kasih pada malam panas yang tak terduga, akhirnya aku menemukanmu, little girl."
Sialan!
Sialan!Malam itu!
Malam sialan yang kembali terulang, tanpa sadar membuatnya mabuk, sampai berakhir di sebuah ranjang hotel bersama lelaki tidak kalah sialan di hadapannya ini.
Lelaki yang dulu harusnya Abby hindari, bukan malah berpasrah diri masuk ke dalam kehidupannya. Sampai dia menghasilkan sesosok gadis kecil yang saat ini mungkin tengah meringkuk di ranjang kecilnya di apartemn.
"Abby!"
Sebuah sahutan yang mungkin akan menyelamatkannya dari sosok tinggi besar di hadapannya, namun...
"Lepaskan aku!"
Harapan yang sia-sia, karena dengan sekejap tubuhnya malah di tarik memasuki toilet yang sialannya berjarak 5 langkah dari belakang si lelaki. Dan entah yang meneriakinya melihat dirinya atau tidak.
"Gabriel?!" Sentak Abby semakin keras, menahan segala perasaan terkecamuk di sekujur tubuhnya.
"Yeah, Gabriel Matteow, it's me," seperti orang gila Gabriel malah tersenyum yang terlihat creepy di mata Abby, sebelum kemudian menarik pinggang wanita itu sampai menabrak kasar perut kerasnya yang terlapis kain berwarna putih. "Senang kau masih mengingat nama suamimu."
BRAG!
Satu tendangan tak terduga yang di layangkan kaki panjang Gabriel pada pintu toilet membuat Abby tersentak.
"What are you doing?" tanya wanita yang masih berada dalam rengkuhan paksa lelaki yang ternyata merupakan suaminya itu.
Mengingat itu, membuat Abby hanya di lingkupi rasa sakit dan muak yang ternyata berlangsung sampai saat ini.
Move on itu tidak bener-benar meninggalkannya.
"Mengecek sesuatu, maybe..." Balas Gabriel merunduk untuk menatap Abby yang ternyata tengah menatapnya—segera Abby memalingkan pandangannya.
"Great," kala tak menemukan makhluk hidup selain mereka berdua.
"Bisa kita mulai?""Aku tidak ada urusan denganmu, aku har—"
"Bisa kita mulai?"
Tapi Abby yang kekeh menggeleng, berbalik arah dengan langkahnya yang terasa lemah, namun di detik setelahnya—sebuah rangkaian kalimat yang terasa seperti ancaman—atau memang seperti itu membuatnya membeku ditempat.
"Kembali padaku, atau Lucyana akan ku ambil."
Seringai licik menyambangi rupa rupawan Gabriel kala gertakannya masih berpengaruh pada wanita di hadapannya itu.
"Ba-bagaimana kau tau Lucy?" tanyanya dengan terbata.
Semakin melebarkan smirk liciknya, Gabriel mengeluarkan sesuatu dari saku belakangnya, dan ternyata...
Dengan bibir bergetar samar, Abby meremas kedua tangannya menjadi kepalan.
Bodoh!
Dan dia sadar bagaimana benda itu yang merupakan foto gadis nakalnya bisa di miliki Gabriel.
"Terima kasih untuk malam panas yang meninggalkan teka teki yang mengejutkan."
Kilas balik"NO, LUCY!!"Di pagi hari setelah malam itu, Abby yang terbangun karena mimpi buruk di ranjang hotel itu, bangkit dengan raut cemas dan peluh yang membanjiri tubuhnya terutama wajah yang tampak jelas, dan kedua pipinya pun sedikit memerah. Tangannya terulur memijit kepalanya yang seperti tertimpa palu, pusing yang terasa sakit sekali dan semakin sakit kala menyadari sesuatu. Ada sesuatu yang bergerak. Batinnya merasakan pergerakan di sebelahnya.Dan rasa bingung menghampirinya. "Ini di— Oh shit" ucapannya terhenti dengan raut kaget yang tampak di wajahnya, terlibih kala melihat punggung kekar milik pria di sampingnya. "Jangan bilang, damn it?" Punggung milik pria itu? "Kau gila Abbbyana!!"Dan seketika itu pula otaknya di penuhi kerusuhan, tadi malam memang gila tak seharusnya dia mabuk. Abby pun sadar akan keberadaan Gabriel yang lelaki itu lah yang menjadi pelanggannya. Pertama kali bertatap wajah tentu syok tapi syukurnya Abby bisa mempertahankan raut datar dan
"Gila!" Menyentak dengan tenaga penuh akhirnya Abby terlepas dari dekapan yang membuat sesak itu.Sorotnya yang tajam dan tersirat kebenciaan begitu menghunas pada sepasang mata biru langit di hadapannya.Tidak habis pikir dengan kerja otak lelaki itu, sangat tidak memiliki perasaan, bisa-bisanya merencanakan untuk memisahkan ibu dan anak yang sendari bayi merah bersama.Setelah perjuangannya mengandung melahirkan dan membesarkan tentu saja Abby tidak akan sudi akan tawaran gila lelaki sialan ini."Aku tau kau memang kejam tapi aku tidak berpikir kau berencana memisahkan ku dengan putriku sendiri hanya karena menolak tawaranmu!"Dan Gabriel hanya mengendikan bahunya seakan tak peduli."Kau yang memperumitnya, aku jelas menawarkan hal simpel," ucapnya dengan tangan yang kini terulur menuju pipi halus sang little girlnya, mengelusnya seringai bulu."... Kembali padaku, kau akan tetap bersama anak kita dan melepaskan pekerjaan ini, tapi jika kau tak mau maka sebaliknya."Abby Mengepalka
Kurang satu minggu menginjakan kaki di tanah Amerika, Gabriel yang di haruskan kembali karena kabar yang mengejutkan dan begitu mendadak. Padahal urusannya di sini dalam meninjau projek baru belum selesai, terlebih-Jika di pikir-pikir urusannya pun di kota ini akan semakin bertambah dan otamatis akan menetap lama karena kemunculan tak terduga sesorang yang telah berani enyah dari hidupnya dulu.Terlebih setelah mengetahui ada bagian dirinya yang terbentuk di tubuh sesosok gadis cilik bernama Lucyana-gadis dengan raut dingin yang dia temui sehari setelah malam panas itu. Di sambut lirikan penasaran dari para ibu-ibu yang tengah berlalu lalang kala pertama menginjakan kakinya di pekarangan luar sekolah dasar, Gabriel melepaskan kacamata hitam yang mambingkai matanya. "Wanita itu apa tidak salah menyekolahkan di sekolah kecil seperti ini," komentarnya yang di balas delikan Brian. Cengkem bosnya ini memang benar-benar butuh di sumpal. "Yang penting niatnya tuan," komentar Brial yang
Tepat pukul sembilan lebih tiga puluh menit di kediaman kecil Abbyana. Prank "Mom, are you oke?" Lucyana yang baru turun dengan muka bantalnya terkejut kala Ibunya menjatuhkan sebuah gelas hingga pecah berkeping menabrak lantai. Sedangkan Abby sendiri mengerutkan keningnya, ada yang terasa aneh dan tidak mengenakan menyerang dadanya, tapi sebab apa? "Mommy?!" Lucyana kembali berseru sedikit menaikan nadanya, karena Ibunya itu malah tampak melamun. "Hah, ya?" terkejut Abby kala melihat Lucy. "Kenapa gelasnya jatuh, Mommy tidak apa-apa?" "Oke, Mommy oke kok, tadi tidak sengaja kesenggol." Abby menyahut setelah tersadar dari lamunannya yang aneh. Lucyana hanya berdecak. "Duduk sana, Mommy siapkan sarapannya." Well, sarapan yang bisa di sebut kesiangan. Menurut, bocah itu segera menuju meja makan sedang yang kursinya hanya ada dua. "Telur lagi," cebik sang bocah kala menu sarapan hari ini lagi-lagi telur dadar sebagai lauknya. Sudah merasa bosan tiga hari ini hanya telur teru
Bruk Bunyi hempasan pelan bersama ringisan Gabriel keluar kan kala tubuhnya sudah terbaring di berangkar yang tersedia di ruang medis di bandara tersebut. Di bagian perut kanannya yang tertutupi kemeja putih polos yang saat ini tampak mengerikan dengan noda merah yang terus keluar tak karuan di bawah telapak tangan besarnya yang tengah menahan lanjuan cairan bernama darah segar tersebut. "Tuan," Brian dengan raut wajah paniknya, baru memasuki ruangan. Brian menatap ngeri sang tuan yang tampak berantakan dengan pakaian yang 80% di penuhi noda darah. Sebelum di evakusi memang Gabriel sempat terkena tembakan karena ingin menghampiri Ayahnya yang sudah tergeletak mengenaskan, tapi sayangnya peluru dari musuhnya berhasil mampir di bagian perut kanannya yang saat itu langsung membuat Gabriel tumbang, dan belum selesai dengan itu dua hujaman peluru kembali dia terima di bagian bahunya yang untungnya saja meleset dan hanya meninggalkan goresan. Selang detik kemudian, sang penyerang pun m
Sudah berpindah ke rumah sakit terdekat dari bandara. Gabriel yang tengah bersandar di berangkarnya, tampak serius melihat berlembar-lembar foto jepretan di tangan kanannya, padahal ada luka yang sekarang telah di perban di area bahunya, tapi seakan tidak merasakan rasa sakit pria itu bergerak luas membolak balik foto tersebut.Lembaran foto yang di tangkap cctv, pelaku-pelaku yang beberapa waktu lalu menyerangnya. Wajah orang-orang berpakaian serba hitam itu tertutup topi dan masker, yang mungkin beberapa dari mereka telah menjadi mayat karena baku tembak tadi, apa lagi Gabriel yang saat itu tidak pandang bulu menembak mati kepala sang lawan."Oh, oke. Terus cari infomasinya lebih detail."Gabriel melirik sang ajudannya—Brian, yang tengah bertelepon. Sampai lelaki itu selesai, lalu melaporkan informasi yang baru di dengarnya."Dari beberapa yang kita dapatkan, dari yang telah tewas atau masih hidup adalah— sebagian besar pembunuh bayaran," ucap Brian sambil menyerahkan ipadnya setela
Gabriel melirik Brian dengan bengis setelah mendengar alasan dari keberhasilannya membawa istrinya itu.Sedangkan yang di tatap hanya bisa meringis. "Kata tuan apa pun alasannya yang penting bisa membawa madam kesini.""Tapi tidak dengan mengatakan—damn! sudah lah, pergi sana!" Gabriel yang akhirnya mendengus dan tak memperpanjang lagi protesannya mengusir Brian yang langsung mendengus samar."Kebiasaan seenaknya terima kasih saja tidak, cih.""Apa katamu?"Deg Ah mati dia! Sepertinya ucapannya tadi bukan dari batin."Brian?!""Ahh tidak tidak. Saya undur diri saja. Selamat menimati reuni nya, dan jangan berantem. Malu sama anak kecil." Tunjuknya pada Lucy yang tengah menyandarkan tubuh mungilnya pada sisi perut kiri Daddynya yang tidak terluka. Dan sebelum kembali di semprot lelaki iti lebih dulu kabur meninggalkan umpatan nyaring Gabriel."Heh mulut!" Yang langsung di protes Abby.Wanita itu hanya bisa mengelus dada karena contoh buruk putrinya sepertinya bertambah. Dan pula tanpa
"Damn!" Menatap stik mini di antara jarinya, Abbyana yang kala itu masih berusia sembilan belas tahun terbelalak. Rasa panik, takut dan marah menyerbunya kala mendapati dua garis merah terpang-pang nyata. "Bagaimana bisa?" Lirih dengan kepala penuh. Ternyata tanda-tanda mual, pusing, mood sawing yang menyebalkan beberapa hari lalu itu ini penyebabnya? Dan bagaimana bisa? TENTU SAJA KARENA DIA BERSETUBUH DENGAN MAKHLUK HIDUP! Dan kecebong si MAKHLUK HIDUP ITU mendapatkan sel telurnya. SIALAN ABBYANA!Dia masih sembilan belas tahun, amat sangat belum siap terlebih keadaan saat ini sangat kacau. Dan bajingan itu... Ini semua kesalahan BAJINGAN itu! "GABRIEL METTEOW SIALAN!" Jeritnya memenuhi kamar mandi. Melempar stik di tangannya ke sembarang arah, mengacau rambutnya dengan perasaan campur aduk, dengan berutal juga melempar benda apa saja yang bisa di jangkau tangan kecil kurusnya sampai berhamburan. Rasanya dia ingin merubuhkan kamar mandi ini!BRAK BRAKKKKPRANKK"Abby?"Tok