"Tuan, tolong saya. Saya mohon …"
Saat ini di sebuah kamar hotel seorang perempuan berpenampilan acak-acakan sedang merengek pada seorang pria berparas datar dan dingin.
Bukan tanpa alasan perempuan itu merengek meminta pertolongan pada pria yang dikenalnya. Terlebih, setiap hari dia bertemu pria dingin tersebut.
Seandainya dia tak lagi sedang dalam keadaan terdesak. Mana mungkin dia berani meminta hal yang sangat-sangat mustahil dan terkesan murahan.
"Shanum, apa kamu yakin?" Pria beralis tebal dan bermanik hitam itu mencoba meyakinkan sekali lagi. "Saya tidak ingin kamu menyesalinya setelah ini," tegasnya.
Perempuan bernama Shanum itu mengangguk cepat. "Saya yakin, Tuan. Yakin seribu persen. Dari pada saya harus menderita semalaman gara-gara obat sialan itu, lebih baik saya … saya minta bantuan sama Tuan Ozkhan."
Keputusan berat yang harus diambil Shanum, setelah dirinya dijebak oleh suaminya sendiri. Sial! Hidupnya benar-benar sial setelah menikah dengan Orhan—suaminya yang tak tahu diri dan tukang bohong.
"Ini semua gara-gara suami saya. Dia menjual saya, Tuan. Dia bohongi saya. Dia menjadikan saya sebagai penebus utang." Shanum memberikan penjelasan kepada Ozkhan—pria yang merupakan atasannya sendiri.
Ya, entah nasib apa yang digariskan oleh Tuhan pada kehidupan Shanum. Sampai-sampai dia berada di situasi sekarang ini.
Bertemu secara tidak sengaja di sebuah hotel ternama saat dia hendak melarikan diri dari pria 'berengsek' yang mengaku sudah membelinya. Shanum baru sadar jika suaminya lebih dulu mencekoki dirinya dengan obat perangsang.
Ozkhan berdecak keras, melihat sekretarisnya menceritakan kemalangannya. Tangannya secara sadar terulur, menyentuh sudut bibir Shanum yang berdarah. Miris sekali nasib perempuan di hadapannya ini, pikirnya.
"Siapa yang melakukan ini?" tanya Ozkhan, dengan raut datar. Namun, sorot matanya memancarkan kemarahan serta ketidaksukaan.
Shanum mengerjap, hingga cairan bening tak dapat dibendung lagi. Air matanya meleleh seiring isakannya. "Pria itu, Tuan. Dia yang melakukannya," ucap Shanum, sambil menahan rasa sesak yang teramat di dada.
Rahang Ozkhan seketika mengetat. Tatapan datar dan dingin itu berubah menjadi tatapan iba. "Ini juga?" Dia melirik lengan Shanum yang lebam, seperti habis terbentur sesuatu yang keras.
Shanum hanya mengangguk. Maniknya terpejam sesaat, lalu terangkat untuk sekadar menatap Ozkhan. "Tuan …"
Ozkhan menghela napas panjang. Membalas tatapan Shanum yang terlihat mengiba. "Suamimu ke mana?"
Shanum menggeleng, lalu berdiri. Obat perangsang semakin mempengaruhi akal sehatnya. Dengan tak tahu malu, Shanum mengalungkan kedua lengannya di leher Ozkhan. "Tuan … Tubuh saya rasanya sangat panas. Saya sudah tidak bisa menahannya lagi."
"Shanum …" Ozkhan memalingkan wajah ketika Shanum hendak menciumnya. Dia juga menahan pinggang perempuan itu agar tak terlalu dekat dengannya.
"Please, Tuan. Saya mohon …. Saya benar-benar tidak bisa menahannya." Anggaplah kali ini Shanum benar-benar sudah gila. Bagaimana tidak? Jelas-jelas yang dia mintai tolong adalah atasannya yang sudah beristri.
'Aku tidak peduli. Untuk saat ini hanya itu cara yang bisa menangani efek obat sialan ini. Soal ke depannya, kita lihat saja nanti.' Batin Shanum berperang dengan logikanya.
Ozkhan sendiri tak bisa berpikir apa pun untuk saat ini. Di satu sisi dia sudah mengenal Shanum dengan baik, dan di sisi lain Ozkhan tak bisa mengelak jika sang sekretaris memang memiliki daya tarik tersendiri di matanya sebagai laki-laki.
"Saya gerah!" Shanum tiba-tiba menurunkan resleting dress-nya, hingga kain itu luruh ke bawah kakinya. Yang tersisa hanya underwear warna merah yang menutupi kedua aset berisi nan sintal, dan inti tubuhnya.
Melihat tingkah Shanum yang ekstrem, Ozkhan tentu terperanjat. Bola matanya membulat sempurna, ketika pemandangan indah terpampang nyata di hadapan.
Ozkhan mendesah frustrasi. Dia sadar jika saat ini Shanum tidak sadar dengan apa yang diperbuatnya. Pengaruh obat perangsang memang sangat berbahaya.
"Shanum, apa yang kamu lakukan?" Suara Ozkhan bahkan terdengar serak dan berat.
"Saya hanya melakukan yang seharusnya, Tuan. Saya benar-benar tersiksa. Jadi, saya minta, Tuan mau membantu saya." Suara Shanum terdengar serak, dan berkali-kali dia menggosok kedua telapak tangan di depan muka. "Tuan …" Tatapannya semakin sayu.
"Ikut saya!" Ozkhan menarik tangan Shanum, membawanya ke kamar mandi, dan berdiri tepat di bawah shower. "Diam di sini."
Shanum kebingungan saat ini karena Ozkhan malah mengguyurnya dengan air dingin. "Tu- Tuan mau apakan saya? Saya tidak minta dimandikan, tapi …"
"Diamlah. Saya sedang berusaha meredakan efek obat itu," kata Ozkhan, menahan lengan Shanum agar tidak pergi, meski dia sendiri hampir basah karena cipratan air.
Shanum tak tahu kalau Ozkhan adalah pria normal yang tentu akan bereaksi jika disajikan pemandangan erotis semacam ini. Namun, meski pun begitu, Ozkhan masih tetap waras untuk tidak menuruti kemauan gila sekretarisnya.
"Dingin, Tuan." Shanum tidak bohong, saat ini dia benar-benar kedinginan. Tubuhnya yang semula panas kini menjadi dingin.
Ozkhan tak menanggapi. Diam-diam dia menikmati keindahan di depan mata. Kulit Shanum yang putih dan lekukan-lekukan yang pas begitu menggoda. Apalagi di bawah kucuran air seperti sekarang, membuat Shanum terlihat seksi.
Satu hal yang baru Ozkhan sadari—ternyata sekretarisnya itu sangat cantik.
'Sial! Singkirkan pikiran kotormu itu, Ozkhan. Dia sudah bersuami dan kamu juga sudah beristri.' Ozkhan membatin kesal, merutuki dirinya yang sudah lancang berpikiran mesum terhadap sekretarisnya sendiri.
Dan untuk itu, Ozkhan pun memilih menjauh. Demi kebaikan Shanum dan juga dirinya sendiri. Ozkhan berdiri bersandar pada dinding, dan mengalihkan pandangan ke tempat lain. Lama-lama dia sendiri yang tidak bisa mengendalikan diri.
"Tuan, berapa lama saya harus seperti ini?" tanya Shanum, yang mulai kedinginan. Bibirnya menggigil, dan sekujur tubuhnya gemetar.
"Satu jam," jawab Ozkhan tanpa mengalihkan tatapan dari pintu kamar mandi yang terbuka. Mati-matian dia menahan hasrat yang tak tahu malu muncul ke permukaan.
"Apa Tuan, satu jam? Bisa-bisa saya mati kedinginan," cicit Shanum. "Kenapa harus pakai cara seperti ini, kalau ada cara yang lebih menguntungkan," gumam Shanum, merasa jika cara tersebut sama sekali tak membantu.
Tentu saja Ozkhan dapat mendengar omongan Shanum, meski samar-samar. Sudut bibir lelaki tinggi itu berkedut, dadanya tak berhenti berdebar sedari tadi. Dia memilih tak menanggapi perkataan konyol Shanum.
Ozkhan berdeham berat, seraya bersedekap, sementara Shanum tertunduk lesu sambil menatap dirinya sendiri. Dari ujung kaki sampai ke dadanya yang berukuran cukup berisi.
Tiba-tiba saja Shanum berceletuk, "Tuan … Setidaknya Anda menatap saya. Apa Anda tidak tergoda dengan saya? Atau memang tubuh saya kalah jauh dengan tubuh istri Anda?"
Ozkhan masih diam, meski dia ingin sekali membalas celetukkan Shanum. Yang dikatakan perempuan itu tidaklah benar.
Andai saja Ozkhan bisa bicara blak-blakan kepada sekretarisnya itu. Namun, Ozkhan harus tetap menjaga imej-nya sebagai atasan, bukan?
'Dia tidak tahu kalau sejak tadi aku mati-matian menahan hasrat ini. Sial!' Ozkhan membatin.
"Tuan … seandainya Anda mau membantu saya. Saya janji akan merahasiakan hal ini. Saya pastikan ini yang pertama dan yang terakhir," ujar Shanum, yang sebenarnya dia sendiri merasa malu berkata demikian. "Saya pastikan, Nyonya Numa tidak akan pernah tahu soal ini."
Shanum menggigit bibir bawahnya, sambil melirik Ozkhan yang tak bergeming sedikit pun dari tempatnya. Entah apa yang sedang dipikirkan lelaki itu.
Sejurus kemudian, ponsel Ozkhan berdering. Dan dengan cepat dia menjawab panggilan telepon dari seseorang yang dia percayai.
"Ya. Bagaimana? Apa kamu sudah mendapatkan buktinya?" tanya Ozkhan yang nampak serius.
'Saya sudah mendapatkan buktinya, Tuan. Saya sudah mengirim beberapa fotonya.'
"Oke. Terima kasih. Kamu boleh pergi dari sana."
Ozkhan mengakhiri pembicaraan, lalu mengecek beberapa foto yang dikirimkan oleh orang kepercayaannya di ponselnya.
Tatapan Ozkhan menajam ketika melihat foto-foto tersebut. Dia hanya menyeringai, lalu menonaktifkan ponselnya.
"Shanum …" panggil Ozkhan, sambil meletakkan ponsel ke pinggir wastafel.
"Ya, Tuan." Shanum melihat Ozkhan melepas jas, dan menatapnya dengan tatapan berbeda.
Ozkhan lantas mendekat pada Shanum dengan seringai penuh arti. "Apa kamu masih membutuhkan bantuan saya?"
Shanum mengerjap lambat ketika tahu-tahu Ozkhan sudah berdiri di hadapan dan merengkuh pinggangnya. "Apa Tuan mau membantu saya?"
Tak ada jawaban dari mulut Ozkhan, karena saat ini lelaki itu sedang diliputi perasaan kesal bukan main. Pikirannya pun sudah tidak bisa dikendalikan. Saat ini yang dia butuhkan hanyalah pelampiasan.
"Maaf Shanum, kalau saya sudah kurang ajar. Tapi, menurut saya, ini tidak ada salahnya. Kita bisa merahasiakan hal ini. Kamu butuh saya, dan saya juga butuh kamu," kata Ozkhan, tanpa sungkan meraba bibir Shanum yang menggoda dengan ibu jari. Dan kali ini tubuhnya sudah benar-benar basah serta menginginkan Shanum.
Shanum mendongak lalu menelan ludah. Dia tak pernah membayangkan jika dia akan berada di posisi sekarang ini. Berada sangat dekat dengan atasannya.
"I-Iya, Tuan. Tidak masalah. Saya—"
"Kalau begitu, kita bisa memulainya."
Ozkhan lantas meraup bibir Shanum, menciumnya tanpa permisi. Perlahan dia mendorong tubuh Shanum agar merapat pada dinding kamar mandi. Awalnya Shanum cukup kewalahan, tetapi perlahan dia bisa mengimbangi permainan lidah sang atasan yang sangat liar.
Dan dari sinilah kisah mereka dimulai!
****
Bersambung....
Beberapa jam sebelumnya..."Kamu pakai ini, Sayang. Aku mau malam ini kamu terlihat berbeda."Orhan menyodorkan paper bag warna cokelat bertuliskan nama brand merk baju terkenal, pada sang istri—Shanum.Kening Shanum mengernyit heran, sebab jarang-jarang suaminya itu memberinya sesuatu. Apalagi, barang-barang mahal seperti itu. "Ini apa, Orhan? Apa ini hadiah untukku?" tanyanya sambil menerima pemberian Orhan, lalu mengintipnya. "Gaun?""Ya." Orhan menyeringai, karena Shanum terlihat sangat bahagia menerima pemberiannya. "Anggap saja itu hadiah dariku, karena malam ini adalah hari jadi kita."Bola mata bulat Shanum berbinar seketika, merasa jika sang suami telah berubah. Perempuan itu langsung menghambur—memeluk sang suami. "Terima kasih, Orhan.""Sama-sama, Sayang. Semoga kamu suka dengan hadiahku.""Tentu. Apa pun yang kamu beri, aku pasti menyukainya." Perasaan Shanum tak dapat dijabarkan lagi, saking senangnya dia mendapat hadiah.Pelukan itu cukup singkat, Orhan langsung meminta
"Kapan dia pergi? Kenapa dia tidak membangunkanku," gumam Ozkhan.Ketika terbangun, Ozkhan tak mendapati Shanum di sampingnya. Perempuan itu pergi tanpa berpamitan sekaligus meninggalkan banyak pertanyaan dalam benak lelaki tiga puluh delapan tahun itu.Di bawah kucuran air shower, Ozkhan merenung. Sekelebat adegan-adegan panas yang dia lalui bersama dengan sang sekretaris tiba-tiba muncul di ingatan, membuat Ozkhan merasakan sesuatu yang tidak dapat dijabarkan dengan kata-kata.Desahan frustrasi meluncur dari bibir Ozkhan. "Pasti dia berpikir yang tidak-tidak tentangku. Sial! Harusnya semalam aku bisa mengontrol diri."Kekesalan muncul dalam benak Ozkhan, sebab dia merasa apa yang dilakukannya pada Shanum kemungkinan sudah keterlaluan. Kemarahan akan sesuatu membuat dia kehilangan kendali.Beberapa foto yang dikirimkan orang kepercayaannya menjadi pemicu. Ozkhan sadar, jika seharusnya dia tak melampiaskannya pada Shanum."Semua ini gara-gara wanita itu. Dia pikir, aku tidak pernah me
Dari hotel, Ozkhan sengaja langsung berangkat ke kantor. Selain dia tidak suka mondar-mandir, Ozkhan juga sedang ingin menghindari istrinya.Namun, ketika melewati meja sekretaris, Ozkhan tak melihat keberadaan Shanum di sana. Padahal, biasanya sekretarisnya itu selalu datang tepat waktu dan paling awal darinya.Seketika, Ozkhan pun kepikiran masalah semalam.'Apa dia juga berniat libur hari ini?'Belum lama Shanum bekerja dengan Ozkhan. Dan sekarang, dia malah terlibat masalah pribadi yang sangat sensitif. Entah harus bagaimana Ozkhan mengambil sikap setelah ini.Ozkhan menduduki kursi, tak lama kemudian asisten kepercayaannya masuk."Selamat pagi, Tuan." Emir memberi salam hormat pada atasannya dengan anggukan kecil.Sementara Ozkhan hanya membalasnya dengan anggukan sambil mengeluarkan ponsel dari saku jas. Raut dan sorot matanya begitu datar seperti biasa."Sepertinya hari ini Shanum izin tidak masuk, Tuan," ucap Emir, sekadar memberi informasi pada sang atasan.Informasi barusan
Orhan dan Shanum langsung memasuki lift, sementara Emir masih mengikuti keduanya dengan sangat hati-hati. Beruntungnya di dalam lift tak hanya mereka bertiga yang berada dalam ruangan berjalan itu. Sebelumnya, sudah ada empat orang yang ada di dalamnya.Agar tidak ketahuan, Emir berinisiatif memakai masker yang selalu dia bawa ke mana pun saat sedang menjalani misi seperti ini. Tugasnya tak hanya menjadi asisten Ozkhan, tetapi dia merangkap menjadi mata-mata. Maka dari itu, tugas semacam ini bisa dengan mudah dia kerjakan.Dari tempatnya berdiri yang hanya berjarak beberapa jengkal saja dengan Shanum, Emir bisa mengamati gerak-gerik pasangan itu. Dari yang Emir lihat, jika Shanum hanya diam dan memasang raut cemas sekaligus khawatir.Sikap Orhan pun tak lepas dari pantauan Emir. Lelaki berambut ikal itu begitu bengis pada sang istri. Dari caranya memperlakukan Shanum yang tidak sewajarnya membuat Emir menjadi makin penasaran."Jaga sikap kamu, Shanum. Aku tidak mau kamu membuat kesala
'Tuan Ozkhan?'Manik Shanum melebar, seakan-akan hendak loncat dari cangkangnya. Kedatangan Ozkhan adalah sesuatu yang tidak pernah terpikirkan.Apa aku sedang bermimpi?Kenapa tiba-tiba ada Tuan Ozkhan di sini?Kenapa tiba-tiba dia tertarik menawarkan kesepakatan dengan Orhan?Masih ada banyak pertanyaan yang berjejalan di kepala perempuan dua puluh sembilan tahun itu. Namun, Shanum tidak ingin terlalu larut dalam pikiran-pikiran tidak penting tersebut.Saat ini yang terpenting adalah dia bisa kembali bebas dari pria kejam yang mungkin sedang menunggunya."Anda siapa lagi?"Pertanyaan itu meluncur dari mulut Orhan, sementara maniknya menatap tajam pria menjulang di hadapan. Dan yang paling menarik perhatian, tatapan pria parlente itu tak lepas menatap Shanum.'Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia menatap Shanum seperti itu?' Orhan membatin kesal."Bisa kita bicara di tempat lain?" kata Ozkhan."Tidak bisa. Untuk apa saya menuruti perintah Anda? Siapa Anda?" sungut Orhan.Barulah Ozkhan m
"Termasuk menjadi teman tidur Anda, Tuan Ozkhan," lanjut Shanum.Pernyataan Shanum yang menurut Ozkhan sangat berani, membuat lelaki itu cukup tercengang. Maka dari itu dia perlu menjelaskan. "Kamu sudah salah paham, Shanum," ujarnya, lalu mengalihkan pandangan pada hamparan laut di hadapan.Raut Shanum pias, melihat Ozkhan yang begitu santai menanggapinya. "Salah paham bagaimana, Tuan? Saya rasa Anda tidak mungkin membuang-buang uang sangat banyak untuk sekedar menolong saya. Apalagi, Anda juga menyewa saya selama tiga bulan.""Menyewa bukan berarti kamu harus melayani saya, Shanum," bantah Ozkhan, kemudian memasukkan kedua tangan ke saku celana."Lalu, untuk apa Anda melakukan semua itu?" tuntut Shanum, tetapi dia buru-buru meralat. "Tidak. Maksud saya—""Saya hanya ingin menjauhkanmu dari suamimu itu, Shanum," sergah Ozkhan, memotong kalimat Shanum. "Selama tiga bulan ke depan kamu bisa bebas darinya. Kamu bisa hidup tenang tanpa tekanan dari dia.""Tuan …." Shanum kehabisan kata-k
Hampir tengah malam Ozkhan tiba di kediamannya. Ketika memasuki kamar, dia mendapati sang istri yang ternyata belum tidur. Numa sedang duduk bersandar di ranjang sambil menikmati segelas red wine.Melihat sang suami yang ternyata pulang, Numa pun tersenyum senang. Perempuan yang malam itu mengenakan piyama tidur sutra berwarna merah lantas buru-buru meletakkan gelasnya ke atas nakas.Numa hendak menghambur memeluk Ozkhan, tetapi hanya penolakan yang dia dapatkan. Bahkan sikap Ozkhan begitu dingin. "Aku merindukanmu, Ozkhan. Tidak bisakah kamu memberiku pelukan?"Permintaan Numa ditanggapi dengkusan oleh Ozkhan. Sambil meloloskan kancing lengan kemeja, dia berkata, "Sejak kapan hubungan kita sehangat itu, Numa?"Kedua telapak tangan Numa mengepal kuat di sisi tubuh. Dia berusaha mengendalikan diri agar tidak terbawa emosi. Yang bisa dia lakukan saat ini hanya menghela napas panjang.Numa pun baru sadar, jika rumah tangganya dengan Ozkhan memang tak pernah sehangat itu. Namun, dia ingin
"Masakanmu sangat lezat, Elis. Aku suka. Rasanya mirip makanan yang ada di restoran mahal."Shanum tidak bohong, makanan yang dimasak Elis sungguh mempunyai cita rasa mirip restoran ternama. Menu makanan yang pernah dia cicip saat diajak makan oleh Ozkhan.Pujian Shanum membuat Elis yang sedang mengupas buah apel tersenyum bangga. "Benarkah? Wah... Aku senang kalau kamu suka. Selama di sini, aku akan memasakkanmu makanan yang lezat."Elis menyodorkan apel yang sudah dipotong menjadi enam bagian dan diletakkan ke piring ke hadapan Shanum."Makanlah yang banyak. Biar badanmu tidak terlalu kurus seperti itu." Elis tak bermaksud menyindir Shanum karena waktu pertama kali melihat perempuan bermata teduh itu, dia merasa prihatin. Elis bisa merasakan jika Shanum selama ini banyak menanggung masalah."Tapi aku sangat nyaman dengan ukuran badanku," cicit Shanum, lalu mengambil satu potongan buah apel dan menggigitnya. "Manis.""No!" Elis menggeleng tak setuju. "Berapa berat badanmu?""Terakhir
"Saya..."Shanum cukup kesulitan menjawab pertanyaan yang terkesan menyudutkan. Sementara pada kenyataannya, dia sangat betah tinggal di sini. Selain tempat ini jauh dari perkotaan, dan sangat tenang. Di sini, dia bisa menikmati pemandangan laut kapan pun yang dia mau.Melihat sekretarisnya tak bisa menjawab, Ozkhan menyeringai. Dia berdeham, lalu berkata, "Kalau kamu belum punya alasan yang tepat yang sekiranya masuk akal, lebih baik kamu nikmati saja masa cutimu. Saya tidak akan pernah mendesak kamu untuk masuk kerja, Shanum. Sampai kamu benar-benar merasa puas di sini."Senyum tipis yang tersungging samar di bibir Ozkhan, membuat Shanum merasa dia sedang melihat orang yang berbeda. Dulu, Shanum pikir kalau Ozkhan adalah orang yang sangat kaku dan tidak banyak bicara.Namun, semenjak dia dan atasannya itu memutuskan untuk menjalin hubungan rumit ini, Shanum seolah melihat sisi lain Ozkhan. Pria berwajah datar dan dingin di hadapannya ini, memiliki sifat yang begitu hangat dan sangat
Paginya, Shanum yang hanya bisa tidur selama tiga jam terpaksa bangun lebih dulu dari Ozkhan. Sementara sang atasan masih terlelap, perempuan itu buru-buru memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri.Tak membutuhkan banyak waktu Shanum mandi, setelahnya dia berganti baju. Namun, pada saat dia keluar dari kamar ganti yang terhubung dengan kamar mandi, dia sudah tidak melihat keberadaan Ozkhan di ranjang."Ke mana Tuan Ozkhan?" Pandangan Shanum mengedar ke seluruh penjuru kamar yang luas itu. Akan tetapi Ozkhan nampaknya sudah tak berada di kamar."Siapa yang membereskan tempat tidur? Tidak mungkin Tuan Ozkhan?" Kondisi ranjang yang sudah rapi, membuat Shanum terheran-heran. Bekas sprei dan selimut semalam pun sudah terganti dengan yang baru.Tak ingin didera rasa penasaran, Shanum memutuskan keluar dari kamar dan turun. Dia bahkan tidak sempat menyisir rambut mau pun merias wajah. Hal utama yang ada di pikirannya saat ini adalah Ozkhan. Shanum merasa tidak enak apabila benar atasanny
Kediaman Ozkhan. Sudah hampir dua jam, Numa terlihat mondar-mandir di kamar sambil sesekali dia menyingkap tirai jendela untuk melihat ke bawah. Saat ini dia tengah menunggu kepulangan Ozkhan. Numa menunggu sampai sepasang kakinya terasa pegal. "Kenapa Ozkhan belum pulang? Ini sudah hampir tengah malam."Baru semalam hatinya menghangat dan mengharap pada suaminya, yang sudah lama tak pernah menyentuhnya. Numa bahkan mulai berandai-andai jika hubungannya yang dingin akan kembali hangat seperti sedia kala. Akan tetapi, sikap Ozkhan cepat sekali berubah. Numa hampir tak percaya jika dalam semalam, suaminya seolah menjelma sebagai pria lain. "Kamu ke mana, Ozkhan?" Berkali-kali Numa mengecek layar ponsel, berharap Ozkhan membalas pesan darinya. Bahkan, Ozkhan tidak menghubunginya balik. "Ponsel Emir juga tidak bisa dihubungi. Sebenarnya, apa yang mereka kerjakan sampai selarut ini?" Terdengar helaan frustrasi dari hidung Numa. Perempuan berbaju tidur satin warna hitam itu melangkah
"Itu..."Shanum membeku ketika melihat benda yang selama beberapa hari ini dia cari berada di tangan Ozkhan. Dia pun bertanya-tanya—Mengapa gelangnya bisa ada pada atasannya itu.Reaksi Shanum membuat Ozkhan sedikit terhibur, karena wajah polos perempuan itu begitu menggemaskan."Ada apa, Shanum? Apakah gelang ini bukan milikmu?" tanya Ozkhan sekadar mengetes Shanum yang sama sekali belum berminat mengambil barang miliknya.Apa mungkin Shanum memang sengaja? Pikir Ozkhan.Shanum menggeleng sambil mengibaskan tangan. "Bukan begitu maksudnya. Gelang itu memang punya saya," ucapnya meralat."Lalu? Kenapa reaksimu seperti itu? Saya pikir benda ini memang bukan milikmu." Ozkhan lantas meletakkan gelang tersebut ke meja, lalu menyesap wine sedikit demi sedikit sambil memerhatikan sikap Shanum."Tadi saya hanya kaget, Tuan. Kenapa gelang saya bisa ada pada Anda," papar Shanum sambil meletakkan gelasnya. "Dua hari ini saya mencarinya." Maniknya memandang sedih gelang emas pemberian sang ayah.
Shanum mengira jika Pedro hanya bercanda. Namun, sosok yang ada di hadapannya saat ini benar-benar nyata. Dia bahkan dapat menatap puas wajah Ozkhan yang tampan, tetapi datar.Hfuuh...'Kenapa Tuan Ozkhan tidak mengabariku kalau dia akan datang ke sini?' benak Shanum bertanya-tanya sambil memandang pria bermantel hitam dengan tatanan rambut seperti biasa.Dari jarak kurang satu meter, parfum Ozkhan yang maskulin menggelitik penciuman Shanum, hingga tanpa sadar sekelebat adegan malam panas mereka pun terlintas di ingatan perempuan itu.Akan tetapi, suara berat Ozkhan membuyarkan lamunan Shanum. "Bagaimana kabarmu, Shanum?"Perempuan bermanik teduh itu terperanjat, segera tersadar dari lamunan kotornya. Ck!"Saya baik, Tuan. Sangat baik." Bibir Shanum tersenyum kaku. "Anda sendiri, bagaimana?"Oh, ya ampun... Semoga Ozkhan tak menyadari jika saat ini pipi Shanum memanas dan kemungkinan memerah akibat menahan malu."Saya baik." Tatapan Ozkhan tak lepas dari Shanum.Butuh waktu lama untuk
"Elis, ada yang bisa aku bantu?"Shanum yang baru saja keluar dari kamar menghampiri Elis yang sedang sibuk menata meja makan.Elis menatap Shanum, lalu tersenyum dan berkata, "Tidak perlu, Shanum. Semuanya sudah siap. Kamu hanya perlu duduk dan menikmati masakanku."Menu makan malam ini cukup simpel. Elis sengaja tidak masak terlalu banyak karena di Villa ini hanya ada empat orang saja."Aku sepertinya tidak berguna di sini," cicit Shanum, ketika Elis menolak bantuannya. Dia lantas menarik kursi dan mendudukinya. Hidungnya langsung mencium aroma butter dan rempah. "Kamu membuat Pilav, Elis?" tanya Shanum, bola matanya berbinar memandang masakan yang jarang dia cicipi."Ya. Aku yakin kamu menyukainya, Shanum. Makanlah yang banyak." Elis duduk di samping Shanum, lalu menuangkan air di gelas kosong.Karena sudah merasa lapar, Shanum segera menyendok Pilav ke piring kosong. Pilav sendiri merupakan nasi yang dimasak dengan butter, berbagai rempah dan dicampur kacang polong."Dari aromanya
Paginya, Numa terbangun setelah semalam dia dan sang suami kembali berhubungan setelah sekian lama. Akan tetapi, kesenangan semu itu harus sirna ketika dia tak mendapati Ozkhan di sisinya."Dia bangun sepagi ini?"Perasaan Numa kembali kesal, karena dia pikir akan ada adegan romantis yang berlanjut saat dia membuka mata. Namun, Ozkhan justru sudah tak ada di kamarnya."Semalam dia benar-benar berbeda. Dia seperti bukan Ozkhan yang kukenal."Tentu saja Numa sadar akan perubahan Ozkhan. Meski sudah lama tak berhubungan, dia tetap ingat—bagaimana cara Ozkhan memanjakan dirinya ketika sedang berhubungan.Perlakuan Ozkhan yang begitu hangat dan menggebu-gebu sempat membuat Numa merasa bahagia. Tak pernah dia melihat sorot mendamba semacam itu di mata suaminya."Apa dia berniat memperbaiki hubungan kami? Ah, apa pun alasannya, aku tidak peduli. Yang terpentin
Dua jam sebelumnya...Sekembali dari rumah ayahnya, Ozkhan langsung menuju ke sebuah Hotel bintang satu, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor. Pertemuan rahasia yang seharusnya dilakukan kemarin terpaksa diundur menjadi hari ini karena Ozkhan sibuk membantu Shanum.Tanpa sekretarisnya, Ozkhan masih bisa menghandle meeting tersebut dengan bantuan Emir tentunya. Lelaki itu berencana untuk mengembangkan proyek yang sedang dia persiapkan tanpa sepengetahuan ayahnya.Sebab itu, Ozkhan butuh pasokan dana dari investor luar agar proyeknya dapat segera terealisasi. Beberapa investor yang dia tunjuk semula ragu untuk memberikan bantuan, karena mereka sebelumnya sudah bekerjasama dengan Tuan Baris.Namun, bukan Ozkhan namanya jika tidak mendapat apa yang dia inginkan. Tiga dari lima investor setuju menjalin kerjasama karena percaya dengan kemampuan Ozkhan, yang tidak perlu diragukan lagi.
"Masakanmu sangat lezat, Elis. Aku suka. Rasanya mirip makanan yang ada di restoran mahal."Shanum tidak bohong, makanan yang dimasak Elis sungguh mempunyai cita rasa mirip restoran ternama. Menu makanan yang pernah dia cicip saat diajak makan oleh Ozkhan.Pujian Shanum membuat Elis yang sedang mengupas buah apel tersenyum bangga. "Benarkah? Wah... Aku senang kalau kamu suka. Selama di sini, aku akan memasakkanmu makanan yang lezat."Elis menyodorkan apel yang sudah dipotong menjadi enam bagian dan diletakkan ke piring ke hadapan Shanum."Makanlah yang banyak. Biar badanmu tidak terlalu kurus seperti itu." Elis tak bermaksud menyindir Shanum karena waktu pertama kali melihat perempuan bermata teduh itu, dia merasa prihatin. Elis bisa merasakan jika Shanum selama ini banyak menanggung masalah."Tapi aku sangat nyaman dengan ukuran badanku," cicit Shanum, lalu mengambil satu potongan buah apel dan menggigitnya. "Manis.""No!" Elis menggeleng tak setuju. "Berapa berat badanmu?""Terakhir