Beberapa jam sebelumnya...
"Kamu pakai ini, Sayang. Aku mau malam ini kamu terlihat berbeda."
Orhan menyodorkan paper bag warna cokelat bertuliskan nama brand merk baju terkenal, pada sang istri—Shanum.
Kening Shanum mengernyit heran, sebab jarang-jarang suaminya itu memberinya sesuatu. Apalagi, barang-barang mahal seperti itu. "Ini apa, Orhan? Apa ini hadiah untukku?" tanyanya sambil menerima pemberian Orhan, lalu mengintipnya. "Gaun?"
"Ya." Orhan menyeringai, karena Shanum terlihat sangat bahagia menerima pemberiannya. "Anggap saja itu hadiah dariku, karena malam ini adalah hari jadi kita."
Bola mata bulat Shanum berbinar seketika, merasa jika sang suami telah berubah. Perempuan itu langsung menghambur—memeluk sang suami. "Terima kasih, Orhan."
"Sama-sama, Sayang. Semoga kamu suka dengan hadiahku."
"Tentu. Apa pun yang kamu beri, aku pasti menyukainya." Perasaan Shanum tak dapat dijabarkan lagi, saking senangnya dia mendapat hadiah.
Pelukan itu cukup singkat, Orhan langsung meminta Shanum agar segera memakainya. "Ya sudah. Cepat kamu pakai. Aku sudah tidak sabar ingin lihat istriku memakai gaun pilihanku."
"Hmm. Kamu tunggu sebentar. Aku ganti pakaian dulu."
"Aku tunggu di luar."
Orhan lantas keluar kamar, memilih menunggu di ruang tamu. Sementara Shanum bergegas mengganti pakaian dengan perasaan bahagia bukan kepalang.
Ngomong-ngomong, malam ini adalah hari jadi pernikahan Shanum yang kedua. Dan beberapa hari ini Orhan bersikap agak berbeda dari biasanya. Lelaki itu yang biasanya tak acuh, tiba-tiba mengajak Shanum dinner di sebuah restoran.
Tak hanya dinner, Orhan juga memberikan Shanum hadiah. Padahal, kalau diingat-ingat, suaminya itu tak pernah membelikan Shanum apa pun.
"Mungkin dia memang sudah berubah," gumam Shanum.
Paper bag yang berisi gaun dibuka oleh Shanum. Dan benar saja, gaun tersebut terlihat mewah dan cantik.
"Cantik sekali gaunnya." Manik Shanum memandang takjub pada gaun berwarna merah menyala di tangan. "Tapi …"
Raut Shanum cukup terkejut mendapati gaunnya berpotongan sangat rendah.
"Kenapa pendek sekali. Dan kenapa tanpa lengan? Bukankah ini terlalu terbuka untukku?"
Keraguan nampak begitu jelas di manik Shanum, karena dia tidak terbiasa memakai pakaian jenis semacam itu. Menurutnya, gaun pemberian Orhan terlalu seksi dan terbuka.
"Tapi, seandainya aku tidak memakainya, Orhan pasti akan tersinggung. Nanti dia mengira aku tidak menghargai pemberiannya."
Kini keraguan Shanum berganti perasaan serba salah. Dia memang tidak menyukai pakaian model terbuka, tetapi demi menyenangkan hati suaminya, Shanum terpaksa mengesampingkan perasaannya.
"Baiklah. Aku akan memakai gaun ini. Aku tidak ingin mengecewakan Orhan."
Tanpa banyak berpikir, Shanum pun bergegas memakai gaun tersebut. Ukurannya yang sangat minim, membuat lekukan tubuh Shanum terlihat jelas. Apalagi di bagian dada yang sangat rendah, hingga memperlihatkan belahan payudara perempuan itu.
"Aneh."
Shanum meringis, melihat penampilannya di standing mirror. Dia seperti melihat orang lain.
"Tidak masalah, semata-mata demi Orhan. Aku harus memakainya."
Tak hanya berganti pakaian, Shanum juga memoles wajahnya dengan make up natural. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai. Parfum favorit pun tak lupa dia semprotkan.
***
Sementara di ruang tamu, Orhan terlihat sedang sibuk berbicara pada seseorang lewat ponsel.
"Sesuai keinginanmu. Aku akan membawanya malam ini. Dan aku ingin kamu pun menepati janjimu," ucap Orhan sambil matanya menatap awas pintu kamar—takut tiba-tiba Shanum keluar.
Seseorang di seberang telepon tertawa."Kapan aku tidak pernah menepati janjiku?"
"Iya-iya aku percaya. Ya sudah. Kamu tunggu di sana. Istriku sedang memakai gaun yang kamu kirim tadi sore. Setelahnya kami akan berangkat."
"Oke. Aku tunggu."
Tepat Orhan mengakhiri pembicaraan, Shanum muncul.
"Orhan," panggil Shanum.
Orhan buru-buru memasukkan ponselnya ke saku jas. Untuk sejenak dia terpana oleh kecantikan istrinya. "Kamu cantik sekali, Sayang."
Pujian dari sang suami membuat Shanum tersipu. Akan tetapi, dia tidak dapat menyembunyikan ketidaknyamanannya. Dia tak berhenti menarik-narik ujung gaun agar tidak terlalu naik ke atas dan mengeksplor bagian pahanya yang mulus.
"Apa menurutmu gaun ini tidak terlalu terbuka? Aku merasa sesak memakai ini," cicit Shanum.
Orhan menggeleng dan berkata, "Tidak. Gaun itu sangat cocok untukmu."
"Benarkah? Kamu tidak keberatan aku memakai pakaian minim seperti ini? Kalau kamu tidak keberatan aku akan berusaha nyaman memakainya."
"Hmm. Aku tidak keberatan. Aku malah bangga karena punya istri cantik seperti kamu, Shanum," kata Orhan meyakinkan, meskipun itu hanyalah kebohongan. 'Tapi sayangnya bodoh!' imbuhnya dalam hati, dengan seringai menjijikan.
Orhan dan Shanum berangkat dari rumah pukul delapan malam. Keduanya menuju ke sebuah Hotel, memesan kamar.
Awalnya Shanum tidak curiga sedikit pun, sebab dia pikir sang suami ingin menghabiskan malam mereka di tempat itu. Orhan memesan minuman, dan menu makanan lezat.
Dan untuk pertama kalinya Shanum mencicipi minuman beralkohol. Itu pun karena sang suami memaksa. Orhan lantas pamit keluar sebentar dan Shanum masih memercayainya.
Namun, beberapa saat setelah Orhan pergi, seorang pria masuk tanpa izin. Shanum terkejut dan panik karena pria itu mengaku jika sudah membelinya dari Orhan.
Tak ingin percaya begitu saja, Shanum lantas meminta bukti pada pria tak dikenal itu.
"Mana buktinya jika suami saya sudah menjual saya?" tantang Shanum.
Pria itu tertawa, lalu mengeluarkan ponsel. Dia menghubungi Orhan. "Halo, istrimu meminta bukti padaku. Silakan kamu beritahu dia kalau kamu sudah menjadikan dia sebagai penebus utangmu karena kalah judi."
Manik Shanum membulat sempurna, seiring sekujur tubuhnya bergetar hebat lantaran terlalu syok. "Tidak! I-itu tidak mungkin!" Dia menggeleng berkali-kali, menolak kenyataan yang mengerikan ini. "Berikan ponselnya pada saya!" Shanum merampas ponsel pria itu.
"Orhan, apa yang dikatakan pria ini? Kenapa dia mengatakan hal konyol, huh? Katakan kalau ini tidak benar, Orhan! Katakan! Cepat katakan, Orhan! Kamu ke mana? Kamu di mana!" Tangis ketakutan akhirnya lolos dari bibir Shanum.
Dari sebrang telepon Orhan berkata tanpa memikirkan perasaan sang istri yang saat ini tengah ketakutan. "Shanum, apa yang dikatakan pria itu memang benar. Kamu sudah aku jual untuk melunasi utangku. Aku harap kamu mau membantuku, Shanum. Karena kalau aku tidak bisa membayarnya, dia akan membunuhku."
Tawa miris lolos dari mulut Shanum. Perkataan Orhan benar-benar tak bisa dia percayai. Jadi, ini alasannya—sang suami bersikap manis? Rupanya Orhan ingin menjadikannya sebagai jalang.
"Berengsek kamu, Orhan! Kamu pikir aku wanita jalang yang bisa seenaknya kamu jual, huh? Aku tidak sudi menjadi penebus utangmu!" geram Shanum, melirik tajam pada lelaki yang saat ini sedang menatapnya penuh nafsu. Sialan!
"Shanum, kamu tidak bisa membantah perintahku! Kamu mau aku dibunuh sama pria itu?" teriak Orhan dari ujung telepon.
Mendengar itu Shanum pun tertawa sarkas. Bagaimana bisa ada suami seegois suaminya? "Kamu takut mati di tangannya, Orhan? Tapi kamu tidak pedulikan aku istrimu yang entah setelah ini bisa hidup atau tidak? Berengsek kamu, Orhan! Kamu pria egois!"
"Sudahlah Shanum, jangan membantah!"
Orhan mengakhiri panggilan sepihak, membuat Shanum semakin kesal dan marah.
"Orhan! Orhan!"
~~~
Dan Shanum pun akhirnya malah terjebak dengan atasannya di kamar mewah ini. Shanum dengan sadarnya meminta hal yang paling memalukan.
Ozkhan yang Shanum kira akan tetap kukuh menolak permintaannya, justru mendadak berubah pikiran. Dia pun merutuki dirinya sendiri karena terang-terangan menikmati permainan panas dari atasannya ini.
"Tuan …."
Shanum tak berhenti merintih di bawah kendali Ozkhan yang sangat berbeda dari biasanya. Dia pun kewalahan mengimbangi lelaki itu.
'Apakah seperti ini sifat asli Tuan Ozkhan yang terkenal dingin? Kenapa aku merasa ada sesuatu yang salah dari sorot matanya.' Batin Shanum, diam-diam menelaah sorot mata Ozkhan yang sedang mengungkungnya.
Percintaan keduanya pun berlangsung cukup lama dan tak hanya sekali mereka melakukannya. Setiap sudut ruangan mewah itu menjadi saksi—bagaimana Ozkhan dan Shanum saling berbagi kehangatan dan melampiaskan hasrat.
Shanum dan Ozkhan baru beristirahat ketika hampir menjelang pagi. Atasan dan sekretarisnya itu terbaring di ranjang yang sama.
Jika Ozkhan langsung terlelap, berbeda dengan Shanum yang justru malah menangis.
"Apa-apaan ini semua? Kenapa semua ini harus terjadi antara aku dan Tuan Ozkhan? Kami tidak seharusnya seperti ini. Ini adalah sebuah kesalahan besar."
Ya, Shanum menganggap semua yang terjadi semalam adalah suatu kesalahan. Lebih tepatnya kesalahan yang tidak disangka-sangka. Dia sendiri masih ingat jika dialah yang meminta Ozkhan untuk membantunya.
Namun, rasa bersalah dan penyesalan mendominasi hati Shanum.
"Apa yang akan dipikirkan Tuan Ozkhan setelah ini?"
Manik Shanum menatap nanar punggung lebar sang atasan yang masih polos tanpa sehelai kain. Bahkan Shanum bisa menatap puas tato bergambar sayap di permukaan kulit Ozkhan.
"Sebelum dia terbangun, lebih baik aku pergi dulu."
Untuk sekarang ini adalah keputusan yang tepat bagi Shanum. Pergi diam-diam tanpa berpamitan pada Ozkhan.
****
Bersambung...
"Kapan dia pergi? Kenapa dia tidak membangunkanku," gumam Ozkhan.Ketika terbangun, Ozkhan tak mendapati Shanum di sampingnya. Perempuan itu pergi tanpa berpamitan sekaligus meninggalkan banyak pertanyaan dalam benak lelaki tiga puluh delapan tahun itu.Di bawah kucuran air shower, Ozkhan merenung. Sekelebat adegan-adegan panas yang dia lalui bersama dengan sang sekretaris tiba-tiba muncul di ingatan, membuat Ozkhan merasakan sesuatu yang tidak dapat dijabarkan dengan kata-kata.Desahan frustrasi meluncur dari bibir Ozkhan. "Pasti dia berpikir yang tidak-tidak tentangku. Sial! Harusnya semalam aku bisa mengontrol diri."Kekesalan muncul dalam benak Ozkhan, sebab dia merasa apa yang dilakukannya pada Shanum kemungkinan sudah keterlaluan. Kemarahan akan sesuatu membuat dia kehilangan kendali.Beberapa foto yang dikirimkan orang kepercayaannya menjadi pemicu. Ozkhan sadar, jika seharusnya dia tak melampiaskannya pada Shanum."Semua ini gara-gara wanita itu. Dia pikir, aku tidak pernah me
Dari hotel, Ozkhan sengaja langsung berangkat ke kantor. Selain dia tidak suka mondar-mandir, Ozkhan juga sedang ingin menghindari istrinya.Namun, ketika melewati meja sekretaris, Ozkhan tak melihat keberadaan Shanum di sana. Padahal, biasanya sekretarisnya itu selalu datang tepat waktu dan paling awal darinya.Seketika, Ozkhan pun kepikiran masalah semalam.'Apa dia juga berniat libur hari ini?'Belum lama Shanum bekerja dengan Ozkhan. Dan sekarang, dia malah terlibat masalah pribadi yang sangat sensitif. Entah harus bagaimana Ozkhan mengambil sikap setelah ini.Ozkhan menduduki kursi, tak lama kemudian asisten kepercayaannya masuk."Selamat pagi, Tuan." Emir memberi salam hormat pada atasannya dengan anggukan kecil.Sementara Ozkhan hanya membalasnya dengan anggukan sambil mengeluarkan ponsel dari saku jas. Raut dan sorot matanya begitu datar seperti biasa."Sepertinya hari ini Shanum izin tidak masuk, Tuan," ucap Emir, sekadar memberi informasi pada sang atasan.Informasi barusan
Orhan dan Shanum langsung memasuki lift, sementara Emir masih mengikuti keduanya dengan sangat hati-hati. Beruntungnya di dalam lift tak hanya mereka bertiga yang berada dalam ruangan berjalan itu. Sebelumnya, sudah ada empat orang yang ada di dalamnya.Agar tidak ketahuan, Emir berinisiatif memakai masker yang selalu dia bawa ke mana pun saat sedang menjalani misi seperti ini. Tugasnya tak hanya menjadi asisten Ozkhan, tetapi dia merangkap menjadi mata-mata. Maka dari itu, tugas semacam ini bisa dengan mudah dia kerjakan.Dari tempatnya berdiri yang hanya berjarak beberapa jengkal saja dengan Shanum, Emir bisa mengamati gerak-gerik pasangan itu. Dari yang Emir lihat, jika Shanum hanya diam dan memasang raut cemas sekaligus khawatir.Sikap Orhan pun tak lepas dari pantauan Emir. Lelaki berambut ikal itu begitu bengis pada sang istri. Dari caranya memperlakukan Shanum yang tidak sewajarnya membuat Emir menjadi makin penasaran."Jaga sikap kamu, Shanum. Aku tidak mau kamu membuat kesala
'Tuan Ozkhan?'Manik Shanum melebar, seakan-akan hendak loncat dari cangkangnya. Kedatangan Ozkhan adalah sesuatu yang tidak pernah terpikirkan.Apa aku sedang bermimpi?Kenapa tiba-tiba ada Tuan Ozkhan di sini?Kenapa tiba-tiba dia tertarik menawarkan kesepakatan dengan Orhan?Masih ada banyak pertanyaan yang berjejalan di kepala perempuan dua puluh sembilan tahun itu. Namun, Shanum tidak ingin terlalu larut dalam pikiran-pikiran tidak penting tersebut.Saat ini yang terpenting adalah dia bisa kembali bebas dari pria kejam yang mungkin sedang menunggunya."Anda siapa lagi?"Pertanyaan itu meluncur dari mulut Orhan, sementara maniknya menatap tajam pria menjulang di hadapan. Dan yang paling menarik perhatian, tatapan pria parlente itu tak lepas menatap Shanum.'Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia menatap Shanum seperti itu?' Orhan membatin kesal."Bisa kita bicara di tempat lain?" kata Ozkhan."Tidak bisa. Untuk apa saya menuruti perintah Anda? Siapa Anda?" sungut Orhan.Barulah Ozkhan m
"Termasuk menjadi teman tidur Anda, Tuan Ozkhan," lanjut Shanum.Pernyataan Shanum yang menurut Ozkhan sangat berani, membuat lelaki itu cukup tercengang. Maka dari itu dia perlu menjelaskan. "Kamu sudah salah paham, Shanum," ujarnya, lalu mengalihkan pandangan pada hamparan laut di hadapan.Raut Shanum pias, melihat Ozkhan yang begitu santai menanggapinya. "Salah paham bagaimana, Tuan? Saya rasa Anda tidak mungkin membuang-buang uang sangat banyak untuk sekedar menolong saya. Apalagi, Anda juga menyewa saya selama tiga bulan.""Menyewa bukan berarti kamu harus melayani saya, Shanum," bantah Ozkhan, kemudian memasukkan kedua tangan ke saku celana."Lalu, untuk apa Anda melakukan semua itu?" tuntut Shanum, tetapi dia buru-buru meralat. "Tidak. Maksud saya—""Saya hanya ingin menjauhkanmu dari suamimu itu, Shanum," sergah Ozkhan, memotong kalimat Shanum. "Selama tiga bulan ke depan kamu bisa bebas darinya. Kamu bisa hidup tenang tanpa tekanan dari dia.""Tuan …." Shanum kehabisan kata-k
Hampir tengah malam Ozkhan tiba di kediamannya. Ketika memasuki kamar, dia mendapati sang istri yang ternyata belum tidur. Numa sedang duduk bersandar di ranjang sambil menikmati segelas red wine.Melihat sang suami yang ternyata pulang, Numa pun tersenyum senang. Perempuan yang malam itu mengenakan piyama tidur sutra berwarna merah lantas buru-buru meletakkan gelasnya ke atas nakas.Numa hendak menghambur memeluk Ozkhan, tetapi hanya penolakan yang dia dapatkan. Bahkan sikap Ozkhan begitu dingin. "Aku merindukanmu, Ozkhan. Tidak bisakah kamu memberiku pelukan?"Permintaan Numa ditanggapi dengkusan oleh Ozkhan. Sambil meloloskan kancing lengan kemeja, dia berkata, "Sejak kapan hubungan kita sehangat itu, Numa?"Kedua telapak tangan Numa mengepal kuat di sisi tubuh. Dia berusaha mengendalikan diri agar tidak terbawa emosi. Yang bisa dia lakukan saat ini hanya menghela napas panjang.Numa pun baru sadar, jika rumah tangganya dengan Ozkhan memang tak pernah sehangat itu. Namun, dia ingin
"Masakanmu sangat lezat, Elis. Aku suka. Rasanya mirip makanan yang ada di restoran mahal."Shanum tidak bohong, makanan yang dimasak Elis sungguh mempunyai cita rasa mirip restoran ternama. Menu makanan yang pernah dia cicip saat diajak makan oleh Ozkhan.Pujian Shanum membuat Elis yang sedang mengupas buah apel tersenyum bangga. "Benarkah? Wah... Aku senang kalau kamu suka. Selama di sini, aku akan memasakkanmu makanan yang lezat."Elis menyodorkan apel yang sudah dipotong menjadi enam bagian dan diletakkan ke piring ke hadapan Shanum."Makanlah yang banyak. Biar badanmu tidak terlalu kurus seperti itu." Elis tak bermaksud menyindir Shanum karena waktu pertama kali melihat perempuan bermata teduh itu, dia merasa prihatin. Elis bisa merasakan jika Shanum selama ini banyak menanggung masalah."Tapi aku sangat nyaman dengan ukuran badanku," cicit Shanum, lalu mengambil satu potongan buah apel dan menggigitnya. "Manis.""No!" Elis menggeleng tak setuju. "Berapa berat badanmu?""Terakhir
"Tuan, tolong saya. Saya mohon …"Saat ini di sebuah kamar hotel seorang perempuan berpenampilan acak-acakan sedang merengek pada seorang pria berparas datar dan dingin.Bukan tanpa alasan perempuan itu merengek meminta pertolongan pada pria yang dikenalnya. Terlebih, setiap hari dia bertemu pria dingin tersebut.Seandainya dia tak lagi sedang dalam keadaan terdesak. Mana mungkin dia berani meminta hal yang sangat-sangat mustahil dan terkesan murahan."Shanum, apa kamu yakin?" Pria beralis tebal dan bermanik hitam itu mencoba meyakinkan sekali lagi. "Saya tidak ingin kamu menyesalinya setelah ini," tegasnya.Perempuan bernama Shanum itu mengangguk cepat. "Saya yakin, Tuan. Yakin seribu persen. Dari pada saya harus menderita semalaman gara-gara obat sialan itu, lebih baik saya … saya minta bantuan sama Tuan Ozkhan."Keputusan berat yang harus diambil Shanum, setelah dirinya dijebak oleh suaminya sendiri. Sial! Hidupnya benar-benar sial setelah menikah dengan Orhan—suaminya yang tak tah