Hampir tengah malam Ozkhan tiba di kediamannya. Ketika memasuki kamar, dia mendapati sang istri yang ternyata belum tidur. Numa sedang duduk bersandar di ranjang sambil menikmati segelas red wine.Melihat sang suami yang ternyata pulang, Numa pun tersenyum senang. Perempuan yang malam itu mengenakan piyama tidur sutra berwarna merah lantas buru-buru meletakkan gelasnya ke atas nakas.Numa hendak menghambur memeluk Ozkhan, tetapi hanya penolakan yang dia dapatkan. Bahkan sikap Ozkhan begitu dingin. "Aku merindukanmu, Ozkhan. Tidak bisakah kamu memberiku pelukan?"Permintaan Numa ditanggapi dengkusan oleh Ozkhan. Sambil meloloskan kancing lengan kemeja, dia berkata, "Sejak kapan hubungan kita sehangat itu, Numa?"Kedua telapak tangan Numa mengepal kuat di sisi tubuh. Dia berusaha mengendalikan diri agar tidak terbawa emosi. Yang bisa dia lakukan saat ini hanya menghela napas panjang.Numa pun baru sadar, jika rumah tangganya dengan Ozkhan memang tak pernah sehangat itu. Namun, dia ingin
"Masakanmu sangat lezat, Elis. Aku suka. Rasanya mirip makanan yang ada di restoran mahal."Shanum tidak bohong, makanan yang dimasak Elis sungguh mempunyai cita rasa mirip restoran ternama. Menu makanan yang pernah dia cicip saat diajak makan oleh Ozkhan.Pujian Shanum membuat Elis yang sedang mengupas buah apel tersenyum bangga. "Benarkah? Wah... Aku senang kalau kamu suka. Selama di sini, aku akan memasakkanmu makanan yang lezat."Elis menyodorkan apel yang sudah dipotong menjadi enam bagian dan diletakkan ke piring ke hadapan Shanum."Makanlah yang banyak. Biar badanmu tidak terlalu kurus seperti itu." Elis tak bermaksud menyindir Shanum karena waktu pertama kali melihat perempuan bermata teduh itu, dia merasa prihatin. Elis bisa merasakan jika Shanum selama ini banyak menanggung masalah."Tapi aku sangat nyaman dengan ukuran badanku," cicit Shanum, lalu mengambil satu potongan buah apel dan menggigitnya. "Manis.""No!" Elis menggeleng tak setuju. "Berapa berat badanmu?""Terakhir
Dua jam sebelumnya...Sekembali dari rumah ayahnya, Ozkhan langsung menuju ke sebuah Hotel bintang satu, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor. Pertemuan rahasia yang seharusnya dilakukan kemarin terpaksa diundur menjadi hari ini karena Ozkhan sibuk membantu Shanum.Tanpa sekretarisnya, Ozkhan masih bisa menghandle meeting tersebut dengan bantuan Emir tentunya. Lelaki itu berencana untuk mengembangkan proyek yang sedang dia persiapkan tanpa sepengetahuan ayahnya.Sebab itu, Ozkhan butuh pasokan dana dari investor luar agar proyeknya dapat segera terealisasi. Beberapa investor yang dia tunjuk semula ragu untuk memberikan bantuan, karena mereka sebelumnya sudah bekerjasama dengan Tuan Baris.Namun, bukan Ozkhan namanya jika tidak mendapat apa yang dia inginkan. Tiga dari lima investor setuju menjalin kerjasama karena percaya dengan kemampuan Ozkhan, yang tidak perlu diragukan lagi.
Paginya, Numa terbangun setelah semalam dia dan sang suami kembali berhubungan setelah sekian lama. Akan tetapi, kesenangan semu itu harus sirna ketika dia tak mendapati Ozkhan di sisinya."Dia bangun sepagi ini?"Perasaan Numa kembali kesal, karena dia pikir akan ada adegan romantis yang berlanjut saat dia membuka mata. Namun, Ozkhan justru sudah tak ada di kamarnya."Semalam dia benar-benar berbeda. Dia seperti bukan Ozkhan yang kukenal."Tentu saja Numa sadar akan perubahan Ozkhan. Meski sudah lama tak berhubungan, dia tetap ingat—bagaimana cara Ozkhan memanjakan dirinya ketika sedang berhubungan.Perlakuan Ozkhan yang begitu hangat dan menggebu-gebu sempat membuat Numa merasa bahagia. Tak pernah dia melihat sorot mendamba semacam itu di mata suaminya."Apa dia berniat memperbaiki hubungan kami? Ah, apa pun alasannya, aku tidak peduli. Yang terpentin
"Elis, ada yang bisa aku bantu?"Shanum yang baru saja keluar dari kamar menghampiri Elis yang sedang sibuk menata meja makan.Elis menatap Shanum, lalu tersenyum dan berkata, "Tidak perlu, Shanum. Semuanya sudah siap. Kamu hanya perlu duduk dan menikmati masakanku."Menu makan malam ini cukup simpel. Elis sengaja tidak masak terlalu banyak karena di Villa ini hanya ada empat orang saja."Aku sepertinya tidak berguna di sini," cicit Shanum, ketika Elis menolak bantuannya. Dia lantas menarik kursi dan mendudukinya. Hidungnya langsung mencium aroma butter dan rempah. "Kamu membuat Pilav, Elis?" tanya Shanum, bola matanya berbinar memandang masakan yang jarang dia cicipi."Ya. Aku yakin kamu menyukainya, Shanum. Makanlah yang banyak." Elis duduk di samping Shanum, lalu menuangkan air di gelas kosong.Karena sudah merasa lapar, Shanum segera menyendok Pilav ke piring kosong. Pilav sendiri merupakan nasi yang dimasak dengan butter, berbagai rempah dan dicampur kacang polong."Dari aromanya
Shanum mengira jika Pedro hanya bercanda. Namun, sosok yang ada di hadapannya saat ini benar-benar nyata. Dia bahkan dapat menatap puas wajah Ozkhan yang tampan, tetapi datar.Hfuuh...'Kenapa Tuan Ozkhan tidak mengabariku kalau dia akan datang ke sini?' benak Shanum bertanya-tanya sambil memandang pria bermantel hitam dengan tatanan rambut seperti biasa.Dari jarak kurang satu meter, parfum Ozkhan yang maskulin menggelitik penciuman Shanum, hingga tanpa sadar sekelebat adegan malam panas mereka pun terlintas di ingatan perempuan itu.Akan tetapi, suara berat Ozkhan membuyarkan lamunan Shanum. "Bagaimana kabarmu, Shanum?"Perempuan bermanik teduh itu terperanjat, segera tersadar dari lamunan kotornya. Ck!"Saya baik, Tuan. Sangat baik." Bibir Shanum tersenyum kaku. "Anda sendiri, bagaimana?"Oh, ya ampun... Semoga Ozkhan tak menyadari jika saat ini pipi Shanum memanas dan kemungkinan memerah akibat menahan malu."Saya baik." Tatapan Ozkhan tak lepas dari Shanum.Butuh waktu lama untuk
"Itu..."Shanum membeku ketika melihat benda yang selama beberapa hari ini dia cari berada di tangan Ozkhan. Dia pun bertanya-tanya—Mengapa gelangnya bisa ada pada atasannya itu.Reaksi Shanum membuat Ozkhan sedikit terhibur, karena wajah polos perempuan itu begitu menggemaskan."Ada apa, Shanum? Apakah gelang ini bukan milikmu?" tanya Ozkhan sekadar mengetes Shanum yang sama sekali belum berminat mengambil barang miliknya.Apa mungkin Shanum memang sengaja? Pikir Ozkhan.Shanum menggeleng sambil mengibaskan tangan. "Bukan begitu maksudnya. Gelang itu memang punya saya," ucapnya meralat."Lalu? Kenapa reaksimu seperti itu? Saya pikir benda ini memang bukan milikmu." Ozkhan lantas meletakkan gelang tersebut ke meja, lalu menyesap wine sedikit demi sedikit sambil memerhatikan sikap Shanum."Tadi saya hanya kaget, Tuan. Kenapa gelang saya bisa ada pada Anda," papar Shanum sambil meletakkan gelasnya. "Dua hari ini saya mencarinya." Maniknya memandang sedih gelang emas pemberian sang ayah.
Kediaman Ozkhan. Sudah hampir dua jam, Numa terlihat mondar-mandir di kamar sambil sesekali dia menyingkap tirai jendela untuk melihat ke bawah. Saat ini dia tengah menunggu kepulangan Ozkhan. Numa menunggu sampai sepasang kakinya terasa pegal. "Kenapa Ozkhan belum pulang? Ini sudah hampir tengah malam."Baru semalam hatinya menghangat dan mengharap pada suaminya, yang sudah lama tak pernah menyentuhnya. Numa bahkan mulai berandai-andai jika hubungannya yang dingin akan kembali hangat seperti sedia kala. Akan tetapi, sikap Ozkhan cepat sekali berubah. Numa hampir tak percaya jika dalam semalam, suaminya seolah menjelma sebagai pria lain. "Kamu ke mana, Ozkhan?" Berkali-kali Numa mengecek layar ponsel, berharap Ozkhan membalas pesan darinya. Bahkan, Ozkhan tidak menghubunginya balik. "Ponsel Emir juga tidak bisa dihubungi. Sebenarnya, apa yang mereka kerjakan sampai selarut ini?" Terdengar helaan frustrasi dari hidung Numa. Perempuan berbaju tidur satin warna hitam itu melangkah
[Malam ini saya berencana pulang ke rumah. Saya sudah meminta Elis untuk menemani kamu, di apartemen. Kamu tidak keberatan 'kan?]Sederet pesan singkat dari Ozkhan, membuat Shanum tersenyum lega. Pasalnya, dia sama sekali tidak merasa keberatan dengan rencana atasannya itu. Shanum justru senang karena Ozkhan memilih pulang malam ini. [Tidak masalah, Tuan. Saya justru senang karena saya yakin Ghul juga merasa sangat senang bertemu ayahnya malam ini.] Pesan balasan segera dikirim Shanum.. Sementara dia bergegas keluar kamar untuk menemui Elis yang sedang berada di ruang tamu. "Elis," panggil Shanum, menghampiri Elis yang langsung menoleh ke arahnya. "Ya, ada apa?" tanya Elis. Shanum duduk di samping Elis. "Kamu sudah dapat pesan dari Tuan Ozkhan, bukan?" Elis mengangguk. "Sudah. Malam ini aku menginap di sini." "Baguslah. Temani aku di sini. Kamu bisa tidur di kamar itu." Telunjuk Shanum mengarah pada kamar kosong yang bersebelahan dengan kamarnya. Pandangan Elis tertuju pada ka
Ditinggal libur selama beberapa hari untuk merawat Shanum, nyatanya tidak membuat Ozkhan keteteran dengan pekerjaannya. Selama ada Emir dan bawahan lainya, Ozkhan hanya menerima beres. Usaha Ozkhan pun membuahkan hasil. Calon investor dari Dubai memberikan kabar yang sudah tiga hari ini dia tunggu-tunggu. Impiannya yang ingin membangun sebuah resort mewah sebentar lagi akan terwujud. "Akhirnya, aku bisa mewujudkan proyek besar ini." Tak henti-hentinya Ozkhan bersyukur, sejak satu jam yang lalu setelah menerima email dari Tuan Malik—investor yang dia temui secara tidak sengaja di Dubai tempo hari. "Tidak sia-sia aku berangkat ke sana." Waktu perjalanan bisnis tempo hari, niat Ozkhan mendatangi beberapa investor yang selama ini mendukung perusahaan sang ayah untuk memperpanjang kontrak kerja sama. Namun, secara tidak sengaja dia diperkenalkan dengan Tuan Malik di jamuan makan malam. Sebagai seorang pengusaha yang berniat merintis bisnis sendiri, Ozkhan tentu tak menyia-nyiakan kes
Keesokan paginya...Ozkhan yang hari ini berniat menyudahi liburnya sedang bersiap untuk berangkat ke kantor. Pria itu berdiri menghadap standing mirror sambil mengancing kancing lengan kemeja putihnya. "Mau saya bantu memakaikan dasi, Tuan?" tanya Shanum yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri. Perempuan yang hanya mengenakan bathrobe dan rambut basahnya dibungkus handuk melangkah mendekati Ozkhan. "Dengan senang hati." Lengan Ozkhan langsung meraih pinggang Shanum supaya lebih merapat padanya. Sementara tangannya yang bebas meraih dasi warna netral yang tergeletak di meja rias.Shanum mengambil kain panjang berwarna netral itu dari tangan Ozkhan, kemudian mulai memasangnya di leher sang atasan yang memandangnya dengan tatapan memuja.Berada seintim ini dengan Ozkhan mulai membuat Shanum terbiasa. Perempuan itu tak lagi merasa canggung mau pun sungkan semenjak Ozkhan memberinya perhatian yang berlimpah serta kasih sayang yang begitu tulus. "Selesai." Sha
"Tuan..." Shanum menyusul keluar lantaran dia kepikiran perihal Hakkan yang rupanya sudah tidak berada di unitnya. Shanum hanya melihat keberadaan Ozkhan yang sedang duduk di mini bar. Ozkhan menoleh ke arah Shanum yang melangkah mendekat. "Shanum, kenapa kamu keluar kamar?" tanyanya seraya bergegas berdiri untuk menghampiri wanitanya. Sikap Ozkhan yang berlebihan membuat Shanum sudah terbiasa akan hal itu. "Saya bosan di kamar, Tuan. Lagipula saya juga sudah baik-baik saja." Ozkhan menghela, tak ingin protes lagi. Dia pun merasa—tidak ada salahnya jika Shanum keluar kamar. "Duduklah di sini." Ozkhan menuntun Shanum duduk di sofa, kemudian pergi ke pantry untuk mengambil sesuatu. Shanum hanya memerhatikan Ozkhan dari tempatnya sambil tersenyum. Beberapa hari ini atasannya itu benar-benar menjaga dan merawatnya seperti seorang suami yang siaga. Selama menikah, Orhan bahkan tidak pernah memasakkan sesuatu untuk Shanum. Jangankan memasak, memberi uang saja kalau suaminya itu ingat
"Lukanya sudah tidak apa-apa," ucap Hakkan, setelah memeriksa kondisi luka sayatan di telapak tangan dan paha Shanum yang sudah terlihat mengering. "Sudah tidak perlu dibalut kasa lagi. Dan sudah boleh kena air," imbuhnya, sambil melirik Ozkhan yang sedari tadi menatapnya penuh kesal. Kira-kira ada apa dengan Ozkhan? Temannya itu sejak tadi masam dan terkesan seperti orang yang cemburu, pikir Hakkan. "Terima kasih, Dokter," ucap Shanum. "Sama-sama. Lain kali jangan diulangi lagi. Seandainya tiba-tiba keinginan itu muncul kembali, akan lebih baik kamu mengalihkan fokusmu. Atur napas dan jangan sekali-kali kamu memejamkan mata. Karena dengan begitu, kamu bisa mengontrol diri agar tidak berbuat nekad lagi." "Ya. Saya mengerti." Shanum mengangguk paham, dan memandang Ozkhan yang nampaknya tidak tertarik untuk ikut diskusi. Hakkan menutuskan untuk pergi dari kamar Shanum sebab tugasnya sudah selesai. Namun sebelum itu ada hal penting yang ingin dia tanyakan pada Ozkhan. Hakkan berdeh
"A-apa?" Shanum nampak terkejut dengan apa yang diungkapkan Ozkhan. "Tuan adalah pria yang menolong saya?" Ozkhan mengangguk. "Ya." Air mata Shanum jatuh satu persatu di pipi saking terharunya. Akhirnya dia bisa dipertemukan oleh malaikat penolongnya di malam nahas itu. Perasaannya sungguh senang luar biasa. Shanum mengusap air mata, menghela napas panjang, kemudian berkata, "Anda tahu, Tuan. Seberapa ingin saya dipertemukan oleh pria yang menolong saya saat itu? Dan bila Tuhan memberikan saya kesempatan untuk bertemu dengan pria itu, saya ingin mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya sama dia." Telapak tangan Shanum terangkat, lalu dia sentuh rahang Ozkhan yang berambut. Maniknya menatap sendu wajah pria yang ternyata pernah menolongnya dua tahun lalu. Apakah ini takdir?Shanum berkata lagi, "Ternyata Anda kembali membatu saya, Tuan. Anda terus menolong saya yang lemah ini. Saya harus membalasnya dengan apa, Tuan? Katakan." Ozkhan memeluk erat Shanum. "Kamu tidak perlu memb
Pagi harinya...Kelopak mata berbulu lentik itu terbuka perlahan. Hal pertama yang ditatap adalah langit-langit kamar dengan pencahayaan temaram. Aroma lavender menyeruak ke penciuman Shanum. "Di mana aku?" Nampak dari ekspresi wajah Shanum, jika dia merasa asing dengan ruangan mewah ini. Manik bulatnya bergulir ke seluruh penjuru ruang yang bersuhu agak rendah dan sangat harum itu. 'Ini kamar siapa?' Shanum membatin bingung dengan keberadaannya sekarang ini. Seingat perempuan itu, dia sedang berada di taman belakang yayasan. Namun, mengapa dia bisa berada di tempat mewah ini?Ingatan Shanum masih abu-abu. Akan tetapi rasa sakit di telapak tangan seketika mengingatkan Shanum akan hal gila yang sempat dia lakukan. "Au!" Shanum mengadu, mengangkat telapak tangannya yang terasa nyeri dan sudah dibalut kain kasa. "Ini?" "Shanum?" Ozkhan muncul dari kamar mandi, dengan hanya memakai bathrobe. Dia langsung buru-buru keluar karena mendengar suara mengaduh. Perhatian Shanum teralihkan
"Bagaimana kondisinya? Apa lukanya cukup serius?" Ozkhan mencecar Hakkan yang baru saja selesai menangani Shanum dengan raut cemas sekaligus khawatir. Dia bahkan tidak sadar jika Hakkan bisa saja menaruh curiga padanya karena sikapnya yang mungkin terlalu berlebihan.Ya, bagaimana tidak? Begitu tahu jika Shanum terluka, Ozkhan justru membawa sekretarisnya itu ke sebuah apartemen mewah alih-alih ke rumah sakit. Ozkhan juga langsung menghubungi Hakkan ke tempat ini agar bisa segera menangani. Hakkan menghela panjang, memandang Shanum yang tertidur di atas ranjang. Dia berhasil melakukan tindakan pertama untuk menolong perempuan itu. Membalut luka sayatan di telapak tangan dan paha Shanum yang untungnya tidak terlalu serius. "Lukanya tidak terlalu serius," ucap Hakkan beralih memandang Ozkhan yang nampaknya begitu mengkhawatirkan sekretarisnya. "Kamu tenang saja, aku sudah memberinya antibiotik agar lukanya tidak infeksi. Aku juga memberinya obat penenang supaya dia bisa beristirahat
Setelah mendapat laporan dari sang asisten, Ozkhan bergegas mengakhiri panggilan.'Ke mana Shanum?'Benak Ozkhan bertanya-tanya, dengan pandangan kosong ke segala arah. Berusaha tetap tenang kendati pikirannya kalut bukan main.Sementara perhatian ketiga orang di hadapan masih tertuju pada Ozkhan. Mereka memandang penuh pertanyaan.Numa memilih mendekat, dan bertanya lebih dahulu. "Ada apa, Sayang? Siapa yang menelepon?""Emir." Ozkhan menjawab singkat."Emir asistenmu?" sambung Hakkan.Ozkhan mengangguk. Kepikiran Shanum membuat dada pria itu terasa sesak, dan lantas mengendurkan lilitan dasi yang terasa mencekik."Memang dia bilang apa?" tanya Hakkan lagi."Dia tidak bisa menghubungi Shanum," kata Ozkhan.Sepasang alis Hakkan naik, merasa asing dengan nama tersebut. "Shanum? Siapa Shanum?" tanyanya sambil melirik Numa yang mendadak pucat."Dia sekretaris Ozkhan." Numalah yang menjawab pertanyaan Hakkan."Sekretaris Ozkhan?""Hmm." Numa mengangguk, kemudian meminta penjelasan lebih r