Paginya, Shanum yang hanya bisa tidur selama tiga jam terpaksa bangun lebih dulu dari Ozkhan. Sementara sang atasan masih terlelap, perempuan itu buru-buru memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri.Tak membutuhkan banyak waktu Shanum mandi, setelahnya dia berganti baju. Namun, pada saat dia keluar dari kamar ganti yang terhubung dengan kamar mandi, dia sudah tidak melihat keberadaan Ozkhan di ranjang."Ke mana Tuan Ozkhan?" Pandangan Shanum mengedar ke seluruh penjuru kamar yang luas itu. Akan tetapi Ozkhan nampaknya sudah tak berada di kamar."Siapa yang membereskan tempat tidur? Tidak mungkin Tuan Ozkhan?" Kondisi ranjang yang sudah rapi, membuat Shanum terheran-heran. Bekas sprei dan selimut semalam pun sudah terganti dengan yang baru.Tak ingin didera rasa penasaran, Shanum memutuskan keluar dari kamar dan turun. Dia bahkan tidak sempat menyisir rambut mau pun merias wajah. Hal utama yang ada di pikirannya saat ini adalah Ozkhan. Shanum merasa tidak enak apabila benar atasanny
"Saya..."Shanum cukup kesulitan menjawab pertanyaan yang terkesan menyudutkan. Sementara pada kenyataannya, dia sangat betah tinggal di sini. Selain tempat ini jauh dari perkotaan, dan sangat tenang. Di sini, dia bisa menikmati pemandangan laut kapan pun yang dia mau.Melihat sekretarisnya tak bisa menjawab, Ozkhan menyeringai. Dia berdeham, lalu berkata, "Kalau kamu belum punya alasan yang tepat yang sekiranya masuk akal, lebih baik kamu nikmati saja masa cutimu. Saya tidak akan pernah mendesak kamu untuk masuk kerja, Shanum. Sampai kamu benar-benar merasa puas di sini."Senyum tipis yang tersungging samar di bibir Ozkhan, membuat Shanum merasa dia sedang melihat orang yang berbeda. Dulu, Shanum pikir kalau Ozkhan adalah orang yang sangat kaku dan tidak banyak bicara.Namun, semenjak dia dan atasannya itu memutuskan untuk menjalin hubungan rumit ini, Shanum seolah melihat sisi lain Ozkhan. Pria berwajah datar dan dingin di hadapannya ini, memiliki sifat yang begitu hangat dan sangat
Makan siang kali ini berbeda dari biasanya. Ozkhan dan Shanum benar-benar menghabiskan waktu bersama layaknya sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara. Meski Shanum terkadang masih merasa canggung dan segan lantaran dia belum terbiasa, dengan aktivitas intim seperti ini dengan atasannya.Berkali-kali Ozkhan menunjukkan sikap posesifnya. Lelaki itu melarang Shanum melakukan pekerjaan yang sekiranya tidak diperlukan. Ozkhan hanya butuh ditemani oleh sang sekretaris.Seperti halnya dia memperlakukan Shanum bagai wanitanya yang berharga. Setiap hal kecil mengenai Shanum, Ozkhan ingin lebih banyak tahu. Termasuk tentang keluarga perempuan itu."Shanum," panggil Ozkhan, setelah dia selesai menghabiskan sepiring menu makan siang dan segelas air es."Ya, Tuan?" Shanum mengalihkan pandangan dari piring di hadapan, lalu dia memerhatikan Ozkhan yang sepertinya hendak bertanya.Sejenak pria itu memerhatikan Shanum, lalu bertanya, "Apa kamu masih punya Ayah?""Ayah?" Dada Shanum tiba-tiba meras
Beberapa jam kemudian....'Shanum, saya pikir kalau seandainya kamu hamil... Saya bersedia untuk bertanggung jawab.' Kata-kata Ozkhan tadi siang tak berhenti berdengung di telinga seorang perempuan yang sedari tadi hanya melamun. Makanan di hadapan pun tak dihiraukan, lantaran dia terus terbayang wajah atasannya ketika dengan terang-terangan mengutarakan niatnya. "Hamil," gumam Shanum seraya meraba perutnya yang rata. Seandainya itu sungguh terjadi padanya, entah apa yang akan dia lakukan. Untungnya hal tersebut tidak akan pernah terjadi pada Shanum, sebab dia sudah lama memasang alat pencegah kehamilan di rahimnya. Orhanlah yang meminta Shanum agar memasang spiral di rahimnya waktu mereka baru menikah, karena suaminya itu ingin menunda memiliki momongan. Orhan mengatakan belum siap menjadi seorang ayah pada saat itu. Shanum menghela, mengusap wajahnya yang nampak gusar. Pikirannya tak berhenti memikirkan tanggapan Ozkhan siang tadi. Mengapa atasannya itu begitu mudah mengatakan
Mobil yang membawa Ozkhan berhenti di halaman rumah bergaya Eropa klasik. Dia sengaja pulang lebih cepat lantaran merindukan Ghul—putrinya.Emir keluar lebih dulu, kemudian membukakan pintu untuk Ozkhan."Kamu boleh langsung pulang. Terima kasih untuk hari ini," kata Ozkhan.Emir hanya mengangguk, lantas menunggu Ozkhan melangkah masuk, baru dia kembali ke mobil dan segera pergi dari sana.Pelayan wanita membukakan pintu untuk majikannya yang kemarin tidak pulang. Rautnya nampak tegang. "Selamat malam, Tuan," sapanya, seraya menunduk sekilas.Ozkhan dapat membaca ketegangan di wajah pelayannya. Pasti ada sesuatu yang terjadi di dalam sana. Akan tetapi, dia memilih untuk tidak bertanya, dan hanya membalas sapaan dengan anggukan.Dan firasatnya benar. Baru satu langkah kakinya melangkah. Dari arah ruang tamu sudah terdengar keributan.prang!Suara pecahan menyambut kedatangannya beserta suara teriakan Numa yang tengah memaki pelayan."Bodoh! Kalian semua tidak becus bekerja! Apa susahnya
Langkah Ozkhan sontak berhenti. Dia membeku di tempatnya kemudian mendesah frustrasi. Apa yang dikatakan Numa sudah Ozkhan perkirakan sebelumnya. Sang istri pasti akan menyinggung masalah tersebut.Ozkhan lantas berbalik, dengan raut datar dan tatapan yang selalu dingin, lelaki itu berkata, "Aku akan menunggu kabar itu. Secepatnya."Numa jelas tak menyangka jika respon Ozkhan akan demikian. Dia mengira sang suami akan berkata sebaliknya. "Itu pasti. Kamu tunggu saja," balasnya dengan nada bicara penuh percaya diri.Sepasang alis Ozkhan naik, terkesan dengan kepercayaan diri istrinya. Tanpa berminat membalas, lelaki itu berbalik untuk melanjutkan niatnya, yang ingin mandi.Sepeninggal Ozkhan, otot-otot wajah Numa yang awalnya menegang perlahan mengendur. Terdengar helaan panjang dari perempuan berbaju tidur itu.Jujur saja dia sendiri tidak terlalu berharap dengan apa yang terjadi tempo hari. Mengingat usianya yang memasuki usia rentan.Lagipula, selama ini Numa dan kekasihnya memilih
Setelah hampir dua bulan tidak menginjakkan kaki ke kamar ini, perasaan Shanum kian berkecamuk. Bisa menatap sang ibu dari jarak dekat seperti ini, dan melihatnya baik-baik saja, sudah sangat cukup bagi Shanum.Namun, meski sang ibu tak mengenalinya, Shanum tetap akan menghampiri dan memberinya pelukan. Rasa rindu sudah menumpuk di dada.Mendengar suara langkah kaki mendekat, perempuan yang separuh rambutnya berwarna putih itu mengalihkan perhatian kepada seseorang yang nampak asing di ingatan. Sorot matanya penuh dengan pertanyaan.Nyonya Dilara—ibunda Shanum mengerutkan kening, lantas bertanya, "Siapa Anda?"Langkah Shanum seketika berhenti dengan jarak kurang dari satu meter dari tempat sang ibu berdiri. Di tengah rasa sesak yang melanda, perempuan itu berusaha tersenyum manis."Saya... Shanum. Anda masih ingat saya?" ujar Shanum.Nyonya Dilara mengerjap, mencoba mengenali wajah Shanum yang memang tidak dia ingat sama sekali. Dia pun menggeleng, membuat Shanum hanya bisa menghela p
Ozkhan baru sempat mengecek ponsel, setelah hampir dua jam dia meeting dengan para pemegang saham di perusahaan ayahnya.Belakangan ini Ozkhan harus ekstra hati-hati serta bekerja keras untuk mengambil hati orang-orang yang selama ini berada di sisi Tuan Baris. Ozkhan memerlukan dukungan untuk mencapai tujuannya.Muak karena selama ini dia hanya dijadikan boneka oleh sang ayah dan kakaknya yang tidak berguna. Kali ini Ozkhan akan memutar balik keadaan demi membalas rasa sakit yang diperoleh ibunya di rumah itu."Ada pesan dari Shanum." Senyum Ozkhan terukir samar ketika melihat pesan dari sekretarisnya.Pesan dari Shanum dibaca oleh Ozkhan. Lelaki itu kemudian segera mengetik pesan balasan.[Saya penasaran, Shanum. Saya ingin mendengar ceritanya langsung dari kamu. Tunggu saya malam ini.]Selesai mengirim pesan, Ozkhan lantas kembali fokus pada laporan yang baru saja dikirim oleh asistennya. Beberapa Minggu ke depan lelaki itu akan ke luar kota untuk meninjau lokasi.."Apa lebih baik
Numa berdeham, menelan ludah lalu bertanya, "Ozkhan, apa benar kamu membeli apartemen dan mobil baru?" Perhatian Ozkhan sontak teralihkan karena pertanyaan Numa. Pria itu menatap sang istri dengan sorot penuh makna. Raut datarnya tak menampakkan ekspresi sedikit pun. Dalam hal ini Ozkhan perlu berhati-hati memberi jawaban, sebab ada sangkut pautnya dengan Shanum. Namun, Ozkhan sudah bisa menebak jika hal ini akan terjadi. Pasalnya, dia membeli mobil tersebut di showroom milik suami dari teman dekat Numa. Lalu apartemen, dia membelinya dari salah satu partner bisnisnya. Ozkhan menghela, seraya memicing sepasang mata, dia berkata, "Apa sekarang kamu sedang menginterogasiku?"Numa mengerjap gugup, terlihat jelas di sini justru dia yang terpojok. Alih-alih menjawab, suaminya ini malah bertanya balik. Lantas, Numa harus menjawab apa, agar Ozkhan tidak tersinggung? "A-aku tidak bermaksud demikian, Ozkhan. Aku hanya ingin memastikan saja," jawab Numa hati-hati. Selanjutnya dia menggigit
[Malam ini saya berencana pulang ke rumah. Saya sudah meminta Elis untuk menemani kamu, di apartemen. Kamu tidak keberatan 'kan?]Sederet pesan singkat dari Ozkhan, membuat Shanum tersenyum lega. Pasalnya, dia sama sekali tidak merasa keberatan dengan rencana atasannya itu. Shanum justru senang karena Ozkhan memilih pulang malam ini. [Tidak masalah, Tuan. Saya justru senang karena saya yakin Ghul juga merasa sangat senang bertemu ayahnya malam ini.] Pesan balasan segera dikirim Shanum.. Sementara dia bergegas keluar kamar untuk menemui Elis yang sedang berada di ruang tamu. "Elis," panggil Shanum, menghampiri Elis yang langsung menoleh ke arahnya. "Ya, ada apa?" tanya Elis. Shanum duduk di samping Elis. "Kamu sudah dapat pesan dari Tuan Ozkhan, bukan?" Elis mengangguk. "Sudah. Malam ini aku menginap di sini." "Baguslah. Temani aku di sini. Kamu bisa tidur di kamar itu." Telunjuk Shanum mengarah pada kamar kosong yang bersebelahan dengan kamarnya. Pandangan Elis tertuju pada ka
Ditinggal libur selama beberapa hari untuk merawat Shanum, nyatanya tidak membuat Ozkhan keteteran dengan pekerjaannya. Selama ada Emir dan bawahan lainya, Ozkhan hanya menerima beres. Usaha Ozkhan pun membuahkan hasil. Calon investor dari Dubai memberikan kabar yang sudah tiga hari ini dia tunggu-tunggu. Impiannya yang ingin membangun sebuah resort mewah sebentar lagi akan terwujud. "Akhirnya, aku bisa mewujudkan proyek besar ini." Tak henti-hentinya Ozkhan bersyukur, sejak satu jam yang lalu setelah menerima email dari Tuan Malik—investor yang dia temui secara tidak sengaja di Dubai tempo hari. "Tidak sia-sia aku berangkat ke sana." Waktu perjalanan bisnis tempo hari, niat Ozkhan mendatangi beberapa investor yang selama ini mendukung perusahaan sang ayah untuk memperpanjang kontrak kerja sama. Namun, secara tidak sengaja dia diperkenalkan dengan Tuan Malik di jamuan makan malam. Sebagai seorang pengusaha yang berniat merintis bisnis sendiri, Ozkhan tentu tak menyia-nyiakan kes
Keesokan paginya...Ozkhan yang hari ini berniat menyudahi liburnya sedang bersiap untuk berangkat ke kantor. Pria itu berdiri menghadap standing mirror sambil mengancing kancing lengan kemeja putihnya. "Mau saya bantu memakaikan dasi, Tuan?" tanya Shanum yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri. Perempuan yang hanya mengenakan bathrobe dan rambut basahnya dibungkus handuk melangkah mendekati Ozkhan. "Dengan senang hati." Lengan Ozkhan langsung meraih pinggang Shanum supaya lebih merapat padanya. Sementara tangannya yang bebas meraih dasi warna netral yang tergeletak di meja rias.Shanum mengambil kain panjang berwarna netral itu dari tangan Ozkhan, kemudian mulai memasangnya di leher sang atasan yang memandangnya dengan tatapan memuja.Berada seintim ini dengan Ozkhan mulai membuat Shanum terbiasa. Perempuan itu tak lagi merasa canggung mau pun sungkan semenjak Ozkhan memberinya perhatian yang berlimpah serta kasih sayang yang begitu tulus. "Selesai." Sha
"Tuan..." Shanum menyusul keluar lantaran dia kepikiran perihal Hakkan yang rupanya sudah tidak berada di unitnya. Shanum hanya melihat keberadaan Ozkhan yang sedang duduk di mini bar. Ozkhan menoleh ke arah Shanum yang melangkah mendekat. "Shanum, kenapa kamu keluar kamar?" tanyanya seraya bergegas berdiri untuk menghampiri wanitanya. Sikap Ozkhan yang berlebihan membuat Shanum sudah terbiasa akan hal itu. "Saya bosan di kamar, Tuan. Lagipula saya juga sudah baik-baik saja." Ozkhan menghela, tak ingin protes lagi. Dia pun merasa—tidak ada salahnya jika Shanum keluar kamar. "Duduklah di sini." Ozkhan menuntun Shanum duduk di sofa, kemudian pergi ke pantry untuk mengambil sesuatu. Shanum hanya memerhatikan Ozkhan dari tempatnya sambil tersenyum. Beberapa hari ini atasannya itu benar-benar menjaga dan merawatnya seperti seorang suami yang siaga. Selama menikah, Orhan bahkan tidak pernah memasakkan sesuatu untuk Shanum. Jangankan memasak, memberi uang saja kalau suaminya itu ingat
"Lukanya sudah tidak apa-apa," ucap Hakkan, setelah memeriksa kondisi luka sayatan di telapak tangan dan paha Shanum yang sudah terlihat mengering. "Sudah tidak perlu dibalut kasa lagi. Dan sudah boleh kena air," imbuhnya, sambil melirik Ozkhan yang sedari tadi menatapnya penuh kesal. Kira-kira ada apa dengan Ozkhan? Temannya itu sejak tadi masam dan terkesan seperti orang yang cemburu, pikir Hakkan. "Terima kasih, Dokter," ucap Shanum. "Sama-sama. Lain kali jangan diulangi lagi. Seandainya tiba-tiba keinginan itu muncul kembali, akan lebih baik kamu mengalihkan fokusmu. Atur napas dan jangan sekali-kali kamu memejamkan mata. Karena dengan begitu, kamu bisa mengontrol diri agar tidak berbuat nekad lagi." "Ya. Saya mengerti." Shanum mengangguk paham, dan memandang Ozkhan yang nampaknya tidak tertarik untuk ikut diskusi. Hakkan menutuskan untuk pergi dari kamar Shanum sebab tugasnya sudah selesai. Namun sebelum itu ada hal penting yang ingin dia tanyakan pada Ozkhan. Hakkan berdeh
"A-apa?" Shanum nampak terkejut dengan apa yang diungkapkan Ozkhan. "Tuan adalah pria yang menolong saya?" Ozkhan mengangguk. "Ya." Air mata Shanum jatuh satu persatu di pipi saking terharunya. Akhirnya dia bisa dipertemukan oleh malaikat penolongnya di malam nahas itu. Perasaannya sungguh senang luar biasa. Shanum mengusap air mata, menghela napas panjang, kemudian berkata, "Anda tahu, Tuan. Seberapa ingin saya dipertemukan oleh pria yang menolong saya saat itu? Dan bila Tuhan memberikan saya kesempatan untuk bertemu dengan pria itu, saya ingin mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya sama dia." Telapak tangan Shanum terangkat, lalu dia sentuh rahang Ozkhan yang berambut. Maniknya menatap sendu wajah pria yang ternyata pernah menolongnya dua tahun lalu. Apakah ini takdir?Shanum berkata lagi, "Ternyata Anda kembali membatu saya, Tuan. Anda terus menolong saya yang lemah ini. Saya harus membalasnya dengan apa, Tuan? Katakan." Ozkhan memeluk erat Shanum. "Kamu tidak perlu memb
Pagi harinya...Kelopak mata berbulu lentik itu terbuka perlahan. Hal pertama yang ditatap adalah langit-langit kamar dengan pencahayaan temaram. Aroma lavender menyeruak ke penciuman Shanum. "Di mana aku?" Nampak dari ekspresi wajah Shanum, jika dia merasa asing dengan ruangan mewah ini. Manik bulatnya bergulir ke seluruh penjuru ruang yang bersuhu agak rendah dan sangat harum itu. 'Ini kamar siapa?' Shanum membatin bingung dengan keberadaannya sekarang ini. Seingat perempuan itu, dia sedang berada di taman belakang yayasan. Namun, mengapa dia bisa berada di tempat mewah ini?Ingatan Shanum masih abu-abu. Akan tetapi rasa sakit di telapak tangan seketika mengingatkan Shanum akan hal gila yang sempat dia lakukan. "Au!" Shanum mengadu, mengangkat telapak tangannya yang terasa nyeri dan sudah dibalut kain kasa. "Ini?" "Shanum?" Ozkhan muncul dari kamar mandi, dengan hanya memakai bathrobe. Dia langsung buru-buru keluar karena mendengar suara mengaduh. Perhatian Shanum teralihkan
"Bagaimana kondisinya? Apa lukanya cukup serius?" Ozkhan mencecar Hakkan yang baru saja selesai menangani Shanum dengan raut cemas sekaligus khawatir. Dia bahkan tidak sadar jika Hakkan bisa saja menaruh curiga padanya karena sikapnya yang mungkin terlalu berlebihan.Ya, bagaimana tidak? Begitu tahu jika Shanum terluka, Ozkhan justru membawa sekretarisnya itu ke sebuah apartemen mewah alih-alih ke rumah sakit. Ozkhan juga langsung menghubungi Hakkan ke tempat ini agar bisa segera menangani. Hakkan menghela panjang, memandang Shanum yang tertidur di atas ranjang. Dia berhasil melakukan tindakan pertama untuk menolong perempuan itu. Membalut luka sayatan di telapak tangan dan paha Shanum yang untungnya tidak terlalu serius. "Lukanya tidak terlalu serius," ucap Hakkan beralih memandang Ozkhan yang nampaknya begitu mengkhawatirkan sekretarisnya. "Kamu tenang saja, aku sudah memberinya antibiotik agar lukanya tidak infeksi. Aku juga memberinya obat penenang supaya dia bisa beristirahat