Mobil yang membawa Ozkhan berhenti di halaman rumah bergaya Eropa klasik. Dia sengaja pulang lebih cepat lantaran merindukan Ghul—putrinya.Emir keluar lebih dulu, kemudian membukakan pintu untuk Ozkhan."Kamu boleh langsung pulang. Terima kasih untuk hari ini," kata Ozkhan.Emir hanya mengangguk, lantas menunggu Ozkhan melangkah masuk, baru dia kembali ke mobil dan segera pergi dari sana.Pelayan wanita membukakan pintu untuk majikannya yang kemarin tidak pulang. Rautnya nampak tegang. "Selamat malam, Tuan," sapanya, seraya menunduk sekilas.Ozkhan dapat membaca ketegangan di wajah pelayannya. Pasti ada sesuatu yang terjadi di dalam sana. Akan tetapi, dia memilih untuk tidak bertanya, dan hanya membalas sapaan dengan anggukan.Dan firasatnya benar. Baru satu langkah kakinya melangkah. Dari arah ruang tamu sudah terdengar keributan.prang!Suara pecahan menyambut kedatangannya beserta suara teriakan Numa yang tengah memaki pelayan."Bodoh! Kalian semua tidak becus bekerja! Apa susahnya
Langkah Ozkhan sontak berhenti. Dia membeku di tempatnya kemudian mendesah frustrasi. Apa yang dikatakan Numa sudah Ozkhan perkirakan sebelumnya. Sang istri pasti akan menyinggung masalah tersebut.Ozkhan lantas berbalik, dengan raut datar dan tatapan yang selalu dingin, lelaki itu berkata, "Aku akan menunggu kabar itu. Secepatnya."Numa jelas tak menyangka jika respon Ozkhan akan demikian. Dia mengira sang suami akan berkata sebaliknya. "Itu pasti. Kamu tunggu saja," balasnya dengan nada bicara penuh percaya diri.Sepasang alis Ozkhan naik, terkesan dengan kepercayaan diri istrinya. Tanpa berminat membalas, lelaki itu berbalik untuk melanjutkan niatnya, yang ingin mandi.Sepeninggal Ozkhan, otot-otot wajah Numa yang awalnya menegang perlahan mengendur. Terdengar helaan panjang dari perempuan berbaju tidur itu.Jujur saja dia sendiri tidak terlalu berharap dengan apa yang terjadi tempo hari. Mengingat usianya yang memasuki usia rentan.Lagipula, selama ini Numa dan kekasihnya memilih
Setelah hampir dua bulan tidak menginjakkan kaki ke kamar ini, perasaan Shanum kian berkecamuk. Bisa menatap sang ibu dari jarak dekat seperti ini, dan melihatnya baik-baik saja, sudah sangat cukup bagi Shanum.Namun, meski sang ibu tak mengenalinya, Shanum tetap akan menghampiri dan memberinya pelukan. Rasa rindu sudah menumpuk di dada.Mendengar suara langkah kaki mendekat, perempuan yang separuh rambutnya berwarna putih itu mengalihkan perhatian kepada seseorang yang nampak asing di ingatan. Sorot matanya penuh dengan pertanyaan.Nyonya Dilara—ibunda Shanum mengerutkan kening, lantas bertanya, "Siapa Anda?"Langkah Shanum seketika berhenti dengan jarak kurang dari satu meter dari tempat sang ibu berdiri. Di tengah rasa sesak yang melanda, perempuan itu berusaha tersenyum manis."Saya... Shanum. Anda masih ingat saya?" ujar Shanum.Nyonya Dilara mengerjap, mencoba mengenali wajah Shanum yang memang tidak dia ingat sama sekali. Dia pun menggeleng, membuat Shanum hanya bisa menghela p
Ozkhan baru sempat mengecek ponsel, setelah hampir dua jam dia meeting dengan para pemegang saham di perusahaan ayahnya.Belakangan ini Ozkhan harus ekstra hati-hati serta bekerja keras untuk mengambil hati orang-orang yang selama ini berada di sisi Tuan Baris. Ozkhan memerlukan dukungan untuk mencapai tujuannya.Muak karena selama ini dia hanya dijadikan boneka oleh sang ayah dan kakaknya yang tidak berguna. Kali ini Ozkhan akan memutar balik keadaan demi membalas rasa sakit yang diperoleh ibunya di rumah itu."Ada pesan dari Shanum." Senyum Ozkhan terukir samar ketika melihat pesan dari sekretarisnya.Pesan dari Shanum dibaca oleh Ozkhan. Lelaki itu kemudian segera mengetik pesan balasan.[Saya penasaran, Shanum. Saya ingin mendengar ceritanya langsung dari kamu. Tunggu saya malam ini.]Selesai mengirim pesan, Ozkhan lantas kembali fokus pada laporan yang baru saja dikirim oleh asistennya. Beberapa Minggu ke depan lelaki itu akan ke luar kota untuk meninjau lokasi.."Apa lebih baik
Elis terlihat sibuk menyiapkan makan malam untuk Shanum. Perempuan berusia empat puluh tahun itu benar-benar menjaga Shanum seperti dia menjaga orang terdekatnya.Apa lagi saat dia mengetahui jika perempuan kesayangan sang majikan tengah sakit. Elis dengan segenap hati berjanji akan merawatnya.Sejak dia dihubungi oleh Ozkhan malam itu, Elis mengira jika perempuan yang sedang dilindungi oleh majikannya hanya sekretaris biasa. Namun, siapa sangka, jika si Tuan majikannya yang terkenal penurut dan pendiam, rupanya memiliki perasaan tak biasa terhadap sekretarisnya.Awalnya Elis ragu membantu Ozkhan, mengingat jika majikannya yang terkenal dingin itu adalah keturunan dari Tuan Baris yang terkenal keji dan kejam. Ozkhan hampir gagal membujuk Elis.Akan tetapi, entah kenapa ketika Ozkhan mengatakan jika dia membutuhkan bantuan Elis untuk menjaga seseorang. Hati Elis tergugah dengan sendirinya, kendati dia sama sekali belum pernah bertemu dengan Shanum.Dan pada hari ini, Elis tidak menyesa
Tak pernah jantung Shanum berdebar sekencang ini. Beberapa hari bersama dengan sang atasan, membuatnya selalu merasa nyaman dan aman. Perlakuan lelaki yang sedang membopongnya ini begitu lembut.Ozkhan menurunkan Shanum perlahan begitu tiba di kamar mandi yang luasnya dua kali lipat dari kamarnya yang ada di rumah.Selanjutnya, Shanum membantu Ozkhan meloloskan kancing kemeja lelaki itu mulai dari atas. Tatapan keduanya beradu, sorot mendambakan begitu kentara.Jemari Ozkhan tak tinggal diam. Mengusap wajah Shanum yang sangat lugu dan cantik tanpa riasan. Dia tak pernah mengira akan memiliki sekretarisnya dengan leluasa."Kamu sangat cantik, Shanum," puji Ozkhan, membuat Shanum tersenyum. "Bagaimana bisa kamu mempunyai wajah yang sesempurna ini. Saya sangat beruntung bisa memilikimu, Shanum." Ibu jari Ozkhan membelai bibir Shanum yang terlihat selalu menggoda."Apa sekarang Tuanku ini pandai menggombal?" Kedua telapak Shanum masih aktif. Melepas kemeja hitam dari tubuh kekar atasannya
Ada banyak sekali panggilan masuk dari Numa, ketika Ozkhan baru sempat mengecek ponsel di pagi harinya. Lelaki itu terlihat baru saja selesai mandi dan sudah sangat rapi.Pesan singkat dari sang istri cukup membuat Ozkhan menyeringai kecil di kursinya.[Ozkhan, ibumu meningal dunia tadi malam. Aku pergi lebih dulu ke rumah duka. Kamu bisa menyusul.]Begitulah kira-kira isi pesan tersebut. Ozkhan lantas membalasnya.[Aku ke sana agak siang.]Setelah membalas pesan, Ozkhan kemudian menghubungi Emir yang kebetulan masih berada di sana."Siapkan mobil, setelah sarapan kita ke rumah duka."Shanum yang kebetulan berada di sana sontak memandang Ozkhan. Pun dengan Elis yang sedang menuangkan susu ke gelas majikannya. Kedua perempuan itu lantas saling memandang satu sama lain, dengan raut penasaran.Karena tak ingin didera penasaran, Shanum pun memberanikan diri untuk bertanya, "Siapa yang meninggal, Tuan?""Ibu saya," jawab Ozkhan tanpa terlihat sedih sama sekali di wajahnya yang tegas dan ta
Sore itu cuacanya terlihat sangat cerah. Namun, berbanding terbalik dengan proses pemakaman yang dihadiri oleh seluruh anggota keluarga Muchtar, yang berlangsung hening. Tak ada isak tangis yang biasa terdengar. Nampaknya, masing-masing anggota keluarga terlihat tegar menerima duka ini.Sementara itu di sisi lain yakni di sebuah mobil yang letaknya tidak jauh dari lokasi pemakaman, Shanum rupanya tidak berani menampakkan diri di sana. Dia memilih berada di dalam mobil bersama Elis.Canggung rasanya apabila dia terlalu nekad muncul bersama Ozkhan. Shanum juga tidak siap menerima konsekuensi dari hubungan yang saat ini sedang dia jalani—menjadi wanita simpanan atasannya."Sepertinya yang menghadiri pemakaman hanya orang-orang terdekat saja," ucap Shanum, yang sedari tadi melihat prosesi pemakaman tersebut dari dalam mobil.Wajah-wajah orang yang berada di depan makam tidak familiar di ingatan perempuan itu. Dari beberapa orang yang ada di sana, Shanum hanya mengenal Numa. Lainnya dia ti
Sembilan tahun yang lalu~"Ayah, bagaimana? Apa kita berhasil mendapatkan yayasan itu? Kalau kita gagal mendapatkannya, maka aku pun akan gagal mendapatkan Ozkhan." Numa begitu bersemangat ketika mendengar sang ayah hendak menjodohkannya dengan Ozkhan—lelaki incarannya sejak dulu. Namun, ketika keluarga Baris meminta syarat, perasaan perempuan itu menjadi khawatir. Berbeda dengan putrinya, Tuan Ahmed justru terlihat santai dan tenang. Dia seakan tidak terlalu memikirkan syarat dari calon besannya tersebut. Pasalnya, diam-diam dia sudah berhasil membuat yayasan itu menjadi miliknya. "Pernikahanmu dan Ozkhan pasti akan terlaksana," ucap Tuan Ahmed, penuh percaya diri sambil mengeluarkan sesuatu dari laci meja kerja. "Itu artinya?" Manik Numa memicing, memerhatikan sang ayah yang kini mengulurkan sebuah map padanya. "Itu apa, Ayah?" "Lihatlah sendiri." Tanpa bertanya lagi, Numa pun bergegas mengambil map warna hitam tersebut. Dia membukanya, lalu mengeja tulisan pada bagian depan l
"Jadi, suamimu setuju dengan tawaran Tuan Ozkhan? Dia setuju menceraikanmu? Gila! Suamimu benar-benar sudah gila, Shanum!"Elis terkejut dengan apa yang diceritakan Shanum mengenai Orhan, yang tidak berpikir panjang hanya demi uang. Di sisi lain, dia prihatin dengan hidup Shanum, yang berurusan dengan lelaki berengsek dan serakah macam Orhan.Shanum meraup raut murungnya, hatinya kecewa dengan kenyataan pahit ini. Dia menyesal karena pernah mencintai Orhan, yang sama sekali tidak pernah menghargainya."Dia memang sudah gila, Elis. Sejak awal dia memang tidak pernah menganggapku sebagai istri. Dia hanya menganggapku sebagai mesin uang.""Laki-laki seperti itu pantasnya di tembak mati saja. Andai dia suamiku, sudah sejak lama dia sudah menjadi arwah." Decakan Elis sangat keras."Aku sendiri masih tidak menyangka, jika aku pernah menikahi pria semacam itu."Elis mengusap-usap pundak Shanum, yang makin terlihat murung dan sedih. "Kamu terlalu baik untuknya, Shanum. Memang sudah seharusnya
Shanum tentu terkejut dengan pertanyaan Ozkhan barusan. Dirinya hampir tak bisa berkata-kata. Hanya sepasang maniknya yang menatap wajah serius di hadapan. Menikah? Apa lelaki ini serius dengan perkataannya, pikir Shanum. Ozkhan menyadari keterkejutan yang tercetak jelas di wajah wanitanya ini. Sampai-sampai Shanum tak berkedip sedikit pun. "Shanum?" panggilnya, menyentuh pipi Shanum dengan punggung tangan. Shanum terhenyak, lantas buru-buru menjawab, "Ya?" Sepasang maniknya berkedip lugu, sambil menggigit bibir bawah. Sikap Shanum membuat Ozkhan gemas. Lelaki itu lantas meraih tangan Shanum, dan menuntunnya ke meja mini bar. "Lebih baik kita duduk." Ozkhan meminta Shanum supaya duduk di stollbar, agar dia bisa bicara dengan santai dan nyaman. Shanum pun menurut, duduk di stollbar sambil memerhatikan Ozkhan yang saat ini sedang mengambil botol white wine di rak kaca. Sejurus kemudian, Ozkhan mengambil dua gelas berkaki tinggi dari pantry. Ozkhan membuka botol wine di tangan meng
"Shanum, minumlah." Elis menyodorkan segelas air dingin untuk Shanum, yang terlihat sedang tidak baik-baik saja sejak tiba beberapa waktu yang lalu..Shanum mengambil gelas air yang disodorkan Elis. "Terima kasih, Elis." Lantas dia meneguk air tersebut dengan perlahan sampai tersisa separuh, kemudian dia meletakkan gelas tersebut di meja makan.Elis menatap kasihan pada Shanum, lalu dia duduk di samping perempuan kesayangan Ozkhan itu. Elis turut kesal atas apa yang dilakukan oleh Numa pada Shanum, dan dia cukup lega karena mantan majikannya itu tidak berhasil dengan rencananya."Aku mengira kalau tadi aku akan ketahuan, Elis." Debaran jantung Shanum masih belum stabil akibat insiden tak terduga yang dia alami.Hampir ketahuan oleh Numa merupakan hal yang tidak pernah terbayangkan di benak Shanum."Bagaimana bisa nyonya Numa tahu segalanya soal mobil Tuan Ozkhan?" gumamnya."Itu bukan suatu hal yang sulit baginya, Shanum," sahut Elis, membuat Shanum sontak menatap perempuan yang menget
Pedro tak berhenti berupaya untuk menghindari kejaran mobil yang dia sangka Keenan dan Numa, dengan mempercepat laju mobil yang dikendarainya. Belum lagi mobil lain yang turut mengejar. Ketiga mobil tersebut saling berkejaran di jalanan yang lengang dan sepi. Sementara itu di kursi penumpang, seseorang yang menjadi target sedang dalam keadaan takut serta panik. Shanum nampak terlihat sangat gusar sekaligus cemas. Dia tidak mengerti—kenapa tiba-tiba ada yang mengikutinya sampai senekat ini. "Pedro sebenarnya siapa mereka? Kenapa mereka mengejar kita?" tanya Shanum yang sudah tidak bisa menahan diri sebab situasi, yang kian mengkhawatirkan. Pedro menoleh ke belakang sekilas, lalu berkata dengan ragu, "Sepertinya mereka itu Tuan Keenan dan Nyonya Numa, Shanum." Bola mata Shanum seketika membelalak. "A-apa? Jadi, yang di dalam mobil itu nyonya Numa?" Sejurus kemudian Shanum menoleh ke belakang untuk sekadar memastikan. Beruntung kaca mobil yang dibeli Ozkhan cukup gelap dan tidak tem
Di sebuah apartemen~Sepasang kekasih tengah mengadu kasih di sebuah kamar apartemen mewah bercahaya temaram. Terlihat sang wanita lebih dominan dalam permainan panas tersebut. "Oh, Keenan ...." Numa melenguh panjang seiring klimaks yang dia raih begitu terasa nikmat luar biasa. Tubuh langsing itu ambruk di dada bidang lelakinya disertai deru napas memburu dan bersahutan. Keenan menyeringai setelah dia pun mendapat kepuasan dari wanitanya yang datang mendadak tanpa mengabari terlebih dahulu. Dia mengecup puncak kepala Numa, sambil mengusap-usap punggung telanjang berpeluh itu. Sejenak keduanya saling meresapi sisa-sisa kenikmatan dalam diam. Keenan membiarkan Numa terkulai di atas dadanya. Namun, keheningan tersebut tak berlangsung lama sebab tiba-tiba dering ponsel menggema. Numa yang hapal dengan dering ponsel miliknya bergegas menoleh pada nakas, lalu dia meraih benda pipih itu. Nama si pemanggil membuat perempuan itu lekas menjawab panggilan tersebut. "Halo? Ada apa?" Numa
"Ada keperluan apa kamu ke tempat kantor saya?"Ozkhan langsung pada intinya ketika sosok pria tak tahu malu, yang dua bulan lalu tega menjual istrinya sendiri pada pria lain sudah berdiri di hadapan. Kedatangan Orhan ke tempat ini pastinya menimbulkan rasa ketidaksukaan di diri Ozkhan. Apalagi, lelaki itu dengan percaya dirinya mencari Shanum, yang jelas-jelas belum bisa ditemui dengan sesuka hati. "Maaf, kalau kedatangan saya sudah mengganggu Anda, Tuan ... Ozkhan," kata Orhan setelah cukup puas memerhatikan suasana di dalam ruangan Ozkhan, yang menurutnya sangat luas dan mewah. Orhan lantas tersenyum tipis sekilas, melirik Emir yang setia berdiri di pintu ruangan itu. Kemudian, Orhan beralih pada Ozkhan yang sedari tadi memasang raut tak suka. Gerak-gerik Orhan membuat Ozkhan makin jengah, dan tak betah berlama-lama. Dia harus mengingatkan lelaki tak tahu diri ini sekali lagi—mengenai kesepakatan yang sudah dia setujui dua bulan lalu. "Kalau tujuan kamu datang ke sini untuk me
"Apa kamu yakin kalau itu plat nomor mobil baru suami saya?" tanya Numa yang saat ini sedang melakukan panggilan telepon, dengan seseorang yang dia sewa untuk mencari tahu keberadaan mobil Ozkhan yang baru."Saya cukup yakin, Nyonya."Belum reda rasa panas akibat menahan kesal lantaran sang suami diam-diam membeli mobil, yang Numa pikir untuknya. Kini dia harus menelan kenyataan—jika Ozkhan benar-benar memiliki seseorang yang spesial.Numa mendapat alamat apartemen yang dibeli Ozkhan dari temannya. Dan yang sangat mengejutkan ialah apartemen tersebut sudah dihuni oleh seseorang. Mobil yang dibeli Ozkhan pun ada di basement gedung itu. "Fotokan dan kirimkan secepatnya ke saya," titah Numa, sambil memijat pelipis yang tidak berhenti berdenyut sejak tadi malam. "Baik, Nyonya."Panggilan diputus lebih dulu oleh Numa, kemudian selang beberapa detik sebuah pesan bergambar masuk. Numa bergegas membuka foto yang dia minta pada orang suruhannya.Ketika melihat penampakan foto mobil yang terp
Malam ini lagi-lagi Ozkhan pergi dari rumah setelah berdebat panjang dengan Numa. Dia tidak akan bisa dan tidak pernah betah jika berlama-lama berada di satu ruangan, dengan perempuan yang sudah terlalu banyak membohonginya. Dengan kata lain Ozkhan sudah muak dengan istrinya itu. Hanya di tempat inilah dia merasa tenang dan damai. Hanya di sisi perempuan inilah Ozkhan bisa menjadi diri sendiri. Siapa lagi kalau bukan—Shanum. Shanum satu-satunya seseorang yang kini menjadi tempat tujuan Ozkhan pulang. Beberapa menit yang lalu, di kamar bercahaya temaram ini, Ozkhan duduk di tepi ranjang sambil memandangi wajah damai wanita kesayangannya yang sedang terlelap. Sengaja dia tidak membangunkan Shanum agar dia bisa berlama-lama menatap wajah wanitanya yang begitu cantik, kemudian memberinya kecupan di kening. Entah mengapa, bila memandang wajah Shanum yang teduh dan menenangkan dapat membuat Ozkhan melupakan segala masalahnya. "Saya sangat menyayangi kamu, Shanum. Saya ingin kamu tetap