"Kapan dia pergi? Kenapa dia tidak membangunkanku," gumam Ozkhan.
Ketika terbangun, Ozkhan tak mendapati Shanum di sampingnya. Perempuan itu pergi tanpa berpamitan sekaligus meninggalkan banyak pertanyaan dalam benak lelaki tiga puluh delapan tahun itu.
Di bawah kucuran air shower, Ozkhan merenung. Sekelebat adegan-adegan panas yang dia lalui bersama dengan sang sekretaris tiba-tiba muncul di ingatan, membuat Ozkhan merasakan sesuatu yang tidak dapat dijabarkan dengan kata-kata.
Desahan frustrasi meluncur dari bibir Ozkhan. "Pasti dia berpikir yang tidak-tidak tentangku. Sial! Harusnya semalam aku bisa mengontrol diri."
Kekesalan muncul dalam benak Ozkhan, sebab dia merasa apa yang dilakukannya pada Shanum kemungkinan sudah keterlaluan. Kemarahan akan sesuatu membuat dia kehilangan kendali.
Beberapa foto yang dikirimkan orang kepercayaannya menjadi pemicu. Ozkhan sadar, jika seharusnya dia tak melampiaskannya pada Shanum.
"Semua ini gara-gara wanita itu. Dia pikir, aku tidak pernah mengawasinya. Aku tahu semuanya selama ini, tapi aku sengaja diam."
Rahang Ozkhan mengetat, kesal karena selama ini dia sengaja diam demi menjaga nama baik keluarga besarnya. Termasuk sang ayah.
****
Sementara itu, Orhan terlihat marah besar di rumahnya. Semalam dia dihubungi oleh orang yang sudah akan meniduri istrinya. Orang itu memaki bahkan mengancam Orhan jika sampai dalam waktu dua puluh empat jam dia tidak membawa kembali Shanum.
Ancaman tersebut jelas membuat Orhan panik dan takut. Dia tidak menyangka jika Shanum bisa dengan mudah kabur. Padahal, dia sudah memperkirakan jika rencananya akan berhasil.
"Ke mana perginya wanita jalang itu? Siapa yang membantunya kabur?"
Sudah puluhan kali Orhan mencoba menghubungi ponsel Shanum, tetapi tidak ada jawaban. Dan Orhan pikir, Shanum pasti pulang ke rumah.
Namun, ketika tiba di rumah, Shanum tidak ada. Orhan bahkan tidak tidur, demi menunggu kedatangan istrinya.
"Apa jangan-jangan dia pergi ke suatu tempat? Kalau benar Shanum pergi, akulah yang akan mati. Tidak! Aku tidak mau mati sia-sia di tangan pria itu. Bagaimana pun caranya, aku harus menemukan Shanum."
Orhan lantas tak banyak berpikir. Dia langsung bergegas untuk mencari Shanum. Namun, ketika dia hendak membuka pintu, sang istri pun muncul di hadapan.
"Orhan?"
Tubuh Shanum menegang manakala mendapati sorot tajam penuh amarah dari suaminya. Dia cukup hapal dengan tatapan itu. Seketika dia menyesal karena memilih pulang ke neraka ini.
"Akhirnya kamu pulang, Shanum."
Seringai jahat terbit di sudut bibir Orhan. Tanpa berlama-lama, dia langsung menarik tangan Shanum, membawanya masuk ke dalam rumah. Orhan mengunci pintu agar istri tak tahu dirinya ini tidak bisa lagi pergi ke mana-mana.
Shanum yang merasa terancam bergegas berlari menuju kamar, agar Orhan tak bisa menyakitinya seperti yang sudah-sudah. Akan tetapi, dia kalah cepat. Orhan lebih dulu menahan pergelangan tangan Shanum.
"Mau ke mana kamu, Shanum? Kamu pikir, aku tidak tahu kalau semalam kamu kabur, huh?" Raut Orhan begitu menakutkan, bahkan dia mencengkeram kuat pergelangan tangan Shanum yang kecil.
Rasanya, Orhan akan mematahkan tangan Shanum. "Orhan, sakit…."
Akan tetapi Orhan tak peduli pada rintihan kesakitan sang istri. Tak cukup pada pergelangan tangan, Orhan lantas mendorong Shanum sampai punggung wanita itu membentur tembok.
"Argh!" Shanum berteriak, saat merasa tulang punggungnya nyaris remuk. "Orhan, lepaskan aku! ini sakit!"
"Sakit?" Tawa puas meluncur dari mulut Orhan. "Ini akibatnya kalau kamu sudah berani membantahku, Shanum. Harusnya kamu tidak kabur dan membuat pria itu marah bahkan mengancamku." Kelima jari Orhan mencengkeram kuat rahang Shanum..
"Aku kabur karena aku tidak mau ditiduri pria menakutkan itu, Orhan. Kamu tega menjadikanku sebagai penebus utangmu. Kamu sudah menjebakku. Kamu sudah gila, Orhan!"
Sekuat tenaga Shanum melepas cengkeraman tangan Orhan, tetapi tidak berhasil. Tenaganya kalah jauh. Apalagi dia belum tidur sama sekali sejak semalam.
"Apa salahnya membantu suamimu sendiri? Aku juga tidak menyuruhmu melakukannya setiap hari? Aku hanya memintamu untuk melayaninya semalam saja. Itu saja! Tapi kamu malah membuat masalah dan kabur." Cengkeraman Orhan makin menguat, bahkan dia pun tidak segan mencekik Shanum.
Shanum kelimpungan. Cekikan Orhan begitu menyiksa. Rautnya memucat karena napasnya hampir habis.
"O… Orh… Orhan… To-long, le-paskan a-ku. I-Ini sangat sakit. A-aku bisa ma-ti." Sebisa mungkin Shanum melepaskan cekikan Orhan yang makin mengetat, meski pandangannya kian mengabur. Kepalanya mulai terasa pusing.
'Apa aku akan mati dengan cara seperti ini, Tuhan? Ini sangat tidak adil! Kenapa aku harus mati di tangan bajingan ini?' Batin Shanum menangis, merasa jika nasibnya begitu miris.
Dan nyatanya, tangisan Shanum tak digubris. Orhan terlihat puas sekali karena istrinya terlihat tak berdaya di tangannya.
Akan tetapi Orhan tidak akan membunuh Shanum hari ini, karena dia masih membutuhkan perempuan ini. Orhan tidak bisa melukai Shanum, sebab dia akan mengirimnya lagi pada pria itu.
Orhan hanya perlu mengancamnya sedikit, agar Shanum mau menuruti perkataannya. "Biar! Kamu pantas mendapat hukuman karena sudah berani melawan perintahku, Shanum! Aku akan membunuhmu saat ini juga."
Ancaman Orhan tak lantas membuat nyali Shanum menciut. Akan lebih baik jika dia mati saat ini juga. Dengan begitu, dia tidak perlu lagi menjadi penebus utang suaminya yang berengsek ini..
"Bunuh saja aku, Orhan! Aku tidak takut!" ucap Shanum dengan lantang, kendati dia merasa akan kehilangan kesadaran karena pasokan oksigen yang kian menipis. Nyawanya seperti sedang di ujung tanduk.
Orhan cukup terkesan dengan keberanian istrinya yang tidak takut dengan ancamannya. Namun, dia masih mempunyai cara untuk membuat istrinya menurut.
Cengkeraman di rahang Shanum terlepas, Orhan lantas mengambil ponsel dari saku jaket kulitnya. Dia berniat menghubungi seseorang yang merupakan orang suruhannya, yang ada di sebuah panti jompo.
"Oh, kamu menantangku, Shanum? Kalau begitu, aku akan meminta orang suruhanku untuk membunuh ibumu saja. Bagaimana? Ibu mertuaku yang pikun itu sudah banyak menyusahkanmu, bukan?"
Shanum terbatuk-batuk seraya meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Wajahnya yang pucat pasi makin panik dan takut.
Apabila sudah menyangkut ibunya, Shanum pasti akan langsung melunak. "Tidak! Jangan lakukan itu, Orhan! Jangan kamu sangkut pautkan ibuku. Dia tidak bersalah. Aku mohon …" Kedua telapak tangannya bahkan menangkup di bawah bibir.
Tangisan mengiba meluncur dari mulut Shanum, sementara Orhan tersenyum penuh kemenangan. Dia berhasil membuat Shanum patuh padanya.
Seraya mengembalikan ponselnya ke saku jaket, Orhan berkata, "Kalau kamu tidak ingin aku melenyapkan ibumu, lebih baik kamu turuti saja keinginanku, Shanum. Dengan begitu, ibumu tidak akan pernah aku sentuh. Dia akan hidup tenang di panti jompo selamanya." Lalu, dia mengusap rambut Shanum.
"Ba-baik. A-aku akan turuti perintahmu, Orhan. Tapi, kamu janji tidak akan pernah menyentuh ibuku," pinta Shanum mengiba sambil menggosok kedua telapak tangannya.
Seringai kemenangan makin lebar di bibir Orhan. Dan pada akhirnya, dia membuat Shanum tidak memiliki pilihan lain selain 'patuh'.
"Baiklah. Aku janji tidak akan pernah menyentuh ibumu, selama kamu mau menurut denganku."
Shanum mengangguk cepat. Air matanya menetes begitu deras. Sekeras apa pun dia berusaha melepaskan diri dari Orhan, maka usahanya itu hanya akan membawanya pada kesengsaraan lainnya. Shanum tidak akan sanggup jika harus sang ibu yang menanggung semua kesalahannya.
"Aku akan turuti kemauanmu."
"Oke. Kalau begitu kamu bisa bersiap-siap karena aku akan mengantarmu pada pria yang sudah menjualmu."
Tanpa banyak membantah, Shanum bergegas menuju kamar untuk bersiap-siap. Terpaksa dia izin libur pada atasannya.
"Aku harus minta izin sama Tuan Ozkhan."
****
Dari hotel, Ozkhan sengaja langsung berangkat ke kantor. Selain dia tidak suka mondar-mandir, Ozkhan juga sedang ingin menghindari istrinya.Namun, ketika melewati meja sekretaris, Ozkhan tak melihat keberadaan Shanum di sana. Padahal, biasanya sekretarisnya itu selalu datang tepat waktu dan paling awal darinya.Seketika, Ozkhan pun kepikiran masalah semalam.'Apa dia juga berniat libur hari ini?'Belum lama Shanum bekerja dengan Ozkhan. Dan sekarang, dia malah terlibat masalah pribadi yang sangat sensitif. Entah harus bagaimana Ozkhan mengambil sikap setelah ini.Ozkhan menduduki kursi, tak lama kemudian asisten kepercayaannya masuk."Selamat pagi, Tuan." Emir memberi salam hormat pada atasannya dengan anggukan kecil.Sementara Ozkhan hanya membalasnya dengan anggukan sambil mengeluarkan ponsel dari saku jas. Raut dan sorot matanya begitu datar seperti biasa."Sepertinya hari ini Shanum izin tidak masuk, Tuan," ucap Emir, sekadar memberi informasi pada sang atasan.Informasi barusan
Orhan dan Shanum langsung memasuki lift, sementara Emir masih mengikuti keduanya dengan sangat hati-hati. Beruntungnya di dalam lift tak hanya mereka bertiga yang berada dalam ruangan berjalan itu. Sebelumnya, sudah ada empat orang yang ada di dalamnya.Agar tidak ketahuan, Emir berinisiatif memakai masker yang selalu dia bawa ke mana pun saat sedang menjalani misi seperti ini. Tugasnya tak hanya menjadi asisten Ozkhan, tetapi dia merangkap menjadi mata-mata. Maka dari itu, tugas semacam ini bisa dengan mudah dia kerjakan.Dari tempatnya berdiri yang hanya berjarak beberapa jengkal saja dengan Shanum, Emir bisa mengamati gerak-gerik pasangan itu. Dari yang Emir lihat, jika Shanum hanya diam dan memasang raut cemas sekaligus khawatir.Sikap Orhan pun tak lepas dari pantauan Emir. Lelaki berambut ikal itu begitu bengis pada sang istri. Dari caranya memperlakukan Shanum yang tidak sewajarnya membuat Emir menjadi makin penasaran."Jaga sikap kamu, Shanum. Aku tidak mau kamu membuat kesala
'Tuan Ozkhan?'Manik Shanum melebar, seakan-akan hendak loncat dari cangkangnya. Kedatangan Ozkhan adalah sesuatu yang tidak pernah terpikirkan.Apa aku sedang bermimpi?Kenapa tiba-tiba ada Tuan Ozkhan di sini?Kenapa tiba-tiba dia tertarik menawarkan kesepakatan dengan Orhan?Masih ada banyak pertanyaan yang berjejalan di kepala perempuan dua puluh sembilan tahun itu. Namun, Shanum tidak ingin terlalu larut dalam pikiran-pikiran tidak penting tersebut.Saat ini yang terpenting adalah dia bisa kembali bebas dari pria kejam yang mungkin sedang menunggunya."Anda siapa lagi?"Pertanyaan itu meluncur dari mulut Orhan, sementara maniknya menatap tajam pria menjulang di hadapan. Dan yang paling menarik perhatian, tatapan pria parlente itu tak lepas menatap Shanum.'Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia menatap Shanum seperti itu?' Orhan membatin kesal."Bisa kita bicara di tempat lain?" kata Ozkhan."Tidak bisa. Untuk apa saya menuruti perintah Anda? Siapa Anda?" sungut Orhan.Barulah Ozkhan m
"Termasuk menjadi teman tidur Anda, Tuan Ozkhan," lanjut Shanum.Pernyataan Shanum yang menurut Ozkhan sangat berani, membuat lelaki itu cukup tercengang. Maka dari itu dia perlu menjelaskan. "Kamu sudah salah paham, Shanum," ujarnya, lalu mengalihkan pandangan pada hamparan laut di hadapan.Raut Shanum pias, melihat Ozkhan yang begitu santai menanggapinya. "Salah paham bagaimana, Tuan? Saya rasa Anda tidak mungkin membuang-buang uang sangat banyak untuk sekedar menolong saya. Apalagi, Anda juga menyewa saya selama tiga bulan.""Menyewa bukan berarti kamu harus melayani saya, Shanum," bantah Ozkhan, kemudian memasukkan kedua tangan ke saku celana."Lalu, untuk apa Anda melakukan semua itu?" tuntut Shanum, tetapi dia buru-buru meralat. "Tidak. Maksud saya—""Saya hanya ingin menjauhkanmu dari suamimu itu, Shanum," sergah Ozkhan, memotong kalimat Shanum. "Selama tiga bulan ke depan kamu bisa bebas darinya. Kamu bisa hidup tenang tanpa tekanan dari dia.""Tuan …." Shanum kehabisan kata-k
Hampir tengah malam Ozkhan tiba di kediamannya. Ketika memasuki kamar, dia mendapati sang istri yang ternyata belum tidur. Numa sedang duduk bersandar di ranjang sambil menikmati segelas red wine.Melihat sang suami yang ternyata pulang, Numa pun tersenyum senang. Perempuan yang malam itu mengenakan piyama tidur sutra berwarna merah lantas buru-buru meletakkan gelasnya ke atas nakas.Numa hendak menghambur memeluk Ozkhan, tetapi hanya penolakan yang dia dapatkan. Bahkan sikap Ozkhan begitu dingin. "Aku merindukanmu, Ozkhan. Tidak bisakah kamu memberiku pelukan?"Permintaan Numa ditanggapi dengkusan oleh Ozkhan. Sambil meloloskan kancing lengan kemeja, dia berkata, "Sejak kapan hubungan kita sehangat itu, Numa?"Kedua telapak tangan Numa mengepal kuat di sisi tubuh. Dia berusaha mengendalikan diri agar tidak terbawa emosi. Yang bisa dia lakukan saat ini hanya menghela napas panjang.Numa pun baru sadar, jika rumah tangganya dengan Ozkhan memang tak pernah sehangat itu. Namun, dia ingin
"Masakanmu sangat lezat, Elis. Aku suka. Rasanya mirip makanan yang ada di restoran mahal."Shanum tidak bohong, makanan yang dimasak Elis sungguh mempunyai cita rasa mirip restoran ternama. Menu makanan yang pernah dia cicip saat diajak makan oleh Ozkhan.Pujian Shanum membuat Elis yang sedang mengupas buah apel tersenyum bangga. "Benarkah? Wah... Aku senang kalau kamu suka. Selama di sini, aku akan memasakkanmu makanan yang lezat."Elis menyodorkan apel yang sudah dipotong menjadi enam bagian dan diletakkan ke piring ke hadapan Shanum."Makanlah yang banyak. Biar badanmu tidak terlalu kurus seperti itu." Elis tak bermaksud menyindir Shanum karena waktu pertama kali melihat perempuan bermata teduh itu, dia merasa prihatin. Elis bisa merasakan jika Shanum selama ini banyak menanggung masalah."Tapi aku sangat nyaman dengan ukuran badanku," cicit Shanum, lalu mengambil satu potongan buah apel dan menggigitnya. "Manis.""No!" Elis menggeleng tak setuju. "Berapa berat badanmu?""Terakhir
Dua jam sebelumnya...Sekembali dari rumah ayahnya, Ozkhan langsung menuju ke sebuah Hotel bintang satu, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor. Pertemuan rahasia yang seharusnya dilakukan kemarin terpaksa diundur menjadi hari ini karena Ozkhan sibuk membantu Shanum.Tanpa sekretarisnya, Ozkhan masih bisa menghandle meeting tersebut dengan bantuan Emir tentunya. Lelaki itu berencana untuk mengembangkan proyek yang sedang dia persiapkan tanpa sepengetahuan ayahnya.Sebab itu, Ozkhan butuh pasokan dana dari investor luar agar proyeknya dapat segera terealisasi. Beberapa investor yang dia tunjuk semula ragu untuk memberikan bantuan, karena mereka sebelumnya sudah bekerjasama dengan Tuan Baris.Namun, bukan Ozkhan namanya jika tidak mendapat apa yang dia inginkan. Tiga dari lima investor setuju menjalin kerjasama karena percaya dengan kemampuan Ozkhan, yang tidak perlu diragukan lagi.
Paginya, Numa terbangun setelah semalam dia dan sang suami kembali berhubungan setelah sekian lama. Akan tetapi, kesenangan semu itu harus sirna ketika dia tak mendapati Ozkhan di sisinya."Dia bangun sepagi ini?"Perasaan Numa kembali kesal, karena dia pikir akan ada adegan romantis yang berlanjut saat dia membuka mata. Namun, Ozkhan justru sudah tak ada di kamarnya."Semalam dia benar-benar berbeda. Dia seperti bukan Ozkhan yang kukenal."Tentu saja Numa sadar akan perubahan Ozkhan. Meski sudah lama tak berhubungan, dia tetap ingat—bagaimana cara Ozkhan memanjakan dirinya ketika sedang berhubungan.Perlakuan Ozkhan yang begitu hangat dan menggebu-gebu sempat membuat Numa merasa bahagia. Tak pernah dia melihat sorot mendamba semacam itu di mata suaminya."Apa dia berniat memperbaiki hubungan kami? Ah, apa pun alasannya, aku tidak peduli. Yang terpentin
"Asisten saya sudah mentransfer sejumlah uang yang saya janjikan ke rekeningmu. Saya juga sudah mengurus visa baru untukmu. Kamu bisa meninggalkan negara ini secepatnya."Ozkhan nampak serius berbicara pada seseorang yang dia hubungi satu menit yang lalu. Dia selalu menepati janji pada orang-orang yang bersedia bekerja sama dengannya. Dan kali ini orang suruhannya itu telah melakukan tugasnya dengan sangat baik. Tentunya, Ozkhan wajib memberikan apresiasi untuk hasil yang maksimal dan memuaskan."Terima kasih, Tuan. Senang bekerja sama dengan Anda. Saya akan pergi malam ini ke tempat yang sangat jauh.""Saya harap kamu tidak meninggalkan jejak.""Pasti. Tidak akan ada yang curiga dengan kematian ibu tiri Anda. Saya bisa menjaminnya.""Bagus." Ozkhan menyeringai mendengarnya, lantas buru-buru mengakhiri pembicaraan sebab ada seseorang yang mendekatinya. "Saya tutup teleponnya."Ozkhan memasukkan ponsel ke saku jas, sambil melirik sang ibu yang sudah berada di sampingnya.Nyonya Jihan m
Sore itu cuacanya terlihat sangat cerah. Namun, berbanding terbalik dengan proses pemakaman yang dihadiri oleh seluruh anggota keluarga Muchtar, yang berlangsung hening. Tak ada isak tangis yang biasa terdengar. Nampaknya, masing-masing anggota keluarga terlihat tegar menerima duka ini.Sementara itu di sisi lain yakni di sebuah mobil yang letaknya tidak jauh dari lokasi pemakaman, Shanum rupanya tidak berani menampakkan diri di sana. Dia memilih berada di dalam mobil bersama Elis.Canggung rasanya apabila dia terlalu nekad muncul bersama Ozkhan. Shanum juga tidak siap menerima konsekuensi dari hubungan yang saat ini sedang dia jalani—menjadi wanita simpanan atasannya."Sepertinya yang menghadiri pemakaman hanya orang-orang terdekat saja," ucap Shanum, yang sedari tadi melihat prosesi pemakaman tersebut dari dalam mobil.Wajah-wajah orang yang berada di depan makam tidak familiar di ingatan perempuan itu. Dari beberapa orang yang ada di sana, Shanum hanya mengenal Numa. Lainnya dia ti
Ada banyak sekali panggilan masuk dari Numa, ketika Ozkhan baru sempat mengecek ponsel di pagi harinya. Lelaki itu terlihat baru saja selesai mandi dan sudah sangat rapi.Pesan singkat dari sang istri cukup membuat Ozkhan menyeringai kecil di kursinya.[Ozkhan, ibumu meningal dunia tadi malam. Aku pergi lebih dulu ke rumah duka. Kamu bisa menyusul.]Begitulah kira-kira isi pesan tersebut. Ozkhan lantas membalasnya.[Aku ke sana agak siang.]Setelah membalas pesan, Ozkhan kemudian menghubungi Emir yang kebetulan masih berada di sana."Siapkan mobil, setelah sarapan kita ke rumah duka."Shanum yang kebetulan berada di sana sontak memandang Ozkhan. Pun dengan Elis yang sedang menuangkan susu ke gelas majikannya. Kedua perempuan itu lantas saling memandang satu sama lain, dengan raut penasaran.Karena tak ingin didera penasaran, Shanum pun memberanikan diri untuk bertanya, "Siapa yang meninggal, Tuan?""Ibu saya," jawab Ozkhan tanpa terlihat sedih sama sekali di wajahnya yang tegas dan ta
Tak pernah jantung Shanum berdebar sekencang ini. Beberapa hari bersama dengan sang atasan, membuatnya selalu merasa nyaman dan aman. Perlakuan lelaki yang sedang membopongnya ini begitu lembut.Ozkhan menurunkan Shanum perlahan begitu tiba di kamar mandi yang luasnya dua kali lipat dari kamarnya yang ada di rumah.Selanjutnya, Shanum membantu Ozkhan meloloskan kancing kemeja lelaki itu mulai dari atas. Tatapan keduanya beradu, sorot mendambakan begitu kentara.Jemari Ozkhan tak tinggal diam. Mengusap wajah Shanum yang sangat lugu dan cantik tanpa riasan. Dia tak pernah mengira akan memiliki sekretarisnya dengan leluasa."Kamu sangat cantik, Shanum," puji Ozkhan, membuat Shanum tersenyum. "Bagaimana bisa kamu mempunyai wajah yang sesempurna ini. Saya sangat beruntung bisa memilikimu, Shanum." Ibu jari Ozkhan membelai bibir Shanum yang terlihat selalu menggoda."Apa sekarang Tuanku ini pandai menggombal?" Kedua telapak Shanum masih aktif. Melepas kemeja hitam dari tubuh kekar atasannya
Elis terlihat sibuk menyiapkan makan malam untuk Shanum. Perempuan berusia empat puluh tahun itu benar-benar menjaga Shanum seperti dia menjaga orang terdekatnya.Apa lagi saat dia mengetahui jika perempuan kesayangan sang majikan tengah sakit. Elis dengan segenap hati berjanji akan merawatnya.Sejak dia dihubungi oleh Ozkhan malam itu, Elis mengira jika perempuan yang sedang dilindungi oleh majikannya hanya sekretaris biasa. Namun, siapa sangka, jika si Tuan majikannya yang terkenal penurut dan pendiam, rupanya memiliki perasaan tak biasa terhadap sekretarisnya.Awalnya Elis ragu membantu Ozkhan, mengingat jika majikannya yang terkenal dingin itu adalah keturunan dari Tuan Baris yang terkenal keji dan kejam. Ozkhan hampir gagal membujuk Elis.Akan tetapi, entah kenapa ketika Ozkhan mengatakan jika dia membutuhkan bantuan Elis untuk menjaga seseorang. Hati Elis tergugah dengan sendirinya, kendati dia sama sekali belum pernah bertemu dengan Shanum.Dan pada hari ini, Elis tidak menyesa
Ozkhan baru sempat mengecek ponsel, setelah hampir dua jam dia meeting dengan para pemegang saham di perusahaan ayahnya.Belakangan ini Ozkhan harus ekstra hati-hati serta bekerja keras untuk mengambil hati orang-orang yang selama ini berada di sisi Tuan Baris. Ozkhan memerlukan dukungan untuk mencapai tujuannya.Muak karena selama ini dia hanya dijadikan boneka oleh sang ayah dan kakaknya yang tidak berguna. Kali ini Ozkhan akan memutar balik keadaan demi membalas rasa sakit yang diperoleh ibunya di rumah itu."Ada pesan dari Shanum." Senyum Ozkhan terukir samar ketika melihat pesan dari sekretarisnya.Pesan dari Shanum dibaca oleh Ozkhan. Lelaki itu kemudian segera mengetik pesan balasan.[Saya penasaran, Shanum. Saya ingin mendengar ceritanya langsung dari kamu. Tunggu saya malam ini.]Selesai mengirim pesan, Ozkhan lantas kembali fokus pada laporan yang baru saja dikirim oleh asistennya. Beberapa Minggu ke depan lelaki itu akan ke luar kota untuk meninjau lokasi.."Apa lebih baik
Setelah hampir dua bulan tidak menginjakkan kaki ke kamar ini, perasaan Shanum kian berkecamuk. Bisa menatap sang ibu dari jarak dekat seperti ini, dan melihatnya baik-baik saja, sudah sangat cukup bagi Shanum.Namun, meski sang ibu tak mengenalinya, Shanum tetap akan menghampiri dan memberinya pelukan. Rasa rindu sudah menumpuk di dada.Mendengar suara langkah kaki mendekat, perempuan yang separuh rambutnya berwarna putih itu mengalihkan perhatian kepada seseorang yang nampak asing di ingatan. Sorot matanya penuh dengan pertanyaan.Nyonya Dilara—ibunda Shanum mengerutkan kening, lantas bertanya, "Siapa Anda?"Langkah Shanum seketika berhenti dengan jarak kurang dari satu meter dari tempat sang ibu berdiri. Di tengah rasa sesak yang melanda, perempuan itu berusaha tersenyum manis."Saya... Shanum. Anda masih ingat saya?" ujar Shanum.Nyonya Dilara mengerjap, mencoba mengenali wajah Shanum yang memang tidak dia ingat sama sekali. Dia pun menggeleng, membuat Shanum hanya bisa menghela p
Langkah Ozkhan sontak berhenti. Dia membeku di tempatnya kemudian mendesah frustrasi. Apa yang dikatakan Numa sudah Ozkhan perkirakan sebelumnya. Sang istri pasti akan menyinggung masalah tersebut.Ozkhan lantas berbalik, dengan raut datar dan tatapan yang selalu dingin, lelaki itu berkata, "Aku akan menunggu kabar itu. Secepatnya."Numa jelas tak menyangka jika respon Ozkhan akan demikian. Dia mengira sang suami akan berkata sebaliknya. "Itu pasti. Kamu tunggu saja," balasnya dengan nada bicara penuh percaya diri.Sepasang alis Ozkhan naik, terkesan dengan kepercayaan diri istrinya. Tanpa berminat membalas, lelaki itu berbalik untuk melanjutkan niatnya, yang ingin mandi.Sepeninggal Ozkhan, otot-otot wajah Numa yang awalnya menegang perlahan mengendur. Terdengar helaan panjang dari perempuan berbaju tidur itu.Jujur saja dia sendiri tidak terlalu berharap dengan apa yang terjadi tempo hari. Mengingat usianya yang memasuki usia rentan.Lagipula, selama ini Numa dan kekasihnya memilih
Mobil yang membawa Ozkhan berhenti di halaman rumah bergaya Eropa klasik. Dia sengaja pulang lebih cepat lantaran merindukan Ghul—putrinya.Emir keluar lebih dulu, kemudian membukakan pintu untuk Ozkhan."Kamu boleh langsung pulang. Terima kasih untuk hari ini," kata Ozkhan.Emir hanya mengangguk, lantas menunggu Ozkhan melangkah masuk, baru dia kembali ke mobil dan segera pergi dari sana.Pelayan wanita membukakan pintu untuk majikannya yang kemarin tidak pulang. Rautnya nampak tegang. "Selamat malam, Tuan," sapanya, seraya menunduk sekilas.Ozkhan dapat membaca ketegangan di wajah pelayannya. Pasti ada sesuatu yang terjadi di dalam sana. Akan tetapi, dia memilih untuk tidak bertanya, dan hanya membalas sapaan dengan anggukan.Dan firasatnya benar. Baru satu langkah kakinya melangkah. Dari arah ruang tamu sudah terdengar keributan.prang!Suara pecahan menyambut kedatangannya beserta suara teriakan Numa yang tengah memaki pelayan."Bodoh! Kalian semua tidak becus bekerja! Apa susahnya