Rosalina langsung menggenggam tangan suaminya, berharap hati suaminya bisa luluh. “Jangan bicara seperti itu lagi, Pa. Kalau Bryan mendengar ini, hatinya pasti terluka, Pa. Apa Papa mau melihat anak kesayangan kita bersedih? Pasti Papa gak mau kan melihat Bryan nangis karena omongan Papa sendiri?”
Fredrinn menepis tangan sang istri dengan kasar. “Ini semua karena didikan kamu! Kamu dari dulu selalu saja memanjakan Bryan! Makanya Bryan tumbuh menjadi anak yang semena-mena dan bertingkah semaunya! Semua keinginannya pasti harus dituruti. Papa tidak suka dengan didikan lembek seperti itu!”
“Mama cuman mau Bryan bahagia, Pa,” lirih Rosalina.
“Ada banyak cara untuk membahagiakan anak, Ma! Tidak harus dimanjakan seperti ini!” Fredrinn menarik napas dalam-dalam, berusaha mengatur emosinya agar tidak berlebihan. “Intinya, hari ini juga, Papa akan memecat gadis kampung itu! Ini semua Papa lakukan agar Bryan tidak lagi
Tanpa berbicara lagi, Nina langsung berlari kecil menuju kamarnya dan membereskan semua barang-barangnya.“Nduk, kamu mau ke mana?” tanya Bi Lastri heran ketika melihat Nina keluar kamar dengan membawa satu buah koper.“Tuan Bryan nyuruh saya buat resign, Bi,” jawab Nina sendu.“Loh? Alasannya apa, Nduk? Bukannya Tuan Muda mau seriusin kamu, Nduk? Kok malah nyuruh resign mendadak seperti ini?”“Sepertinya Tuan Fredrinn sudah tau hubungan kami berdua, Bi. Saya gak tau sejak kapan ketahuannya, tapi kata Tuan Bryan, Papanya mau mecat saya hari ini juga. Makanya saya disuruh resign duluan sebelum dipecat,” jelas Nina.Bi Lastri ikut prihatin mendengar jawaban dari Nina. Bi Lastri memeluk Nina dan mengelus punggungnya. “Ya sudah, kamu hati-hati ya, Nduk. Kamu percayakan semuanya sama Tuan Muda. Tuan Muda pasti melindungi kamu kok. Kamu jangan khawatir ya, Nduk. Kamu ikuti saja apa yang dia perintahka
Tidak lama kemudian, sebuah mobil melaju dan berhenti di depan Nina. Nina mendongakkan kepalanya kemudian menyeka air matanya. Ia melihat sosok yang selama ini dia tunggu-tunggu akhirnya muncul juga.“Mas Bryan!” pekik Nina dengan suara gemetarnya.Bryan yang melihat Nina sedang sesegukan langsung berlari ke arah gadis itu penuh rasa cemas. Bryan segera memeluk gadis itu erat-erat sambil sesekali menciumi ujung kepala gadis itu. Nina hanya bisa pasrah, menjatuhkan semua air matanya di dalam dekapan Bryan.“Maafkan aku, sayang. Aku baru datang jam segini,” ucap Bryan penuh rasa bersalah.“Kamu dari mana aja sih, Mas? Hiks… aku kira kamu udah lupa sama aku. Aku pikir kamu udah dapat penggantiku, Mas. Aku mikirnya aku udah gak cinta sama aku,” ungkap Nina di sela isakan tangisnya.Bryan melepaskan pelukan mereka kemudian menangkup wajah gadis itu. Bryan menatap manik mata Nina lekat-lekat. “Maafin aku y
“Aku pikir kamu sudah pergi, Mas,” lirih Nina dengan suara gemetar.“Belum,” jawab Bryan singkat. Ia menghela napas pasrah kemudian ikut duduk di atas ranjang bersebelahan dengan Nina. “Ayo tidur.”Seketika Nina memasang senyum lebarnya. Air matanya bahkan sudah mengering. “Beneran, Mas? Tapi tadi kamu bilang kalau tidur di sini takut dicurigain sama Papa kamu.”Bryan mengambil selimut yang terlipat rapi di tepi ranjang kemudian melebarkannya. “Aku bakalan nemenin kamu deh sampai kamu tidur, baru aku pergi.”Nina mengangguk dengan cerianya. “Makasih, Mas. Kamu gak boleh pergi ya sebelum aku tertidur. Soalnya aku takut sendirian.”“Biasanya kamu juga kan tidur sendirian, Nina. Kok sekarang jadi penakut begini?” tanya Bryan heran. Kini mereka berdua telah berbaring bersebelahan di ranjang yang sama.“Kamar ini luas banget, Mas. Aku jadi kebayang sama hantu. Kalau di rumah kamu kan, kamar aku kecil, jadinya aku biasa aja kalau tidur sendirian.”
Di apartemen, Bryan baru saja terbangun dari tidurnya. Ia melihat ke sisi kanannya, Nina tak tampak di sebelahnya.“Nina?” gumam Bryan seraya mengerjapkan matanya dua kali.Sembari menguap karena masih merasa ngantuk, Bryan mencoba untuk bangkit dari ranjang. Ia keluar dari kamar itu, aroma wangi dari makanan menyapa indra penciumannya. Ternyata Nina sudah bangun lebih dulu, bahkan sudah menyiapkan sarapan nasi goreng untuknya.“Eh, Mas Bryan. Kamu udah bangun?”“Gak. Aku belum bangun. Ini khodamku yang lagi ngomong sama kamu. Bryan asli masih tidur di kamar!” jawab Bryan merasa kesal.Nina tertawa kecil melihat wajah Bryan yang merengut. “Ih, Mas Bryan. Ini masih pagi kok mukanya udah cemberut aja sih, Mas?”“Soalnya kamu sih! Basa basinya kok gitu? Gak ada pertanyaan lain apa? Kan jelas-jelas aku udah bangun, kok masih ditanyain sih?” Bryan langsung duduk di tempatnya, memperhatikan Nina yang saat ini masih sibuk di belakang meja dapur.
Menjelang maghrib, Fredrinn baru tiba di rumah. Di perjalanan, ia dan sopir pribadinya terjebak macet. Baru saja turun dari mobil, emosi lelaki tua itu tiba-tiba tersulut saat melihat Bryan sedang bersantai di teras rumah bersama Rosalina.“Semalaman kamu ada di mana, Bry? Kenapa Papa telpon gak dijawab, hm?” sembur Fredrinn membuat Bryan terkesiap.“Papa baru aja sampai di rumah udah emosian begini. Ngomongnya yang pelan-pelan aja dong, Pa!” tegur sang istri dengan nada yang lembut.Fredrinn mengabaikan istrinya. Ia tetap melemparkan tatapan tajamnya kepada Bryan. “Jawab Papa, Bry!”Bryan menundukkan kepalanya. Ia tak berani menatap wajah Papanya. “Anu… tadi aku lagi di—”“Mendingan Papa masuk dulu ke dalam! Papa mandi terus makan!” potong Rosalina. Wanita anggun itu lalu memegang tangan anaknya. “Kita juga masuk yuk, Bry. Sudah dekat waktu maghrib. Kalian mengobrolnya
Selama perjalanan, Bryan merasa cemas dan panik. Ia hanya bisa berharap ada sebuah keajaiban yang datang padanya.“Di sini, Bry?” tanya Fredrinn ketika mereka telah sampai di kawasan apartemen mahal. Hanya orang-orang dari kalangan atas yang mampu menginjakkan kakinya ke area tersebut.“Iya, Pa. Di sini,” jawab Bryan pasrah.Mereka berdua pun turun dari mobil dan berjalan ke lobi apartemen hendak menuju lift.“Lantai berapa, Bry?”“L-lima puluh, Pa.”Fredrinn membulatkan matanya. Ia sangat terkejut karena anaknya membeli sebuah unit apartemen yang paling mahal dan terletak paling atas pada bangunan tersebut.“Kenapa tidak ngomong dari tadi kalau kamu membeli penthouse? Tau gitu kita tidak perlu pake lift umum, mendingan pake private lift saja,” keluh Fredrinn.“Maaf, Pa.”“Kamu belinya di harga berapa?” tanya Fredrinn penasaran.&l
Bryan lalu pergi ke teras atap. Kebetulan unit apartemen yang Bryan beli adalah penthouse, tentunya dia mendapatkan fasilitas yang lebih unggul dibandingkan penghuni apartemen di bawahnya. Bryan melangkahkan kaki menuju teras atap di mana ada taman mini di sana dan juga kolam renang pribadi yang cukup luas. Dari atas sana, mereka bisa dengan puas menikmati indahnya pemandangan alam kota Jakarta pada malam hari. Walaupun cuaca sedang dingin, angin berhembus kencang membelai rambut, tentu hal itu tidak menjadi penghalang bagi penghuni penthouse untuk bersantai sejenak di teras tersebut.Sebagai penghuni penthouse, tentu saja Nina tidak mau melewatkan kesempatan yang tidak akan datang dua kali kepadanya. Saat ini Nina sedang memanjakan diri berenang di kolam sembari memandangi kemerlap lampu-lampu bangunan yang ada di bawah sana.Bryan menyipitkan matanya, memfokuskan pandangan kepada sosok gadis yang hanya memakai bikini dan sekarang sedang asik menyandarkan dagunya di t
“Bukan cuman kamu yang mati, Nin! Aku juga bisa mati kalau sampai kita ketahuan!” Bryan mengacak-acak rambutnya dengan kasar. “Aduh, kamu sih! Padahal tadi aku mau ngasih tau kamu soal ini. Papa bakalan datang ke sini. Sebenarnya tadi kamu punya waktu buat kabur. Eh, kamu malah godain aku dan mancing-mancing nafsuku! Jadi begini kan endingnya!”“Kamu kok nyalahin aku sih, Mas? Salahin diri sendirilah! Kok kamu gampang kepancing sama godaan aku!” elak Nina tidak mau salah.“Aduh, terserah kamu deh, Nin! Iya aku yang salah!”Suara Fredrinn semakin terdengar jelas, pertanda Fredrinn semakin dekat.“Sekarang kita harus gimana, Mas?” tanya Nina panik. “Kita keluar dari kolam renang yuk. Terus sembunyi!”“Kalau keluar dari kolam, yang ada kita keburu ketahuan, Nin! Papa sudah ada di dalam!”“Kita sembunyi di teras aja! Itu kan ada taman, mungkin aku bisa semb
Dua bulan kemudian, kini usia kandungan Nina sudah menginjak sembilan bulan. Mereka baru saja pulang dari rumah sakit setelah mengontrol kehamilannya. Kata dokter, kira-kira dua minggu lagi Nina akan melahirkan kedua bayinya.Dan saat ini Nina sedang melihat-lihat kamar bayi untuk kedua calon buah hatinya itu. Nina berjalan mengelilingi kamar bayi yang didominasi warna pink. Nina semenjak tau kedua bayinya berjenis kelamin perempuan, langsung berbelanja perlengkapan bayi untuk bayi perempuan, mulai dari baju, kaos kaki, kupluk dan lainnya. Saat berbelanja, Nina ditemani oleh ibunya, karena saat itu Bryan sedang ada urusan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.“Kenapa kamu berbelanja sebanyak ini, Nak? Beli bajunya beberapa pasang saja. Jangan terlalu boros!” imbuh Aliyah memberi saran kala itu.“Bayinya kan ada dua, Bu. Kalau beli sedikit, mana cukup.”“Baju bayi Brianna dulu kamu simpan di mana? Itu kan bisa kamu gunakan kembali untuk bayimu nanti, Nak
Waktu terus berjalan hingga tak terasa kehamilan Nina telah memasuki usia 7 bulan. Hari ini rumah Bryan dan Nina terlihat ramai dipenuhi oleh para tamu undangan. Kedua pasangan itu mengadakan syukuran atas kehamilan Nina yang sudah berusia 7 bulan.Acara itu Nina serahkan sepenuhnya kepada Even Organizer sehingga dia tidak perlu repot mengurus segala pernak-pernik acara itu.Nina tampil cantik dengan balutan kaftan berwarna baby pink. Dia sengaja memilih warna baby pink karena menurut hasil USG, kedua bayinya berjenis kelamin perempuan. Sedangkan untuk riasan rambutnya, disanggul yang menampilkan leher jenjangnya yang putih dan mulus. Riasan wajahnya tipis tapi elegan yang membuat Nina semakin mempesona. Sedangkan Bryan mengenakan kemeja batik dengan motif dan warna yang senada, begitu pula dengan Brianna yang juga memakai kaftan yang persis dengan ibunya.Bryan menatap istrinya yang tampil cantik hari ini. Hari di mana dia menjadi sorotan di acara tujuh bulanan
Setelah obat sudah ada di tangan Bryan, pria itu menghampiri istrinya yang sedang duduk manis di kursi tunggu.“Yuk kita pulang sekarang!” ajak Bryan.Bryan lalu menggandeng tangan istrinya menuju lobi rumah sakit. Sesekali dia mengecup kepala Nina dengan lembut. Hal itu tentu saja menjadi perhatian orang yang melintas dan berpapasan dengan mereka. Nina berusaha melepaskan diri dari suaminya. Nina merasa malu karena Bryan berlaku mesra di depan umum. Namun usahanya sia-sia karena lengan kiri Bryan segera memeluk pinggang Nina. Hal itu justru membuat mereka tampak semakin mesra, sehingga banyak pasang mata mengulum senyum ketika bertemu pandang dengan mereka. Sebagiannya lagi ada yang tampak iri hati melihat kemesraan pasangan suami istri itu.“Mas, kamu bikin malu saja ihh.”“Kenapa malu? Aku memeluk istriku sendiri, bukan istri orang lain,” elak Bryan. Dia menatap istrinya kemudian mengerlingkan sebelah mata pada Nina.
Hari demi hari terlewati. Tak terasa kini kandungan Nina sudah masuk pada usia 10 minggu. Bryan kembali membawa istrinya ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan kehamilan.“Ibu Nina Anatasya, silakan masuk,” panggil suster di depan pintu ruang prakter dokter kandungan.Nina bangkit dari kursi dan melangkah ke arah pintu ruang praktek tersebut, diikuti oleh Bryan. Nina melakukan pemeriksaan tensi darah terlebih dahulu oleh suster tersebut sebelum bertemu dengan dokter kandungan itu.“Tensinya normal ya, Bu. Silakan bertemu dengan dokter.”“Baik, Sus.” Nina lalu melangkah menghampiri sang dokter.Dokter kandungan itu tersenyum ramah kala Nina sudah duduk di kursi, di depan meja kerjanya.“Ada yang bisa dibantu?” tanya dokter.“Saya ingin kontrol kehamilan, Dok. Sekalian ingin melakukan pemeriksaan USG. Saya dan suami saya ingin tau, apakah janin saya baik-baik saja.”
Hari ini, Nina sudah siap dengan pakaian casual dilengkapi jaket kulit warna hitam. Rambutnya diikat seperti ekor kuda. Membuat penampilannya semakin cantik dan segar. Dia berjalan menuju halaman rumah untuk menemui Bryan yang sudah menunggunya di sana. Sesampainya di halaman rumah, Nina tertegun melihat penampilan Bryan yang tampak seperti aktor hollywood yang tampan dan gagah.Sama seperti istrinya, Bryan juga mengenakan pakaian casual dan jaket warna hitam. Suaminya itu tengah duduk di atas motor gede yang baru saja dia beli.Senyum mengembang terbit dari bibir Bryan kala melihat istrinya sudah sampai di teras rumah.“Bagaimana dengan Brianna? Aman gak kalau kita tinggal? Kita akan lama nanti, karena aku akan mengajak kamu keliling kota Jakarta.”“Brianna sedang tidur, Mas. Aku menitipkan dia sama Mbak Siti. Jadi kamu tenang saja. Semuanya pasti aman terkendali.”“Oke. Sekarang kamu pakai ini. Setelah itu kita berangkat.” Bryan menyerahkan helm full face yang sudah dia siapkan untu
“Ya aku membelinya di restoran.”“Terus kenapa harganya bisa semahal mobil sport?” tanya Nina bingung.“K-karena tadi uangku kurang dan aku meminjamnya pada Jonas. Lalu aku memberikan mobilku kepada Jonas sebagai bentuk pelunasan utang.”“Astaga, Mas. Apa itu tidak terlalu berlebihan? Kenapa semudah itu kamu memberikan mobil kepada karyawanmu?”“Mobilku kan masih banyak, sayang.”“Itu di Indonesia, Mas. Tapi di sini, hanya itu mobil kamu. Masa harus dikirim lagi sih dari Jakarta? Atau kamu mau membeli baru? Boros dong.”“Udahlah, sayang. Jangan dipikirin. Kamu habiskan saja gulai kambingnya biar aku gak kecewa karena telah mengorbankan mobilku untuk beliin kamu gulai kambing ini.”Akhirnya mereka menghabiskan gulai kambing itu berdua dan saling menyuapi secara bergantian. Suatu hal yang sering mereka lakukan dari awal kenal dan hal sekecil itu mampu membuat suasana menjadi lebih berkesan dan romantis.“Terima kasih ya, Mas. Hamil kali ini terasa beda. Karena ada kamu yang bakalan menem
“Selamat! Istri Anda hamil, Pak,” ucap dokter kandungan yang kini memeriksa Nina.Melalui USG yang dilakukan, walau janin Nina masih kecil, tapi hasil gambar yang ditangkap di layar cukup membuktikan bahwa saat ini Nina tengah hamil lagi.“Apa istri saya mengandung bayi kembar, Dok?”“Saya belum bisa memastikan, Pak. Karena kehamilan istri Bapak masih berusia 4 minggu. Sulit untuk dideteksi. Bapak dan ibu bisa kembali lagi untuk melakukan pemeriksaan USG di usia kehamilan 10 minggu untuk memastikan apakah benar ada janin kembar atau tidak,” jawab dokter.Bryan menganggukkan kepalanya, tanda paham. “Oh begitu ya. Baiklah.”“Dok, kami di Sydney ini hanya sementara. Mungkin dalam minggu ini kami akan kembali ke Jakarta. Apa kondisi istri saya yang hamil ini, aman untuk bepergian naik pesawat dalam waktu yang lama?” tanya Bryan lagi. “Oh ya, kami menggunakan pesawat pribadi,” timpa
Melihat raut wajah Nina yang kebingungan, Jonas pun kembali berbicara sembari memasang senyum tipisnya. “Silakan berbicara bahasa Indonesia saja, Nyonya. Kebetulan saya menguasai bahasa Indonesia juga.”Nina menghela napas lega. “Baguslah. Saya hari ini ingin jalan-jalan, bisakah kamu rekomendasikan tempat menarik yang bisa kami kunjungi hari ini?”“Tentu. Saya akan mengantar dan memandu Nyonya ke tempat wisata yang menarik di kota ini. Mari kita berangkat sekarang. Pertama saya akan mengantar Anda untuk mengunjungi Museum dan Galeri Australia. Lalu Anda bisa ke Taronga Zoo Sydney. Kemudian Anda juga bisa mengunjungi pasar budaya Sydney, di sana Anda bisa berbelanja produk buatan suku Aborigin.” Jonas menjelaskan sambil berjalan menuju area parkir tempat mobilnya berada.“Oh, baiklah. Saya mau mengunjungi tempat yang kamu maksud. Lalu kalau saya mau berbelanja bahan makanan sehari-hari, apa bisa di pasar yang kamu sebutk
“Hari ini aku akan meeting dengan pegawaiku di kantor. Jadi aku tidak bisa ikut makan siang bersamamu. Kamu makan siang sama Mbak Siti saja ya. Mungkin besok kesibukanku sudah berkurang. Rencananya besok aku akan mengajak kamu berkunjung ke kantor. Aku ingin memperkenalkanmu kepada rekan kerjaku. Mereka sangat penasaran dengan sosok Nina Anatasya, istri dari Bryan Lawrence.” Bryan berkata sambil mencium bibir istrinya.“Kalau begitu, hari ini aku jalan-jalan bertiga ya, Mas. Aku mau jalan-jalan sekalian makan siang di luar. Setelah makan siang, rencananya aku akan belanja bahan makanan untuk kita makan malam nanti.” Nina berkata sambil menatap kagum pada suaminya yang sudah berpenampilan rapi.“Oke. Nanti aku akan menyuruh Jonas untuk mengantar kamu ke tempat yang akan kamu kunjungi hari ini.”“Iya, Mas. Terima kasih.”Setelah itu mereka keluar dari kamar untuk sarapan bersama. Mereka sarapan bersama B