“Aku pikir kamu sudah pergi, Mas,” lirih Nina dengan suara gemetar.
“Belum,” jawab Bryan singkat. Ia menghela napas pasrah kemudian ikut duduk di atas ranjang bersebelahan dengan Nina. “Ayo tidur.”
Seketika Nina memasang senyum lebarnya. Air matanya bahkan sudah mengering. “Beneran, Mas? Tapi tadi kamu bilang kalau tidur di sini takut dicurigain sama Papa kamu.”
Bryan mengambil selimut yang terlipat rapi di tepi ranjang kemudian melebarkannya. “Aku bakalan nemenin kamu deh sampai kamu tidur, baru aku pergi.”
Nina mengangguk dengan cerianya. “Makasih, Mas. Kamu gak boleh pergi ya sebelum aku tertidur. Soalnya aku takut sendirian.”
“Biasanya kamu juga kan tidur sendirian, Nina. Kok sekarang jadi penakut begini?” tanya Bryan heran. Kini mereka berdua telah berbaring bersebelahan di ranjang yang sama.
“Kamar ini luas banget, Mas. Aku jadi kebayang sama hantu. Kalau di rumah kamu kan, kamar aku kecil, jadinya aku biasa aja kalau tidur sendirian.”
Di apartemen, Bryan baru saja terbangun dari tidurnya. Ia melihat ke sisi kanannya, Nina tak tampak di sebelahnya.“Nina?” gumam Bryan seraya mengerjapkan matanya dua kali.Sembari menguap karena masih merasa ngantuk, Bryan mencoba untuk bangkit dari ranjang. Ia keluar dari kamar itu, aroma wangi dari makanan menyapa indra penciumannya. Ternyata Nina sudah bangun lebih dulu, bahkan sudah menyiapkan sarapan nasi goreng untuknya.“Eh, Mas Bryan. Kamu udah bangun?”“Gak. Aku belum bangun. Ini khodamku yang lagi ngomong sama kamu. Bryan asli masih tidur di kamar!” jawab Bryan merasa kesal.Nina tertawa kecil melihat wajah Bryan yang merengut. “Ih, Mas Bryan. Ini masih pagi kok mukanya udah cemberut aja sih, Mas?”“Soalnya kamu sih! Basa basinya kok gitu? Gak ada pertanyaan lain apa? Kan jelas-jelas aku udah bangun, kok masih ditanyain sih?” Bryan langsung duduk di tempatnya, memperhatikan Nina yang saat ini masih sibuk di belakang meja dapur.
Menjelang maghrib, Fredrinn baru tiba di rumah. Di perjalanan, ia dan sopir pribadinya terjebak macet. Baru saja turun dari mobil, emosi lelaki tua itu tiba-tiba tersulut saat melihat Bryan sedang bersantai di teras rumah bersama Rosalina.“Semalaman kamu ada di mana, Bry? Kenapa Papa telpon gak dijawab, hm?” sembur Fredrinn membuat Bryan terkesiap.“Papa baru aja sampai di rumah udah emosian begini. Ngomongnya yang pelan-pelan aja dong, Pa!” tegur sang istri dengan nada yang lembut.Fredrinn mengabaikan istrinya. Ia tetap melemparkan tatapan tajamnya kepada Bryan. “Jawab Papa, Bry!”Bryan menundukkan kepalanya. Ia tak berani menatap wajah Papanya. “Anu… tadi aku lagi di—”“Mendingan Papa masuk dulu ke dalam! Papa mandi terus makan!” potong Rosalina. Wanita anggun itu lalu memegang tangan anaknya. “Kita juga masuk yuk, Bry. Sudah dekat waktu maghrib. Kalian mengobrolnya
Selama perjalanan, Bryan merasa cemas dan panik. Ia hanya bisa berharap ada sebuah keajaiban yang datang padanya.“Di sini, Bry?” tanya Fredrinn ketika mereka telah sampai di kawasan apartemen mahal. Hanya orang-orang dari kalangan atas yang mampu menginjakkan kakinya ke area tersebut.“Iya, Pa. Di sini,” jawab Bryan pasrah.Mereka berdua pun turun dari mobil dan berjalan ke lobi apartemen hendak menuju lift.“Lantai berapa, Bry?”“L-lima puluh, Pa.”Fredrinn membulatkan matanya. Ia sangat terkejut karena anaknya membeli sebuah unit apartemen yang paling mahal dan terletak paling atas pada bangunan tersebut.“Kenapa tidak ngomong dari tadi kalau kamu membeli penthouse? Tau gitu kita tidak perlu pake lift umum, mendingan pake private lift saja,” keluh Fredrinn.“Maaf, Pa.”“Kamu belinya di harga berapa?” tanya Fredrinn penasaran.&l
Bryan lalu pergi ke teras atap. Kebetulan unit apartemen yang Bryan beli adalah penthouse, tentunya dia mendapatkan fasilitas yang lebih unggul dibandingkan penghuni apartemen di bawahnya. Bryan melangkahkan kaki menuju teras atap di mana ada taman mini di sana dan juga kolam renang pribadi yang cukup luas. Dari atas sana, mereka bisa dengan puas menikmati indahnya pemandangan alam kota Jakarta pada malam hari. Walaupun cuaca sedang dingin, angin berhembus kencang membelai rambut, tentu hal itu tidak menjadi penghalang bagi penghuni penthouse untuk bersantai sejenak di teras tersebut.Sebagai penghuni penthouse, tentu saja Nina tidak mau melewatkan kesempatan yang tidak akan datang dua kali kepadanya. Saat ini Nina sedang memanjakan diri berenang di kolam sembari memandangi kemerlap lampu-lampu bangunan yang ada di bawah sana.Bryan menyipitkan matanya, memfokuskan pandangan kepada sosok gadis yang hanya memakai bikini dan sekarang sedang asik menyandarkan dagunya di t
“Bukan cuman kamu yang mati, Nin! Aku juga bisa mati kalau sampai kita ketahuan!” Bryan mengacak-acak rambutnya dengan kasar. “Aduh, kamu sih! Padahal tadi aku mau ngasih tau kamu soal ini. Papa bakalan datang ke sini. Sebenarnya tadi kamu punya waktu buat kabur. Eh, kamu malah godain aku dan mancing-mancing nafsuku! Jadi begini kan endingnya!”“Kamu kok nyalahin aku sih, Mas? Salahin diri sendirilah! Kok kamu gampang kepancing sama godaan aku!” elak Nina tidak mau salah.“Aduh, terserah kamu deh, Nin! Iya aku yang salah!”Suara Fredrinn semakin terdengar jelas, pertanda Fredrinn semakin dekat.“Sekarang kita harus gimana, Mas?” tanya Nina panik. “Kita keluar dari kolam renang yuk. Terus sembunyi!”“Kalau keluar dari kolam, yang ada kita keburu ketahuan, Nin! Papa sudah ada di dalam!”“Kita sembunyi di teras aja! Itu kan ada taman, mungkin aku bisa semb
Nina tertegun kala menerima tamparan keras dari Fredrinn. Begitu juga dengan Bryan, pria itu langsung mendongakkan kepalanya dan membentak ayahnya.“Kenapa Nina ditampar, Pa? Kalau Papa marah, tampar aku aja, Pa! Jangan tampar Nina. Nina gak salah!” tegur Bryan dengan volume suara yang tinggi.PLAK!Lagi-lagi sebuah tamparan mendarat di pipi seseorang. Ya, kali ini Fredrinn menampar anaknya sendiri. Menurutnya, apa yang telah diperbuat Bryan sangat melewati batas. Seumur hidup, Fredrinn tidak pernah mengajarkan anaknya untuk berbohong. Namun kali ini, Bryan telah membuatnya kecewa berkali-kali.“Puas kamu sekarang, Bryan?!” Fredrinn menatap tajam anaknya. “Papa mati-matian cari duit buat pengobatan Mama, buat biaya sekolah kamu dan semua kebutuhan yang lain, tapi kamu malah enak-enakan bermain bersama perempuan di apartemen mahal ini! Apa kamu sadar, Bryan? Kamu itu sudah membuat Papa kecewa berat! Kamu membohongi Papa banyak kali! Kamu hamburkan semua du
Dari pengalaman ini, Nina bisa merasakan nikmatnya diperlakukan bagai ratu, dinomorsatukan dan diprioritaskan oleh seseorang. Dan itu semua ia dapatkan dari laki-laki bajingan yang pada awalnya merenggut kesuciannya. Namun perlahan rasa cinta itu tumbuh. Bryan adalah cinta pertama bagi Nina.Nina kembali menundukkan wajahnya sembari merenung. Isakan tangisnya mulai mereda. Namun ia tetap menangis dalam hati. Begitu banyak air mata yang sudah ia keluarkan dari tadi, makanya saat ini ia hanya mampu tersedu-sedu dalam diam.Melihat Nina semakin bersedih membuat Bryan iba. Bryan menggenggam tangan Nina di hadapan Fredrinn tanpa rasa ragu.“Papa, kami berdua saling mencintai. Apa susahnya buat Papa untuk merestui hubungan kami? Papa gak bakal rugi kok. Kan yang jalanin hubungan ini adalah aku sendiri, bukan Papa! Aku cinta Nina apa adanya, Pa!” pinta Bryan memelas.“Kamu itu minta restu sudah kayak minta permen! Mau taruh di mana muka Papa in
“Aku tetap memilih Nina, Pa,” jawab Bryan setelah sekian lama mengatupkan bibirnya.“Kamu sudah yakin dengan pilihan kamu?” tanya Fredrinn ingin memastikan jawaban anaknya.“Iya, Pa. Aku yakin. Kami tetap saling mencintai dalam suka maupun duka. Susah senang akan kami lalui bersama,” ujar Bryan dengan mantap.Nina kemudian menatap Bryan seolah-olah tak percaya. Tapi jujur, ia juga merasa senang karena Bryan lebih memilihnya.Sudut bibir Fredrinn terangkat. Ia tersenyum sinis mendengar kalimat anaknya. “Kamu bisa berkata demikian karena kamu belum melaluinya!”“Aku akan memegang omonganku sendiri, Pa. Papa bakalan lihat keseriusanku.”“Ya sudah. Serahkan semua kredit card dan ATM-mu. Kembalikan semuanya ke Papa!”Bryan mengambil dompetnya kemudian mengeluarkan semua kartu kredit tanpa limit dan kartu ATM miliknya. Fredrinn juga meminta kunci mobil yang tadi mereka
Tubuh Nina seketika lemas tak bertenaga kala mendapat telepon itu. Dia tidak percaya hal ini terjadi. Kenapa Bryan tiba-tiba kritis?Tanpa berpikir panjang, Nina langsung menuju rumah sakit tersebut.Sepanjang perjalanan, Nina hanya bisa menangis dan berharap bahwa Bryan baik-baik saja.“Kamu kenapa tiba-tiba masuk rumah sakit sih, Mas?” gumam Nina seraya terisak.*Setibanya di rumah sakit, Nina segera berlari menuju bagian administrasi. Ternyata di sana sudah ada William yang menanggung biaya operasi.William menjelaskan bahwa Bryan terjatuh dari lantai tiga saat bekerja.“T-terjatuh?”“Iya. Kata mandor kami begitu. Para pekerja juga heran kenapa Bryan tiba-tiba terjatuh. Sepertinya dia kepeleset, soalnya sempat hujan, mungkin karena licin makanya Bryan terjatuh.”“Terus sekarang Bryan di mana?” tanya Nina cemas.“Di ruang operasi. Kepalanya bocor. Kata dokter juga, tulang kaki Bryan ada yang remuk. Kamu doakan
Nina langsung menghentikan nyanyiannya saat menyadari bahwa Bryan mulai menangis.Sambil mengusap kedua matanya, Bryan menatap wajah Nina yang saat ini begitu dekat dengan wajahnya.“Lagi… nyanyiin lagi!” Bryan berseru lugu kepada Nina. Bryan berseru lugu dengan mata yang sembab dan memerah.Nina pun mulai menyanyikan lagu itu kembali.Bryan terdiam polos hingga Nina menyelesaikan nyanyiannya. Bryan kembali menangis ketika nyanyian itu berakhir.“Kamu teringat mama kamu ya, Mas?” tanya Nina yang ikut sedih karena Bryan semakin terisak.Bryan menggeleng pelan sambil tersedu-sedu.“Terus kenapa kamu menangis begini, Mas?” tanya Nina lagi.“Soalnya kamu nyanyinya medok banget, sayang. Padahal kan itu lagu Inggris,” jawab Bryan dengan suara gemetar.Nina langsung mencubit pipi Bryan hingga pria itu menjerit kesakitan.“Aw! Sakit tau, sayang!”&l
Bryan akhirnya keluar dari ruang ICU. Sedangkan Nina dan Fredrinn kembali berdiam-diaman, seperti tidak terjadi sesuatu. Bryan lalu berpamitan kepada ayahnya, Fredrinn hanya mengangguk pelan.Di perjalanan pulang, Nina meminta Bryan untuk singgah di konter.“Kamu mau beli pulsa, sayang? Biar aku yang beliin ya.”“Jangan, Mas. Kamu tunggu di motor aja ya.”Bryan hanya menurut dan menunggu Nina membeli sesuatu di konter itu.Sesampainya di rumah, Bryan kembali bertanya. Ia heran kenapa Nina tiba-tiba membeli hp baru.“Aku sengaja beli hp baru, Mas. Biar kita tetap bisa berhubungan walaupun kamu lagi di luar. Lagian cuman hp senter kok, harganya 150 ribu aja,” jawab Nina santai.“Padahal aku gak butuh hp, sayang. Mendingan uangnya kamu tabung aja daripada dibeliin hp,” ucap Bryan yang ingin berhemat. Tentu saja karena dia belum tau bahwa Nina telah mendapatkan uang dari ayahnya saat di rumah sakit tadi.Nina lalu mengambil ponseln
Bryan akhirnya masuk ke ruangan itu didampingi oleh perawat. Di dalam sana, ia diwajibkan mengenakan baju khusus penjenguk pasien ruangan ICU. Ia lalu melihat ibunya hanya dari balik kaca tembus pandang yang membatasi mereka. Banyak sekali alat-alat canggih yang terpasang di tubuh Rosalina dan sampai sekarang ibunya itu belum juga sadarkan diri.“Apa saya gak bisa masuk ke dalam, Sus?” lirih Bryan dengan sorot mata mulai berkabut.“Saya sarankan tidak. Keadaan pasien sedang kritis, daya tahan tubuhnya pun sangat lemah. Yang diperkenankan masuk ke dalam hanya dokter dan perawat saja, itu pun harus benar-benar dalam keadaan steril.”Bryan mengangguk paham dan kembali memandangi ibunya dari kaca tembus pandang di depannya.Di depan pintu ICU, tersisa Fredrinn dan Nina duduk berduaan sembari menunggu Bryan keluar. Sebab tadi Fredriin menyuruh Bi Lastri agar pulang saja untuk menemani Sarah menjaga rumah.Entah sudah berapa lama
William mengelus dagunya sendiri dan menaruh curiga. “Atau jangan-jangan gadis itu memang orang susah? Dan Bryan adalah orang yang ngasih modal ke gadis itu untuk berpenampilan semewah mungkin di pesta Daddy?”William lalu bergeleng kepala. “Ckck. Bryan, Bryan! Pantasan saja Papamu marah dan membiarkanmu hidup susah begini. Rupanya karena kamu jatuh cinta sama gadis miskin! Bodoh sekali kamu Bryan! Rela menderita demi hidup bersama dengan gadis itu! Terkadang cinta memang bikin orang jadi goblok!”William pun pergi dan membiarkan Bryan berduaan dengan Nina di gedung tua itu.Ya, awalnya memang William sempat naksir kepada Nina. Karena kala itu, penampilan Nina sangat mewah dan berkelas. Wajah Nina yang anggun pun mampu menyihir mata William. Tapi setelah William melihat sosok asli Nina dengan penampilan sederhananya, William jadi ilfeel. Walaupun saat ini wajah Nina masih terlihat cantik mempesona, tapi tetap saja itu tidak berpengaruh be
Selanjutnya Nina hanya diam tak bersuara.Bryan langsung beranjak pergi bekerja, tanpa menghabiskan makanannya lebih dulu.Nina menatap Bryan yang sudah jauh dari pandangannya sembari menangis lirih. “Maafkan aku, Mas. Aku egois. Aku hanya gak mau kalau kamu lebih memilih ibumu dari pada aku.”*Siang hari, di lokasi proyek…Waktu makan siang telah tiba. Para pekerja pun diistirahatkan selama 30 menit.Salah satu dari mereka menghampiri Bryan dan berkata, “Ada yang nyariin kamu tuh!”“Siapa, Kang?”“Kurang tau. Perempuan. Sekarang lagi nungguin kamu di bangunan kosong di depan sana,” jawab si tukang bangunan sembari menunjuk gedung tua tidak terpakai di ujung sana.“Oh oke. Makasih ya.”Setelah itu, Bryan kemudian berjalan menuju bangunan tua yang ditunjuk oleh rekan kerjanya tadi. Bryan terkejut melihat Nina sedang berdiri menunggunya.&ldq
‘Aduh, apa ya? Sekali lagi kalau salah, hp ini bakalan terblokir.’ Bryan mulai menyerah, padahal ia sudah memasukkan tanggal mereka jadian, tanggal lahir Nina sampai tanggal lahirnya sendiri. Namun tetap salah.‘Aduh, sandinya apa sih? Masa tanggal lahir Sehun EXO? Gak mungkin deh.’ Bryan iseng-iseng mencobanya, dan benar saja ponsel itu langsung terbuka.Bryan menggerutu dalam hati. ‘Bisa-bisanya tanggal lahir Sehun dijadikan password hp! Ada-ada saja!’Bryan mulai mengecek pesan dan log panggilan di ponsel tersebut. Memang benar, sekiranya ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari minggu lalu dan banyak pesan masuk yang sudah dibaca.Semua pesan dan panggilan itu dari nomor Bi Lastri. Bryan yang penasaran mulai membaca satu per satu pesan dari Bi Lastri.[Nduk, ini Bi Lastri. Kamu masih menyimpan nomor Bibi, kan? Kenapa telpon Bibi gak kamu angkat, Nduk?][Kamu sibuk ya, Nduk?][Apa kabar kalian d
Bi Lastri hanya menghela napas setelah mendengar jawaban dari Bryan.“Terus sekarang gimana keadaan Mama? Mama baik-baik saja, kan?” tanya Bryan lagi.“Nyonya tidak baik-baik saja, Tuan.”Mendengar jawaban Bi Lastri sukses membuat Bryan semakin cemas. Ia pun segera melangkahkan kaki hendak masuk ke dalam sana. Tapi Bi Lastri mencegahnya dengan cepat.“Sebaiknya jangan masuk dulu, Tuan!”“Kenapa, Bi?”“Soalnya Papanya Tuan kayaknya marah besar kalau sampai melihat Tuan datang ke sini!”“Aku gak peduli, Bi! Aku cuman mau lihat Mama sekarang.”Bryan mengabaikan kalimat Bi Lastri. Ia segera membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan itu. Sedangkan Bi Lastri menghela napas pasrah.Rasanya ingin mengeluarkan air mata kala melihat sang ibunda kini terbaring tak berdaya di ranjang perawatan dengan selang oksigen yang membantunya bernapas. Fisik Rosalina semaki
Bryan menatap lekat manik mata gadisnya itu. “Kita harus nikah secepat mungkin, sayang. Kandungan kamu sudah enam minggu. Sampai kapan kita bisa menyembunyikan kehamilan ini dari tetangga? Mungkin sekarang, kita masih bisa tenang dan santai. Karena perut kamu masih kecil. Tapi lama-lama, perut kamu ini bakalan membesar. Orang-orang pasti curiga sama kita. Kita bakalan diusir dari sini dan dilaporin ke RT! Bisa-bisa kita masuk berita dan viral! Belum lagi kalau sampai ibu dan bapak kamu tau kalau kamu ini sedang hamil. Apa tanggapan mereka? Makanya aku harus ke rumah, sekali lagi aku ingin berjuang mendapatkan restu dari Papa. Supaya Papa mau ketemu dengan orang tua kamu di kampung untuk membicarakan pernikahan kita. Biarlah kita menikah secara sederhana tanpa pesta segala macam. Yang penting sah dan ada buktinya.”“Tapi kalau Papa kamu masih gak setuju gimana, Mas? Bapak aku juga gak bakalan merestui hubungan kita kalau Papa kamu sendiri belum merestui kita,” ucap Nina sendu.