Dia dan Zahra baru saja berkenalan hari ini. Dan, Hanin belum tahu dengan jelas bagaimana keluarga Zahra ini. Selagi Zahra baik padanya maka Hanin masih mau saja berteman dengan gadis super polos ini.
Zahra di tempatnya kini tiba-tiba tersenyum misterius. " Kamu benar juga!" ujar cepat, kemudian buru-buru memegang lengan Hanin sehingga menghentikan aktivitas menulis mereka. Nin, izinin kembaran mu anterin aku pulang hari ini, ya? Biar Kak Catur lihat aku pulang sama cowok lain."Ini permintaan aneh menurut Hanin!Hanin langsung saja melototi Zahra yang langsung meringis pelan melihat raut wajha Hanin itu. "Nggak, ya!" ketusnya. "Kan, udah gue bilangin lo tadi. Hanan itu sudah punya Hanum. Lo jangan genit-genit sama dia!"Bibir mungil Zahra mengerucut lucu. "Aku nggak genit sama kembaranmu itu. Aku cuman butuh dia satu hari aja untuk nganterin aku pulang," balasnya, tidak mau kalah untuk perdebatannya ini dengan Hanin."Tetap nggak boleh!""A-aduh Kak, jewer ya pelan-pelan, dong!" pekik Hendra mencoba bernegosiasi dengan sang kakak yang kini menarik telinganya tanpa perasaan sama sekali."Diem lo!" sungut Hanin. Menarik adiknya masuk ke dalam mansion. Hanin mau ngadu sama Mommy kalau sibegadulan ini lagi dan lagi memanjat pohon jambu. Padahal Mommy sudah sering melarang, tapi tetap saja tidak di dengarkan adik tersayangnya ini."Mommyyyyy." Hanin berteriak. Mansion ini sudah mirip hutan saja karena Hanin sering berteriak tanpa sebab. Makanya semua pelayan dan pekerja lainnya, sudah tidak heran ketika mendengar Nona mereka berteriak tiba-tiba."Ih, Kak! Katanya tadi udah janji nggak bilang ke Mommy." Hendra menatap kakaknya sebal. Kalau tahu begini, Hendra tidak akan mau turun dari pohon tadi setelah mendengar ancaman kakaknya.Hanin melirik adiknya itu sinis. Semakin menguatkan jeweran telinga adiknya itu. Keduanya terus melangkah menuju ruang tengah, Hanin yakin Mommy mereka ada di
Di belakang Zahra ada tiga pelayan yang kini menatap nona mereka dengan cemas. Mereka takut kalau nona mereka menangis karena dibentak atau di usir maminya sendiri."Mami!" Zahra menghela napas pelan. "Mami mana, sih? Zahra mau makan malam ini, lho. Zahra udah laper," keluhnya. Berharap pintu di depannya ini segera terbuka.Dan, malam ini harapan Zahra terkabul. Pintu terbuka, tapi bukan sang mami yang dia dapatkan. Melainkan pelayan pribadi maminya yang kini menatapnya lelah."Nona, sebaiknya Anda kembali ke rumah Anda," ujar pelayan itu.Namun, sangat disayangkan sekali kalau Nona mereka ini begitu keras kepala sekali. "Nggak mau! Zahra nggak mau pulang sebelum makan malam bareng Mami dan Kakak Zahra," tolaknya terang-terangan."Nona, mohonlah untuk mengerti!""Emangnya Bibi siapa untuk Zahra mengertikan? Zahra mau masuk sekarang!" balas Zahra. Dia hendak menerobos masuk. Tapi, pelayan pribadi maminya itu dengan sigap menahan l
Sedangkan Abian menatap putrinya itu cukup lama. Kemudian menggeleng pelan. "Nggak! Kamu nggak Daddy kasih izin untuk naik motor sendiri. Kalau apa-apa sama Hanan aja," jelasnya. Bahu Hanin meluruh. "Ya, kok gitu, sih, Dad? Daddy nggak adil dong kalau gitu," protesnya. "Daddy nggak mau kamu kenapa-napa sayang. Mending sama Hanan aja naik motornya, kamu di bonceng sama dia." Abian menatap putrinya itu penuh penegasan. "Nggak seru, Dad." Hanin mengerucutkan bibirnya. "Lebih seru naik motor sendiri," sambungnya. "Nggak boleh, sayang." Hanin menunduk sedih. Dulu dia pikir jadi anak perempuan itu satu-satunya enak. Tapi, dia salah besar. Dia malah agak terkekang, apa-apa tidak boleh, dikit-dikit tidak boleh. Daddy menjaganya dengan kewaspadaan. Takut dia luka atau lecet sedikit saja. Belum lagi Hanin punya tiga pengawal yang selalu memantaunya saat mereka bersama-sama. Meski Hendra nakal begitu, Hendra selalu pose
Awalnya Hendra fokus bermain dengan Anya. Meski tidak menyukai main masak-masakan dan juga boneka. Hendra dengan setia menemani gadis kecil itu bermain, asal Anya senang dan Hendra tidak masalah sama sekali. Sayangnya siang itu Hendra tidak bisa terlalu fokus sepenuhnya pada permainan yang Anya mainkan. Wajah imut Anya selalu membuat Hendra susah konsentrasi. Rasanya Hendra ingin membawa Anya pulang terus mengurungnya ke dalam kamar, seperti yang sering dilakukan Daddy yaitu mengurung Mommy di kamar selama berjam-jam."Kak Hendra, ini minumannya." Anya memberikan sebuah cangkir mini pada Hendra. Cangkir mainan yang sebenarnya kosong, tapi Anya bilang isinya itu teh hangat dan Hendra harus minum. Hendra dengan senang hati menerima pemberian dari gadis kecil itu.Anya hanya beda tiga tahun dengannya, Anya suka sekali bermain masak-masakan seperti ini apalagi kalau dia sudah datang, pasti Anya senang sekali. Sebab, Anya merasa suka bermain dengan Hendra ketimbang adik
"Oh, ya. Karena tahun ini adalah ulang tahun ke tujuh belas kalian. Apa kalian ingin mengadakan pesta yang meriah dan mengundang semua teman-teman kalian?" tanya Abian, memberikan usul yang bagus pada si kembar yang dua minggu lagi akan berulang tahun. Tidak terasa juga sudah dua minggu si kembar bersekolah seperti biasanya.Hanin yang mendengar ucapan daddynya langsung mengangguk antusias. "Mau, Dad! Hanin mau pesta yang meriah karena malam itu Hanin ingin jadi princess, hehe." Anak gadis Abian itu nyengir lebar."Bagus! Daddy setuju," jawab Abian cepat. "Kalau kamu gimana, Nan?" Dia menoleh pada di sulung yang mengajari Hendra menghapal perkalian sepuluh.Hanan melirik Hanin yang terlihat bahagia dengan rencana itu, tentu saja Hanan tidak mau membuat kebahagiaan adiknya itu mendadak hilang. "Aku ikut aja, Dad. Kalau itu kemauan Hanin, Hanan tidak masalah," jawabnya."Baiklah! Mulai besok Daddy dan Mommy akan mengurus semuanya." Abian tersenyum s
"Ini bekal Zahra. Jangan lupa dihabiskan, ya? Dan, jangan sesekali jajan di luar," pesan Marion sambil memasukkan kota bekal berwarna merah muda itu ke dalam tas putrinya.Zahra yang sibuk menghabiskan susunya pun hanya bisa mengangguk saja. Keduanya berjalan keluar bersama-sama. Pagi ini Zahra terlihat bahagia sekali."Papi beneran anterian Zahra hari ini, kan?" tanyanya sekali lagi saat mereka tiba di teras rumah."Iya, sayang."Zahra memekik senang. "Yes! Sekalian nanti kenalan sama teman satu meja ku, ya, Pi? Dia penasaran sama Papi karena selama ini aku sering ngomong ke dia kalau Papi ku ini sangat tampan," ujarnya dengan senyum lebarnya.Marion tertawa pelan. "Emang Papi setampan itu?" tanyanya.Zahra langsung mengangguk cepat. "Iya! Bagiku Papi yang paling tertampan di dunia ini setelah setelah Hanan.""Siapa Hanan?" Marion langsung bertanya dengan sudut hati yang tak senang karena sekarang ada bisa menandingi ke
Marion masuk ke dalam mobilnya dan melirik asistennya yang duduk di kursi depan samping sopir. "Kau kenal dua anak tadi?" tanyanya pada asisten pribadinya itu. Rakit mengangguk pelan. "Saya sudah mencari tahu identitas mereka tadi saat Tuan masih berinteraksi dengan mereka. Hanin Zareena Dirgantara dan Hanan Aditya Dirgantara, mereka anak kembar dari pasangan Abian Dirgantara dan Flora Fernandez. Saya rasa Tuan tidak perlu khawatir kalau Nona muda berteman dengan mereka, karena keluarga Dirgantara selama ini sangat di kenal baik oleh public. Begitu juga Tuan Abian, dia adalah pebisnis bersih sudah pasti mendidik anaknya dengan tegas dan benar," jelas pria yang masih melajang di umurnya yang sudah masuk ke 35 tahun. Marion mengangguk paham setelah mendengar penjelasan asistennya itu. "Apa selama ini kita pernah bekerja sama dengan perusahaan Dirgantara?" tanyanya. Saking banyak bekerja sama dengan berbagai perusahaan, Marion lupa siapa saja rekan bisnisn
Hari yang sangat di tunggu-tunggu Hanin akhirnya tiba. Ulang tahunnya dan Hanan. Hanin sudah menyebar undangannya ke semua teman kelasnya dan anak Angkatan kelas sebelas lainnya tiga hari yang lalu. Acara dilaksanakan malam hari. Halaman samping rumah Hanin yang terdapat kolam renang dan juga gazebo yang tak jauh dari sana, kini sudah di sulap begitu cantik. Ada panggung kecil di akan dijadikan tempat khusus untuk si kembar memotong kue nantinya.Sejak maghrib usai, Hanin sudah di rias oleh MUA kenalan mommynya. Hanin meminta make up yang simple saja, tapi dia akan terlihat elegan dan cantik. Hanin tidak mau memakai mahkota, rasanya seperti anak kecil, tapi tetap saja malam ini dia akan menjadi seorang princess. Hanin tersenyum lebar kala melihat wajahnya begitu cantik setelah di rias oleh MUA. Rasanya dia sedikit tak mengenali dirinya karena selama ini Hanin jarang sekali merias dirinya. Ke sekolah pun hanya memakai pelembab bibir saja dan bedak seadany